Chapter 19 [Jayden Wilder]
Selamat datang di chapter 19
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody
❤️❤️❤️
___________________________________________________
“Seorang pria tidak selalu berpikir dengan kepalanya”
—Pasquale Caliandro
____________________________________________________
Musim semi
Clifton Hampden 15 April
Pukul 07.30
“Melody .... Give me a baby now,” rengekku sambil mengais-ngais. Tersenggol lemari kaca yang memajang botol-botol minuman koleksiku, aku tersungkur lagi. “Lemari sialan!” makiku sambil menendang-nendangnya. Beruntungnya tidak ada botol yang jatuh menimpaku saat pintu lemari kaca itu terbuka akibat tendanganku. Lemari itu hanya bergetar sedikit.
Jujur saja telapak-telapak kakiku sakit dan kepalaku rasanya hampir pecah, tetapi aku harus mencari istriku.
“Baby ...,” panggilku lebih keras dan aku mendengar Max menyahut.
Di mana Melody?
Tidak selang lama, anjing grade besar kesayangan istriku itu tiba di sebelahku dan menggonggongi diriku yang masih tersungkur di lantai. Yang paling menyebalkan adalah selain bising dengan gonggongan Max, anjing tersebut juga menjilati hampir seluruh wajahku dengan lidah besarnya. Aku memaki Max dalam beberapa bahasa sambil mengibas-ngibas tanganku untuk mengusirnya lantaran geram dan risi.
Kabar baiknya, berkat rasa jijik akibat betapa banyak dan meratanya liur Max di wajahku, aku muntah di lantai yang rupanya bisa sedikit meredakan sakit kepalaku.
Aku berguling ke tempat lebih bersih sambil merengek-rengek, sambil mengelap mulut dan wajah menggunakan lengan kausku. Lalu ditemani Max yang masih rajin menebar kebisingan dengan gonggongannya, anjing berbulu lebat itu mengikutiku yang harus memaksa sendi penghubung tulang-tulang kakiku agar bisa berdiri untuk mencapai kursi kerja.
Aku memaki lagi dalam berbagai bahasa yang kuketahui kala merasakan kaki telanjangku kembali tertusuk-tusuk serpihan kaca botol Armand de Brignac Midas. Tertatih-tatih dan menggerapai-gerapai, aku mengerang setelah berhasil menjatuhkan tubuh ke kursi kerja lalu dengan malas mencabuti serpihan kaca tersebut. Warna merah di beberapa titik kontan melumuri kaki-kakiku. Perih. Namun, aku yakin fisik yang terluka tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan luka mental yang dialami Melody.
Aku juga berteriak pada Max agar menjauhi daerah pecahan botol tersebut. Kalau tidak, Melody pasti akan lebih marah padaku seandainya mendapati anjingnya terluka gara-gara tidak kuperingatkan.
“Shit!” makiku lagi dan lagi. “Baby .... Melody .... Di mana kamu?” erangku.
Max setengah duduk di depanku sambil mengibas-ngibas ekor dan menjulur-julurkan lidah. Sementara itu, aku kembali memaki diri sendiri atas ketololan yang kuperbuat sampai bisa terkena pecahan kaca dua kali. Pada beberapa detik setelahnya, aku tiba di titik pikiranku agak bekerja.
Aku benci harus mengakui telah lupa betapa parahnya diriku ketika mabuk. Emosionalku kacau dan fisikku sering kali ikut menambah runyam. Tidak bisa bersikap berdasarkan moral dan adab sebagai manusia waras. Namun, hei ..., siapa yang bisa bersikap seperti itu di saat mabuk? Yang benar saja! Dan itulah yang sangat kusesali sekarang.
Aku berusaha mengingat-ingat ketololan lain—yang lebih parah daripada sekadar menginjak serpihan kaca dua kali. Yakni, kendati samar-samar, tadi aku bisa mengenali tubuh Melody yang gemetar hebat dan penuh keringat dingin. Sambil menatapku seolah-olah menatap monster, ia tampak berusaha melawan rasa sakit akibat cengkramanku yang menyiksanya. Air matanya hampir tumpah. Namun, seperti ditahannya mati-matian.
