Chapter 24 [Berlian Melody]
Selamat datang di chapter 24
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Jangan mencari sakit hati atas inisiatif sendiri. Menurutku itu konyol.”
—Berlian Melody
____________________________________________________
Musim panas
Cambridge, 6 Agustus
Pukul 12.30
Betapa malunya ....
Gara-gara terlalu fokus kepada diri sendiri, aku sampai lupa hari pernikahan kami yang pertama. Istri macam apa aku ini? Sudah tidak bisa memasak, tidak bisa membaca peta dengan baik, sekarang aku lupa hari penting itu sampai melewatkannya.
Jayden memang berkata, “Nggak apa-apa. Aku juga ingetnya baru-baru ini. Makanya langsung ngosongin jadwal.”
Namun, tetap saja aku menganggap Jayden pasti hanya membesar-besarkan hatiku agar aku tak menyalahkan diri sendiri hingga taraf rajin menggigiti kukuku. Untuk menghormatinya, aku menyetujui ajakannya makan siang di kemudian harinya.
Waktunya memang mepet. Namun, di jeda waktu itu aku berusaha mencari kado terbaik menurut versiku, untuk kami.
Berhubung tidak ingin diributkan soal kendaraan, Jayden merekrut Nicolo menjadi sopir dadakan yang mengantar kami ke jalan Hills, Cambridge. Pria itu pun memarkir mobil di bahu jalan, tepat di depan sebuah masionatte berlantai empat dengan restoran Al Pomodoro di lantai terbawah.
Ketika aku celingukan memperhatikan bangunan lawas bercat oranye pucat itu, suamiku membukakan pintu untukku. Setelah aku turun dan mengucapkan terima kasih pada Jayden, gantian kami yang mengucapkan terima kasih pada Nicolo.
Kami dibukakan pintu dan disambut seorang pramutamu. “Buon pomeriggio,” sapa pemuda tersebut dengan senyum cemerlang. Dari segi fisik dan bahasa yang digunakan, ia jelas keturunan Italia.
“Atas nama Wilder,” balas Jayden dalam bahasa Inggris berlogat British.
Pemuda tersebut lantas mengantarkan kami ke meja yang dipesan Jayden. Letaknya di depan lukisan pegunungan batu di hamparan gurun. Besar lukisan itu hampir memenuhi dinding yang catnya senada dengan luar gedung.
“Bukan untuk dua orang?” tanyaku bingung begitu melihat meja makan panjang dengan beberapa kursi saat Jayden memundurkan salah satunya agar aku bisa duduk; salah satu sikap gentleman Jayden yang aku sukai.
“Ya, ada orang yang bakal gabung sama kita,” jawab Jayden setelah resmi duduk di samping kursiku.
Ya! Kau tidak salah baca. Jayden duduk di samping kursiku. Padahal kupikir ia akan duduk di depanku, lalu kami bisa beradu pandang secara eksklusif. Rupanya tidak. Aku yakin tamu undangan Jayden-lah yang akan duduk di depan kami.
Jadi, dengan agak jengkel karena merasa ini tidak sesuai dengan jalur yang tepat, aku pun bertanya, “Bukannya seharusnya ini anniversary kita? Maksudnya ini kita lagi kencan berdua, kan? Kenapa ada orang lain? Dan kamu duduk di sampingku. Bukan di depanku.”
Apa aku terlalu ribet karena agak mempermasalahkan ini? Maksudku, ayolah .... Ini ulang tahun pernikahan kami.
“Emang bener,” jawab Jayden lugas.
“Terus?” tanyaku makin tak mengerti. Seharusnya ia tidak mengajak orang lain. Sekali lagi kutekankan bahwa ini merupakan perayaan ulang tahun pernikahan kami—yang tertunda. Mestinya cukup aku dan Jayden—suami dan istri yang sah di mata agama serta hukum. Sebab kami belum menambah jumlah anggota keluarga. Lalu kenapa Jayden malah mengundang orang lain? Dan siapa orang itu?
Belum puas menerka-nerka siapa orang yang diundang dan alasan apa Jayden mengundangnya, suamiku itu malah memberikan jawaban sok misterius yang malah kian menambah rasa penasaranku.
“Kamu bakal tahu nanti.”
“Hm ..., selalu, deh,” protesku sembari memutar bola mata malas.
