Chapter 1 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 1

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun gaes

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Wanita baik tidak akan pernah harus membuktikan kepadamu dengan mengatakan dirinya baik. Tingkah lakunya akan cukup menggambarkan bagaimana dia.”

—Tanpa Nama
____________________________________________________

Musim panas
Summertown, 21 Mei
Pukul 06.00

“Kkyyyaaa ….”

Ujung-ujung sarafku yang tertidur dipaksa bangun oleh jejas lengkingan yang kuyakini berasal dari Berlian Melody Wilder alias istriku. Kedua kelopak mataku yang lengket seolah-olah diberi lem superkuat kupaksa membuka sekeras tenaga meski dengan mengerjap-ngerjap.

Belum sempat aku diberi jeda untuk mengumpulkan nyawa sampai penuh serta mencerna apa yang terjadi, teriakannya terdengar lagi. Memicu pundi-pundi kekhawatiranku terhadapnya yang mulai membaluri seluruh tubuhku.

“Jaayyydeeen ….”

Berhubung takut terjadi sesuatu dengan istriku, tanpa pikir panjang aku menendang selimut ke samping dan berusaha bangkit. Kepalaku celingukan mencari celana pendek yang terlempar entah ke mana semalam. Kala menemukannya teronggok di karpet bulu warna gading persis sebelah kasur, aku segera mengambil dan mengenakannya sambil melompat-lompat.

Meski tidak sempat meraih revolver atau jedgkomando kesayanganku di lemari rahasia untuk berjaga-jaga—barangkali ada penyusup berhasil masuk ke penthouse kami, sebisa mungkin aku membuka pintu agar cepat turun.

Saking gugupnya, gerakan grasak-grusuk itu bukannya melancarkan jalanku menuju dapur. Namun, justru memuluskan jeratan salah satu lubang kaki pada celana pendek sehingga menyebabkanku tersandung, terpeleset, terjungkang kebelakang, dan menyukseskan punggungku mencium lantai depan kamar.

“Sial,” desisku sebal lanjut mengumpat-umpat.

“Jaaayydeennn! Tolong, Jayden!” Teriakan Meleody masih terdengar. Gonggongan anjing kami yang sepertinya masih dikandangkan juga terdengar berkompetisi dengan suara alto istriku.

Mau tak mau isi dalam batok kepalaku semakin dijejali hal-hal tidak baik akibat kebisingan mereka. Di sisi lain aku bersyukur Melody tidak mendengar gedebak-gedebuk suara jatuhku yang tidak elegan dan tidak maskulin itu.

“Sial,” umpatku lagi. Meringis menahan punggung yang didera rasa sakit tak tanggung-tanggung sembari menggosok-gosok bagian itu. “Orang-orang di luar penthouse mana, sih? Denger istriku teriak-teriak gitu nggak ada satu pun yang buru-buru ke sini!” makiku.

Apa para penjaga di luar penthouse sudah dirobohkan semua oleh penyusup itu? Jika memang demikian ini gawat. Aku harus segera ke sana bak pahlawan yang membasmi dan menghadapi penyusup itu dengan gagah berani.

Sekali lagi aku memaksakan diri bangkit. Lanjut menyentak celana pendekku ke atas tepat di bawah pusar, barulah meluncur turun ke dapur. Setibanya di tangga terbawah, aku meraih vas bunga yang tertata rapi di meja porselen kecil samping tangga.

“Mana orang itu? Mana?” todongku tidak sabaran begitu berdiri di belakang istriku yang menggigiti kuku. Suaraku masih serak khas orang bangun tidur sejak umpatan pertamaku terlontar keluar dari mulut. Aku juga memasang kuda-kuda kuat di antara kakiku sembari celingukan dan mengangkat vas tinggi-tinggi.

“Siapa? Kenapa kamu bawa-bawa vas bunga gitu?” tanya Melody. Tangannya menyentuh punggungku.

Aku menoleh ke Melody. “Penyusup. Mana penyusupnya yang bikin kamu teriak minta tolong kayak gitu?”

