Chapter 27 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 27

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Menyangkal kebajikan dunia Anda, penjahat tanpa harapan setuju untuk mengatur alam semesta terlarang. Mereka setuju untuk tinggal di dalamnya. Udara di sana mual: mereka bisa menghirupnya.”

—Jean Genet

____________________________________________________

Musim gugur
London, 21 Oktober
Pukul 08.20

Dari luar Royal Courts of Justice, sejauh mata memandang, kilatan-kilatan kamera yang nyaris membutakan pengelihatan serta bersumber dari gerombolan wartawan memenuhi atmosfer fasad gedung itu. Suara-suara pemburu berita tersebut menciptakan kebisingan. Gerakan-gerakan mereka penuh kekuatan saat berusaha menerjang palang-palang pembatas.

Sayangnya, daya upaya mereka tidak seratus persen berhasil. Petugas-petugas polisi yang tangkas berteriak kencang, meminta kepada mereka untuk memberi jalan. Semangat orang-orang berseragam serta bersenjata lengkap itu pun terpicu lebih untuk menarik, juga mendorongku agar makin cepat memasuki gedung di hadapan kami.

Kendati situasi di sekelilingku tidak terkendali, nyatanya justru dirikulah yang memegang kendali utuh dengan ketenangan. Euforia keberhasilanku melempar Cavez ke neraka menghapus ingatan di mana dan situasi macam apa yang sedang kuhadapi saat ini.

Setelah detik berganti menit. Menit berganti jam.  Malam berganti fajar hingga cahaya mentari menerjang. Masih sangat segar ingatanku tentang momen tadi malam.

•••


Musim gugur
Danau Bouldish, 20 Oktober
Pukul 23.32

Aku terlambat menembak karena telingaku mendengar satu tembakan lebih dulu melesat ke etalase samping, persis sebelah kiri anak buahku. Tembakan lain mengenai lampu lain. Plafon pun ikut menjadi sasaran. Hasilnya jebol dan debu yang berterbangan menghalau pengelihatan.

Beruntungnya anak buahku berhasil menghindari peluru tersebut. Maka, segera kubidik etalase tempat si penembak bersembunyi, lalu kutembak sekali lagi. Sayang sekali hasilnya meleset. Kaliberku malah nyasar ke kulkas bagian samping. Botol-botol kaca minuman kontan pecah berkeping-keping dan berhamburan di lantai.

Melalui handsfree, aku memerintah, “Liam, bereskan orang-orang ini.”

“Aku sudah mengabari yang lainnya dan sekarang menuju ke sana, Bos.”

Terdengar suara tembakan dari luar. Kupikir Liam telah datang bersama tentara-tentaranya. Sayang sekali dugaanku keliru. Orang-orang kembali menjerit akibat beberapa pria berjas hitam yang tak satu pun kukenal, melesak dari pintu masuk sambil menembaki ke segala arah. Banyak produk berjatuhan dari etalase dan beberapa kaca lemari pendingin sayur serta daging juga terkena imbasnya.

Kuarahkan moncong revolverku ke pria yang paling dekat denganku. Satu peluru menyasar di jantungnya. Pria yang sangat kentara keturunan Italia itu roboh. Debu-debu di sekitarnya berterbangan. Darah segar mengalir ke lantai.

Baku tembak menjadi tak terelakkan. Kendati aku bersama seluruh anak buahku yang ikut misi ini mengenakan rompi antipeluru, tetap saja masih ada bagian dari tubuh kami yang bisa dikoyak kaliber dengan mudah. Sehingga membuat kami harus ekstra berhati-hati.

Tembakan masih terus berlangsung. Di tengah kebisingan itu, seorang pria berteriak kencang karena kesakitan. Lalu seorang wanita juga berteriak, “Tolong .... Suamiku tertembak .... Seseorang ..., siapa saja ..., tolong ..., telepon polis—”

Belum rampung wanita itu bicara, sang suami berteriak, “Tidak! Jangan istriku! Tidak! Kenapa kalian menembak kepalanya?” Tangisnya makin kencang, tetapi tidak selang satu detik tangisan itu berhenti setelah suara tembakan bergema. Asumsiku pria itu tertembak dan tewas seketika.