Pramutamu pergi—aku baru sadar ia pasti memelototi aku yang berubah jadi cerewet. Lalu tak lama kemudian, pramusaji datang membawa dua buku menu yang masing-masing dibagikan kepada kami. Aku melihat-lihat menu tersebut, cukup tertarik dengan nama dan gambar hidangan Italia. Semuanya kelihatan menggugah selera makan. Sementara Jayden tidak. Ia menaruh buku menu—yang baru saja diterimanya—di meja dan langsung memesan menu kepada pramusaji yang siap mencatat di tablet dalam genggamannya.
“Seperti biasanya,” pesan Jayden.
Setelah aku menyebut satu set menu pesanku kepada pramusaji, aku baru bertanya kepada Jayden. “Kamu langganan di sini?”
“Iya, sebelum kita nikah. Aku langganan makan di sini,” jawabnya.
Apa Jayden ke sini bersama teman kencannya yang mirip Barbie tan skin berdandan menor seperti yang kutemui di taman Summertown dulu? Kendati Jayden telah menceritakan bahwa wanita itu bukanlah siapa pun baginya, hanya seorang wanita yang kebetulan mampir ke kelab malamnya dan minta dibelanjakan, kuharap tidak.
“Mikir apa?” tanya Jayden tiba-tiba yang membuatku cukup tersentak.
Tentu saja aku berkelit. “Oh, nggak mikir apa-apa, kok ....”
“Kok, sampai kelipet-lipet gitu jidatnya?”
“Emang udah tua aja. Jadi, wajar udah kelipet-lipet,” balasku spontan.
“Muka kayak gitu tua? Terus aku yang kayak gini apa? Fosil? Atau temuan pra-sejarah?”
Tawaku mengudara. Sambil menutupi mulut, aku menggeleng-geleng. Itu agak merilekskan pikiranku.
Memang ada garis-garis yang terbentuk di sepasang mata Jayden. Ketika ia tersenyum atau menyipit, garisnya lebih tegas. Namun, setelah kuamati lebih saksama, garisnya agak kentara sewaktu Jayden berwajah datar. Yah, ia memang sudah mulai menua. Begitu juga denganku. Dan aku senang karena kami menua bersama.
“Jangan mikir aneh-aneh, Baby. Kalau kamu khawatir sama keriputmu, entar aku yang bayarin operasi plastikmu,” sambung Jayden sembari memegang pipiku dan mengusapnya lembut.
Tawaku mengudara lagi. “Astaga, ada-ada aja. Lagian aku nggak ada niatan buat operasi plastik. Biar kita tua sama-sama.”
“Saat ini mungkin belum. Kali aja suatu saat pengin. Siapa tahu kamu kayak Jameka. Lihat satu jerawat di mukanya kayak lihat hantu. Dia kayaknya lebih takut sama jerawat daripada sama hantu. Gimana lihat wajahnya keriput? Ckckck! Nggak nyadar umur,” cibir Jayden sembari menggeleng-geleng. Itu sikap normal antar sesama saudara kandung. Seperti aku dan Kak Brian.
“Tiap orang, kan, beda-beda, Baby. Omong-omong dari dulu aku malah iri sama Kak Jame. Badannya bagus banget sampai sekarang. Mukanya juga belum nunjukin tanda-tanda penuaan. Bener-bener menjaga badan sama muka.”
“Perasaan biasa aja. Setahuku dia perawatan. Tapi nggak terlalu jaga pola hidup sehat sekarang. Tapi dulu iya.”
“Mungkin gara-gara sibuk banget. Tapi wajar, kan? Kak Jameka yang mimpin Heratl sekarang. Lagian, kayak kamu jaga pola hidup sehat aja, Baby. Kalau nggak ada aku, kamu mungkin masih suka begadang terus. Nggak nabung tidur kalau mau lembur.”
“Makanya aku butuh kamu,” tandas Jayden dengan nada serius. Lalu entah kenapa ia malah kembali ke topik awal. “Jadi, kamu mikir apa?”
“Astaga, aku nggak mikir apa-apa, kok.”
“Yang bener?”
“Beneran.”
Aku tidak ingin mengutarakan apa yang kupikirkan. Bagaimanapun hari ini perayaan ulang tahun pernikahan kami yang tertunda. Aku tidak ingin ada masalah untuk ke depannya, atau aku akan sakit hati akibat pikiranku sendiri yang tidak berlandasan kuat itu.