Tawa Melody meledak. Sementara itu kekhawatiranku belum sirna.

“Kok, ketawa, sih?” tanyaku bingung.

“Nggak ada penyusup, Jayden. Kamu bisa nurunin vas bunganya.”

Aku mencebik dan menghilangkan sikap defensif. Lalu menghadap Melody sepenuhnya. “Terus kenapa kamu teriak-teriak?”

Tawa Melody berubah menjadi ringisan kaku. Ia menggigit kuku lagi sebelum menunjuk belakangku. “Itu.”

Secara praktis aku memutar tubuh mengikuti telunjuk kiri istriku mengarah. Mataku pun menyipit dan sialan! Coba tebak apa yang kuhadapi? Bukan penyusup seperti yang sekelebat kubayangkan dan segudang rencana cadangan untuk membasminya. Melainkan panci air mendidih yang letupan-letupannya sampai membanjiri lantai. Saking paniknya aku sampai tidak melihat kejanggalan itu tadi.

Dengan spontanitas tinggi, aku melompat ke belakang supaya kaki telanjangku tidak terkena tumpahan itu. Beruntungnya kipas penyedot di atas kompor menyala. Mengisap asap yang ditimbulkannya sehingga tidak mencapai langit-langit dan memicu alarm kebakaran.

Jangan sampai itu terjadi. Bisa-bisa seluruh penthouse ini akan hujan dan banjir. Tidak hanya itu, mungkin alarm kebakaran seluruh gedung akan ikut menyala bak virus yang cepat menyebarkan penularan. Orang-orang penghuni unitnya akan lari tunggang-langgang dan pemadam kebakaran akan datang menyemprot asap yang sebenarnya hanya ditimbulkan dari gemuruh air mendidih.

Hah! Aku tidak bisa membayangkan dan tak akan pernah membiarkan itu terjadi. Terlebih, kekacauan yang mungkin ditimbulkan tentunya bisa jadi akan sangat mirip dengan kejadian di hotel Four Season London beberapa bulan lalu—meski untuk situasi berbeda dan disengaja.

Aku membuang napas kasar sambil meletakkan vas bunga asal-asalan di meja pantri marmer belakang kami. Berupaya mengaburkan ingatan di Hotel Four Season itu, kuulurkan tangan hendak mengambil pengaduk sup di kabinet bagian bawah kompor. Rencananya akan kugunakan benda tersebut untuk menekan tombol off kompor listrik yang terkena luapan air panas. Gerakanku terhenti sejenak ketika Melody menarik lenganku untuk mengingatkan, “Jayden, hati-hati.”

“Iya,” jawabku ringkas. Sedetik kemudian berhasil membuka kabinet, mengambil senjata dapur yang kumaksud itu, lalu sukses mematikan kompor.

Gemuruh air panas kontan berhenti. Tetesan dari panci yang meluber ke lantai berlapis vinil motif kayu cokelat terang sedikit berkurang. Maka, terlihatlah beberapa butir telur ayam di panci.

Demi Neptunus! Betapa kaget aku melihatnya.

Jadi, sebenarnya istriku sedang merebus telur? Kekacauan ini tercipta karena telur-telur malang yang sudah tidak jelas nasibnya itu? Iya? Hah? Bisa gila aku!

Seharusnya sebagai pengantin baru, kami … ya ... tahulah! Bukan malah bergelut dengan telur-telur ayam!

“Makasih,” bisik Melody.

Suara lembutnya mengetuk kesadaranku untuk beralih menatapnya yang menunduk malu dan masih menggigiti kuku. Aku heran, kenapa hobinya yang satu ini kembali lagi?

“Maaf, udah ngerusak dapurnya,” cicit istriku lagi.

Sebagai kaum buciners sejati, apa lagi yang bisa kulakukan?

“Nggak masalah. Aku lebih sayang kamu daripada dapurnya. Kalau kena air panas gimana?”

Pipi Melody bersemu merah. Menimbulkan gemas dalam diriku. Otak menyuruhku menggigit pipinya atau memeluknya erat-erat dan menjadikannya guling. Sayangnya keadaan tidak mengizinkanku melakukannya.