Tito Alvarez memang terbiasa menghadapiku ketika mabuk dan selalu mengurusku sampai benar-benar pulih. Namun, tidak dengan Melody. Kelihatan sekali istriku syok sampai-sampai memilih kabur dariku; aku yakin ia kabur sebab kalau tidak, Max sudah pasti lebih memilih membuntutinya daripada bersamaku, lebih-lebih di tengah situasi ini. Yah, itu jauh lebih masuk akal ketimbang Melody mendekam di rumah dan menjadi sasaran kemurkaanku terhadap keadaan. Aku memang perlu dijauhi ketika mabuk.
Terakhir kali mabuk sebelum pagi ini, dulu mendiang Alfred menyaksikan aku bertengkar dengan Tito yang membuat persahabatan kami retak. Sekarang, tampaknya aku telah sukses membawa prahara rumah tanggaku dengan Melody. Entah bagaimana jadinya hubungan kami nanti. Kegamangan pun mulai merangkulku. Di satu sisi aku mengutuk setan yang sangat kurang ajar, yang suka sekali merasuki akal sehat dan mengaburkan logika. Aku yakin makhluk terkutuk itu sedang tertawa puas karena telah sukses membuatku menjadi bajingan sejati.
Akan tetapi, ide mabuk ini justru menjadi timbal balik bagiku. Sisi positifnya seperti yang kuharapkan di awal. Logikaku perlahan-lahan mulai jalan. Terlepas dari tingkahku yang tidak mencerminkan pria sejati, aku merasa hidup kembali dengan tanda-tanda serangan fisik seperti: didera sakit kepala, sensasi tenggorokan terbakar minuman keras, perut pengar, dan yang paling terbaru, aku mendengar dentuman pintu utama berbarengan dengan gonggonggan Max.
“Baby? Melody?” panggilku refleks dengan penuh harap. Sayangnya, tidak terkabul. Itu bukan Melody. Melainkan Liam. Tak heran gelagat Max menunjukkan aura bermusuhan dan gonggongannya bukan jenis gonggongan selamat datang sebab tak seberapa kenal dengan pria itu.
Kuperintah Max supaya duduk dan berhenti bersikap dramatis serta berhenti menggonggongi Liam. Anjing itu malah mirip orang ngambek. Dengan muka cemberut, Max berjalan ke sudut ruangan dan tiduran.
“Aku menerima informasi Porche Black Cayman istri Anda telah keluar dari gedung. Saat melewati orang kita yang berjaga sebagai sekuriti, kaca mobil tidak dibuka. Jadi, kami tidak tahu apakah itu istri Anda atau bukan. Maaf telah lancang karena langsung memutuskan kemari untuk melihat situasi,” terang Liam setelah melihat-lihat sekitar yang kacau. “Jadi, apa perlu mobil itu kita pantau? Dan apa yang sebenarnya terjadi?”
Mana mungkin aku akan menerangkannya pada Liam? Iya, kan? Kuakui ini amat memalukan. Maksudku, kendati aku bertindak bodoh, tetapi tetap saja aku penasaran ke mana Melody pergi. Semoga ia tidak memesan tiket ke Jakarta lalu pergi dengan penerbangan tercepat dan pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu tindakanku ini. Semoga saja tidak.
“Kelihatannya bagaimana?” balasku sengak. “Tapi itu tidak penting. Yang mengendarai mobil itu jelas istriku. Tolong pantau ke mana dia pergi. Dan tolong beri aku obat pereda mabuk. Ada di kotak obat di dapur.”
Mobil itu memang canggih dengan GPS yang bisa dilacak. Oleh sebab itu aku memberikannya pada istriku, agar bisa mengetahui ke mana saja ia pergi. Pengawasan ekstra dari para wanita yang tergabung dalam klan Davidde tentu menjadi makin baik.
“Baik, akan kutelepon Nicolo agar bisa memeriksa GPS yang terpasang di mobil itu selagi ke dapur,” jawab Liam logis. Dan belum sempat ia berjalan ke dapur dan menempelkan ponsel ke telinga, alat komunikasi tersebut lebih dulu berbunyi. “Tito menelepon,” lapornya dan aku mengangguk, memberi isyarat agar ia mengangkatnya lebih dulu.
Kelihatannya itu telepon penting. Sebab Tito tidak akan menelepon Liam kalau tidak ada sesuatu yang amat mendesak. Mungkin ia telah mencoba meneleponku, tetapi aku tak ingat di mana terakhir kali memegang ponselku. Semoga saja bukan sesuatu yang buruk.
