Chapter 30 [Berlian Melody]
Selamat datang di chapter 30
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Aku butuh pergi.
Jarak, ruang, dan waktu mungkin bisa mengembalikan kewarasanku.”
—Berlian Melody
____________________________________________________
Musim gugur
Bisley, 24 Oktober
Pukul 07.32
Pertanyaan-pertanyaan yang dulu pernah bercokol di otakku telah terjawab. Meski demikian, diriku tak lantas puas dengan hasil tersebut. Karena aku yakin itu hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tersibak. Mungkin masih banyak lagi hal yang tak kuketahui tentang Jayden. Mungkin apabila pertanyaanku lebih banyak, fakta lainnya akan terungkap. Terutama tentang tindakan kriminal yang dilakukan Jayden.
Segi positifnya, walau itu hanya sekelumit fakta lain, tetapi dari jawaban-jawaban itu diriku lantas menjadi jauh lebih memahami pria macam apa yang kunikahi itu. Ketimbang sekadar tahu hanya dari potongan-potongan informasi yang diberikan Umar.
Dunia di sekelilingku benar-benar sudah gila.
Aku selalu mengingat pada detik rasa bahagia menderaku kala mengetahui diriku hamil. Lalu pada detik yang lain aku harus kehilangan bayiku yang bahkan baru seukuran kacang polong dikarenakan tekanan mental atas pemberitaan media masa tentang suamiku.
Ragaku memang sempat kebas. Namun, Umar berhasil membujukku makan, minum obat, dan istirahat agar dapat keluar dari rumah sakit dengan fisik lebih baik. Tubuhku memang berangsur sembuh, tetapi tidak dengan rasa sakit yang mendera mental serta batinku. Kini, tekanan yang kurasakan makin bertambah. Oleh sebab itu aku butuh pergi. Jarak, ruang, dan waktu mungkin bisa mengembalikan kewarasanku.
Anehnya, sangat berat menggerakkan seluruh sendi yang menghubungkan tulang-belulangku untuk membalik tubuh membelakangi Jayden dan berjalan keluar dari penjara Coldingley ini.
“If I ask you to stay, will you tell me you will stay?”
Langkahku mendadak berhenti. Suara serak, berat, dan dalam yang terdengar di belakangku begitu menggoda akal pikiranku untuk berbalik dan memeluknya. Namun, tolol kuadrat namanya bila aku sampai menuruti pikiran pendek itu. Jadi, aku terus berjalan menjauhi Jayden tanpa menoleh.
Tidak sampai sedetik kemudian, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Langkah-langkah kaki lain menyusul. Berikutnya, teriakan-teriakan dari Jayden dan petugas polisi pun bersahut-sahutan.
“I beg you, Berlian Melody. Please don’t go. Don’t leave me. Jangan pulang ke Jakarta. Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji nggak ninggalin aku.”
“Hei, kau tidak boleh ke sana! Batasmu hanya sampai di sini!”
“Tunggu, lepaskan aku! Aku butuh bicara dengan istriku!” teriak Jayden dengan aksen British aneh. Suara besi dari borgol terdengar bergesekan. Tahanan-tahanan lain dan tamu mereka di sekitarku pun menolehku. Dan Jayden kembali berteriak, “Melody! Baby, jangan pergi! Kenapa kamu jadi kayak gini? Ini pasti gara-gara mantan tunanganmu yang nyuci otakmu itu, kan? Seneng, Mel, kemarin habis berduaan sama mantan tunanganmu? Apa kalian mengenang masa lalu sampai lupa kamu udah punya suami?”
Jayden sudah keterlaluan!
Akhirnya aku berbalik menghadapnya yang dicekal petugas polisi penjaga. Lalu aku balas berteriak, “Rupanya kamu emang mata-matain aku!”
Rahang Jayden mengeras. Kedua alisnya hampir menyatu di pangkalnya. Bibirnya dengan bagian ujung yang sobek menipis. Urat-urat di dekat luka yang mengering pada pelipisnya pun bermunculan. Ia bergerak gelisah seperti banteng siap menyeruduk bendera merah sewaktu berseru, “Wajar! Aku suamimu! Apa yang bisa aku lakuin selain mata-matain kamu selagi aku di sini?”
“Kamu bisa berakhir di sini itu gara-gara kamu sendiri! Kenapa kamu seolah-olah nyalahin orang lain?”
“Lepaskan aku, sialan!” Jayden menyentak-nyentak tubuhnya hingga pegangan polisi itu terlepas. Lalu ia menderap ke arahku. Semestinya aku takut, tetapi ajaibnya tidak. Emosiku yang terpancing oleh Jayden membentuk kekuatan untuk menghadapinya dengan gagah berani.
“Siapa juga yang nyalahin orang lain? Aku lagi bahas prilakumu! Kamu itu istriku, Mel! Bisa-bisanya kamu pergi berduaan sama pecundang itu!”
