Chapter 3 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 3

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Aku berharap kita bersahabat sampai kita mati, lalu aku berharap kita bisa tetap menjadi teman hantu, berjalan menembus tembok dan menakut-nakuti orang.”

—Jayden Wilder

____________________________________________________


Musim panas
Dolomite, Italia, 29 Mei
Pukul 10.23

“Oh My God! This is the best healing I ever do!” teriak Melody. Kepalanya dikeluarkan dari jendela jip sewaan.

Sambil menyetir, sesekali aku melihat wajah Melody—yang didongakkan—diterpa siraman cahaya mentari. Rambut ekor kudanya menari-nari oleh buaian angin.

Pemandangan sepanjang jalan yang kami lalui begitu menakjubkan. Jalan setapak yang masing-masing di samping kanan dan kirinya berpagar pembatas kayu setinggi pinggang ini memang sedikit terjal. Namun, terbayar oleh pemandangan indah hamparan luas rerumputan hijau kekuningan berlatar belakang Gunung Dolomite berpuncak salju.

Dari sisi kiri, biri-biri terlihat berlarian menuruni lereng. Ada juga rumah-rumah, penginapan-penginapan, dan hotel-hotel yang mulai sering kami jumpai. Jarak antar bangunan-bangunannya sangat renggang.

“Syukurlah kalau kamu suka. Hati-hati, Baby,” ucapku.

Melody malah mengeluarkan tangan kanan untuk merasakan angin. Kelihatan sekali sangat bersemangat dengan tempat ini.

Tidak mengherankan. Meski musim panas, cuaca di sini tidak mirip di negara empat musim pada umumnya. Udara di pegunungan memang cenderung sejuk.

Setelah puas bermain-main, Melody kembali duduk dengan benar. “Thank you so so so so much, Baby,” tuturnya sambil memandangku dengan senyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum setimpal.

Tidak lama kemudian kami tiba di hotel Majon Baticher. Aku check in dan bellboy membantu membawa barang bawaan kami ke kamar. Setelah memberinya tip, aku mengunci pintu serta menekan tombol peringatan tidak ingin diganggu.

Kamar ini luas. Salah satu suite terbaik hotel ini. Begitu masuk akan disambut dapur kecil beserta meja makan. Dindingnya kokoh dan berjendela lebar. Saat melangkah lebih dalam, aku melihat kamar yang sebagian dindingnya berbahan kaca dan berbalkon menghadap langsung ke pegunungan.

Aku menyusul istriku ke kamar dan melihatnya terpekur sesaat. Pandangannya mengarah pada kelopak-kelopak mawar merah berbentuk hati di kasur yang sangat kontras dengan seprai putihnya. Dua angsa berciuman yang terbuat dari handuk duduk di tengah-tengah kelopak-kelopak itu. Ia pun menatapku yang secara perlahan melingkarkan lengan-lenganku pada tubuhnya.

“Udah seminggu lebih, udah nggak sakit, kan?” bisikku di pelipis Melody dengan tujuan menggodanya.

Ia tertawa kecil dan tampak jelas pura-pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraanku. “Apa maksudnya ini? Kenapa ada kelopak-kelopak mawar?”

“Sebenernya aku pesen lilin, sih, buat persiapan kita ngepet entar malem,” bisikku lagi, “nggak tahu, kok, dikasih kelopak-kelopak bunga mawar. Mungkin dua angsa itu yang disuruh jaga lilin.”

Melody sontak memukul lenganku sambil protes, “Ih! Ngaco bener!”

“Ya udah kalau gitu nggak jadi ngepet.” Tanganku terangkat dan meraih rahangnya, sementara wajahku lebih menunduk. Bibirku mencari-cari bibirnya. “Kalau gitu buat hiasan honeymoon aja. Gimana menurutmu?”

Melody mengangguk sambil ber-oh. “Honey moon berkedok healing.”

Aku setengah mendengkus dan menarik bibir membentuk senyum rikuh. Kubenamkan wajah di pundaknya untuk menyembunyikan rasa malu. “Apa pun sebutannya, intinya honeymoon. Jadi, udah nggak sakit, kan?” ulangku sekaligus membelokkan topik ke jalur yang benar. Memastikan bahwa apa yang akan kuperbuat padanya tidak memberi rasa sakit di fisiknya.

Melody bergumam, pura-pura berpikir keras yang pada akhirnya menjawab, “Yap.”

Jantungku mengentak lebih kencang akibat satu kata itu. “Berarti boleh?” yakinku sekali lagi.