Kuperhatikan Liam bergumam kepada si penelepon sebelum akhirnya memutus sambungan dan melapor padaku. “Tito mendapat kabar dari Smitten Tatto kalau istri Anda baru saja dari sana. Sekarang dalam perjalanan pulang.”
Tentu saja kalau aku tak bisa dihubungi, pemilik Smitten Tatto akan menghubungi orang terdekatku yang mereka kenal, yaitu Tito. Namun, syukurlah Melody tidak pulang ke Jakarta. Kupikir itu pertanda bagus.
“Apa lagi yang dikatakan pemilik Smitten Tatto pada Tito?” tanyaku lantaran melihat wajah Liam tampak masih menyimpan beberapa kata.
“Istri Anda mengaku telah diganggu orang mabuk pada mereka. Tapi tidak lapor polisi atau tidak menelepon Anda karena khawatir Anda akan panik. Jadi, setelah dari Smitten Tatto, istri Anda memutuskan untuk pulang.” Liam berdeham lalu berinisiatif, “Akan kuambilkan obat pereda mabuk di dapur dan akan kutelepon beberapa orang juga untuk membantu membersihkan penthouse.”
“Telepon Nicolo dulu. Aku ingin tahu persisnya posisi istriku sekarang.”
Meski sudah mendapat kabar Melody dalam perjalanan pulang, tetap saja aku butuh lokasi pastinya dan estimasi berapa lama sampai ia datang. Sehingga, aku bisa membersihkan badanku.
Beberapa saat setelahnya, Liam kembali dan memberiku obat serta segelas air mineral. Sementara kutenggak obat tersebut, Liam berurusan dengan ponselnya untuk menghubungi Nicolo.
Bermenit-menit kemudian, Nicolo menelepon lagi dan memberitahu lokasi istriku. “Mobik istri Anda belum menuju Clifton Hampton sejak beberapa menit lalu. Nicolo menelusuri jejaknya dari gedung ini ke Smitten Tatto sampai sekarang. Mobilnya berputar-putar di sekitar Summertown sebelum akhirnya ke gedung penthouse lama Anda,” terang Liam.
Tentu saja itu Melody butuh menjauh dariku! Dan kenapa aku harus menunggunya pulang? Aku yang berbuat salah, seharusnya aku meminta maaf dan menjemputnya.
Jadi, tak peduli lagi pada perihnya kakiku, aku segera mencuci muka supaya liur Max hilang sama sekali dan lebih segar. Meski demikian, aku tak sempat merapikan rambut, mencukur kumis atau bulu-bulu janggut yang mulai tumbuh subur. Aku juga tidak menukar pakaianku menjadi lebih baik.
Hei! Aku diburu waktu. Yang terpenting bagiku adalah meminta maaf dan membawa Melody kembali secepatnya.
Liam dan seorang anak buahku yang lain berbaik hati berinisiatif mengantarku ke Summertown. Aku pun berpamitan pada Max dan meminta anjingku agar menjaga rumah. Sudah kusiapkan juga makanan dan minuman kesukaannya di kandangnya agar sewaktu-waktu Max bisa makan serta minum, tak kelaparan. Sebab aku tak tahu butuh berapa banyak waktu untuk menjemput Melody. Kuusahakan secepatnya.
Sebetulnya aku ingin menitipkan Max ke Golden Care and Clinic. Namun, lagi-lagi waktu menjadi alasannya. Selain itu, semua anak buahku yang ikut tak akrab dengan Max. Hanya Tito, Lih, dan Nicolo—yang belakangan ini selalu bertemu Max—yang dikenali anjingku itu. Jadi, tidak mungkin salah satu dari mereka ini bisa kumintai tolong membawa Max ke Golden Care and Clinic.
“Apa mobilnya masih di sana?” tanyaku pada Liam yang duduk di samping kemudi. Seorang anak buahku yang lain mengemudi sesuai petunjuk Liam. Sementara aku sendiri duduk di kursi tengah mobil SUV hitam ini.
“Masih. Dan aku sudah meminta Nicolo ke sana secepatnya untuk menjaga istri Anda.”
Itu jawaban yang cukup memuaskan. Sayangnya tidak semulus itu jalan yang kutempuh untuk meminta maaf dan menjemput Melody. Kami justru terjebak macet di tengah-tengah jadwal berangkat kerja. Pusingku yang semula sudah mereda mendadak bertambah kadarnya.