Wahai otak, tolong seriuslah! Sekarang sedang genting membicarakan persoalan penting, jangan lari ke mana-mana pikiran ini!

“Tinggal diobatin,” jawab Melody sambil meringis.

Iya, percaya. Melody itu dokter. Calon internis pula. Pasti tahu cara ampuh mengobati luka lepuh. Namun, tetap saja. Aku tidak ingin istriku kenapa-kenapa. Kalau bisa, semisal ada lalat yang menempel di kulitnya, akan kutebas serangga kecil pengganggu itu menggunakan katana.

Hm, tetapi cara itu sangat tidak masuk akal. Aku bukan samurai atau ninja. Mana mungkin bisa melakukannya? Kurasa lebih baik kuberi lalat itu senyuman—yang kata orang-orang—paling mematikan ini. Dengan catatan kalau lalatnya betina. Pasti dijamin klepek-klepek.

Eh! Tunggu dulu! Bagaimana kalau istriku cemburu karena aku memberikan senyumku pada lalat betina secara cuma-cuma? Wah …, bisa kacau kalau aku menyulut perang dunia ketiga antara istriku dan serangga itu. Jangan sampai Melody menciptakan senjata biologis untuk memusnahkan lalat betina di muka bumi. Kasihan lalat jantan. Kalau lalat betina musnah, bagaimana dan dengan siapa mereka kawin untuk berkembang biak? Inseminasi dengan kodok? Ngaco!

Aku mendengkus sambil mengusap wajah kasar. Sebaiknya aku mengurus ini sebelum pikiranku bertambah ngawur. Jadi, aku pun melempar pandangan ke sekitar. Mencari-cari suatu benda.

“Di mana remotenya?” tanyaku lantaran tidak menemukannya.

“Remot apa?” Dari keningnya yang berkerut samar, Melody jelas bingung.

Omong-omong, aku lega kukunya sudah tidak beradu dengan gigi terawatnya. Kendati aku ragu bentuknya masih bagus, tidak bocel-bocel.

“Remot robot vacum cleaner?” tanyaku masih sambil celingukan mirip kipas angin.

“Oh, itu …, hehe ….”

Mendengar ringisan yang terakit di wajah manis istriku ditarik lebih lebar, perasaanku kontan tidak enak. Oh! Tidak! Jangan katakan itu seperti yang kupikirkan wahai istriku yang paling cantik dan paling manis sedunia!

“Remotenya jatuh. Ada HP-ku juga di sana.”

Penuturan Melody membuatku memandang nanar remot yang berenang di genangan air panas bersama ponsel miliknya di lantai. Buih-buih putih telur yang pecah membuat alat komunikasi itu layaknya mandi busa sabun. Komponen-komponen itu mengisyaratkan perasaan dan perkiraanku tidak keliru. Sepertinya aku punya bakat jadi dukun karena bisa menerka hal ini.

Kenapa aku jadi mendadak sakti begini? Haruskah aku membuka praktek perdukunan?

“Astaga,” gumamku sambil memejamkan mata secara perlahan dan untuk kesekian kalinya membuang karbon dioksida melalui napas berat. Seberat pagi hariku saat ini. “Ya udah,” tukasku lemas, “tolong kamu tenangin Max aja. Urusan dapur biar aku bersihin. Lain kali nggak usah masak lagi, Baby.”

“Tapi, aku pengin bantuin kamu bersihin itu.”

“Bantu aku buat nenangin Max aja. Anjing kita berisik banget.” Kepalaku bisa pecah pagi-pagi sudah ribut-ribut seperti ini. Terlebih, ribut karena istriku tidak bisa memasak telur rebus. Hebat, bukan?

“Well, oke …, kalau gitu, aku ke Max dulu,” jawab Melody. Sebelum memindah tubuh, ia menyempatkan diri berjintit, meraih rahangku menggunakan tangan lembutnya lalu secepat kilat mendaratkan bibirnya di bibirku.

