Chapter 21 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

___________________________________________________

“Kuharap, mereka tahu sedang berhadapan dengan siapa.”

—Jayden Wilder

____________________________________________________

 


Musim semi
Abingdon, 16 April
Pukul 08.31

Ketika aku merentangkan tangan untuk merilekskan otot-otot lengan sambil mengawasi tupai kecil yang memakan semut di dahan agak bawah, suara debuman kencang yang berasal dari pintu karavan membuatku sedikit terlonjak. Tupai itu melompat ke dahan lain lalu menghilang. Tubuhku pun berputar menghadap mobil sewaan kami yang terparkir tidak jauh dariku berdiri, guna melihat apa yang terjadi. Aku lantas melihat istriku berlari ke arahku sembari menumpahkan air mata.

“Ada apa?” tanyaku khawatir. Ketakutan mulai menyelinap ke tubuhku. Pasalnya, Melody jarang menangis kalau bukan dikarenakan hal-hal sangat penting seperti serentetan kejadian baru-baru ini.

Melalui pori-poriku, kegamangan berhasil menelusup lebih dalam dan membentuk kecurigaan. Bagaimana kalau penyebab Melody menangis adalah karena telah mengetahui seluruh rahasia gelapku dari seseorang? Jikalau Papa bisa mendapat informasi itu, kenapa Melody tidak? Dan aku benci harus menghapus daftar mencari tahu siapa si bedebah kurang ajar yang memberitahu Papa, berkat permintaan Papa.

Oleh sebab itu, aku memutuskan mengambil cuti selama beberapa hari. Selain untuk menyalurkan kerinduanku pada Melody, juga untuk menjauhkan istriku dari hal-hal yang dapat berpotensi besar memberitahunya tentang pekerjaanku sebenarnya; dari seseorang ataupun dari hal lainnya.

Aku baru berbaikan dengan Melody. Tentunya tidak ingin bertengkar lagi gara-gara alasan yang jauh lebih berat. Aku tidak ingin membuatnya kecewa lagi. Atau Melody akan benar-benar pergi dariku tanpa toleransi.

Syukurlah kekhawatiranku itu tidak terbukti.

Dengan suara parau, Melody yang panik merengek dan menarik-narik ujung lengan kaus hitamku. “Aku barusan dikabari Golden Care and Clinic kalau Max mati di kandangnya. Ayo kita ke sana, Baby.”

Tidak berpikir dua kali, aku menuruti Melody. Masa bodoh dengan kemah atau kakiku yang masih perih akibat luka serpihan kaca. Kami bisa kemah lagi kapan-kapan kalau senggang. Sekarang, Max jauh lebih penting. Kami begitu menyayangi anjing itu. Dan mendengarnya meregang nyawa tentu juga membuatku cemas. Dua mobil yang ditumpangi anak buahku yang berjaga di luar bumi perkemahan ini pun segera mengikutiku.

Untungnya, jarak antara Burcot Brook Lodge CL ke Golden Care and Clinic hanya ditempuh selama seperempat jam. Sewaktu berangkat, kami jauh lebih banyak menghabiskan waktu karena pergi untuk menitipkan Max. Lalu mampir ke Sainsbury’s supermarket membeli bahan-bahan makanan untuk kemah selama dua hari. Barulah ke bumi perkemahan tersebut.

Selama perjalanan hingga tiba di gedung berlantai satu dengan lapangan luas beralas rumput hijau di belakangnya dan parkiran mobil di depannya, Melody tak henti-hentinya menggelincirkan air mata. Itu membuatku begitu sedih karena melihatnya seperti itu.

Karavan yang kukendarai kuberhentikan di fasad gedung bagian lobi.

“Aku langsung ke Max,” teriak Melody tanpa melihatku. Berikutnya ia meluncur turun dari mobil, agak membanting pintu ketika menutupnya, kemudian berlari-lari kecil memasuki gedung.

