Chapter 2 [Berlian Melody]

Selamat datang di chapter 2

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun gaes

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Ribuan pria dapat mengatakan pada wanita bahwa dia cantik. Tapi dia hanya akan mendengarkannya ketika yang mengatakannya adalah pria yang dicintainya.

—Tanpa Nama

____________________________________________________
 

Musim panas
Oxford, 21 Mei
Pukul 17.04

Perpustakaan Bodleian memang buka sampai pukul sembilan malam. Namun, aku memutuskan keluar dari sana ketika langit bak ketumpahan cat warna jingga. Sangat lelah rasanya mengetik dan harus memelototi layar laptop untuk mengerjakan tesis ditemani buku-buku supertebal di mejaku. Teori-teori medis yang menjejali kepalaku nyaris membuatku muntah.

Demi Neptunus! Aku butuh healing!

Langkahku terhenti tepat di fasad gedung kala aku melihat Jayden bersandar di sisi pintu mobil dengan penampilan lumayan culun—penampilan khusus mengantar-jemputku ke kampus. Padahal aku baru mengiriminya surel kurang dari lima menit lalu. Rupanya ia sudah ada di sini.

Aku mengambil langkah lebar aneh karena menahan nyeri di lipatan inti tubuhku. Hingga mencapai Jayden, aku langsung mengungkapkan keheranan yang menyelubungiku. “Kok, bisa kamu udah di sini? Ajaib banget.”

“Kayak nggak tahu aja kalau aku ini dukun yang bisa baca pikiranmu dan bisa tahu jadwalmu,” jawabnya enteng.

Kedua alisku terangkat. “Mana ada? Maksudku, aku barusan kirim email ke kamu buat minta jemput. Cuma nggak nyangka aja kamu langsung dateng. Selang waktunya cuma lima menit, loh.”

Jayden mendekatkan wajah ke telingaku guna berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia. Sebenernya aku bisa teleportasi.”

Aku sontak menjauhkan tubuh. “Ih, ngayal!”

Ia lantas menaik-turunkan kedua alisnya.

Kuanggap Jayden memiliki waktu luang. Sebagai pengusaha kelab malam, ia memang lebih sering bekerja pada malam hari. Entah bagaimana kabar bisnis properti yang digelutinya berdasarkan saranku tahun kemarin. Aku belum sempat menanyakannya lagi. Terakhir kali aku mendengar kabar tentang itu sebelum kami menikah. Tadi pagi pun ia hanya pamit melihat perkembangan proyek-proyek tersebut, tetapi tidak bercerita secara rinci.

Yah, Jayden memang tidak pernah bercerita secara detail tentang pekerjaannya.

Aku pun menggeleng lalu teringat sesuatu. “Kamu nggak senyum sama cewek-cewek yang lewat, kan?” selidikku sambil celingukan. Bukannya apa, teman-temanku di kampus benar-benar ganas. Apalagi kalau ada pria tampan dan Jayden sangat masuk dalam kategori tersebut. Jadi, aku harus mengamankan milikku, bukan?

“Mana berani? Anabulku galak.”

“Max? Kenapa kamu bawa-bawa Max? Dia emang gonggongin orang asing, tapi nggak sampai gigit juga. Dan Max banyak drama.”

“Bukan, Max. Tapi kamu.”

“Maksudmu aku anabul?” tuduhku dan Jayden hanya melirik ke arah lain sambil mengangguk.

Maksud hati hendak menimpuk lengannya menggunakan salah satu buku tebal yang kutenteng lantaran sebal, apa daya Jayden terburu membubuhkan bibirnya di keningku.

Aku praktis menjelma menjadi manekin yang mencoba untuk tidak roll depan, roll belakang. Atau bahkan bertindak konyol karena tersipu-sipu atas tindakan Jayden yang sudah berjuta kali  dilakukannya terhadapku. Niatku tantrum pun gagal total.

Pada saat bersamaan, aku mendengar Jayden membuka pintu belakang. Dalam genggamanku, buku-buku tebal edisi medis yang kupinjam dari perpustakaan barusan diambil Jayden untuk diletakkan di joknya. Suara pintu ditutup baru bisa menarikku dari kegiatan terpekur.

“Eh, makasih,” ucapku agak linglung. Aku curiga sebenarnya Jayden mengisap otakku kalau sedang mencium keningku. Lihat? Dampaknya bisa membuatku jadi lemot.

Jayden memang tidak terdengar tertawa. Namun, punggungnya naik-turun, mengindikasikan ia telah berhasil meredam tawanya—meski tidak sebaik yang mungkin ia kira. Dalam keadaan seperti itu, sempat-sempatnya ia mengulurkan tangan ke puncak kepalaku lalu mengusap-usapnya mirip seseorang memanjakan anabul piaraan.

