Chapter 13 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 13

Tinggalkan jejak dengan vote, komen, dan benerin typo-typo meresahkaeun yes

Thanks

Happy reading everybody

Hope you like and enjoy this story like I do love Jayden

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Secara implisit, penawaran itu berbunyi: ambil atau kau siap melawanku dan seluruh anggota klan Davidde. Sesederhana itu.”

—Jayden Wilder

____________________________________________________


Jakarta, 27 Oktober
Pukul 11.02

Berminggu-minggu lalu, Brooklyn menjadi tempat bermufakat antara aku, Tito, Nicolo, dan Erlang Eclipster guna membahas pembatalan rencana menggugat bedebah Cavez Donzalo. Kami berdiskusi panjang lebar. Memeras otak guna mencapai kesepakatan terbaik ditemani ahli hukum yang bekerja di startup Gemilang Plup and Paper di bawah pimpinan Erlang. Langkah-langkah apa saja yang perlu agar aksi balas dendam kami bisa terlepas dari hukum.

Pihak yang paling dirugikan memang aku secara pribadi. Soalnya biaya bea cukai pengiriman produk smart furniture dari Heratl yang dimanipulasi oleh klan pimpinan Cavez harus kubayar menggunakan uang pribadiku. Sedang apes saja, suatu kebetulan aku-lah yang memimpin Heratl pada masa itu.

Setelah dikaji lebih dalam, kami lebih mantab untuk tidak membawa tindak tanduk bedebah Cavez ke ranah hukum di Inggris atau di Indonesia. Dilihat dari bidang hukum sendiri perkara ini amat sulit. Tidak ada cabang Heratl di Inggris. Heratl yang di ambang kebangkrutan dipersempit hingga hanya mencapai skala nasional, kendati pemasarannya hingga ke kancah internasional. Sedangkan hukum lintas negara biasanya seret. Negara tentu lebih mengutamakan meminimalisir penangkapan lintas negara dikarenakan melanggar prinsip kedaulatan negara. Lebih-lebih, negara yang bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Indonesia.

Jadi, mau tak mau aku diharuskan merelakan uang bea cukai yang jumlahnya tak sedikit itu. Tito pun membesar-besarkan hatiku bahwa itu lebih baik ketimbang mencari perkara di medan sulit. Toh, beberapa bisnis propertiku sudah jalan. Dengan bantuan relasi calon wali kota itu, bisnisku makin rame, walau belum balik modal. Meski demikian, bagaimana mungkin aku diharapkan ikhlas dengan semua perlakuan bedebah Cavez yang tidak lagi bisa ditoleransi oleh akal dan pikiran?

Diam-diam, aku masih mengidam-idamkan memasukkan Cavez ke kandang besi Max dalam keadaan telanjang bulat. Dengan kedua tangan, kedua kaki, dan leher terlihat rantai berduri. Kemudian secara perlahan-lahan akan kucelupkan kadang itu ke air mendidih agar ia meresapi sakitnya.

Aku juga masih membayangkan memotong kemaluan pria itu menggunakan gunting taman besar. Juga mencolok kedua matanya menggunakan jadgkommando kesayanganku. Jeritan-jeritan kesakitan bedebah itu yang akan sangat terdengar merdu sudah dinanti-nanti telingaku.

Sampai mati dengan siksaan-siksaan tersebut, aku masih ingin menggiling bangkainya di penggilingan daging milik kantin gratisku. Kemudian, kulemparkan potongan-potongan daging busuknya ke sungai atau danau dengan populasi buaya melimpah.

Aku masih membayangkan reptil-reptil tersebut akan berpesta pora menikmati potongan-potongan bangkai Cavez.

Dalam kemurungan ini, aku malah berpikir sebaiknya kucelupkan saja pria itu ke cairan asam pekat sampai luruh.

Selain urusan diskusi di Brooklyn yang mencapai hasil cukup memuaskan bagiku itu, aku pergi ke Shanghai membantu Horizon Devoss membuka lahan pengguritaan bisnis Diamond Bank milik ayahnya. Ia mengalami kendala dengan triad setempat sehingga meminta bantuanku. Aku lantas bernegosiasi dengan melakukan penawaran timbal balik beberapa persen saham Diamond Bank kepada para triad itu.

