Chapter 22 [Berlian Melody]
Selamat datang di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody
❤️❤️❤️
___________________________________________________
“Sangat menyedihkan bila kau memiliki sahabat dan sahabat-sahabatmu tidak ada yang menyukai suamimu.”
—Berlian Melody
____________________________________________________
Musim semi
Clifton Hampden, 10 Mei
Pukul 13.45
“Masih kurang berapa pasien lagi?” bisikku pada Diana sembari menggoreskan stylus pen pada tablet di aplikasi yang khusus dibuat untuk mendata pasien. Aplikasi tersebut dapat diakses para dokter, perawat, dan staf medis lainnya untuk membaca ulang ataupun memeriksa tindakan lanjutan apa yang diperlukan, tergantung catatan dari dokter yang memeriksa.
Termasuk resep-resep yang kubuat dan sudah tercantum di aplikasi. Itu akan langsung masuk ke bagian farmasi sehingga akan langsung dibuatkan obat.
“Ini yang terakhir, Dokter Kareem.”
Mendengar jawaban Diana yang dikumandangkan dalam bentuk bisik-bisik juga, menjadikan gerakan tanganku berhenti sejenak. Aku memandangnya dengan sarat akan pertanyaan. Namun, wanita bergincu merah mentereng yang memeluk tablet serupa denganku itu membalasku dengan wajah tak mengerti.
Rampung mengeluarkan napas berat singkat untuk mengabaikannya, aku menuntaskan resep yang kutulis. Kemudian menjelaskan kepada wali serta pasien tentang kinerja obat-obat yang kuresepkan, lengkap dengan makanan yang baik untuk dikonsumsi ataupun tidak, hingga alternatif olahraga yang bagus untuk penyembuhan.
“Kalau masih ada keluhan, cepatlah ke rumah sakit. Jangan tunggu sampai parah, ya. Tapi aku berharap semoga kau lekas sembuh,” ucapku mengakhiri penjelasan.
Mereka lantas mengatakan terima kasih. Setelah mendengar balasanku, sepasang suami istri paruh baya itu keluar ruangan. Maka tinggallah aku dan Diana. Aku pun menggunakan kesempatan tersebut untuk merevisi panggilannya.
“Namaku Melody, Suster Diana.” Kemudian, aku mengeja, “Berlian Melody Wilder.”
Diana menggigit bibirnya sedetik. Lalu pada detik yang lain dahinya terlipat-lipat. Ia juga menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyum kaku. “Maafkan aku. Kebiasaanku memanggilmu Dokter Khareem. Kau tahu, aku penggemar berat kalian waktu itu.” Akhir kalimat, Diana melafalkannya dalam bentuk bisikan.
“Aku tahu. Maafkan aku karena mengecewakanmu soal itu. Maksudku, hampir setahun aku sudah menikah dengan Jayden Wilder. Seharusnya kau tidak memanggilku dengan nama belakang Umar lagi. Bagaimana kalau seandainya suamiku mendengarnya? Dia pasti akan sedih, Suster Diana.” Dan murka. Aku takut Jayden murka. Oleh sebab itu sebisa mungkin akau akan menjaga perasaan suamiku.
Aku tidak tahu kalau efek kalimatku pastilah sangat dahsyat karena dapat menjadikan wajah Diana kehilangan warna—kecuali warna bibirnya. Wajahnya pun tampak sangat ketakutan seperti baru saja melihat hantu di siang bolong. Yah, aku tidak kaget. Itu memang efek Jayden yang bermuka seram. Mungkin Diana membayangkan wajah ngamuk Jayden di rumah sakit dulu.
“Maafkan aku, Dokter Melody. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Tapi tolong jangan beritahu suamimu soal ini,” cicit Diana.
Sayangnya, aku masih belum ingin memaafkan Diana. Pasalnya, ia seperti ini tidak satu atau dua kali. Melainkan berkali-kali, selama hampir setahun ini. Dan aku sudah muak, tidak bisa berdiam diri lagi.
“Kalau kau terus-menerus memanggilku sepertu itu, aku juga akan terpaksa akan membela diri dengan memberitahu suamiku,” akuku jujur. Aksen British-ku jadi agak aneh saat mengucapkan kalimat terlogis yang bisa kupikirkan sekarang.