Tertular kepanikan Melody, aku buru-buru memarkir karavan ini. Syukurlah ada lahan kosong di ujung bagian depan menghadap fasad gedung Golden Care and Clinic yang tidak seramai hari libur Nasional. Sehingga, proses ini tidak terlalu memakan banyak waktu. Dua mobil yang masing-masing ditumpangi anak buahku kulihat masuk parkiran ketika aku turun.

Aku mengikuti jejak Melody menerobos masuk. Salah satu petugas Golden Care and Clinic mengikutiku seperti penagih utang. Pemuda itu juga bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Sir?”

Aku menjawab, “Aku mau ke kandang anjingku yang baru saja mati. Namanya Max. Istriku baru saja ke sana.”

Pemuda berambut cokelat terang dan berkulit pucat itu mengarahkan. “Oh, atas permintaan Mrs. Wilder, Max baru saja dipindahkan ke ruang pemeriksaan. Sebelah sini, Sir.”

Langkahku cepat dan lebar sewaktu mengikuti pemuda itu menyusuri koridor. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang yang membawa anjing mereka. Ada juga yang yang membawa kucing. Beberapa anjing menggonggong ketika bertemu kucing. Beberapa paramedis berlalu-lalang dengan veterinerian. Ada juga beberapa keeper Golden Care and Clinic yang membawa kucing ataupun anjing. Intinya mereka melakukan aktivitas masing-masing seperti normalnya rumah sakit hewan berfasilitas lengkap.

Aku mengikuti pemuda tadi berbelok ke kiri. Selanjutnya melewati dua ruangan. Lalu berhenti di depan pintu bercat putih. Petugas itu mengetuk-ngetuknya. Setelah mendengar jawaban dari dalam, ia membukakan pintunya untukku.

Serampungku menggumamkan terima kasih, aku segera melihat istriku menangis memeluk Max yang ditidurkan di ranjang khusus pemeriksaan. Ada veterinerian berkalung stetoskop dan satu paramedis. Paramedis wanita itu menepuk-nepuk punggung istriku. Sebagai suami, aku merasakan lebih banyak kepedihan mengepungku kala melihat istriku seperti ini.

Tanpa perintah dari otak, kakiku menderap dengan sendiri ke Melody. Paramedis wanita itu menggeser tubuhnya untuk memberikut tempat aku agar bisa di samping istriku. “Hei, Baby,” bisikku sambil memegangi kedua pundaknya dengan maksud menenangkannya. Pandanganku pun jatuh ke wajah Max. Lampu sorot mengarah pada wajah anjing kami. Kelopak mata Max tertutup dan rahangnya sedikit terbuka. Hatiku pun terasa jauh lebih pedih daripada tadi.

“Tadi pagi dia baik-baik aja waktu kita titipin di sini. Kok, tiba-tiba dia bisa mati, Jayden?” rengek istri yang kini memelukku. “Dokter juga udah periksa Max tadi. Sesuai SOP rumah sakit hewan ini. Kalau ada pasien titip sehat tetep harus diperiksa dulu dan semuanya normal, kan? Kenapa bisa tiba-tiba mati?”

Aku balas melingkarkan lengan-lenganku ke tubuh Melody yang bergetar. Namun, aku tidak menjawabnya, melainkan langsung bertanya veterinerian itu. “Bisakah Anda menjelaskan penyebabnya?”

Dokter hewan itu memaparkan, “Mohon maaf, Sir. Kami juga kurang mengerti. Seperti biasa, setelah Max baru didaftarkan masuk, kami membawanya ke kandangnya. Tim kami yang khusus menangani Max segera ke sana, berniat mengajaknya exercise sebelum diberi makan. Tapi sewaktu tiba, Max sudah tidak bernapas.”

“Lalu bagaimana? Apa Anda sudah memeriksa penyebab kematiannya? Barangkali kondisi tubuhnya memang tidak sehat? Barangkali ada racun atau sebagainya?” tuntutku.