Selalu seperti itu.

Karena begitulah cara kerjaku memilih sekaligus memilah kawan atau lawan serta di waktu yang sama mengeruk keuntungan.

Perlu kau ketahui bahwa tidak sekonyong-konyong aku gampang bernegosiasi dengan mengajukan penawaran tanpa banyak pikir. Karena di sanalah letak kesulitan dan ujian sebenarnya.

Dengan penuh kehati-hatian, pihak Klan Davidde bekerja keras menyelidiki pihak terkait untuk menggali kelemahan mereka lebih dulu. Barulah kami menganalisa serta menyusun rencana. Yakni memegang kelemahan mereka dengan menawarkan solusinya.

Jadi, potensi kami menerima penolakan sangatlah tipis. Secara implisit, penawaran itu berbunyi: ambil atau kau siap melawan seluruh anggota klan Davidde. Sesederhana itu.

Lain halnya dengan HTI Kalimantan yang memang membutuhkan tindakan serta perhatian khusus. Meski mulanya Jameka masih agak menyayangkan keputusanku untuk melepaskan HTI lantaran aku berprinsip tak mau merusak alam, nyatanya Pak Kepala Desa malah dengan senang hati menunjukkan lahan-lahan legal di Samarinda yang sedang dijual. Jadi, aku membeli lahan untuk ditanami jati Belanda sebagai bahan baku produk smart furniture Heratl. Selain itu, aku juga membangun koneksi di sana dengan merekrut pemuda-pemuda desa yang belum memiliki pekerjaan.

Setidaknya masalah HTI Heratl kuanggap beres dengan damai.

Urusan Mrs. Lyn Grissam pun sudah beres. Aku telah membiayai asuransi kesehatannya dengan poli VVIP. Sehingga, perawatan yang didapatkan semuanya jempolan. Jaclyn juga rajin melapor kondisi ibu mendiang Alfred itu.

Pendek kata, aku bisa mencentang daftar pekerjaan yang kuanggap beres, termasuk menangani permasalahan ruko Smitten Tatto di Kemang milik Gibran dan Fani. Pengelola gedung itu memang kurang ajar dan belum tahu siapa lawan mainnya. Untunglah mereka segera kubereskan dengan mudah dan kupastikan lari tunggang langgang, tak akan mau mendekati kami.

Dalam keremangan ruang teater, aku mengendorkan punggung ke sandaran sofa tunggal berlengan sambil merenung dengan muram. Masalah pekerjaan satu per satu memang sudah bisa kuatasi. Sayangnya itu seakan-akan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesehatan Papa. Aku hanya tak mengerti kenapa Papa begitu sembrono. Tidakkah beliau mengingat umur yang sudah tidak muda lagi? Dan apakah aku sangat keterlaluan bila mencerca Papa seperti itu? Padahal aku melakukannya demi kebaikan Papa.

“Lagi nonton film apa?”

Aku menolah ke kiri lantaran mendengar suara Melody berteriak yang kuyakini untuk mengalahkan suara film. Aku pasti terlalu fokus merenung sampai-sampai tidak sadar kapan istriku membuka pintu ruang teater ini.

“Cuma nonton film politik. Biasa ...,” jawabku diplomatis. Bertentangan dengan fokusku yang sama sekali bukan ke film, yang entah sudah sampai menit ke berapa. Tontonan penuh intrik tersebut rupanya tidak berhasil menyabotase pikiranku. Kesehatan Papa dan pekerjaan memang kombinasi kombo untuk mengaduk-aduk isi dalam batok kepalaku.

“You always be a different one. Not usually people’s taste,” komentar Melody sambil tersenyum manis. Jenis senyum yang hangatnya mengalahkan mentari pagi dengan kemampuan menularkan ketentraman batin kepadaku. Kemudian ia mengambil duduk di sebelah kiriku dan meluruskan pandangan ke layar, memperhatikan film dengan dahi berlipat-lipat.