Diberi lampu hijau dengan anggukan, aku membalik tubuh Melody menghadapku lalu mulai menginvasi bibirnya dengan bibirku. Tanganku yang bebas menarik kuncirnya hingga terlepas. Menyebabkan rambut hitam berkilau cokelat Melody terurai. Aku menyusupkan jari-jariku ke rambut bagian belakang kepalanya. Tanganku yang lain menariknya, memangkas jarak yang terbentuk di antara kami.

Melody memejam. Sambil berjinjit dan mengalungkan kedua lengannya di leherku, ia berusaha mengimbangi ciumanku yang kian dalam dan menuntut. Melody mengerang secara erotis kala aku menjelajahi area perasannya, mencari-cari indra pengecapnya untuk kuajak berdansa. Erangan itu menyulut seluruh saraf di sekujur tubuhku untuk menegang.

Sejenak, kami menjauhkan diri guna mengambil oksigen. Kemudian saling membantu menanggalkan sweter hitam berkerah tinggi couple yang kami kenakan. Aku lantas kembali menyerang bibirnya menggunakan bibirku sementara tanganku terampil membuang sisa kain yang melekat pada tubuh bagian atas istriku.

Kuturunkan ciumanku ke leher Melody. Kuisap kuat dan kugigit kecil permukaan kulit halusnya guna menciptakan tanda kepemilikan berupa warna merah keunguan. Mahakaryaku.

Setelah menyingkirkan sepasang handuk bentuk angsa, aku merebahkannya ke kasur dan tubuhku menjulang di atasnya. Satu tanganku menumpu beban tubuhku. Tanganku yang lain merayap ke salah satu keindahan tubuh bagian atasnya. Aku menekannya agak kuat sehingga erangan erotis istriku kembali membelai indra pendengaranku. Meningkatkan badai gairah yang tersulut. Makin membuatku bersemangat menguasai jiwa dan raganya hingga kami sama-sama mendapat kenikmatan surga dunia.

•••


Musim panas
Dolomite, Italia, 30 Mei
Pukul 08.23
 
Sudah dua kali aku ke Pegunungan Dolomite. Pertama, untuk menenangkan diri dari kekacauan yang pernah kubuat saat berusaha merebut Melody dari mantan tunangannya yang kujuluki Zain Malik KW 60. Kedua, bulan madu bersama istriku sekarang—entah bisa disebut demikian atau tidak karena beberapa anggota klan Davidde yang kupimpin menjagaku dari jarak-jarak tertentu tanpa sepengetahuan Melody dan aku amat berterima kasih kepada Nicolo. Kalau bukan karena kesaktiannya mencari-cari tiket perjalan kemari di waktu mepet, aku mungkin tak bisa menjalankan rencana bulan madu ini.

Dan, kendati sudah kedua kalinya kemari, aku masih merasa takjub dengan pemandangan the Great Dolomites Road yang kami lewati.

Kadar oksigen di sini melimpah ruah. Sejauh mata memandang, panorama yang disajikan benar-benar masih sangat asri dan begitu memanjakan pengelihatan. Laksana surga bumi. Mungkin karena itulah destinasi wisata ini mendapat julukan tersebut seperti Teanau, sebuah kota di Selandia Baru.

Pikiranku yang semula kusut akibat dijejali berbagai urusan pekerjaan dan segala macam hal yang harus kuselesaikan dalam waktu seminggu, plus rasa bosan terhadap pemandangan hiruk-pikuk kota besar yang bisa menjadikanku sinting sewaktu-waktu pun tentram kembali. Aku senang karena Melody sependapat.

“Baby, lihat itu ada kuda!” seru Melody sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. “Tolong minggirin mobilnya. Ayo turun bentar,” pintanya untuk kesekian kalinya.

Aku pun menepikan jip, mematikan mesin lalu turun dan mengikuti Melody ke pagar pembatas yang memagari beberapa kuda. Dua jip yang ditumpangi anak buahku juga terlihat berhenti dengan jeda waktu dan jarak lumayan jauh, tetapi masih bisa dijangkau oleh pengelihatanku.

“Di sekitar sini ada peternakan kudakah? Nggak mungkin ini kuda liar, kan? Lihat, deh! Mereka jinak banget,” tukas Melody sambil mengelus wajah salah satu kuda yang kepalanya didekatkan pagar.