Yap! Jangan mencari sakit hati atas inisiatif sendiri. Menurutku itu konyol.
Berhubung sepertinya Jayden belum puas dengan jawaban yang kuberi, ditandai dengan tatapannya yang belum berpindah dariku, jadi aku memilih topik lain.
“Sebenarnya aku udah nyiapin kado untuk hari ini. Tapi kadonya tergantung kamu mau atau enggak,” pungkasku.
Jayden malah bertanya, “Jadi, itu yang lagi kamu pikirin sampai dahinya kelipet-lipet?”
“Iya, itu yang aku pikirin,” balasku yang tak bohong. Itu memang fakta, tetapi ada fakta lain yang kusembunyikan.
“Kalau itu yang kamu pikirin .... Aku, kan, udah pernah bilang nggak pengin apa-apa selain kamu sama aku terus, gimanapun kondisi kita.”
“Itu udah pasti. Apa lagi yang bikin kamu ragu, Baby?”
Aku memilih membiarkan diriku hanyut dan jatuh cinta lagi kepada Jayden saat seharusnya menjaga hati ketika menjadi tunangan Umar. Aku masih bertahan saat Jayden mengamuk di rumah sakit Jakarta dan menekan lengan serta pundakku kuat-kuat. Di saat ekonominya agak merosot, aku masih menemaninya serta berusaha membantunya semampuku. Kendati aku tahu gajiku sebagai internis tidak ada apa-apanya dibandingkan penghasilan Jayden. Aku bertahan saat ia mengamuk dalam kondisi dikendalikan alkohol meski sempat bersembunyi darinya. Lalu sekarang di saat kami belum dikaruniai anak, aku juga masih di sini, bahkan tengah memikirkan bagaimana caranya untuk cepat hamil.
Aku tak tahu kenapa Jayden kerap kali menekankan hal tersebut dengan wajah dan nada suara amat serius. Lagi pula selain telah mengikrarkan sumpah pernikahan, aku juga sudah berjanji pada mendiang Papa untuk bersama Jayden selamanya, bagaimanapun kondisinya.
“Aku takut kamu kabur lagi.”
Kabur lagi? Acara kaburku yang mana yang dimaksud Jayden? Yang dulu sekali sebelum aku bertemu lagi dengannya atau yang kemarin aku kabur darinya yang mabuk?
Aku baru membuka mulut hendak melontarkan pertanyaan, tetapi Jayden terburu kembali ke topik awal. “Omong-omong, apa kado itu? Another Melody’s Magic Cards?” tebaknya, “well, I’ve used all of those cards.”
“Bukan,” balasku pasti, kemudian mengusulkan sesuatu yang kubalut dengan penjelasan secara pelan serta hati-hati. “Kita, kan, udah nikah setahun lebih dan belum punya anak. Maksudku, kita emang sepakat nunda punya anak. Tapi sekarang, kan, udah nggak nunda lagi karena kuliahku udah kelar. Barangkali kamu mau, gimana kalau kita coba konsultasi sama dokter spesialis tentang program kehamilan? Nanti kesuburan kita bakal dicek. Kalau ada kendala kita bisa sama-sama atasi atau upaya lain. Mungkin inseminasi buatan, surogasi, atau program bayi tabung?”
Jayden mengembuskan napas agak berat. Bibirnya menipis sedikit dan ia memejamkan mata pelan sesaat. “Baby, kejadian kamu kabur sampai ke rumah Meggy itu salahku. Aku beneran minta maaf soal itu. So, I don’t wanna force you so badly. I just need you to by my side. Nothing else. Terserah kita mau dikasih anak kapan. Atau enggak pun nggak masalah. Menurutku, inseminasi buatan, surogasi, atau program bayi tabung kayak maksa kita banget.”
Aku tak menyangka kalau Jayden bisa tepat menganalisa kaitan antara usulku dengan insiden mengamuknya. Sebagai seorang istri dengan kontribusi amat sedikit dalam rumah tangga ini, aku pun ingin berperan lebih. Penyesalannya yang mendalam telah menggetarkan nuraniku untuk berani mengusulkan hal tersebut. Bagaimanapun, dulu aku telah mengusulkan untuk menunda kehamilan dan Jayden menyetujuinya. Sekarang jika aku belum kunjung hamil, kupikir aku harus mengambil tanggung jawab lebih banyak.