Aku mencermati istriku secara saksama. Mereka-reka alasannya baru menyusul kemari yang relevan dengan perdebatanku dengan Papa. Mengira-ngira: mungkinkah ia memberiku ruang dan waktu berpikir sendirian sebelum akhirnya akan melontarkan omelan-omelannya?

Aku sudah siap menerima segala protes Melody, tetapi hingga bermenit-menit, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Mungkinkah ia sependapat denganku mengenai perdebatanku dengan Papa sehingga tak membahas itu sama sekali?

Dengan sikapnya yang jauh lebih dewasa seperti ini saja kemuramanku luntur.

Wanita yang kupastikan kelak akan mengandung anak-anakku dan masih betah kupandangi itu akhirnya menelengkan kepala beberapa derajat ke arahku. “Kamu ini nonton film atau enggak, sih? Kok, dari tadi malah ngelihatin aku?” sindirnya.

Tanpa mengubah posisi dan letak pandangan, aku menjawab, “Cause you’re a thousand times more interesting than the movie.”

Bibir Melody tertutup rapat sampai tipis. Ia lantas membasahinya sebelum menantang, “Terus kenapa kamu masih diem di situ ngelihatin aku kalau aku lebih menarik seribu kali lipat dibandingkan filmnya? Kenapa nggak ngelakuin sesuatu ke aku?”

“Contohnya?” pancingku. Sudah pernah kukatakan sebelumnya bahwa dalam hal tertentu, aku suka istriku yang agresif dan liar seperti ini.

Kedua kelopak mata Melody disipitkan. Tubuhnya pun dicondongkan ke diriku. Ia lalu berbisik, “Contohnya kamu bisa nyium aku.”

Menurutku bagian inilah yang menarik. Jadi, aku memainkan sebuah peran. “Gimana, ya? Aku masih amatir soal gituan. Mungkin kamu bisa ngajarin aku.”

Istriku melebarkan senyum tiga jari sambil beranjak lalu berdiri di depanku. Dudukku pun tegak dengan sendirinya ketika Melody menunduk dan mengalungkan lengan-lengannya di leherku. Seraya mendongak, aku memegangi pinggangnya.

“Kalau gitu kamu harus milih. Mau aku ajarin di sini atau di kamar? Kayaknya kamar kita nganggur,” tukas Melody dengan nada menggoda; setengah berbisik dan intonasinya direndahkan. Ia melengkapi kalimatnya dengan telunjuk yang disusurkan ke hidungku.

“Kata orang nyari pengalaman baru itu seru. Jadi, aku mau, kok, diajarin di sini. Nggak masalah.”

“Dasar! Gimana kalau Mbak Mar tiba-tiba masuk?” tawar Melody.

Aku menjawab santai. “Biarin. Biar pengin.”

“Jayden!” Satu pukulan mendarat pelan di lenganku. Begitulah kebiasaan Melody selain menggigiti kuku. Bukan hal baru lagi. Dan itu pertanda dirinya sedang tidak sependapat. Namun, mana mungkin aku akan mengadakan rapat diskusi untuk memperoleh persetujuan dalam keadaan seperti ini?

Agar istriku tenang, aku lantas menekan remot untuk mengunci pintu. “Beres. Saatnya pelajaran mencium.” Dan tambahan pelajaran lain. Ehehe ....

Melody memulai aksinya dengan naik dan duduk di pangkuanku. Kedua lengannya masih melingkari leherku kini memegang semua wajahku untuk didongakkan. Tanganku yang semula bertengger di pinggangnya turun untuk meremas bongkahan pantatnya yang menggoda ketika ia mulai membubuhkan bibir di bibirku. Namun, tiba-tiba Melody mengangkat wajah dan memukul pelan tanganku.

“Tangannya diem aja. Kan, belum diajarin,” omelnya.

Aku tertawa kecil. “Oh, iya lupa. Maaf. Coba ulangi lagi. Tanganku mesti di mana ini?”

Melody membimbing kedua tanganku untuk diletakkan di atas kedua pahanya. Hari ini ia mengenakan dress kuning bunga-bunga santai lengan pendek dan panjangnya di bawah lutut. Akibat posisinya, dress itu tersingkap dan mempertontonkan pahanya yang mulus. Kala bibirnya bersiap menginvasi bibirku lagi, aku mengusap-usapkan kedua tanganku di pahanya. Dan Melody mengomeliku lagi.