Kaliberku habis, bertepatan dengan Liam yang berkata, “Kami sudah di sini. Aku meminta beberapa orang kita masuk lewat belakang untuk mengeluarkan Anda, Bos.”

Di waktu yang sama, aku melihat penjaga kasir yang duduk di bawah meja kasir gemetaran mengambil ponselnya. Maka dari itu aku berinisiatif, “Liam, panggil ambulans dan polisi.”

“Apa? Polisi?” ulang Liam.

“Ya! Biar mereka yang menangani warga sipil.”

“Tapi bagaimana kalau kita ditangkap?”

“Urusan belakang! Siapkan saja pazzo[11],” Kadang-kadang aku tak suka Liam yang banyak pertimbangan ketika mandat dariku turun untuknya. Lagi pula ini situasi di luar rencana kami yang sudah tersusun matang dan sebisa mungkin tanpa melibatkan orang yang tidak berkepentingan. Kami bahkan memilih tempat eksekusi dan memberi banyak sekali uang untuk pihak-pihak terkait.

“Baik, Bos. Omong-omong tentara-tentaraku sudah masuk.”

“Awas! Tiarap, Bos!” teriak salah satu anak buahku dari samping kiri dan aku langsung melakukannya. Peluru melesat dan menyasar tepat di etalase sampingku.

Anak buahku itu lantas menuntaskan tugas menembak pria yang baru saja melepas pelurunya ke arahku. Tentara-tentara Liam datang dan membasmi musuh. Maka, dari sanalah aku bisa keluar dari situasi ini dan melanjutkan perjalanan.

“Cavez sudah pindah ke Stag Bar,” lapor Spencter melalui handsfree ketika sedikit lagi aku mencapai daerah tersebut.

“Aku akan ke sana secepatnya,” jawabku.

“Baik, Bos. Kami akan membereskan tentara-tentara mereka di luar gedung dulu.”

Lima menit selanjutnya aku sudah memarkir mobil rongsok ini di lahan parkir Stag Bar. Dari luar tampak sepi karena telah disewa Cavez sepenuhnya, sesuai informasi yang diberikan Dahlia. Tidak ada penjaga. Pasti telah ditangani Spencter dengan baik. Untuk memastikannya, aku bertanya pada Spencter. “All clear?”

“Clear, aku akan menjadi bayanganmu, Bos.”

Liam menyahut, “Aku berjaga di sekeliling luar bar.”

“Oke,” balasku.

Jika tahun lalu aku mengenakan pakaian ala turis backpacker, kini aku mengenakan pakaian layaknya mafia sejati lengkap dengan topi fedora hitam. Dan setelah mengisi revolver dengan kaliber sampai penuh serta menyetel senjata itu untuk siap digunakan, aku meluncur dari mobil kemudian masuk Stag Bar secara hati-hati.

“Akhirnya, kau datang juga, Wilder. Aku cukup terkejut karena kau datang sendirian. Mana dua caporegime andalanmu yang ikut andil ingin membunuhku itu? Kenapa mereka tidak ikut seperti di Hotel Four Season London tahun lalu?” tanya Cavez secara mengejutkan sebab kupikir bedebah ini tidak tahu aku kemari.

Ia duduk di kursi bar bersebelahan dengan Fayard. Di belakang mereka, seorang bartender muda sedang mengelap gelas berulang kali hingga licin dan mengilap. Hanya ada kami berempat di ruangan luas dengan lampu temaram tanpa musik ini. Aku pun sudah masuk hitungan.

Sudah pernah kukatakan sebelumnya bahwa aku tidak suka dan juga tidak pandai berbasa-basi. Berhubung beberapa kejanggalan di Stag Pub terlihat jelas, maka aku tidak lantas buru-buru melakukan niatku sebenarnya.

