Chapter 16 [Berlian Melody]

Selamat datang di chapter 16

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Dalam kehidupan keluarga, cinta adalah minyak yang meredakan gesekan, semen yang mengikat lebih dekat, dan musik yang membawa harmoni.”

—Friedrich Nietzsche

____________________________________________________


Musim semi
Clifton Hampden, 27 Maret
Pukul 06.30

“Non ..., Den ....”

Ketukan pintu disertai panggilan namaku dan Jayden bareng gonggongan Max di kandangnya yang dilakukan terus-menerus membuat tidur nyenyakku terganggu. Sambil memejam, dalam posisi agak telungkup, aku memanjangkan tangan ke sebelahku, mencoba menggapai dan membangunkan Jayden yang berbaring di sana. “Baby ..., Mbak Mar minta dibukain pintu, tuh. Sekalian tolong tenangin Max, dong ...,” rengekku dengan suara serak.

Bukannya malas, tetapi tubuhku sedang didera lelah lantaran harus melewati serentetan jadwal padat kemarin. Sedangkan mandi air hangat selama beberapa menit sebelum tidur semalaman rasanya belum cukup untuk merilekskan otot-ototku. Rasanya tubuhku masih seperti dipukuli orang se-Indonesia.

Obat-obat penghilang pegal memang banyak, tetapi aku selalu berusaha menghindarinya. Lebih baik aku melakukan gaya hidup sehat daripada mengkonsumsi obat-obatan yang berefek ke ginjal. Cara itu kuterapkan pada pasien-pasienku. Apabila itu masih belum cukup mampu mengoptimalkan kesehatan, aku baru meresepkan obat. Semua tergantung seberapa parah gejala dari penyakit yang diderita pasien.

Dikarenakan tidak mendengar dengkuran halus ciri khas Jayden saat tidur ataupun tanda-tanda kehidupan lain dari suamiku itu, aku mempekerjakan tanganku lebih giat untuk meraba-raba ranjang sampingku sambil memanggil-manggilnya. “Baby ....”

Sementara di luar kamar, Max masih rajin menggonggong bersama Mbak Mar yang terus mengeluarkan suara, “Den, Non, Bapak pingsan. Tolong ....”

Teruntuk kali ini, secuil informasi mengejutkan itu memicu saraf-sarafku bekerja maksimal. Rasa lelahku terabaikan. Kedua netraku membuka cepat, seirama dengan jantungku. Bagai mendapat sengatan listrik berjuta-juta volt, aku berjingkat bangun dari kasur. Kepalaku menoleh ke permukaan empuk yang baru saja kutiduri, tetapi tidak ada Jayden. Pantas tidak ada sahutan darinya.

Mengabaikan pertanyaan di mana suamiku berada, aku menelengkan kepala ke kiri dan kanan untuk mencari jubah tidur satin biru mengilat panjang. Luaran baju tidurku itu tersampir di punggung kursi depan meja kerja kecil depan kasur. Aku menyambar dan memakainya. Sambil menalinya asal-asalan, aku menderap ke pintu untuk cepat-cepat membukanya. Dan wajah khawatir wanita dewasa berambut sebahu yang dikucir menyerupai ekor kuda itu segera menjadi sasaran pengelihatanku.

“Apa, Mbak? Papa pingsan? Kok, bisa?” tuntutku dengan mata memelotot. Tertular kepanikan Mbak Mar. Aku bahkan sudah menggigiti kukuku.

“Nggak tahu, Non,” terang Mbak Mar ringkas sambil menggeleng-geleng.

“Di mana Papa sekarang, Mbak? Ayo ke sana!”

Aku mengikuti Mbak Mar berlari secara hati-hati menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua dengan ruang tengah di lantai satu.

“Itu, Non Mel,” tunjuk Mbak Mar.

“Papa!” seruku. Dengan napas ngos-ngosan aku buru-buru menghampiri Papa yang duduk di sofa berlengan ruang tengah ini.

Kepala Papa bersandar pada punggung sofa dengan mulut sedikit terbuka. Kacamata baca yang dikenakan beliau sedikit melorot. Sama halnya dengan buku di perut Papa. Di belakang mertuaku itu, tirai putih kombinasi emas yang dibuka lebar memberi akses sinar mentari untuk menerobos dan menyirami wajah pucat beliau.

“Papa,” panggilku sekali lagi sembari melihat gerakan naik-turun dada Papa yang sangat lambat. Setidaknya, masih ada napas.

Aku tidak peduli lagi pada Max yang terus menggonggong.

Maafkan aku, Max.