“Jangan gerak-gerak. Belum diajarin!”

“Aku cepet belajar, kok. Biasanya autodidak,” balasku sembari menggeser-geser tanganku dan Melody mulai merintih nikmat.

“Aku suka murid yang cepat belajar kayak kamu,” balas Melody dengan napas mulai memberat saat tanganku makin naik.

“Jangan ditahan-tahan, di sini kedap suara.” Lagi pula, suaranya pasti tertutup oleh suara film yang masih terus berputar.

Melody bergumam untuk menjawab itu. Kemudian ia berinisiatif. “Kamu ngerasa gerah nggak? Sini, aku bantuin nyopot kaus.” Tangannya mencari bawah kaus hitamku dan dengan terampil membantuku menanggalkannya. Matanya terkagum-kagum dengan tato di dadaku. Ia menyusurinya. “Aku suka tatomu. Walau nggak suka alasan tato ini dibikin.”

Berhubung tak ingin mengingat-ingat penyebab tato ini dibuat di tengah atmosfer ini, aku segera melupakan peran guru dan murid. Kuraih kepala belakang Melody dan kutarik pelan, tetapi kuat agar aku bisa gantian menginvasi bibir merah mudanya. Berpadu dengan aroma vanila tubuhnya, aku makin bersemangat. Bagai memakan permen manis yang tak pernah habis.

Sembari menuntut balasan setimpal, tanganku yang satunya beralih ke lengan baju Melody. Kerah berkaret dress-nya lumayan longgar, tetapi tidak sampai memamerkan lipatan dada. Jadi, amat mudah bagiku untuk menyingkapnya. Maka kupindahkan daerah invasiku ke pundaknya. Kugigit dan kuisap supaya membentuk warna merah keunguan di sana. Kedua tangan Melody memengangi pundakku dan kepalanya mengongak, sementara mulutnya mengeluarkan erangan erotis yang tak ditahannya.

Adegan film terdengar baku hantam ketika kuturunkan kerahnya lebih rendah sampai penutup dadanya terlihat. Tanganku pun menyusup dari bawah dress-nya dan merambat ke punggung Melody guna mencari pengait branya. Melody dengan senang hati membantuku dan penutup dada itu kontan melorot, mempertontonkan keindahan yang menggoda lidahku.

“Oh! Jayden ....”

Sumpah, aku suka sekali ketika Melody meneriakkan namaku di tengah badai gairahnya yang mulai menyala-nyala. Ia juga pasti bisa merasakan hal serupa yang terjadi padaku. Aku merasa lebih percaya diri untuk memindah mulutku ke puncak dada sebelahnya. Dengan tangan sebelahku memilin yang satunya. Lagi-lagi Melody mengerang nikmat saat kugulirkan gigi-gigiku di sana. Tangan Melody mengusap rambutku. Sementara tangannya yang lain menarikku lebih dekat.

My turn, Baby,” cetusnya yang kemudian turun dari pangkuanku lalu dengan cekatan membuka ikat pinggang jins hitamku yang kemudian ditanggalkannya bersama Pierre Cardin serta sandal rumahku kala adegan film terdengar baku tembak.

“Shit,” umpatku pelan sembari memegangi seluruh rambut Melody agar tidak menghalanginya sewaktu merancapku. “Kamu makin jago, Baby. Tapi udah cukup. Jangan lama-lama, entar aku meledak. Sekarang sini kamu naik.”

“First of all, I have to undress myself.”

Sumpah demi Neptunus! Tak pernah kuduga sekalipun aku akan dibuat begitu terpesona secara berkala dan terus meningkat seperti ini. Terutama oleh istriku. Meski ruangan ini temaram, tetapi lekukan-lekukan tubuhnya amat jelas. Dulu aku mengira tubuhnya tak bisa berkembang, tetapi setelah beberapa bulan menikah dan rutin mendapat stimulasi dari mulut, gigi, serta tanganku, dadanya makin besar. Sebagai suami, aku amat bangga bisa menjadi mekanik andal bagi istriku.