Jadi, aku berusaha menerangkan dengan bahasa yang cukup logis. “Itu tergantung perspektif, Baby. Menurutku dan yang aku rasain, usul-usulku enggak maksa aku sama sekali. Kita udah nikah, aku juga udah kerja sesuai sama jam yang kamu tentuin. Heratl udah lumayan bangkit dan kamu nggak dipanggil terus-menerus buat jadi konsultan nggak resmi.
“Properti-properti kamu juga udah stabil, lumayan rame. Aku juga belum kepikiran ambil kuliah lagi. Maksudku, mau apa lagi yang kita kejar? Aku rasa konsultasi ke dokter spesialis itu bagus. Tapi aku nggak bakal maksa kamu. Makanya tadi di awal aku bilang itu tergantung kamu. Mau atau enggak. Tapi kalau kamu enggak mau, aku juga nggak bisa maksa.”
Belum sempat Jayden memberikan pendapat tentang penjelasanku, kami kedatangan seorang pria Italia berjas hitam yang menenteng tas kerja. Jayden menyapa dengan menjabat tangan pria itu—yang tak lain ialah tamu Jayden—dan mempersilakannya duduk di depan kami. Suamiku lantas mengenalkan kami.
“Baby, ini Signor[10] Salvatore Luciano.” Jayden beralih ke rekannya tersebut. “Signor Luciano, ini istriku.”
Signor Luciano menjabat tanganku secara formalitas. Jayden pun memanggil pramusaji untuknya. Sedangkan aku melihat-lihat ke sekeliling restoran sembari kembali menerka-nerka kira-kira kenapa ada orang Italia lain duduk di meja kami. Selain itu aku juga tidak heran di jam makan siang ini meja-meja di seluruh penjuru restoran tampak penuh. Suara dentingan-dentingan alat makan dan obrolan mereka memenuhi atmosfer ini. Beberapa meja pun ditempati orang-orang keturunan Italia. Sebagian kecil tidak.
Berbeda dengan Signor Luciano yang belum kuketahui maksudnya diundang Jayden ke dalam hari ulang tahun pernikahan kami yang ditunda, di restoran Italia ini pasti banyak orang-orang Italia yang merantau atau yang berimigrasi ke negara ini. Mereka pasti ingin berkunjung lantaran merindukan kampung halaman. Seperti aku yang kadang-kadang pergi ke restoran Indonesia untuk makan makanan khas dari tanah kelahiranku itu untuk mengobati rasa rindu.
Pramusaji datang lagi membawa minuman pembuka. Berkaca dari kejadian sebelumnya, aku menyentuh lutut Jayden sebagai bentuk peringatan untuk jangan coba-coba menjajal anggur putih itu atau ia akan berakhir tidur di balkon. Beruntungnya Jayden mengerti.
Sembari menunggu pesanan datang, kami berbincang. Dan yang memulainya adalah Jayden. “Jadi, aku meminta Signor Luciano bergabung dengan kita karena ingin mendiskusikan sesuatu denganmu, Baby.”
“Mendiskusikan apa?” tanyaku menggunakan bahasa Inggris yang memang kami semua mengerti.
“Untuk anniversary kita ini, aku ingin membalikan nama semua propertiku jadi atas namamu,” balas Jayden yang jelas membuatku kaget. “Dan Signor Luciano selaku notaris yang akan mengurus berkas-berkas kita nanti.”
“Betul, Ma’am,” sambung Signor Luciano. “Kalau Ma’am sudah setuju, saya akan langsung membuatkan dokumen-dokumennya sesegera mungkin. Dan dibutuhkan dua saksi untuk menandatangani berkas-berkas tersebut.”
Aku paham betul penjelasan dari Signor Luciano. Namun, untuk meyakinkan diri, aku bertanya kepada Jayden. “Are you sure about this?”
“A hundred percent sure.”
Oh Tuhan .... Aku sudah memiliki dua gedung atas namaku yang diberikan sebagai kado oleh Jayden. Aku bahkan tak perlu kerja keras untuk mengurusnya lantaran semua sistem yang terbentuk sudah diurus Jayden. Termasuk penunjukan kepala rumah sakit. Sekarang, aku malah akan menjadi pemilik semua gedung properti yang dimiliki Jayden.