Aku mendorong dada Jayden sekeras yang kubisa. “Lalu gimana sama prilakumu sendiri? Jangan nasihatin aku soal perilakuku kalau kamu sendiri berprilaku kayak gini! Dan jangan sekali-kali kamu mata-matain aku lagi atau nyelakain Umar!”
“Wah! Hebat benar dia bisa belokin pikiranmu sampai kayak gini, Mel!”
“Dia nggak nyuci otakku! Kamu sendiri yang bikin aku kayak gini! Jadi, jangan sekali-kali bikin perhitungan sama dia! Karena kita sama-sama tahu di penjara atau enggak, kamu bisa ngelakuin itu ke Umar!”
Rupanya, perkataanku sukses membuat aura Jayden kontan menggelap berkali-kali lipat. Ia menunduk dan menatapku dengan tatapan mata penuh intimidasi. Seringai mengerikan melekuk di bibirnya kala mendesis, “Kalau gitu, sekalian, Mel. Mumpung kamu tahu aku bisa ngelakuin sesuatu ke dia meski aku sekarang lagi di sel tahanan khusus dengan kedua tangan diborgol. Jadi, tunggu aja. Lihat apa yang bakalan terjadi sama mantan tunanganmu itu. Itu akibatnya karena udah berani ngusik aku dan nyuci otakmu yang statusnya masih istriku! Dan akan selamanya jadi istriku!”
Aku menaikkan dagu untuk menantang Jayden sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Kalau kamu beneran ngelakuin itu, kamu monster! Kamu monster mengerikan dan keji! Kamu tahu, aku jadi sadar, emang lebih baik aku keguguran daripada bayiku hidup dan punya ayah pengintimidasi, pemeras kayak tiran, penyiksa, dan pembunuh keji kayak kamu!” teriakku begitu kencang sampai suaraku bergema di seluruh penjuru ruang kunjungan penjara ini.
Detik itu pula, aku langsung menyesali perkataanku karena melihat Jayden seperti kehilangan kata-kata. Ia mengaga dan wajahnya melunak. Tatapannya yang semula dingin, tajam, dan penuh intimidasi kini berubah menjadi tatapan terluka. Pandangannya lantas turun ke borgol di kedua tangannya lalu menatapku kembali. Ia pun mengangguk-angguk pelan. Jakunnya naik dan turun pertanda sedang meneguk ludah.
“Gitu rupanya. Aku paham sekarang,” bisiknya masih sambil mengangguk. Suaranya yang rendah dan pilu menusuk-nusuk hatiku.
Aku berusaha mengatakan sesuatu untuk merevisi kalimatku, tetapi mulutku seakan-akan baru saja diberi lem superkuat. Di satu sisi, otakku yang jahat berkata Jayden pantas mendapatkannya.
Jayden kembali menukas, “Maaf, udah nempatin kamu di posisi kayak gini. If you feel so bounded by me and all I’ve done, I give you freedom. Jangan khawatir, aku nggak bakal mata-matain kamu lagi atau bikin perhitungan sama Umar. Jaga kesehatanmu dan hiduplah dengan bahagia, Mel.”
Aku seperti baru saja dibanting dari gedung tertinggi di dunia hingga pecah berkeping-keping.
Apa maksudnya itu? Apa maksud Jayden mengatakan itu padaku?
Aku menyesal, sungguh menyesal karena telah mengatakan kata-kata menyakitkan itu kepada Jayden. Namun, lagi-lagi setan berbisik bahwa Jayden pantas menerimanya.
Aku linglung dan menolak memikirkan lebih jauh maksud dari kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut Jayden.
Petugas polisi yang tadi sempat tertegun melihat pertengkaran kami akhirnya kembali menjalankan tugasnya menggeret Jayden. Kali ini suamiku tidak memberontak. Dengan kepala ditundukkan dan menatap kosong borgol di tangannya, Jayden mengikuti polisi itu menuju pintu baja yang menghubungkan ruang kunjungan dengan gedung sel tahanan.
Tiba-tiba pandanganku buram karena terhalang genangan air mata. Tubuhku bagai disiram seember air dingin. Berikutnya setetes air mata menggelincir di pipiku ketika aku tidak berkedip melihat punggung Jayden kian menjauh. Tanpa menolehku sama sekali, ia pun menghilang di balik pintu baja yang kini telah ditutup polisi penjaga itu.
Padahal sebelum memberanikan diri kemari, aku sudah bertekad. Apa pun yang akan terjadi ketika aku berkunjung ke sini, aku tidak akan menangis. Aku sudah sangat lelah melalukannya. Belakangan ini aku sangat cengeng bila menyangkut Jayden. Mataku selalu bengkak karena terlalu sering menguras air mata. Oleh sebab itu aku berdandan agak tebal hari ini agar terlihat baik-baik saja di mata Jayden. Aku pun berpakaian lebih longgar dan kedodoran agar jari-jariku yang diperban Umar tidak dilihat Jayden.