Aku merasa gila kala Melody naik pangkuanku dan membimbing diriku menuju inti tubuhnya. Kelembabannya amat membantu dan kehangatannya kontan menyelubungiku.

Melody bergerak berirama sementara tanganku menekan tonjolannya. “This is crazy,” bisiknya dengan napas terengah-engah di tengah suara adegan pengeboman film.

“Diem aja. Biar aku yang gerak,” inisiatifku setelah Melody kembali menegang dan meledak nikmat. Kepalanya terkulai di bahuku. Aku lantas membawanya dengan posisiku nyaris rebah sebelum mengambil alih pergerakan itu. Melody mulai berteriak erotis di tengah suara percakapan penuh emosi di film. Kepala istriku kini sudah didongakkan sementara tangannya dikalungkan di leherku, seolah-olah ia akan jatuh bila tidak berpegangan. Bulir-bulir keringat mulai berproduksi di tubuh kami.

“This is fucking crazy,” pekik Melody sebelum meledak nikmat lagi. Kali ini suaranya amat jelas sebab adegan film hanya terdengar musik pengiring.

Aku melepaskan diri, berdiri bersamanya, lalu meletakkan Melody di kursi yang tadi kududuki. Aku berlutut di depan kedua kakinya yang terbuka. Kususurkan indra pengecap dan kedua jariku di sana. Tampaknya kombinasi itu amat membuat nikmat Melody. Terbukti dari erangannya yang makin keras lalu tahu-tahu ia meledak sampai banjir. Kedua bola matanya sampai berputar ke atas dengan mulut menganga tanpa suara.

Tidak membiarkannya mengambil jeda waktu untuk meredakan napasnya yang terengah-engah, Melody kembali menurut saat aku membimbingnya untuk ganti posisi merangkak membelakangiku. Ia berpegangan pada punggung kursi saat aku mengisi dan mengosongkannya kembali dengan ritme cepat.

“Sumpah ini gila banget, Baby!” racaunya saat aku menambah kecepatan dan tak lama dari itu meledak di dalam dirinya. Ini bukan tanggal Melody subur, jadi tak apa-apa.

“You’re amazing, My Stunning Wife,” pujiku yang ikut lemas. Kuciumi punggung Melody sebelum duduk di kursi sebelahnya.

Melody membalik posisinya jadi bersandar, tampak lelah, tetapi puas. “You drive me crazy,” balasnya setelah menerima bibirku di bibirnya. Lalu ia menutupi wajah menggunakan kedua tangan. “Astaga, aku harus bersih-bersih. Basah semua kursinya.”

“Nanti aku bantuin. Kan, aku yang bikin kamu kayak gini.”

•••

“Menurut kamu, Papa bisa sembuh nggak?” tanyaku yang tiduran sambil memeluk Melody. Perutnya kugunakan sebagai bantal, sementara seluruh tanganku memeluknya.

Sembari mengusap-usap rambutku yang membuatku amat nyaman, Melody membalas, “Kamu udah dengar semua jawaban dokter jantung yang lebih ahli. Kenapa masih tanya aku?”

“Aku cuma minta pendapat kamu.”

“Emang kamu nggak percaya sama dokter-dokter itu?”

Aku mendongak untuk menatap istriku. Pillow talk kali ini cukup berat untuk dibahas. “Bukannya gitu. Aku cuma pengin tahu pendapat kamu. Jadi?”

Masih sambil mengusap-usap rambutku, Melody memutus pandangan. Ia menipiskan bibir dan mengembuskan napas berat. “Aku percaya kalau semua penyakit bisa diobati.”

“Tapi? Pasti ada tapinya, kan?”

“Butuh ketelatenan buat ngerawat pasien dengan kondisi jantung kayak Papa. Tapi ….”

Jantungku berdebar dan lebih mengeratkan pelukan. Merasa menyesal karena telah menanyakan itu. Rupanya aku belum terlalu siap mendengar jawaban Melody.

“I get it, Baby,” bisikku.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

It’s mean a lot to me

Bonus foto Jayden Wilder

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Rabu, 10 Agustus 2022
Repost: Senin, 14 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top