Aku melempar buku dan kacamata. Lalu segera memegang pergelangan tangan Papa yang sedingin es untuk memeriksa denyut nadi. Sambil menghitung, aku berteriak, “Mbak Mar, tolong ambilkan kotak obat di dapur sambil naikin suhu pemanas ruangan.”

Saat aku mendapatkan hasil denyut nadi Papa tidak tepat, Mbak Mar datang membawa kotak obat. “Mbak tolong ambilkan selimut buat Papa. Selimut-selimut yang lain juga kalau bisa.”

Aku menggosok-gosok tangan untuk menciptakan kehangatan kemudian menyalurkannya pada pipi, leher dan tangan Papa. Sweter tanpa lapisan luar yang dikenakan Papa dan penghangat ruangan tengah yang disetel dengan suhu kurang tinggi di awal musim semi yang masih membagi hawa dingin, membuatku takut Papa hipotermia. Dan sebagian tubuh Papa sudah mengalami gejala tersebut.

Setelahnya, aku membuka kotak obat di meja untuk mengambil alkohol usap. Aku menyobeknya cepat-cepat lalu menaruhnya di depan hidung Papa guna memberi rangsangan indra pembau beliau.

“Pa, Papa ..., ini Mel, Pa. Ayo bangun, Pa,” panggilku sembari menepuk-nepuk pipi Papa.

Gagal. Papa belum bangun juga.

Aku tahu, sebagai seorang dokter, aku diharapkan tetap tenang untuk menangani pasien yang butuh pertolongan pertama. Namun, entah kenapa air mataku justru mulai mengancam tumpah. Karena aku tahu, kondisi orang yang kusayangi ini tidak baik.

“Mbak Mar, mana selimutnya?” teriakku dengan suara aneh bin tidak sabaran karena menahan tangis serta gumpalan pahit yang mengganjal tenggorokanku. Aku membuang alkohol usap sembarangan untuk merebahkan Papa agar bisa melakukan cardiopulmonary resuscitation[7] atau CPR. “Pa, bangun,” gumamku pada Papa.

Mbak Mar datang dari sisi kiri. “Ini, Non.”

“Sekarang, tolong bantu aku angkat Papa, Mbak. Buat makein selimut.” Aku meraih selimut tebal. Dibantu Mbak Mar, tiga selimut kami lilitkan Papa. Lilitan itu agak longgar supaya tetap ada celah untuk bernapas. Hanya bagian kepala yang tidak kubungkus. “Jayden di mana, Mbak?”

“Loh, saya kira masih di kamar Non Mel tadi. Soalnya saya hampir keliling rumah buat bersih-bersih, nggak ada. Yang terakhir saya ke ruangan ini, tapi nemu Bapak udah pingsan.”

Tidak ada Jayden. Itu berarti tidak ada satu pun pria sehat di penthouse yang bisa membawa Papa ke rumah sakit. Jadi, aku harus mengesampingkan emosionalku untuk menggunakan logika berpikir. “Mbak, pakai baju hangat. Siapin buat Papa juga. Aku mau telepon ambulans. Kalau dalam waktu lima menit belum dateng, aku mau minta tolong sekuriti buat bantuin angkat Papa. Kita bawa Papa ke rumah sakit secepatnya.”

Sambil menunggu ambulans datang, aku kembali melakukan cardiopulmonary resuscitation. Tak lama kemudian Mbak Mar sudah siap. Aku memintanya melepas Max dari kandang. Dan anjingku itu sontak duduk di sebelahku sambil meraung-raung. Ketika ambulans datang beberapa menit setelahnya, selagi para petugas medis rekan-rekanku segera membawa Papa, aku menenangkan Max yang menggonggongi mereka.

“Hei, Buddy. Tolong jaga rumah. Doakan semua baik-baik saja.”

•••

Gagal jantung lagi disertai hipotermia. Apa lagi yang lebih buruk daripada kondisi Papa saat ini? Padahal, Clifton Hampden sedang membuka tangan lebar-lebar untuk menyambut musim semi. Kuncup-kuncup bunga di taman-taman kota mulai bermekaran. Tunas-tunas tanaman kecil dan pohon-pohon di sepanjang jalan mulai tumbuh. Mentari pun tak malu-malu muncul, melelahkan sisa-sisa salju. Kota ini yang semula seperti dicat warna putih, sekarang lebih menjadi berwarna-warni. Auranya lebih ceria dan hangat. Kondisi yang sungguh sangat bertolak belakang dengan kondisi Papa.

Papa baru saja menjalani operasi implan alat pacu jantung dan kondisi beliau sudah stabil setelah dipantau secara sungguh-sungguh dari beberapa bulan lalu. Aku tidak mengerti, kenapa alat pacu itu justru tidak bekerja dengan baik sekarang?