Melody menyahut, “Max sehat, Jayden. Secara pemeriksaan fisik tadi pagi dia normal, sehat. Selama ini dia juga sehat. Dia cuma dikastrasi. Pernah kegendutan, tapi udah diet. Dan kamu tahu itu.”

Dokter hewan itu lantas menjelaskan, “Tapi usia Max memang sudah tidak muda lagi. Banyak penyakit tanpa gejala klinis yang dapat menyerangnya. Kalau Max diracun, pasti sebelumnya mengalami tanda-tandanya. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan yang baru saja kami lakukan sesuai permintaan Mrs. Wilder, kami tidak menemukan tanda-tanda itu. Kami juga baru saja melihat daftar riwayat penyakit beserta buku vaksin Max. Tidak ada yang bermasalah. Sepertinya ini memang ada kaitannya dengan umur Max. Dia sudah sepuluh tahun lebih. Untuk golongan anjing, umur tersebut tergolong sangat tua. Dan organ-organ yang bekerja di tubuhnya umumya bisa saja mengalami penurunan fungsi. Bisa jadi Max gagal jantung.”

“Tapi tidak mungkin Max tiba-tiba mati hanya karena dia tua. Kalau dia tua dan organ-organnya mengalami penurunan fungsi, seharusnya dia mengalami komplikasi penyakit lebih dulu. Ini akut, bukan kronis!” seru Melody berapi-api. Aku pun menariknya ke pelukanku lagi.

“Sudah, sudah. Tenang, Baby,” bujukku.

“Nggak bisa. Aku nggak bisa. Dia Max,” bisik Melody. Suaranya sungguh memilukan. Gendang telingaku seperti ditusuk-tusuk olehnya.

“Terus gimana? Kamu mau nuntut Golder Care and Clinic?”

“Tapi aku juga nggak sampai hati nuntut mereka, Jayden. Mu-mungkin ..., mungkin emang udah takdirnya Max mati. Mungkin dokter itu bener. Max udah tua.”

“Tapi untuk lebih jelasnya lagi, kami bisa melakukan nekropsi[8] kalau Anda menghendaki. Kami kembalikan ke pemilik,” usul veterinarian itu.

Kami menyetujui. Maka dalam kecemasan, kami menunggu selama sehari untuk mengetahui hasilnya. Dan pihak Golden Care and Clinic mentakan, “Serangan jantung. Seperti yang kami duga sebelumnya, Max memang sudah tua.”

Melody memalingkan wajah dengan air mata bercucuran dan tidak mengatakan apa pun.

Jadi, untuk sementara ini kukantongi dulu informasi tersebut. Aku lantas memberi pengertian Melody agar menerima kondisi Max. Selain itu, aku juga meminta, “Kami ingin Max dikremasi. Abunya akan kami bawa pulang.”

•••


Musim semi
Abingdon, 18 April
Pukul 14.21

Sehari setelah guci berisi abu Max yang dilingkari kalung dengan ukiran nama Max diletakkan lemari pajangan yang ada kamar kami, Melody sudah tidak menangis histeris. Ia sudah mulai mau memakan sesuatu dan sedikit demi sedikit melakukan rutinitas seperti; turun dari kasur, mandi, dan lain sebagainya.

Keesokan harinya, Melody yang sudah jauh lebih baik mengajakku membersihkan kandang Max. Katanya, “Mau nggak mau, aku harus move on, kan?”

Aku mengangguk. Kami pun pergi ke kandang Max yang berupa ruangan berukuran tiga meter kali tiga meter berdinding kaca seluruhnya. Letak kandang Max di bagian samping rumah. Jadi, kalau anjing itu di kandang, ia bisa melihat udara luar yang menyuguhkan lanskap kota Clifton Hampden sekaligus kondisi di dalam rumah.