Dengan malu aku mengatakan, yah ..., aku langsung diam. Luluh. Selain ciuman di kening, efek usap-usap ini memang tidak pernah gagal meluluhkanku sejak dulu.

Sore ini kami berencana pergi makan malam dan ke pusat perbelanjaan untuk membeli ponsel baru. Ponselku benar-benar tidak bisa diselamatkan setelah berenang di antara air panas dan busa yang tercipta dari putih telur rebus.

Harus kuakui, aku tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengelak sehingga tidak memiliki ideologi pendongkrak sanggahan bahwasanya tadi pagi merupakan insiden yang sangat memalukan di awal mula terbentuknya rumah tangga kami. Padahal sebelum menikah, Jayden jelas-jelas pernah berkata bahwa ia mencari seorang istri, bukan koki. Jadi, tidak masalah kalau aku sama sekali tidak bisa memasak.

Namun, tetap saja. Salah satu keinginan menjadi istri yang baik dalam hal mengolah bahan makanan menggebu-gebu dalam diriku. Jadi, aku melakukan semacam gebrakan revolusioner bagi diriku, yang ternyata tidak sesuai ekspektasiku. Hasilnya jelas nol besar. Maka dari itu aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi karena saat berangkat ke kampus tadi, Jayden kembali menegaskan, “Lebih baik aku yang masak seadanya atau kita bisa beli di luar daripada rumah kita kebakaran.”

Aku menahan hasrat sebesar Gunung Everest untuk tidak menggigiti kuku lantaran perasaanku campur aduk. Gabungan antara malu, rikuh, terharu, bersyukur karena memiliki Jayden sebagai suami superpengertian. Sekaligus merutuki kebodohanku sambil menggigit bibir bagian dalam; bagaimana mungkin aku tidak bisa merebus telur? Padahal sebelumnya aku sudah mencari tahu resepnya di internet. Payah!

“Mikir apa sampai senyum-senyum gitu?” usik Jayden ketika kami berhenti di lampu merah.

“Cuma insiden telur rebus,” jawabku rikuh.

Jayden menggeleng sambil mengumbar senyum edisi terbatas yang efeknya bisa menjungkirbalikkan degub jantungku menjadi tak karu-karuan. Katanya, “Kamu emang nggak bakat masak. Bakatnya ngunyah kuku sama bikin aku gemes.”

Aku tahu mungkin kedengarannya berlebihan apabila kukatakan padamu kalau pria lain yang menggombaliku, aku pasti mual. Namun, ini Jayden. Jayden-ku. Bagaimana mungkin aku tidak merasa melayang? Terbang? Berenang di antara gumpalan awan bersama pelangi di sore hari?

“Sorry ya, aku emang gemesin. Gimana, dong?” balasku kelewat percaya diri.

“Jangan pede dulu. Lihat, tuh, tangan kirimu.”

“Hah? Tangan kiriku?” Dengan segera aku melihat tangan kiriku dan membolak-baliknya. Namun, tidak ada apa pun selain gambar note balok lambang namaku yang ditato Jayden. Lambang note balok ini kembar dengannya. Sedangkan di jari manis tangan kananku tersemat cincin pernikahan mendiang mamanya Jayden yang diwariskan kepadaku dan menjadi cincin pernikahanku. “Nggak ada apa-apa, kok,” lanjutku setelah yakin memang tidak menemukan hal lain lagi di kedua tangankun.

Jayden berdecak. “Coba ke siniin. Kamu ini mesti nggak teliti.”

Apa mungkin memang ada sesuatu? Ah! Daripada pusing menebak-nebak, lebih baik aku mengulurkan tangan kiriku ke Jayden dan suamiku itu langsung menggenggamnya. “Nah, ini baru bener.”

“Dasar!” Sekarang, aku baru paham tujuannya.

Sepanjang perjalanan, Jayden menyita tanganku. Sesekali ia juga mengecupnya. Lagi dan lagi perlakuan lain darinya yang membuatku ingin berteriak mirip orang kesurupan Cupid. Jayden sepertinya tidak keberatan sama sekali walau harus menyetir dengan tangan satu. Juga melepaskan kemudi untuk memindah persneling.

Aku begitu menyukai atmosfer ini: musim panas, musik hard rock kesukaan Jayden disetel agak kencang, tetapi masih akrab dengan pendengaran. Wangi parfum minnya yang selalu menjadi urutan pertama dalam daftar aroma kesukaanku, dan Jayden sendiri.