Untuk yang ke-17 kalinya dalam setengah jam terakhir, dengan perasaan was-was serta tiada henti menggigiti kuku, aku mencoba menelepon Jayden. Namun, untuk yang ke-17 kali itu pula, aku harus menelan kekecewaan karena teleponku tidak diangkat.

Aku tidak tahu di mana suamiku berada walau sudah menduga ia masih bekerja. Sambil menunggu Jayden menghubungiku, aku memberitahu Kak Jameka.

“Ada apa, Mel? Gue baru aja tidur.”

Astaga, gara-gara panik, aku sampai tidak sempat mengira-ngira waktu di Jakarta. Setelah bisa mengontrol diri, dengan tenang dan hati-hati, aku menjelaskan, “Kak Jame, Papa barusan pingsan—”

“Hah? Papa pingsan lagi?” Kak Jameka berteriak dan memotong omonganku. Sampai-sampai aku harus menjauhkan ponsel dari telinga kananku.

“Tenang, Kak. Sekarang Papa udah di rumah sakit—”

“Bilangin ke Jay jangan sampai bikin rusuh lagi. Gue bakal ke sana secepatnya!” potong Kak Jameka lagi. Kemudian memutus sambungan telepon sepihak.

Jadi, kuanggap tugas mengabari Kak Jameka beres. Sebaiknya, aku menelepon Jayden lagi. Sayangnya, tidak diangkat.

“Belum diangkat, Non?” tanya Mbak Mar yang menggigil di kursi tunggu depan ruang ICU. Padahal sudah berpakaian tebal.

Aku menolehnya. “Belum, Mbak. Kalau Mbak kedinginan, Mbak ke kafetaria dulu aja. Pesen minuman hangat. Bilang aja atas nama Melody. Atau Mbak cari vending machine terdekat yang jual minuman hangat. Biar aku yang jaga Papa.”

Wajah Mbak Mar sontak ragu. “E ... anu, Non. Saya nggak bisa bahasa Inggris.”

“Oh iya lupa, Mbak. Maaf,” kataku setelah menepuk jidat. “Pakai HP aja buat nerjemahin.”

“Gimana caranya, Non?”

Aku mengajari Mbak Mar cara menggunakan fitur menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Begitu pun sebaliknya. Ia lantas pergi, entah ke kafetaria atau mencari vending machine. Sementara gigi-gigku kembali beradu dengan kukuku, aku berusaha menelepon Jayden lagi. Tidak seberuntung itu, hasilnya masih sama. Sebenarnya sedang di mana ia sekarang? Kenapa tidak membalas pesan atau menelepon balik aku?

“Melody,” panggil seseorang. Aku mengarahkan pandangan ke samping dan mendapati Meggy Force berjalan cepat ke arahku.

Wanita berkulit hitam itu berucap, “Aku mendengar dari staf-staf kalau mertuamu masuk ICU.” Meggy lantas celingukan. “Di mana suamimu?”

Dengan berat hati aku membalas dalam bahasa dan aksen British seperti Meggy. “Sepertinya, dia masih bekerja. Aku sudah meneleponnya berkali-kali tapi belum diangkat. Aku juga sudah mengirimkan pesan, tapi belum dibaca.”

“Kau tak menghubungi rekan-rekan kerjanya?”

Bagai ditimpa batu besar. Pikiranku tak sampai ke sana. “Tapi aku hanya tahu rekannya yang bekerja di Indonesia. Aku tidak tahu sama sekali rekan kerja suamiku.”

Meski tak percaya dengan jawabanku, Meggy memelukku sambil mengusap-usap punggungku. Diperlakukan seperti ini membuat air mataku kian menggenang dan siap tumpah kapan saja. Namun, aku tahu aku tidak boleh menangis. Masih banyak hal penting yang harus kukerjakan sebelum menumpahkan segala bentuk emosional lewat air mata.

Seraya melepaskan diri, Meggy berbisik, “Ya sudah. It’s okay. Percayalah padaku, suamimu akan tahu dan langsung ke sini tanpa kau memberitahunya atau memberitahu rekan-rekan kerjanya.”

“Maksudmu, Meg?” tanyaku tak mengerti. Entah karena kemampuan berpikirku yang melemah di situasi genting seperti ini. Sehingga, kata-kata Meggy sulit kucerna. Ataukah memang ada makna-makna khusus yang harus kupahami?

Tangan Meggy mengibas, “Lupakan. Duduklah, Mel. Lihat penampilanmu. Berantakan. Kau harus tenang dan kita berdoa sama-sama.”

Ini sungguh lucu. Beberapa waktu lalu, akulah yang berada di posisi Meggy sekarang.