Tubuh Diana pun terhenyak. “Oh! Demi Neptunus, tolong jangan. Aku benar-benar tidak akan mengulanginya. Tolong jangan beritahu suamimu.”
Melihatnya ketakutan seperti itu, rasa iba tiba-tiba menyapaku. Aku pun mendengkus, kemudian menjawab, “Ya, aku memaafkanmu. Tapi tidak untuk lain kali.”
Diana mengerang lega. “Terima kasih. Kau memang baik hati. Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Wanita yang mengenakan seragam biru muda khas rumah sakitku itu pun buru-buru memindah bobot keluar ruang pemeriksaan. Padahal aku masih penasaran alasannya membenci Jayden. Apakah sama dengan Meggy?
Aku memutar kursi menghadap ke luar jendela. Musim semi sudah hampir berakhir. Cuaca di luar mengalami perubahan secara perlahan-lahan.
Kulepas snelli dan kusampirkan di lengan kursi.
Selama menikah dengan Jayden aku masih menyimpan kesedihanku seorang diri. Terutama mengenai hal ini. Maksudku, sangat menyedihkan bila kau memiliki sahabat dan sahabat-sahabatmu tidak ada yang menyukai suamimu. Meski mereka tahu kau begitu mencintai pria itu dan menikahinya sudah agak lama.
Anehnya, jikalau Meggy dan Diana tidak menyukai Jayden, kenapa mereka menerima tawaran Jayden untuk bekerja di sini? Apakah benar karena tawaran gaji lebih tinggi seperti kata Meggy? Namun, bukankah selalu ada tempat bekerja dengan penawaran gaji lebih tinggi? Mereka juga rela pindah ke Clifton Hampden agar lebih dekat dengan rumah sakit ini sama sepertiku. Its a lot of effort. Are theese worth it?
Dan, mereka tidak menceritakan bagaimana Jayden bisa membujuk mereka untuk bekerja di sini—selain iming-iming gaji tinggi. Kata mereka, itu rahasia.
Aneh. Ini terlalu aneh.
Suara roda-roda ranjang rumah sakit yang terdengar didorong di koridor pun membawaku ke alam nyata. Dari promenade Clifton Hampden yang dipadati pejalan kaki yang terpampang di luar jendela, pandanganku lantas berpindah pada pintu. Kemudian aku memutuskan mesterilkan diri dengan mencuci tangan di wastafel dan memakai antiseptik sebelum kembali ke ruanganku untuk menukar baju di lokerku.
Aku berjalan ke ruang dokter yang terletak di lantai satu. Ketika hendak membuka ruangan itu, aku tidak sengaja bertemu Meggy. Ia lantas membukakan pintu untukku. “Terima kasih,“ ucapku tulus.
“Sama-sama. Omong-omong, sejujurnya aku masih belum terbiasa melihatmu bekerja lebih dari tiga hari dalam seminggu. Dan sampai pukul dua siang.”
Setelah aku, Meggy lantas masuk. Satu set sofa berlengan warna hitam yang mengeliling meja kaca rendah menyambut kami. Tidak ada dokter lain yang duduk di sana. Aku menduga para dokter telah masuk ruangan masing-masing yang letaknya melingkari satu set sofa tersebut.
“Ya, aku belum bisa melupakan Max. Kalau terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian di rumah, aku pasti akan mengingatnya,” ceritaku pilu.
Tanpa janjian, kami berhenti sejenak di depan sofa. Meggy pun mengusulkan, “Kenapa kau tidak membeli atau mengadopsi anjing lain?”
Aku melirik kaktus kecil dalam vas di meja untuk berpikir sejenak. “Em ... sudah kubilang, aku belum bisa melupakan Max.”
“Sebaiknya kau meminta suamimu membuatkan kebun binatang agar kau cepat melupakan Max.”
“Kau ini ada-ada saja. Mana bisa seperti itu? Lagi pula, aku tidak ingin melupakan Max. Bagaimana mungkin aku melupakan anjing itu?”
Meggy yang berwajah lempeng kembali berkomentar, “Percayalah padaku. Suamimu akan menuruti keinginanmu. Dia kaya raya, ingat? Omong-omong, ponselmu berbunyi. Kurasa itu dia.”
Meggy pergi ke ruangan yang pintunya bertulisan namanya. Sementara aku buru-buru membuka ruanganku dan mengambil ponselku yang kuletakkan di meja kerja. Dan benar dugaan Meggy, Jayden-lah yang menelepon.