Max merupakan jenis anjing yang satu kerabat dengan srigala dan anjing jenis Siberian Husky. Namun, dari mereka bertiga, jenis anjing seperti Max-lah yang paling besar. Max yang duduk, setinggi Melody yang berdiri. Dan meski sudah didomestikasi, tetap saja Melody khawatir Max kegerahan sehingga kami memberinya pendingin udara di kandangnya.

“Kamu tahu, Jayden. Aku baru beli tempat makan Max sebulan lalu. Aku pesen khusus buat dia,” ucap Melody pilu. Ia menyentuh pinggiran tempat makan Max yang terletak di depan kaca, yang menghadap lanskap kota Clifton Hampden. Bagian bawah tempat pakan itu berwarna kuning. Sedangkan bentuknya karikatur kepala Max. “Padahal aku juga mau beliin dia alat pakan otomatis. Yang bisa kita atur kapan kasih pakan kering, ada kameranya juga. Jadi, kalau kita tinggal, bisa kita pantau. Kita juga bisa ngobrol sama Max dari alat itu.”

Aku yang tidak tahu harus berkata apa, hanya biasa diam sambil menatap istriku yang mengambil tempat pakan tersebut lalu diletakkannya ke boks yang sudah kami siapkan.

Menyadari tujuanku di sini tidak hanya bekerja sebagai pengamat, aku lantas membantu Melody mengemasi barang-barang Max. Ada boneka chicken doodle plastik, boneka tulang sebesar bantal sofa, wickedbone elektronik, bola biru kesukaan Max, karpet mirip bantal untuk tidur Max, dan juga tempat minum yang mirip tempat minum hamster. Namun, ukurannya sepuluh kali lipat lebih besar.

Setelah kandang kosong dari barang-barang Max, aku menyetel robot vacum cleaner untuk menuntaskan tugas. Kami lantas berpindah ke rak sebelah kandang Max yang memajang beberapa foto Max, baju-baju Max yang dibeli Melody karena lucu, tetapi tidak pernah dipakaikan lantaran merasa tidak animal walfare. Max hanya pernah mengenakan baju-baju itu pasca dikastrasi, supaya ia tidak menggaruk atau menjilati luka jahitannya. Ada juga kacamata hitam dan persediaan pakan Max.

Kami mengangkut baju-baju dan aksesoris Max lalu memasukkannya ke boks. Sedangkan persediaan pakan rencananya akan kami sumbangkan ke kennel.

“Feeling better?” tanyaku sambil merangkul Melody yang mengamati barang-barang Max di boks.

Ia mendongak ke samping untuk menatapku. “Lumayan. Makasih udah bantuin ngemasin barang-barang Max.”

“Sama-sama,” balasku. Kububuhkan bibir ke puncak kepalanya sebelum kuusap-usap lembut.

Di malam harinya sebelum tidur, aku merapikan selimut Melody yang berbaring di sampingku dan menghadapku. Secara perlahan-lahan, aku menariknya dalam pelukanku sambil menyugar rambutnya yang sehalus sutra mengilat dan harum.

“Tidur, yuk? Kamu kurang tidur, Baby,” ajakku.

Melody mengangguk. Maka kububuhkan bibir dan hidung ke keningnya agak lama, sebelum memejamkan mata.

“Nggak tahu kenapa ya kematian Max itu rasanya masih janggal banget buat aku.”

Kata-kata bernada rendah yang meluncur dari mulut Melody membuatku kembali membuka mata. “Tidur, Baby. Udah malem,” responsku sembari mengeratkan pelukanku dan sekali lagi membubuhkan bibirku ke keningnya.

“I just say what I’m feeling,” balas Melody dengan suara berdengung akibat teredam.

“I see.”

Tidak ada lagi balasan dari Melody. Kupikir ia sudah pergi ke alam mimpi. Namun, tiba-tiba Melody kembali bersuara. Bahkan ia sedikit melonggarkan pelukan. “Baby, boleh nggak kalau misalnya aku nambah jam kerja di rumah sakit?”

Aku membuka mata untuk melihat Melody yang kini menatap tangannya yang memainkan bagian depan kaus hitamku. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku penasaran.