Namun, rupanya dengan sangat kurang ajar satu isakan lolos sebab menyadari kata-kataku telah sangat menyakiti Jayden. Aku buru-buru mengusapnya kasar dan mengangkat dagu bak orang sombong agar tidak terisak. Beberapa kepala yang duduk di kursi hijau ruang kunjungan masih menolehku, tetapi aku tidak peduli. Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku keluar dari gedung penjara ini.
Ketika menuruni undakan fasad gedung yang mengarah pada parkiran mobil, kaki-kakiku terasa lembek seperti jeli. Aku harus berpegangan pada pagar batu bata setinggi pinggangku yang mengapit undakan itu agar tidak terperenyak. Sayangnya, tidak berhasil. Secara perlahan tubuhku merosot hingga duduk di salah satu undakan. Kemudian aku menenggelamkan wajah di antara lulut yang kutekuk sambil menggigiti perbanku. Lalu aku membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya.
Tidak lama dari itu, seorang pria menepuk pundakku dan bertanya, “Are you okay?”
Aku ingin berteriak pada orang itu bahwa aku tidak sedang baik-baik saja. Belakangan ini hidupku kacau. Sangat kacau.
“Apa ada seseorang yang menemanimu ke sini?” tanya orang itu lagi.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan suara familier menjawab pertanyaan orang tadi. “I’m with her, Sir.”
Umar Al-Khareem—yang tadinya mengantarku ke sini dan menungguku di mobil selama aku menemui Jayden—lantas memegangi kedua lenganku dan menuntunku kembali ke mobil. Aku malu, tetapi tidak bisa menghentikan tangisku yang mirip bayi.
“Are you okay, Mel? Apa yang terjadi di dalam tadi? Apa dia nyakitin kamu lagi?” tanya Umar setelah aku berhasil menghentikan tangisku bermenit-menit kemudian.
Aku tidak ingin menjawabnya. Karena kenyataannya akulah yang menyakiti Jayden dengan kata-kataku. Kemudian, suamiku membebaskan aku serta berjanji tidak akan memata-mataiku dan mencelakai Umar.
Bukankah itu sudah cukup bagus? Kenapa aku sama sekali tidak bisa menghilangkan kepedihanku?
“Tolong anter aku ke bandara sekarang. Aku pengin pulang ke Jakarta, Umar.”
“Mel .... Kamu belum jawab pertanyaanku. Apa dia nyakitin kamu lagi?”
“Tolong jangan sekarang, Umar. Aku nggak pengin diinterogasi. Aku cuma pengin pulang ke Jakarta,” kilahku tanpa melihat pria itu.
Umar tidak bicara lagi dan menuruti keinginanku. Sepanjang perjalanan dari penjara menuju bandara Bowl, aku diam sambil menggigiti perban. Beberapa helainya sobek, kukuku sontak terlihat dan menjadi sasaran gigiku.
“Mel, jangan gigit perban dan kukunya. Itu udah hampir lepas.”
Aku menghiraukan Umar dengan menatap ke luar jendela yang menyuguhkan lanskap kota dipenuhi pohon dengan dedaunan berwarna kuning. Banyak di antara pohon tersebut berguguran sesuai musimnya. Di sepanjang promenade, orang-orang mengenakan baju tebal hangat. Beberapa orang terlihat mengobrol. Kabut tipis keluar dari mulut dan hidung mereka.
Dalam keheningan yang membungkam mulut, aku mengambil kalung Max dan iseng menyalakan radio mobil. Lalu seorang wanita pembawa acara di radio itu berkata, “Sampai saat ini, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terhadap sindikat Jayden Wilder untuk mengumpulkan bukti lebih banyak atas dugaan keterlibatannya dalam insiden kebakaran hotel Four—”
Suara radio itu berhenti karena dimatikan Umar tanpa berkomentar apa pun.
Hatiku lagi-lagi tertusuk mendengar berita itu. Aku membuang pandangan ke luar jendela. Salah satu gedung di jalan Shaftesbury memiliki layar besar yang biasa digunakan untuk papan reklame. Kini, layar besar itu menampilkan berita penangkapan Jayden di Danau Bouldish. Dan aku tidak sanggup lagi harus melihat ke mana atau mendengar sesuatu. Di sepanjang jalan kanan dan kiriku ramai oleh berita tersebut. Aku merasa kepalaku seakan-akan hendak meledak sebentar lagi apabila terus dijejali berita itu.
Aku memejamkan mata rapat-rapat sambil menutupi telinga untuk menjaga diri dari kegilaan ini. Hingga 45 menit kemudian, aku merasa mobil yang kami tumpangi berhenti. Secara perlahan, aku membuka kedua mata dan menyingkirkan tangan dari masing-masing telingaku. Napas lega tertembus dariku kala mendapati mobil Meggy yang dipinjam Umar ini rupanya sudah terparkir di parkiran bandara.
“Kamu yakin, Mel?” tanya Umar.
“Ya,” jawabku tegas dan tanpa ragu meski tidak lantang.
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto kecintaan zeye
Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy
Well, you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻
Senin, 29 Agustus 2022
Remake and repost: 30 September 2023
Repost: Minggu, 20 Oktober 2024
Repost: Selasa, 22 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top