“Halo?” sapaku.
Di seberang sambungan telepon, Jayden berkata, “Aku di depan.”
“Selalu tepat waktu,” komentarku tanpa bisa mencegah senyum yang hadir di bibirku.
“Jangan lama-lama ke sininya, aku kangen.”
Astaga, kenapa mendadak jantungku jadi berdebar kencang dan pipiku memanas? Apakah ini respons normal dari salah satu jenis rayuan untuk usia pernikahan kami? Ralat, dari dulu sampai sekarang, pria ini selalu saja bisa membuatku rikuh dengan omongannya yang blak-blakkan.
Kabar buruknya, aku tidak bisa menggigiti kuku untuk meredakan betapa rikuhnya diriku. Dikarenakan baru saja selesai memeriksa pasien, sejujurnya aku takut kuman-kuman masih menempel di sana meski sudah mencuci tangan dengan sabun dan memakai antiseptik.
“Tahan bentar, aku segera ke sana, Baby,” jawabku.
Kututup sambungan telepon. Kemudian buru-buru pergi ke parkiran. Seperti biasa, Jayden yang menungguku sedang bersandar di sebelah pintu Rubicon dobel kabin hitamnya dengan penampilan emo. Ia terlihat tampan. Ehe ....
Omong-omong, sejak kematian Max dan Jayden mengizinkanku bekerja lima hari dalam seminggu, ia jadi lebih posesif daripada sebelumnya. Ia selalu mengantar-jemputku bekerja maupun ke mana pun. Padahal aku tahu ia sendiri juga sibuk.
Berhubung Jayden besok harus pergi ke Manchester untuk mengurus bisnis, ia mengajakku ke Movieland Wax Museum Niagara Falls yang sudah beberapa kali kusinggung. Banyak pengunjung memadati tempat itu dan antre berfoto dengan patung-patung lilin dari karakter Avenger maupun tokoh-tokoh superhero lain.
Jayden membawakan polaroid sehingga kami bisa langsung mendapat foto kami bersama para patung lilin atas bantuan pengunjung lain untuk memotret kami.
Malam harinya, kami makan di rumah, lalu menonton TV sebentar. Selanjutnya beradu keringat secara dewasa sampai larut malam. Keesokan harinya, aku merutuki diri sendiri lantaran terlalu nyenyak tidur sampai-sampai tidak tahu kapan Jayden berangkat.
Oh ya, selama Jayden di luar kota, aku dilarang keras bekerja dan pergi ke mana pun. Katanya, “Nggak ada aku yang anter-jemput kamu. Di rumah aja, ya? Biar aku nggak khawatir.”
Tentu saja aku membantah, “Padahal sebelum ini aku juga berangkat sama pulang sendiri. Ke mana-mana juga sendirian.”
“Aku takut kamu kabur lagi dari aku,” jawab Jayden sungguh-sungguh.
“Astaga, mana mungkin aku kabur? Kamu, kan, udah janji nggak mabuk lagi.”
“Ya ... tetep aja. Siapa tahu, kan? Lagian, di luar bahaya. Kalau ada apa-apa, cepet telepon aku atau hubungi sekuriti gedung.”
Aku menguap kemudian merentangkan tubuh dan berguling ke samping untuk mengambil ponsel di nakas. Jam digital yang tertera di layarnya mengejekku dengan angka sepuluh lebih tiga puluh.
Astaga, ini keterlaluan. Para maid pasti sudah pulang bersih-bersih rumah. Sehingga, aku tidak bisa meminta salah satu dari mereka untuk memasakkanku sarapan yang sangat terlambat. Jadi, aku harus memesan jasa antar makanan.
Dikarenakan lapar, aku jadi ingin berbagai macam makanan. Jari-jariku pun menari lincah di atas layar ponsel untuk mencari-cari restoran terdekat yang menjual menu-menu menggirukan. Jariku memelan saat melihat ada restoran yang menjual domba. Maka, cepat-cepat aku memesannya.
Selagi menunggu sarapan pesananku datang, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa keringat dan aroma sensual percintaanku dengan Jayden semalam. Ah, aku jadi merindukan suamiku sekarang, padahal ia baru pergi beberapa jam lalu.