Aku berjalan penuh percaya diri dan duduk di sebelah bedebah itu. Di waktu yang sama, lagi-lagi Cavez meledek, “Seperti biasa, kau sangat percaya diri. Datang ke sini sendirian di saat amarahmu belakang ini sangat buruk. Kenapa kau tidak belajar dari pengalaman, Wilder? Kenapa aku begitu mudah memancingmu?”

Senyum miring terakit di bibirku. Setelah melihat Cavez, aku memanggil bartender. “Tolong berikan aku segelas bloody mary.” Kemudian aku kembali menghadap Cavez. “Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Siapa bilang aku mudah terpancing? Buktinya aku tidak sedang emosi sekarang.”

“Hahaha .... itu karena kau ketakutan,” sahut Fayard tengil. “Kau ingin bernegosiasi dengan kami, bukan? Makanya dengan santainya datang kemari.”

Aku terkekeh. “Begitu rupanya dugaan kalian.” Kemudian kukeluarkan sebatang rokok dan membakar ujungnya menggunakan pemantik. “Lalu bagaimana? Kalian mau bernegosiasi atau tidak?”

“Sebenarnya, aku akan menganggap urusan kita selesai kalau kau memberiku file CCTV bea cukai dan sedikit dari wilayah bisnismu,” aku Cavez setelah menyesap minumannya.

Aku pun merokok sesantai mungkin. “Kenapa kau sepertinya butuh sekali bukti CCTV itu?”

“Tentu saja untuk memusnahkan bukti. Siapa tahu rekanmu bernama Erlang Eclipster itu akan melaporkanku ke polisi.”

Aku mengembuskan asap rokok ke udara. “Apa karena itu kau mengacak-acak rumahku?” Di waktu bloody mary-ku sudah di meja, aku memegang dan membawanya mendekat ke bibir. “Dan anak buahmu menodongkan pistol ke pelipis istriku?”

“Ya Tuhan, ternyata kau masih lemah gara-gara seorang wanita,” gerutu Cavez sembari menyesap minumannya. “Lagi pula, kami tidak melukainya. Hanya menakutinya sedikit agar situasi kondusif.”

“Apakah kalian sudah lupa pada peraturan mafia?” teriakku yang tanpa basa-basi membenturkan gelas itu ke kepala Cavez sampai pecah berkeping-keping. Darah segar di beberapa titik pun sontak bermuculan.

Masih belum cukup puas melihat Cavez kesakitan, aku menyudutkan rokokku ke pipinya yang penuh lemak. Tembakan dari atas sontak melesat mengenai botol-botol di rak belakang meja bar. Aku terpaksa berlindung di mejanya bersama bartender. Cavez yang kesakitan pergi sambil mengumpat-ngumpat. Sedangkan yardies yang notabene berada di kubuku itu bersembunyi di balik pilar dan mengeluarkan revolver untuk membidik si Cavez, tetapi aku segera berteriak, “Dia bagianku, Fayard! Jangan coba-coba mengambilnya!”

Akhirnya Fayard mengarahkan moncong senjata apinya ke atas, ke tempat si penembak berada. Ia menembak beberapa kali dan berhasil merobohkan dua orang anak buah Cavez. Dua pria dempal itu jatuh dari lantai atas.

“Sepertinya klan Donzalo mengerahkan lebih banyak anggotanya untuk menjebak Anda,” komentar bartender itu yang yang merupakan senjata rahasiaku. Ia merupakan salah satu anggota yardies.

Bartender mengeluarkan revolver dari bawah meja bar. Kemudian ia menembaki penembak-penembak dari kubu lawan kami. Terdengar tembakan dari luar dan kabar dari Liam. “Cavez dan anak buahnya naik mobil, Bos.”

Di waktu yang sama, Fayard juga berteriak, “Kerjalah si tua Bangka itu, Wilder. Aku dan anak buahku akan mengatasi bagian sini.”