“Mungkin. Bisa jadi punya peternak. Kuda liar nggak mungkin ditaruh pedok[3] kayak gini,” balasku yang melihat-lihat sekitar. Mencari-cari barang kali ada bangunan yang bisa kuidentifikasi sebagai peternakan kuda. Berhubung daerah ini jalannya menanjak dan menurun, aku jadi tidak bisa melihat ke balik jalan-jalan tersebut. Jadi, tidak tahu apakah memang ada peternakan kuda atau tidak.

Oleh sebab itu, aku lantas mengikuti Melody mengelus mereka. Ia malah berkata, “Baby, boleh aku minta sesuatu?”

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Bisa kamu tahan posisimu bentar kayak gini? Aku mau ngambil foto,” pinta Melody.

Jadi, selain memotret pemandangan, Melody juga merangkap sebagai juru foto dadakan khusus memotretku dengan latar belakang apa pun yang menurutnya oke. Lebih-lebih saat ia berhasil membujukku mengenakan kaus putih.

Katanya, aku berkaus putih—yang tidak sengaja ditemukannya terselip di lemari dan dikemasnya kemari—itu peristiwa langka bin ajaib sehingga patut dilestarikan dan wajib diabadikan di setiap momen keren.

Hm .... Kenapa statusku jadi mirip badak cula satu, orang utan Kalimantan, penyu belimbing, beruang kutub, dan flora ataupun fauna lain yang dilindungi balai konservasi?

Tidak hanya kaus putih yang Melody minta untuk kukenakan. Ketika kami mengggosok gigi bersama di depan wastafel tadi pagi, ia juga melarangku mencukur kumis dan jenggot.

Ya sudah. Sudah pernah kukatakan bahwa sebagai kaum buciners sejati, apa lagi yang bisa kulakukan selain membuat istriku senang dengan menuruti kemauannya? Jangan sampai Melody ngambek. Bisa-bisa aku disuruh tidur di kandang Max. Hi … merinding, Besty ….

Melody membidik kameranya padaku yang menyandarkan kepala di pagar dengan tangan masih mengelus-elus salah satu kuda bersurai cokelat.

Sebetulnya aku tidak menyangka kalau kuda ini lumayan jinak. Pasti para peternak sangat menyayangi mereka dengan merawatnya sebaik yang bisa dilakukannya. Mungkin juga karena turis-turis sering berjumpa dengan mereka sehingga membuat kuda-kuda tersebut terbiasa berhadapan dengan manusia dan tidak menganggap kami sebagai ancaman.

“Keren banget!” seru istriku.

“Aku atau kudanya?”

“Ketiganya keren.”

“Ketiganya? Perasaan pilihannya dua doang, Oneng.”

“Kesatunya kamu, keduanya kuda, ketiganya yang motret, dong …,” balas Melody tidak mau kalah. Alisnya hampir menyatu di pangkalnya dan bibirnya dikerucutkan mirip paruh bebek.

Dasar Melody! Ia memang hobi membuatku gemas. Boleh tidak kalau kuuyel-uyel sekarang juga? Atau barangkali ia mau kuajak bercocok tanam secara ugal-ugalan lagi? Ehe …. Harap maklum. Kami honeymoon, Cuy …. Pikiranku pasti tidak jauh-jauh dari proses berkembang biak untuk menghasilkan keturunan—yang ditunda.

Melody mengganti wajah cemberutnya menjadi tersenyum puas saat melihat hasil jepretannya di layar DSLR yang menggantung di lehernya. Sayangnya senyum itu hanya bertahan beberapa detik. Sebab pada detik yang lain, ia kembali menekuk wajah manisnya yang diterpa angin sejuk. Setelahnya, ia juga merajuk, “Harusnya tadi kita beli wortel atau apel gitu buat kasih mereka makan.”

“Kita mana tahu bakal ada kuda di sini?” Aku mengangkat bahu ringan. Dulu saat kemari, aku sedang galau. Jadi, tidak fokus melihat jalanan lantaran hanya ingin menyendiri dengan berkemah di dekat sungai di lereng gunung. “Coba kita cari di internet. Siapa tahu ada peternakan kuda di sekitar sini.”

Binar bahagia sontak membingkai wajah Melody. “Aku mau banget ke sana kalau misal beneran ada. Kayaknya seru. Sini! Biar aku aja yang nyari.”

Aku membiarkan Melody lebih mesra dengan ponselnya untuk mencari tahu ada atau tidaknya peternakan kuda di dekat sini. Ketika melihat senyum di wajahnya ditarik lebih lebar, aku sudah paham.