Sialan! Rasa kesalku kontan hilang sama sekali. Aku memang tidak pernah ragu bahwa efek kecupan Melody memang seajaib ini. Ehe ….

“Kok, jalannya gitu, Baby?” godaku sembari memasang senyum menyeringai andalan kala melihat Melody dalam balutan kaus hitamku bergambar tengkorak putih menderap menjauhiku. Ukuran kaus itu besar dan panjangnya mencapai paha Melody. Ia seolah-olah dilahap oleh kaus itu.

Kalau digunakan berjalan, kadang-kadang celana dalam berenda merah terangnya mengintip, seakan-akan melambai-lambai padaku dan menyuruhku untuk membuangnya.

Sialan!

Aku meneguk ludah karena teringat pergulatan Jayjun alias Jayden junior semalam berkat keseksian istriku pagi ini, Cuy.

Hm … jadi ingin menjalankan ritual beradu keringat secara dewasa lagi. Sayangnya, aku tak akan setega itu karena bukan hanya terlihat jelas, setelah memutar tubuh menghadapku sambil berkacak pinggang, Melody juga merengek dengan suara yang terdengar sedikit jauh. “Kamu yang bikin! Tahu, nggak, ini perih banget?”

“Maaf,” ucapku. Padahal tidak menyesal sama sekali karena telah melakukannya. Sudah menjadi kewajiban suami mencoblos istrinya di malam pertama, Cuy. Apa yang harus disesalkan? Hah? Tidak ada. Iya, kan? Malah aku merasa bangga menjadi yang pertama.

Kendati demikian, Jayjun tetap harus menelan pil kesabaran sampai istriku tidak kesakitan lagi. Kira-kira butuh berapa lama, ya?

Seolah-olah bisa membaca pertanyaan dalam pikiranku, Melody menerangkan, “Iya, nggak apa-apa. Lagian kamu nggak maksa aku, kok. Malah aku yang godain kamu duluan pakai baju seksi. Udah seharusnya gitu juga, kan? Entar lama-lama juga sembuh. Semingguanlah kalau nggak ada yang ganggu prosesnya.”

Oke, akan kutunggu seminggu lagi! Cihuy!

Usai mengurai kedua tangannya yang bertengger di pinggang rampingnya, Melody meneruskan jalannya menuju kandang Max. Sementara aku malah menatap bongkahan pantatnya. Berusaha mengenyahkan perasaan iri pada benda merah terang tipis yang membalutnya itu sambil bersiul keras.

“Yang merah jangan sampai lepas!”

“Jayden oneng! Mesum!” pekiknya tanpa perlu repot-repot melihatku.

“Sama istri sendiri. Wajib.”

“Terserah!”

“Jangan lupa pesen sarapan buat kita. Pakai HP-ku aja, Baby.”

Melody kembali berhenti dan menghadapku. Sembari mengucir rambutnya menjadi bentuk cepol asal-asalan yang justru terkesan seksi, ia mengusulkan, “Aku pesenin scone tattie, haggis, dan oatcakes.”

Kuacungkan kedua jempol tinggi-tinggi. “Setuju.”

•••

“Sampai ketemu entar sore. Entar aku kirimin email lewat komputer kampus, ya,” ucap Melody. Ia menyalamiku sambil mencium punggung tanganku dan kedua pipiku sebelum meluncur turun dari mobil. Meski kami sudah lama tinggal di Inggris, kami masih tetap menerapkan budaya Indonesia. Salah satunya yang baru saja diterapkan Melody.

Aku lantas mengemudikan Rubicon dobel kabin hitamku menuju The Black Casino and Pub. Disusul dua SUV hitam lain yang selalu mengikutiku ke mana pun.

Aku turun dari mobil yang sudah terparkir rapi di lahan parkir gedung kelab malam milikku itu yang memang belum buka. Dua orang pria keturunan Italia berkewarganegaraan Inggris dari masing-masing SUV hitam juga turun. Mereka lantas berjaga di fasad gedung sedangkan aku langsung ke ruang kerjaku di lantai satu.