Berkat bantuan mereka, aku berhasil keluar pub lalu cepat-cepat masuk mobil Liam. Spencter mengikuti dari belakang dan masuk mobilnya. Berhubung yang menyetir bukan Liam, melainkan ada seorang sopir yang tergabung dalam tentara Liam, aku lantas memintanya menembaki ban mobil Cavez. Kemudian terjadilah aksi tembak-menembak sambil kejar-kejaran hingga ke Danau Bouldish.

Beberapa mobil SUV hitam lain berdatangan. Aksi tembak-menembak pun kembali terjadi dan peperangan antar klan tidak lagi bisa terhindarkan.

Apabila tadi aku lupa mengenakan sarung tangan hitam ketika memegang revolver, kali ini tidak. Sambil mengendap-endap, aku turun dari mobil untuk mencari Cavez. Pria itu mengagetkanku dengan kemunculannya yang tiba-tiba menembak. Untungnya meleset. Namun, kekagetan itu membuatku tidak sengaja menjatuhkan senjataku. Meski selayang pandang, aku sempat melihat Cavez bersembunyi di balik mobilnya.

Aku pun menggunakan kesempatan itu untuk mengambil senjataku. Sayangnya, seorang pria anak buah Cavez terburu menubrukku. Liam membantuku mengamankan pria itu sehingga aku fokus kembali ke Cavez yang rupanya sedang mengisi kaliber ke revolver.

Di bawah langit bermandikan cahaya bulan dan bintang, aku berhasil melayangkan satu tinju ke pipi Cavez hingga pegangannya pada revolver kendor dan akhirnya benda itu jatuh di dekat kaki kami.

Kami lantas terlibat perkelahian cukup sengit tanpa senjata. Untungnya posisi kami agak jauh dari orang-orang klan yang bertarung menggunakan senjata tajam dan senjata api. Angin musim gugur yang bisa menggertakkan gigi di tengah malam tak sedikitpun menjadi penghalang kami.

Cavez berhasil memberiku bogem di pelipis, hidung, serta sudut bibir. Di saat aku kesakitan, ia berhasil meraih revolvernya kembali serta memompa benda itu dengan cepat.

Secepat yang kubisa pula, aku memeluk pria itu kemudian mengarahkan moncong revolver dalam genggamannya ke lehernya. Dengan senang hati, aku membantu pria itu menekan pelatuk. Tepat setelah bunyi tembakan tersebut, polisi datang; hal yang tidak kuperhitungkan sebelumnya. Kami sampai baku tembak di Danau Bouldish dan tidak ada anak buahku yang melapor padaku soal polisi. Seandainya aku lebih jeli, pasti akan kugunakan pazzo lebih banyak untuk membungkam aparat. Seperti insiden di minimarket pom bensin tadi.

Orang-orang bubar untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Aku melihat sekitar danau. Banyak tubuh terapung. Aku khawatir dua di antara mayat-mayat itu adalah Liam dan Spencter.

Situasinya menjadi tidak terkendali ketika banyak polisi menyergapku. Saat mereka menyeretku, aku melihat Cavez yang berlinang darah digotong petugas penyelamat. Mata dan mulut pria itu terbuka sedikit. Dengan kepala bocor sampai otaknya berhamburan, sudah pasti nyawanya melayang.

Setelah diringkus, aku langsung dibawa ke kantor polisi terdekat. Sebagai awal prosedur pemeriksaan, polisi memintaku telanjang, membuka mulut, dan memeriksa semuanya. Kemudian aku yang telah berpakaian lagi, dimasukkan ruang interogasi.

Tidak ada ventilasi di ruangan sempit itu. Dindingnya dicat putih seluruhnya, tetapi ada bagian yang terbuat dari cermin. Kata Liam dan Spencter yang dulu pernah diinterogasi, cermin itu sebenarnya tembus ke ruangan yang dipenuhi petugas-petugas lain yang ahli dalam bidangnya masing-masing; ahli psikologi kriminal, ahli pembaca raut wajah, gerak-gerik, dan lain sebagainya. Hanya saja aku tak bisa melihat mereka.