“Ayo,” ajakku sambil merangkul bahunya.

Aku membukakan pintu depan untuknya. Ketika menutup pintu tersebut, aku mengangguk pada dua orang anak buahku. Mereka lantas masuk jip sewaan mereka masing-masing dan mulai mengikutiku berkendara. Satu jip ada di depanku dan jip lain di belakangku.

“Bener ini jalannya?” tanyaku untuk kelima kalinya dalam setengah jam. Pasalnya aku merasa jalan yang ditunjukkan Melody berputar-putar.

Melody menjawab ragu. “Bener, kok. Udah bener. Navigatornya juga bilang ke kanan, kan? Tadi kamu denger sendiri, kan?”

Aku tidak yakin. “Iya, aku denger. HP-nya taruh konsol depanku aja, biar enak aku lihatnya.”

“Eh, jangan! Kamu lagi nyetir, fokus aja di jalan. Biar aku yang baca peta,” tolak Melody.

Aku tahu sebenarnya tujuan Melody itu baik. Namun, aku merasa kami tersasar. Singkat kata, istriku tidak bisa membaca peta. Sudah tidak bisa memasak, sekarang tidak bisa membaca peta. Istri idaman.

Sudah hampir satu jam kami berkendara dan tidak kunjung tiba di peternakan kuda. Padahal kata Melody, GPS memprediksi perjalanan ini hanya membutuhkan waktu dua puluh menit. Jadwal kami yang semula ingin ke Funivia jadi terhambat gara-gara ide dadakan ke peternakan yang menghabiskan jauh lebih banyak waktu ketimbang perkiraan kami.

“Kayaknya kita emang nyasar, deh,” keluh Melody sambil menggigiti kukunya. “Maaf, ya, Jayden.”

Aku hanya bisa mengembuskan napas berat serta menegaskan, “Nggak usah sedih, anggep aja kita jalan-jalan. Toh, pemandangannya keren. Kita bisa ke Funivia besok.” Lalu aku mendaratkan bibir di punggung tangannya yang kuambil dari mulutnya yang masih menggigiti kuku, lalu kusita.

“Maaf, ya, Baby.” Sekali lagi Melody merengek kemudian menyerahkan ponselnya padaku yang lantas kuletakkan di konsol depan setir.

Aku rasa itu merupakan ide terbaik melebihi kejeniusan Albert Einstein. Buktinya tidak sampai sepuluh menit kemudian kami tiba di peternakan kuda dekat lereng gunung.

Kami memberi pakan kuda-kuda lebih dulu sebelum ditunggangi. Berhubung Melody tidak bisa menunggangi kuda sendiri, aku memintanya ikut bersamaku menaiki kuda sewaan yang kutunggangi sebelum berkeliling. Ada salah satu pengurus kuda yang mengikuti kami. Juga beberapa anggota klan Davidde. Omong-omong meski jip depanku tadi sempat terpisah jauh akibat tersasar, tetapi anak buah-anak buahku itu segera dapat menyusul.

Kami tiba di Danau Garda dan memutuskan turun untuk menikmati suasana sambil mengambil beberapa gambar. Barulah kembali ke peternakan.

Di hari berikutnya, seperti yang sudah direncanakan, kami menuju Funivia dan menaiki kereta gantung yang tidak beroperasi setiap hari sepanjang tahun. Kabarnya transportasi itu akan berhenti dioperasikan mulai musim gugur tahun ini sampai musim dingin tiba. Beruntungnya pengurus kuda kemarin memberi kami informasi tersebut sehingga kami sempat menaiki transportasi ini sekarang.

Kereta gantung ini sendiri bisa memuat sekitar selusin turis dari berbagai negara. Namun, aku lebih memilih gondola yang kapasitasnya jauh lebih sedikit. Sehingga, aku bisa berduaan dengan Melody. Sedangkan dua orang anggota klan Devidde berpencar di gondola depan dan belakang kami.

Dari ketinggian, kami bisa melihat pegunungan yang sangat indah. Sebelum lanjut menjajal paralayang dan hiking ke lembah hijau lainnya, kami makan siang di restoran AlpiNN yang terletak di puncak gunung tidak jauh dari pemberhentian gondola.

Well, tidak bisa lebih keren lagi, menurutku.

Sayangnya kami harus pulang ke Summertown dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Melody dengan tesis dan buku-buku tebalnya. Sedangkan aku, berusaha mencari pengganti consigliere terdahulu.