Semua unsur itu mengingatkanku pada perjalanan kencan pertama kami ke restoran Pingo setelah resmi jadian di insiden pesta topeng penggalan dana akhir tahun. Lebih tepatnya, insiden salah menyatakan perasaan.

Sewaktu masih berusia 16 tahun, aku menyukai kakak kelas bernama Jordan Michelle. Berbekal dari buku ajaib yang tidak sengaja kutemukan di perpustakaan sekolah, aku berhasil mendekatinya. Berkat mendapat dukungan penuh dari sahabatku bernama Karina Nasution dan lampu hijau dari Kak Jordan, akhirnya aku memutuskan akan menyatakan perasaanku di pesta topeng.

Alasannya cukup sederhana. Kalau Kak Jordan menerima pernyataan cintaku, aku akan sangat bahagia. Bila sebaliknya, aku bisa pura-pura tidak terjadi apa pun dengan wajah aman di balik topeng. Dengan harapan Kak Jordan tidak mengenaliku.

Sayangnya, aku salah orang. Bukan Kak Jordan yang menerima pernyataan cintaku, melainkan Jayden Wilder yang penampilannya seperti Kak Jordan. Itu murni bentuk keteledoranku karena salah mengenali Jayden sebagai Kak Jordan di balik masquerade yang menyembunyikan wajah orang-orang. Kala baru menyadari Kak Jordan tidak merokok, Jayden yang memegang seputung rokok sudah lebih dulu menerima pernyataan cintaku sambil melepas masquerade-ku!

Matilah aku!

Dikarenakan takut setengah mati pada Jayden, aku tidak bisa mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak bisa mengakui bahwa aku salah menyatakan perasaanku. Maksudku, lihatlah penampilan Jayden yang berkali-kali membuatku bertanya-tanya pada kakakku dari mana dan bagaimana ia bisa bersahabat dengan lelaki yang dandanannya mirip preman pasar seperti itu—a.k.a. Jayden Wilder.

Jayden sangat suka mengenakan pakaian warna hitam, terutama kaus bergambar tengkorak yang dipadukan jaket kulit hitam atau denim belel, jins sobek-sobek, dan dokmart hitam dengan bantalan karet. Kadang-kadang ia mengenakan topi hitam yang membuatnya lebih misterius karena sebagian wajah tegasnya tertutup. Jangan lupakan rokok yang selalu diisapnya—yang mulai rajin kukritiki demi kesehatan kami.

Jayden benar-benar maskulin. Ditambah wajah garangnya, aku begitu takut Jayden berubah jadi monster mengerikan kalau aku mengaku salah mengungkapkan perasaanku. Membayangkan dirinya mengamuk, sudah menciutkan nyaliku.

Namun, seiring berjalannya waktu, perangai Jayden yang misterius seolah-olah membangkitkan jiwa-jiwa detektifku untuk lebih mengenalnya. Satu per satu rahasia di balik topeng yang melekat pada diri Jayden mulai dikupasnya.

Setelah aku mengenalnya, Jayden menjadi yang pertama dalam segala hal bagiku. Ia pacar pertamaku, lelaki yang pertama kali menggandeng tanganku, yang pertama kali memelukku, yang mencuri ciuman pertamaku di Paris saat tahun baru, yang pertama kali menyentuhku secara dewasa. Hingga kini, setelah menjadi suamiku, ialah pria yang pertama kali bercinta denganku. Semoga selamanya akan tetap seperti itu.

Oh Tuhan! Kenapa aku selalu menjadi bak remaja tanggung yang terkena sindrom merah jambu  terhadap Jayden? Aku yakin ini semata-mata bukan hanya karena kami sudah resmi menjadi suami-istri. Melainkan perasaanku yang kian hari kian meningkat.

Aku mengamati Jayden sambil menopang dagu. Pria itu bukan Jayden sebelas tahun lalu yang pertama kali kutemui. Mukanya masih seram dan datar—kurasa ini memang bakatnya sejak lahir. Hidungnya masih seruncing yang kuingat dulu. Salah satu alisnya sedikit gundul akibat luka masa kecilnya—ciri khas Jayden. Kedua iris matanya cokelat terang kalau tertimpa cahaya. Rambut gelapnya sedikit lebih panjang daripada dulu, tetapi belum termasuk kategori gondrong—aku pernah melihatnya sangat gondrong dan tidak terawat sewaktu aku terpaksa menghilang dari hidupnya. Kini rambutnya ditata klimis menggunakan pomade dalam balutan kemeja hitam dipadu kacamata minus bohongan.