“Ini nggak berlebihan, kan?” yakinku.
“Enggak. Ide bisnis properti itu, kan, idemu. Aku cuma ngembaliin sesuatu yang awalnya emang punyamu,” balas Jayden.
“Tapi aku cuma nyumbang ide. Sedangkan untuk biaya dan lain-lain, itu kamu semuanya, Baby.”
“Kayak yang kamu bilang. Ide itu nilainya mahal banget. Dan kupikir itu sebanding sama ini.”
Signor Luciano mengerutkan alis, tampak sekali tidak paham dengan apa yang kami perdebatan dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, kali ini kami seolah-olah menempatkannya menjadi obat nyamuk cap gajah.
“Tapi ini nggak sebanding sama kadoku. Kalau kamu nggak setuju sama kadoku, aku nggak punya kado cadangan. Intinya sama aja aku nggak ngado,” lirihku. Dengan kado yang timpang ini, aku justru merasa makin tak berguna. “Nggak sebanding,” ulangku.
Lagi-lagi Jayden menenangkanku dengan berkata, “Aku udah bilang. Aku cuma pengin apa pun yang terjadi, kamu tetep sama aku. Itu udah cukup. Buatku, itu kado edisi tak terbatas. Kayak yang kamu bilang juga. Aku pengin kita menua bersama.”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Secara impulsif, aku memajukan tubuh untuk memeluk Jayden. Suamiku membalasku.
Aku akhirnya menerima kado itu. Signor Luciano menjelaskan detail-detail yang sama sekali tak kumengerti sebab aku sibuk bahagia. Intinya, notaris tersebut akan datang lagi untuk memberikan berkas-berkas yang harus kami tandatangani. Ia juga mengingatkan untuk menyediakan saksi yang bisa diajak kerja sama. Aku hanya bisa menyebutkan Meggy sebagai saksiku dan Jayden memilih Tito. Jadi, Tito harus datang kemari.
Dalam perjalanan pulang, Jayden sempat menyinggung soal usul konsultasi ke dokter spesialis program kehamilan. Kalau boleh menilai, ia tampak cukup tertarik. Aku pun menjelaskan inti dari program tersebut berdasarkan pengetahuan yang kumiliki. “Tapi buat lebih jelasnya lagi coba kita konsul ke dokter ahlinya. Atau apa kita coba dulu aja jalanin program hamil yang sehat? Dari ngatur pola hidup kayak atur makan, olahraga, dan istirahat? Mungkin juga ada suplemen yang harus kita minum. Entar coba aku tanya-tamya dokter di rumah sakitku. Tapi balik lagi kita juga harus konsul ke dokter ahlinya.”
Jayden tidak langsung menjawab. Keherananku muncul saat pandangannya ke luar jendela sebentar, tampak sedang berpikir dengan napas agak berat lagi.
Sepertinya aku terlalu memaksanya dan entah kenapa menjadi serba salah. Di hari ia mengamuk, ia jelas sekali menginginkan anak. Namun, tadi ia menolak usulku. Beberapa saat barusan, ia tampak sedikit antusias. Sekarang kenapa jadi seperti kurang berminat?
“Jujur aja, Baby. Ini soal harga diri,” kata Jayden tiba-tiba.
“Harga diri?” ulangku tak paham.
“Masa kita harus pakai alat ini itu. Kan, lebih enak nananina.”
Aku memutar bola mata sambil mendesah keras. “Walaupun pakai alat buat ngambil sel telur—kalau sperma bisa manual, kita juga masih bisa nananina, Baby.”
“Masa?”
“Iya …,” selorohku.
“Masa? Kalau sekarang bisa nananina nggak? Soalnya mumpung deket hotel kita.”
“Dasar! Bilang aja lagi pengin! Padahal semalem udah, tadi pagi juga udah.”
“Loh, aku, kan, lagi berusaha bikin kamu beranak pinak. Usaha harus maksimal, dong.”
“Termasuk konsul ke dokter, kan?” singgungku.
“Bisa diobrolin entar. Yok!”
“Dasar!”
________________
[10] Tuan atau Pak: Italia
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto My twin
Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻
Selasa, 23 Agustus 2022
Remake and repost: Minggu, 24 September 2023
Repost: Sabtu, 19 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top