“Di mana Nicolo sekarang?” tanyaku tak sabaran setelah meminta sopir mencari jalan alternatif. Amat sulit keluar dari kemacetan, padahal hanya ingin berbelok ke kiri.
“Sudah tiba di gedung. Sekarang sedang naik ke penthouse Anda untuk berjaga di depan. Titik Porche itu juga masih di dalam gedung.”
Oke, setidaknya Melody tidak ke mana-mana lagi. Mungkin yang dibutuhkannya hanya menenangkan diri.
Akhirnya SUV ini berhasil keluar dari kemacetan menuju jalan alternatif. Belum ada laporan lagi dari Nicolo mengenai Melody. Pria itu membagi pusat titik koordinat mobil Porche Melody agar kami tak bertanya-tanya lagi. Nicolo hanya akan melapor kalau Melody keluar dari penthouse. Aku punmengambil tablet yang dipegang Liam supaya bisa melihat koordinat itu dengan mata kepalaku sendiri.
Kemudian mobil Porsche itu bergerak. “Istriku akan pergi.”
“Tapi belum ada laporan dari Nicolo, Bos,” bantah Liam.
Ingin sekali kupukul kepalanya. “Ini, coba lihat ini!” Kuulurkan lagi tablet itu kepada Liam agar ia bisa melihat mobil Melody. Ia lantas segera menghubungi Nicolo pasca menyerahkan tablet itu lagi.
“Tidak ada yang keluar dari penthouse, Bos,” lapor Liam dan aku merasa akan gila.
Bagaimana mungkin Melody tidak keluar penthouse, tetapi mobilnya justru keluar dari gedung?
“Periksa penthouse itu,” titahku yang mulai ketar-ketir sementara koordinat mobil Porche itu terus bergerak.
Apa yang sebenarnya terjadi? Semoga Melody baik-baik saja.
“Istri Anda tidak di penthouse, Bos,” lapor Liam lagi setelah mendapat informasi dari Nicolo.
Lagi-lagi aku menitah, “Tolong cek CCTV pada menit di mana mobil itu masuk gedung sampai keluar lagi.” Lalu aku memerintah sopir. “Tetap ikuti mobil istriku.” Kuberikan tablet itu padanya agar lebih leluasa mengemudi, yang kemudian ia letakkan di dasbor tengah.
“Baik, Bos,” jawab mereka kompak.
Liam segera menelepon Nicolo lagi. “Maaf agak lama. Kata Nicolo, tidak ada yang turun dari mobil itu. Tapi bayangannya di CCTV istri Anda yang mengemudi. Bukan orang lain.”
Sial! Demi Neptunus! Aku benar-benar menyesali perbuatku pada Melody. Lihat, istriku seperti orang tak tahu arah. Aku harus segera meminta maaf dan menjemput istriku secepatnya.
“Ke mana mobil itu pergi, Liam?” tanyaku agak putus asa.
“Masih terus berjalan,” jawab Liam sembari memperbesar layar. “Sekarang menuju jalan besar ke arah Clifton Hampton.”
“Dia pulang?” tanyaku tak percaya. Semoga saja Melody betulan pulang.
Aku lantas melihat ke luar jedela. Pepohonan mengapit kanan dan kirinya serta jarang ada bangunan yang berdiri tegak. Semestinya aku tidak kaget karena ini jalan alternatif yang kemungkinan besar memang demikian. Namun, tetap saja aku mulai ketar-ketir.
Akhirnya setelah hampir seperempat jam mengejar Melody, ada titik terang dari Nicolo yang disampaikan melalui Liam. “Istri Anda tidak pulang, Bos. Tapi ke rumah Dokter Meggy Force. Kita bisa lewat jalan alternatif dan sampai di sana hanya dalam lima menit.”
•••
Dan di sinilah diriku berada, sekali lagi menekan bel rumah sahabat Melody dengan sabar. Sampai akhirnya sang pemilik rumah membukanya.
“Mr. Wilder. Ada yang bisa kubantu?” tanya Meggy Force diplomatis.
Dikarenakan tidak ingin basa-basi, aku segera menjawab langsung ke sasaran pembicaraan menggunakan bahasa dan aksen serupa Meggy. “Aku ingin menjemput istriku.”