Kulit Jayden lebih cokelat ketimbang terakhir kali aku melihatnya satu dekade lalu. Harus kuakui aku suka yang satu ini. Kemaskulinan Jayden jadi bertambah berkali-kali lipat. Meski tubuhnya pernah mengalami penurunan berat badan akibat kecelakaan setahun lalu yang membuatnya koma selama 13 hari serta hampir tidak bisa berjalan akibat ototnya atrofi[2], kini ia menjadi lebih berisi bin berotot.

Aku menemaninya olahraga setiap pagi sambil menunggu sarapan pesanan kami datang. Maksudku, Jayden olahraga, aku hanya duduk memandanginya sambil bertopang dagu. Kadang-kadang tanpa sadar aku sarapan kukuku sampai ia mengingatkan untuk menghentikan hobi yang sempat pernah tidak kugeluti selama kuliah itu.

Omong-omong soal kuliah, tiba-tiba Jayden menanyakannya saat kami makan malam di restoran Jepang Shin pasca-membeli ponsel. “Gimana tadi? Udah berapa persen kamu ngerjain tesis di perpus kampus?”

Alisku langsung berkerut tidak karuan dan gerakan sumpitku yang hendak menjepit ramen terhenti. Selepas bernapas berat, aku menatapnya sambil memohon, “Baby, jangan cosplay jadi dosen pembimbing dadakan please ….” Kemudian kulanjutkan kegiatan makanku yang tertuda.

“Enggak …. Cuma pengin tahu sejauh mana.”

“Kira-kira delapan puluh persen. Masih harus disusun dulu. Itu pun belum ngadep dosen, terus revisi lagi biar bisa maju ujian. Mana dosenku galaknya minta ampun.”

“Aku yakin kamu bisa ngadepin dosen itu,” yakinnya yang sedikit-banyak bisa mengangkat beban tugas akhir yang kupikul.

Sehingga, aku mengucapakan, “Makasih, Baby. Kalau nggak dihadapin entar akunya nggak lulus-lulus.”

“Bener.” Setelah menelan makanannya, Jayden kembali bertanya, “Penat, nggak?”

“Pasti penatlah .... Kamu juga tahu sendiri ngerjain skripsi aja udah bikin pusing. Apalagi ini ngerjain tesis.”

Aku belum bisa membayangkan bagaimana nanti kalau harus menyusun disertasi semisal suamiku mengizinkan aku kuliah S3 beberapa tahun lagi setelah kami memiliki momongan. Mengingat kondisiku yang masih lanjut meraih gelar internis sekarang, sebelum menikah kami sepakat menunda masa kehamilanku.

Peraturan kampus khusus departemen medis memang membolehkan mahasiswa-mahasiswinya menikah. Namun, kalau hamil, mahasiswi wajib cuti mulai trimester pertama sampai melahirkan.

Peraturan ini sangat berkaitan erat dengan bahan-bahan praktikum yang kami gunakan atau pasien-pasien yang kami coba tangani. Kami harus bermain dengan bakteri, virus, jamur, atau parasit yang membentuk penyakit menular yang dikhawatirkan tidak aman bagi sang ibu maupun bayi dalam kandungan. Istilah singkatnya, tindakan preventif alias pencegahan.

Aku sendiri tidak ingin cuti lagi karena belakangan ini sudah melakukannya untuk banyak alasan. Paling utama karena aku ingin menemani Jayden selama ia dirawat di rumah sakit di Jakarta akibat luka tembak di punggungnya yang sebenarnya disebabkan oleh ketololanku.

“Kalau gitu, mau ikut aku, nggak?” tanya Jayden yang lagi-lagi menarikku dari lamunan.

“Ke mana? Bukannya habis ini kamu ngecek The Black Casino and Pub sampai subuh baru pulang?” Aku berbalik tanya sekaligus mengingatkan ia akan pekerjaannya. Sebenarnya sedih juga hanya bisa ditemani tidur selama dua sampai tiga jam. Di sisi lain aku mengerti itulah konsekuensi kalau aku menikah dengan pebisnis kelab malam.

“Bukan sekarang. Maksudku, weekend.”

“Kalau weekend, aku setuju! Aku butuh healing pakek banget, Baby …,” seruku yang tiba-tiba mendapat suntikan semangat dari Jayden.

“Pas banget. Ayo kita healing.”

_______________

[2] Penyusutan ukuran suatu sel, jaringan, organ, atau bagian tubuh

___________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun yes

It’s mean a lot to me

Buat yang belum, tunggu apa lagi gaes? #nangisdipojokansambilmainpasirpaketelunjuk

Bonus foto saya (iyain biar seneng)


Buat temen-temen yang suka AU Jayden dan Melody, boleh kok ngepoin mereka di Instagram dan TikTok saya

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 2 Juli 2022

Remake: Senin 31 Oktober 2022

Re-post: 2 September 2023
Repost: Rabu, 9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top