Ada satu meja dan dua kursi berseberangan di bawah lampu gantung yang terletak di tengah-tengah ruangan. Dengan tangan diborgol, aku diminta duduk dan diharapkan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh seorang penyidik.

“I know you,” kata seorang polisi berperut buncit dan berkumis tebal dengan lagak sok. Ia berjalan hilir mudik mirip setrika. Beberapa detik kemudian ia berhenti, menghadapku, lalu menunduk sambil menunjuk-nunjukku. “Sudah lama kami mencarimu.”

Aku tak bisa menahan geli. “Mencariku? Aku tak pernah bersembunyi. Kau bisa menemukanku di mana pun kalau memang niat mencariku.”

“Kau!”

“Kenapa kau mencariku?”

“Karena kau-lah dalang di balik kebakaran besar di Hotel Four Season London!” Wajah pria itu yang semula mendelik jadi mirip kertas diremas alias makin kusut. Ia pun tak menggubris perkataanku. “Tapi kali ini, akan kupastikan kau tidak akan bisa melihat musim gugur lagi!”

“Aneh sekali. Kalau kau yang menangani kasus kebakaran itu, kenapa sekarang ada di sini dan mengejarku atas kejadian barusan? Itu namanya personal. Hukum tidak boleh personal. Kalau personal, setiap orang yang kau benci, sudah bisa dipastikan akan kau penjarakan.”

“Dasar kurang ajar! Mereka memindahkan aku karena mengira mengada-ada soal dirimu!” bentaknya. “Dan suatu kebetulan aku menangangimu lagi! Inilah yang disebut takdir, Wilder.”

“Aku turut prihatin. Sayang sekali kau salah duga.”

“Sudahlah! Tidak perlu basa-basi! Cepat katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi kali ini?”

“Coba tebak saja.”

Pria itu menggebrak meja. “Jangan macam-macam denganku, Wilder!”

Lagi-lagi aku tak kuasa menahan geli. “Aku tak melakukan apa pun padamu. Orang-orangmu melihatku di cermin itu. Tanganku bahkan diborgol. CCTV ruangan ini ada lima dan semuanya menyorot ke kita. Bagaimana mungkin aku bisa macam-macam padamu?”

Berhubung pria itu murka, jadi ada temannya yang menggantikannya menginterogasi aku. Sayangnya mau sampai kapan pun, mau seberapa banyak penyidik pun, mau mereka menggunakan alat penyiksa jenis apa pun, mereka tak mendapatkan satu pun informasi dariku tentang apa yang terjadi. Aku membukam mulut karena berpegang teguh pada omérta.

Dan meskipun seharusnya ada prosedur-prosedur lain sebelum aku resmi dijadikan tersangka, aku tak tahu kenapa bisa langsung dilempar ke Royal Courts of Justice.

•••


Musim gugur
London, 21 Oktober
Pukul 10.46

Mereka memasukkanku ke penjara selagi menunggu tim penyelidik mengumpulkan bukti-bukti terkait peristiwa ini.

Perlu mereka ketahui bahwa aku tidak takut dipenjara karena yakin mereka tidak akan bisa menemukan bukti. Liam mematikan CCTV pub itu. Paling penting, tidak ada sidik jariku di revolver Cavez atau senjata-senjata lain yang bergeletakan di pinggir danau.

Aku juga berencana menyuap wartawan yang saat ini masih asyik memburu wajahku. Aku juga yakin, tanpa diperintah pun, anak buahku tidak akan membiarkan wartawan-wartawan itu menampilkan berita heboh ini ke media masa. Jangan sampai Melody melihatku.

Sore harinya, Dahlia datang. Petugas polisi mempersilakanku keluar dari sel untuk mengobrol dengan wanita itu. Kami pun duduk di ruangan khusus dengan penjagaan superketat.