“Oh God, ini masih pagi tapi kau sudah bau alkohol.” Meggy mengibas tangan di depan wajahnya yang mengernyit lalu menekan hidung menggunakan jari-jari gemuknya. Suaranya mirip balon kempes saat mengatakan, “Maaf, Melody tidak ada di sini. Memangnya dia ke mana? Kenapa kau mencarinya?”
Aku mulai kesal. Bisakah Meggy menggunakan otak jeniusnya untuk mengarang alasan lebih masuk akal? “Lalu kenapa mobilnya ada di depan rumahmu? Aku tidak ingat istriku pernah bercerita telah meminjamkan mobil itu kepadamu.”
Setelah selayang pandang melirik mobil hitam yang kumaksud, tubuh Meggy yang gemuk berdiri menghalangi pintu rumahnya. “Baiklah, maaf soal itu dan maaf harus mengatakan ini padamu, Mr. Wilder. Sayangnya, Melody tidak ingin bertemu denganmu saat ini. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi pada kalian, kondisinya kacau. Tapi kurasa dia butuh menenangkan diri tanpamu.”
“Dan siapa kau? Juru bicaranya? Atau guru spiritualnya?” ejekku.
Aku hendak menerjang masuk, tetapi Meggy mencegahku. “Kau tidak bisa memasuki rumahku seenaknya.”
“Dokter Meggy Force,” panggilku dengan suara rendah dan intonasi agak lambat. Kupastikan tatapanku yang menyipit terlihat tajam dan menusuk. “Aku sungguh berterima kasih padamu. Berkat kau, aku selamat dari koma tahun lalu. Tapi, kalau aku jadi kau, aku juga akan mengingat seseorang telah melunasi rumah idaman ini beserta utang-utang orang tuaku. Oh, satu lagi, tawaran pekerjaan yang lebih baik, dengan gaji lebih baik,” paparku yang kulafalkan dalam bentuk bisik-bisik. Menyertainya dengan menyasarkan pandangan mengelilingi rumah ini.
“Pria seperti apa yang sesungguhnya telah dinikahi sahabatku? Aku jadi penasaran, bagaimana seandainya kalau Melody tahu apa yang sudah kaulakukan padaku dan Diana,” tanggap Meggy yang tak kalah berbisik. Wajahnya kini berubah seperti bom siap meledak.
Tentu saja aku tidak ingin mengakui di depan wajah Meggy yang sudah berubah ungu. Bahwa, apa yang dikatakannya itu sangat amat mempengaruhiku. Bagaimana bila Melody mengetahui kebusukanku yang lain? Sementara sesi menyebalkan ini belum bisa kuatasi? Aku tentu harus menutupi rahasia-rahasia gelapku agar Melody tidak lari dariku lagi.
Berkebalikan dari itu, dengan penuh percaya diri dan smirk smile andalan, aku menukas, “Memangnya, apa yang telah kulakukan padamu dan Diana?”
Satu detik, dua detik, tiga detik, tidak ada jawab dari Meggy. Hm ... sesuai dugaanku. Mana mungkin ia berani membuka mulut dan menyuarakan tawaran yang kuberikan padanya agar bekerja di rumah sakit Melody pada dini hari di hari ulang tahun Melody. Iya, kan?
Aku pun kembali bersuara. “Omong-omong, daripada kita terus berdebat di sini sepanjang hari, lebih baik kau tidak membuang-buang waktuku dengan memberiku jalan agar aku bisa membawa istriku pulang.”
“Cepat atau lambat, dia akan tahu siapa dirimu sebenarnya,” desis Meggy.
Lagi-lagi, aku tidak ingin kalah dengan memperlihatkan wajah terluka. Sebaliknya, seperti tadi, aku membalas dengan kepercayaan diri tinggi yang sebenarnya untuk mendoktrin diri sendiri. “Maaf harus membuatmu kecewa. Dia mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Jadi, aku harap kau mengerti posisimu. Kami tidak membutuhkan pihak ketiga sebagai penasihat rumah tangga kami.” Lalu aku tersenyum. “Bagaimanapun, aku berterima kasih karena kau mau menampung istriku saat ini. Jadi, bisa tolong kau minggir?”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto suami zeye
Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻
Rabu, 17 Agustus 2022
Remake and repost: Selasa, 19 September 2023
Repost: Kamis, 17 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top