Untuk melepas rindu, aku memutuskan memakai kaus hitam yang semalam Jayden pakai dan masih teronggok di karpet dekat kasur. Aku menghidunya sebentar dan aroma khas Jayden sontak memenuhi paru-paruku. Aku juga mengenalan celana olahraganya. Ehe ....
Tidak sampai setengah jam kemudian, bel penthouse berdentang.
“Akhirnya dateng juga sarapanku,” gumamku lega. Aku bersenandung riang sambil sedikit melenggak-lenggokkan tubuh menuju pintu utama. Berhubung sangat lapar, aku pun buru-buru ingin memburu makananku tanpa melihat interkom lebih dulu. Lagi pula, itu pasti penjaga gedung yang mengantarnya. Sama seperti penthouse lama kami di Summertown. Aku tak tahu ada aturan seperti itu sebelumnya. Namun, kata Jayden itu lebih baik.
Kubuka pintu utama menggunakan sidir jari. Senyum yang tadinya mengembang di bibirku tahu-tahu lenyap ketika aku melihat segerombolan pria berwajah sangar bersetelan jas hitam tahu-tahu menyerobot masuk penthouse.
“Siapa kalian?” teriakku bingung. “Kalian tidak bisa masuk rumah orang sembarangan!” teriakku lagi sembari mengikuti salah satu pria berbadan mirip Hulk dengan kurang ajarnya membuka pintu studio musik mini yang terletak paling dekat dengan pintu utama.
Aku juga melihat pria-pria lain berpencar. Ada yang ke dapur, ada juga yang ke ruang gym mini, dan kuyakini ke seluruh penjuru rumah.
“Hei! Berhenti! Apa yang kalian lakukan?” teriakku lagi.
Aku menarik ujung lengan suit hitam Hulk gadungan yang kini menuju lantai atas lantaran khawatir ia akan ke kamarku. Pria itu memang berhenti dan membalik tubuh menghadapku. Namun, ketika ia mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas hitamnya, mulutku sontak menganga, jantungku berdetak kencang hingga aku takut organ itu jatuh ke lantai. Tenggorokanku pun tersekat. Tanpa butuh waktu barang sedetikpun, aku diserbu kegamangan. Rasanya, tubuhku pun bagai disiram seember es yang membuatku kedinginan.
“Tenang, Ma’am. Kami tidak akan menyakiti Anda. Jadi, bekerja samalah yang baik dengan duduk saja di ruang tamu,” perintah pria berkulit gelap dengan rambut sedikit beruban itu sembari menempelkan pistol ke pelipisku.
Jadi, apa lagi yang bisa kulakukan? Ingin menelepon Jayden, tetapi ponselku di kamar. Ingin berteriak memanggil sekuriti gedung, tetapi mulutku membisu dan sekujur badanku gemetar. Aku pun harus ekstra menahan diri untuk tidak menggigiti kuku. Kemudian secara perlahan-lahan aku turun ke ruang tamu.
Aku duduk di sofa dengan Hulk yang berjaga di sampingku. Meski sudah tidak lagi menodongkan pistol ke pelipisku, tetap saja aku ketakutan.
Aku ingin mengambil ponsel untuk menelepon Jayden atau meminta bantuan, tetapi tidak tahu caranya. Jangankan meminta bantuan. Bernapas pun, aku sulit melakukannya.
Sementara mereka mengacak-acak seluruh isi rumah, aku hanya mampu berdoa agar ada seseorang yang menolongku. Mulanya kupikir mereka ingin merampok. Namun, setelah bermenit-menit kemudian, aku mendengar mereka mengeram geram dalam bahasa yang tak kumengerti.
“Terima kasih atas kerja samanya, Ma’am.”
Setelah Hulk gadungan mengatakan itu, ia bersama rombongannya keluar rumah tanpa membawa satu pun barang yang berharga. Artinya, mereka tidak merampok. Melainkan mencari sesuatu. Namun, apa?
Butuh waktu beberapa menit bagiku untuk pulih dari keadaan sebelum cepat-cepat ke atas untuk menelepon Jayden. Sayangnya, sudah beberapa kali aku menghubunginya, tak ada satu pun yang diangkat.
Kenapa Jayden seakan-akan menghilang ketika aku membutuhkannya?
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto My twin
Follow sosmed saya lainnya ygy
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻
Minggu, 21 Agustus 2022
Remake and repost: Jumat, 22 September 2023
Repost: Sabtu, 19 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top