“Katakan padaku apa yang terjadi,” pintaku tidak sabaran.

Masih dengan penampilan sama seperti tadi malam, Dahlia mengatakan, “Klan Donzalo memberitahu media tentang identitas Anda. Kami sudah mencoba meredakan ledakan berita ini. Tapi, tetap tidak bisa sepenuhnya. Jadi ....”

“Jadi apa?” tuntutku dengan perasaan tidak enak.

Dahlia kelihatan ketakutan. “Maafkan aku, Bos. Istri Anda sudah sempat melihatnya.”

Detik ini juga, egoku runtuh. Aku seperti diinjak-injak kaki tak kasat mata sampai remuk redam luar dan dalam. Di titik ini, aku bagai dibanting-banting agar sadar. Bahwa, aku bukan Tuhan yang bisa mengendalikan situasi sesuai kehendakku. Selalu ada pengecualian dalam hidup.

“Bagaimana dia sekarang?” tanyaku dengan nada lemas dan cemas.

“Istri Anda syok. Lalu ..., lalu ..., keguguran.”

“Apa kau bilang?” teriakku bagai disambar petir sampai gosong.

“Pagi ini istri Anda muntah-muntah. Dia mengira alergi kambing dan kacang. Lalu memintaku membawanya ke rumah sakit. Rupanya, istri Anda sedang hamil. Dia begitu senang sampai kondisinya yang semula lemas seperti mendapat suntikan semangat. Aku mendapat laporan dari resepsionis poli kandungan kalau istri Anda pergi ke Dokter Sofia sendirian untuk memeriksakan kandungannya.

“Lalu ... seorang pasien sedang melihat berita Anda dari ponsel. Dan istri Anda yang di sebelahnya melihatnya. Padahal begitu mendapat laporan tentang ini, aku langsung menelepon resepsionis poli kandungan. Tapi kami terlambat. Istri Anda lalu syok dan pendarahan. Dan ... Dokter Sofia harus membersihkan kandungannya,” papar Dahlia.

Jantungku rasanya seperti ditusuk-tusuk. Sakit sekali.

Apa gunanya aku menyingkirkan Cavez dari muka bumi demi ketenangan semua orang, tetapi harga yang kubayar harus semahal ini? Bahkan tak tergantikan.

Apakah aku salah? Apakah ini akibat aku tidak patuh pada petuah Papa? Apakah aku terlalu congkak dan menganggap remeh semua hal? Bahwa, semuanya bisa kukendalikan?

“Apa kau tahu jenis kelamin anakku? Apa dia laki-laki? Atau perempuan?” tanyaku yang ingin sekali mengobrak-abrik kantor polisi ini lalu pergi menemui Melody. Istriku pasti terpukul sekali.

Dahlia menyampaikan, “Maaf, Bos. Setahuku, umur awal kehamilan belum bisa dideteksi jenis kelamin bayinya. Enam bulan ke atas baru bisa. Tapi aku tak tahu lagi kalau para ilmuan sudah menemukan penelitian lebih dalam.”

“Aku harus menemui istriku. Kau harus mengeluarkanku dari sini.”

“Memang itu yang coba kami lakukan. Kami berusaha menghubungi Salvatore Luciano tapi belum mendapatkan respons. Kabar buruknya, aku baru mendapat informasi kalau rupanya beberapa waktu lalu, Cavez sudah melaporkanmu atas dalang dari insiden kebakaran besar di Hotel Four Season London. Jadi, proses pengeluaran Anda dari sini sedikit sulit.”

“Berengsek! Kirimkan karangan bunga untuk pemakamannya! Tulis kalau aku sangat bahagia atas terlemparnya dia ke neraka!”

_______________
[11] Uang tutup mulut: Italia

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun

Kelen luar biasa

Bonus foto suami zeye

Bonus foto Jameka

Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy

Well, you next chapter teman-temin

With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻

Jumat, 26 Agustus 2022

Remake and repost: Rabu, 27 September 2023
Repost: Minggu, 20 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top