Sambil merapikan rambutku yang tak sadar acak-acakan, Meggy menuntunku agar duduk di kursi panjang yang tadi diduduki Mbak Mar. Sayangnya, belum sempat pantatku menempel di kursinya, aku melihat Jayden datang dari arah kanan. Pria itu memakai mantel kulit hitam sepanjang lutut yang tidak dikancingkan. Kemeja putih, dasi hitam dan suit hitam yang dikenakannya mengintip. Rambut Jayden begitu rapi; diberi pomade dan disisir ke belakang.

Suamiku tidak datang sendirian. Ada seorang pria—yang kelihatannya orang Italia—bersamanya. Suara pantofel-pantofel mengilat mereka bergema di koridor. Wajah datar Jayden dengan suasana muram rumah sakit membuatku takut sebab apa yang dikatakan Megggy rupanya benar. Bahwa, tak perlu membaca pesan atau menerima teleponku, suamiku tahu keadaan Papa dan langsung kemari.  Lantas, dari siapa pria itu mengetahui kondisi Papa?

Sayangnya, bukan saatnya bagiku untuk memikirkan itu. Aku tahu pasti suamiku sedang luar biasa khawatir. Oleh sebab itu, aku membatalkan niatku duduk untuk berlari dan memeluknya erat-erat.

“Jayden ....”

“Di mana Papa? Gimana keadaannya?” tanya Jayden sambil balas memelukku. Namun, tidak seerat yang kulakukan. Itu adalah pelukan formalitas. Pasti Jayden sangat panik sampai bersikap seperti ini.

“Papa tadi pingsan di sofa. Tadi aku telepon ambulans, terus cepet-cepet dibawa ke sini. Sekarang Papa lagi ditangani di ICU,” paparku, “kamu dari mana aja? Kok, bisa tahu keadaan Papa? Padahal kamu nggak angkat teleponku atau baca pesanku.”

Jayden melepas pelukanku secara perlahan. “Aku ngecek kerjaan. Aku tahu kondisi Papa dari dokter sini.”

Aku ternganga. Meski jawaban Jayden logis dan secara otomatis menghapus pertanyaan dari pernyataan Meggy, tetapi kenapa ia lebih memilih menerima informasi dari dokter rumah sakit ini daripada aku yang notabene istrinya?

Semestinya, aku tidak boleh merasa cemburu lantaran tidak ada waktu untuk itu. Namun, tetap saja, aku merasa seolah-olah seseorang menyiram paru-paruku dengan air panas.

Pintu ruang operasi dibuka. Kami kompak menoleh. Jayden segera menghampiri dan mengobrol dengan dokter yang menangani Papa. Aku salut dengan perubahannya yang bertindak sesuai norma, tidak seperti di rumah sakit di Jakarta dulu.

Aku mendengar kondisi Papa memburuk. Alat pacu jantung itu rusak. Dan daripada menggantinya dengan yang baru, dokter menyarankan untuk segera mencari donor jantung. Rumah sakit ini termasuk baru beroperasi sehingga belum terlalu banyak yang mendonorkan jantung. Sehingga, tidak bisa memenuhi kebutuhan Papa. Dokter lantas menulis surat rujukan ke rumah sakit jantung terbaik di dekat sini.

Aku sempat khawatir Jayden mengamuk. Beruntungnya, kekhawatiranku tidak terbukti. Meskipun dengan rahang mengetat, Jayden berucap, “Apa pun yang terbaik untuk Papa, akan kulakukan. Terima kasih sudah membantu.”

Tidak butuh waktu lama prosedur pemindahan Papa ke rumah sakit jantung dilakukan. Papa dipantau ketat di ruang ICU oleh dokter-dokter spesialis jantung berdasarkan keinginan Jayden.

Kak Jameka dan Tito tiba pada malam hari. Kami bergantian menjaga Papa sambil menunggu antrean donor jantung. Mengingat prosedur rumah sakit yang tidak memperbolehkan pasien menyelak antrean.

Lagi dan lagi, aku khawatir Jayden akan mengamuk. Yang rupanya tidak.

Suamiku itu justru rajin mondar-mandir sejenak di depan koridor. Hingga akhirnya ia berhenti. Jayden lantas menghampiriku dan berkata, “Tolong jaga Papa. Aku pergi nyari pendonor dulu. Doain dapet secepatnya.”

[7] Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama Bantuan Hidup Dasar pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun

Kelen luar biasa

Bonus foto My twin

Jangan lupa follow sosmed saya lainnya ygy

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©® Chacha Nobili
👻👻👻

Sabtu, 13 Agustus 2022

Remake and repost: 16 September 2023

Repost: Selasa, 15 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top