Sejujurnya, sangat sulit mencari penasihat ahli di bidang hukum yang dapat dipercaya dan memiliki mental serta fisik sekuat baja. Sekaligus memiliki kemampuan menganalisa serta mengerjakan sesuatu secara efisien.

Sembari mencari, aku juga melakukan pendataan ulang anggota klan Davidde menggunakan cara baru, yakni dengan tato berupa cap jari menggunakan darah dari masing-masing anggota di kulit kepala bagian belakang. Bentuknya menyerupai sidik jari. Sebab aku tidak ingin ada penyusup lagi seperti tahun lalu atau klan Devidde akan menjadi lebih sibuk karenanya. Walau tidak bisa menampik bahwa penyusup tidak hanya datang dari musuh, tetapi sering kali dari kubu kita yang berkhianat. Ibarat musuh dalam selimut.

Kondisi klan Devidde sekarang benar-benar sedang kesulitan. Beberapa posisi penting dalam organisasi ini kosong; consigliere, informan, caporegime[4] Summertown dan caporegime Manchester.

Tito Alvarez selaku wakil MOB Boss alias wakilku juga tidak ada di sini sebab kuminta menjadi asisten kakak perempuanku sekaligus menjaganya di Jakarta. Namun, aku bersyukur karena pendataan ulang anggota klan, semua orang kepercayaanku datang ke Summertown. Termasuk Tito, Liam sang caporegime Summertown, Spencter sang caporegime Manchester, dan Dahlia sang informan.

“Udah lama gue kagak ke sini,” celoteh Tito si kadal buntung sambil menyulut rokok. Pesawatnya baru tiba hampir tengah malam dan ia langsung ke kantor The Black Casino and Pub Summertown.

“Cewek-cewek pada nyariin lo, tuh,” balasku. Lalu melanjutkan memeriksa daftar calon consigliere yang diberikan Liam.

“Gue udah tobat.”

“Bull shit,” tanggapku dengan nada datar, tak terlalu ambil pusing. Mataku tetap fokus ke berlembar-lembar kertas yang kupegang.

“Serius. Bisa dibilang gue jatuh cinta, Bos.”

“Bull shit kuadrat.” Kuanggap si kadal buntung satu ini sedang kesurupan jin tomang.

“Tapi susah banget dapetin dia. Herder-nya galak, Cuy,” keluhnya.

“Herder? Anjing beneran atau lakinya maksud lo?”

“Bukan anjing beneran dan bukan lakinya. Tapi saudaranya.”

“Saudaranya kayak anjing, dong? Galakan mana sama mertua gue?”

Gerakanku berhenti untuk menatap Tito yang tiba-tiba terbahak-bahak sampai rebahan di sofa depan meja kerjaku. Jelas sekali ia menertawakan bagaimana sepak terjangku dalam meminta restu menikahi Melody.

“No comment kalau buat Om Baldwin, Tante Amanda sama Brian. Bay the way, Bos. Lo kagak lupa besok ultahnya bini lo, kan? Yang Mulia Ratu Jameka ama orang-orang udah pada ribut pengin ngasih surprise dari kemarin, tuh. Kok, jam segini lo masih anteng-anteng aja?”

Berengsek! Aku lupa! Dan jam berapa sekarang?

Aku cepat-cepat melihat jam di pergelangan tanganku. Pukul sebelas lewat lima puluh. Sialan!

“Kenapa lo kagak ingetin gue dari tadi, To?” gerutuku lalu buru-buru bangkit. “Ayo ikut gue.”

“Lah … situ yang lakinya. Kenapa jadi gue yang repot?” protes Tito sambil mengikutiku keluar ruangan tanpa Liam. “Awas aja kalau kagak lo restuin.”

Langkahku kontan berhenti, “Maksud lo? Restuin apaan?”

“Kagak, lo salah denger kaleee … gue bilang rokok gue ketinggalan. Maklum, musik kelab di atas kenceng banget.”

_______________
[3] Lapangan tertutup (dipagar) tempat mengumpulkan ternak, biasanya di tempat-tempat pacuan kuda

[4] orang yang ditunjuk untuk memimpin sebuah grup atau kru, yang terdiri dari 10-12 orang tedanmemilikejumlah besar rekanan dibawah pengawasannya.

___________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote komen atau benerin typo-typo

It’s mean a lot to me

Bonus foto kecintaan zeye Jayden Wilder

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Minggu, 3 Juli 2022

Remake: 2 November 2022

Repost: Minggu, 3 September 2023

Repost: Rabu, 9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top