Masih tanpa melihatku, ia menjawab, “Sekarang udah nggak ada Max. Kalau aku keseringan di rumah, aku mikir bakal kesepian. Sedangkan kamu, nggak mungkin, kan, aku minta kamu cuti terus? Kalau pagi sampai siang, kamu juga ada kerjaan.”

“Just weeks day, tapi jamnya jangan banyak-banyak.”

“Kok, gitu? Tetep aja, dong. Entar aku keseringan di rumah?”

Sebenarnya aku tidak ingin Melody keseringan di luar rumah. Takut ada orang yang akan memberitahunya tentang diriku yang sesungguhnya. Namun, bagaimana mungkin aku setega itu dengan istriku?

“Maksimal jam dua siang, ya? Sabtu-Minggu, aku tetep pengin kamu di rumah. Aku juga berusaha ngurangin jadwalku,” tawarku. Toh, Heratl sudah mulai bisa kulepas perlahan-lahan. Properti-properti juga mulai stabil. Tinggal beberapa urusan yang belum beres dan aku menambah daftar baru dalam urusanku.

“Well, okay. Makasih udah ngizinin aku tambah jam kerja. Makasih juga udah ambil cuti beberapa hari ini.”

•••

 

Musim semi
Clifton Hampden, 1 Mei
Pukul 23.45

Aku meluruskan kaki-kakiku yang lantas kubawa ke atas meja. Sementara itu punggungku menempel pada sandaran kursi kerjaku.

Pasca Liam membacakan laporan hasil keuntungan The Black Casino and Pub serta pengeluaran kami, aku pun meminta, “Apa kau bisa meretas CCTV Golden Care and Clinic? Karena aku tidak yakin dengan penjelasan veterinerian itu. Istriku juga sependapat denganku. Tidak mungkin anjing kami mati secara tiba-tiba.”

Setelahnya, aku mengambil sebatang rokok yang kuselipkan di antara bibir. Barulah menyulutnya menggunakan pemantik.

Liam yang duduk di depan meja kerja The Black Casino and Pub pun menyanggupi, “Baik, Bos.” Ia lalu bertanya, “Oh ya, bagaimana dengan kandidat-kandidat consigliere? Kapan kita akan melakukan penyelidikan lagi?”

Aku membuang asap nikotin ke udara sekitar sambil berpikir. Setelah sepuluh detik, baru menjawab, “Sementara, aku akan pergi dengan Spencter, Nicolo, dan lainnya. Fokuslah dulu pada tugas yang baru saja kuberikan. Aku sungguh meminta tolong padamu soal itu, Liam.”

“Baik, Bos. Aku akan berusaha meretas CCTV Golden Care and Clinic dan mencari informasi lainnya di hari Max mati.”

“Terima kasih, Liam. Satu lagi. Tolong siapkan beberapa orang anggota klan kita.”

Liam mengernyit. “Berapa orang? Untuk apa?”

“Semua tergantung hasil dari peretasan CCTV Golden Care and Clinic. Kalau kau menemukan hasil kecurangan seseorang untuk membunuh Max, sebaiknya kau menyiapkan lebih dari sepuluh orang dari ... setidaknya dua caporegime.”

Apabila dugaanku benar bahwa ada sekelompok orang yang memang sengaja dibayar untuk membunuh Max, aku akan melakukan tindakan selanjutnya dengan cara mafia. Kuharap, mereka tahu sedang berhadapan dengan siapa.

______________

[8] Kegiatan bedah bangkai hewan. Kegiatan ini merupakan merupakan tindakan investigasi medis akan adanya gangguan atau kelainan pada anatomi tubuh hewan secara keseluruhan, secara runut baik dari anatomi luar maupun dalam tubuh.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun

Kelen luar biasa

Bonus foto suami zeye

Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻

Jumat, 19 Agustus 2022

Remake and repost: Kamis, 21 September 2023
Repost: Kamis, 17 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top