Berbeda dari biasanya. Bila tiap hari aku rutin keliling ke wilayah-wilayah bisnisku mulai dari Summertown, Manchester, Clifton Hampden, Cambridge, Woodstock, dan terakhir ke The Black Casino and Pub, hari ini sebaliknya. Sebab ada beberapa hal yang ingin kubahas lebih dulu.

“Semuanya sudah di sini, Bos,” lapor Nicolo. Pria itu juga keturunan Italia. Sembilan puluh sembilan persen pegawai kelab malam ini keturunan Italia.

“Suruh mereka masuk,” titahku yang langsung dilaksanakan oleh pria itu.

“Baik, Bos.”

Tak lama kemudian beberapa orang Italia yang dimaksud Nicolo masuk ruang kerjaku. Mereka berdiri menyebar di depan meja kerjaku. Gestur mereka santai, tetapi pandangan mereka fokus padaku.

“Seperti yang kalian ketahui, aku butuh consigliere[1]. Sudah lama posisi itu kosong sejak Alfred meninggal beberapa bulan lalu. Sedangkan bisnis kita semakin berkembang. Minggu ini juga akan ada pembukaan apartemen, hotel, dan cottage.

“Liam, Spencter, dan Dahlia masih bersembunyi untuk menghindari kecurigaan polisi. Jadi, meski tanpa mereka, aku ingin kalian berpencar ke wilayah-wilayah bisnis kita dan mencari orang yang sekiranya cocok untuk kandidat consigliere dengan cara mengawasi mereka dulu,” pintaku dalam bahasa Inggris berlogat British karena aku kurang fasih berbahasa Italia. Resmi menjadi penduduk di sini sejak bertahun-tahun lalu telah menjadikan aksen British-ku nyaris sempurna. Dan mereka tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia.

“Kapan operasi ini dilaksanakan, Bos?” tanya Nicolo.

“Mulai hari ini. Aku ingin data calon-calon kandidat secepatnya. Paling lambat minggu depan. Jika sudah mengerti, kalian boleh langsung melakukanya. Dan Nicolo, tinggallah di sini sebentar.”

Orang-orang yang tidak berkepentingan berhamburan keluar. Setelahnya Nicolo bertanya, “Ada apa, Bos?”

“Bagaimana kabar begundal itu?”

“Terakhir kudengar dua hari lalu dia masih dirawat di rumah sakit. Kalau tidak salah, selain mendapat beberapa luka pukulan, dia juga mendapatkan beberapa luka bakar cukup parah di sebagian wajahnya. Apa ada tugas khusus untuk dia?”

“Sebenarnya aku ingin segera melenyapkannya. Tapi kupikir kita harus menyusun rencana yang matang. Walau aku amat senang dengan luka bakar di wajahnya dan menyesal kenapa dia tidak kubakar saja sekalian, tapi aku tidak ingin seperti di Hotel Four Season di London waktu itu.

“Kuakui, kebakaran itu harusnya tidak perlu. Itu rencana spontan yang tergesa-gesa. Bukan hanya aku. Tapi Liam, Spencter, dan Dahlia juga dirugikan. Aku ingin menyusun rencana untuknya. Tapi awasi saja dulu. Rapatkan pertahanan kita karena ada hal penting yang ingin kulakukan lebih dulu. Dan tugas khusus ini untukmu, Nic.”

“Apa itu?”

Aku menceritakan rencanaku dengan nada serak dan rendah. Dan seringai yang tiba-tiba terbentuk di sepanjang garis bibirku tidak mampu menyembunyikan kesenanganku akan bayangan terlaksananya rencana khusus ini.

 
_______________

[1] Anggota organisasi kriminal atau mafia yang bertindak sebagai penasihat pemimpin organisasi: Italia

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun yes

It’s mean a lot to me

Buat yang belum, tunggu apa lagi gaes? #nangisdipojokansambilmainpasirpaketelunjuk

Bonus foto kecintaan saya (Jayden Wilder)

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Jum’at, 1 Juli 2022

Remake: Sabtu, 29 Oktober 2022

Repost: Jumat, 1 September 2023
Re-post: Rabu, 9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top