Rubrik 2.8
Smansa, Oktober 2013
Tidak. Tidak. Tidak.
Grey. Playboy. Kedua kata itu ibarat kucing dan codot. Tinggal di habitat yang berbeda, tidak ada mirip-miripnya, dan tidak ada kaitannya kecuali fakta bahwa mereka sama-sama mamalia. Mendengar Grey pernah pacaran saja sudah cukup absurd. Mungkin sekarang Grey lebih populer di kalangan cewek gara-gara aksi nekatnya, tapi aku bicara tentang Grey waktu SMP. Masa sih cowok yang dulu tiap hari kerjaannya cuma duduk sambil garuk-garuk ketombe, bisa jadian sama cewek paling hits di kelas, terus selingkuh lagi!
Pia pasti salah dengar. Tidak salah lagi. Tapi gara-gara omongannya aku jadi kepikiran terus sepanjang jalannya seminar.
Grey tiba-tiba menoleh padaku.
"Kenapa?"
"Hah? Apanya?"
"Dari tadi kau melirikku terus. Ada apa?"
"Siapa yang lirak-lirik situ? Ge-er."
"Kau tidak tahan ya? Mukaku semenjijikan itu ya buatmu?" tanyanya dengan nada sok memelas.
"Jujur ya, masih mending kalau kamu nggak ngomong."
Kualihkan perhatian ke arah lain tanpa menggubris balasan Grey. Kalau dipikir-pikir, sejak dulu dia memang menyebalkan sih. Mungkin dia dulu lebih pendiam, tapi sekalinya bicara, kata-katanya setajam tusuk gigi. Meski begitu, aku tak yakin ucapannya sampai bisa memikat, apalagi membuatnya jadi musuh para wanita.
Apa yang sebenarnya kaulakukan, Grey?
Selesai seminar, sebenarnya urusanku dengan majalah sudah kelar. Grey dan yang lain bakal mengurus percetakan dan penjualannya. Tugasku selanjutnya paling cuma bantu promosi dan distribusi.
Sialan. Aku malah jadi makin tidak tenang.
Kenapa aku harus repot-repot mikir coba? Harusnya kuterima saja ucapan Pia kalau dia itu tukang selingkuh. Kalau dia memang playboy terus pengaruhnya ke aku apa?
Ada masalah yang lebih penting untuk dipikirkan. Misalnya ... emm ... menegakkan keadilan? Kerusuhan sudah berakhir, tapi pemberian kompensasi untuk korban masih belum kelar. Harusnya aku memikirkan tentang yang bisa kulakukan untuk meringakan beban mereka, bukan malah memikirkan kisah percintaan orang lain. Memangnya gosip tentang Grey bisa jadi dana sosial?
Kalau rumor itu benar, berarti aku benar selama ini. Grey tak sepolos yang Pak Seta katakan. Dia cuma mau memanfaatkanku untuk mencapai tujuannya.
Hanya saja ....
Kok tidak adil ya?
Meski aku yakin itu benar, rasanya tetap menyesakkan, dan kalau ternyata aku salah, aku takut nanti jadi terlalu berharap.
Grey juga curang. Dia tahu segalanya tentang rahasiaku, tapi tak pernah membicarakan tentang dirinya. Tidak apa-apa dong kalau aku penasaran. Kenapa harus merasa bersalah?
Pada detik itu, aku pun memutuskan. Demi mengembalikan keadilan yang telah dicuri dariku, kuintip semua media sosial Grey dan Stella.
Tak ada yang menarik dari akun Facebook Grey. Namanya standar. Tidak berlebihan seperti nama akun Facebook ABG kebanyakan. Foto profilnya memakai foto yang sama dengan foto di rapornya. Kaku sekali. Kupikir cuma bapak-bapak yang foto profilnya sekaku itu. Bahkan ayahku saja tidak menggunakan foto KTP-nya untuk profil media sosial.
Dia jarang menulis status. Pesan statusnya dipenuhi pemberitahuan gim poker dan domino qiu-qiu. Dia juga tak pernah mengunggah foto. Albumnya dipenuhi meme berisi humor receh dan ada juga yang rada-rada mesum.
Eh, ternyata ada fotonya, tapi itu gara-gara ditandai oleh orang lain-kebanyakan Eca. Tidak ada satu pun foto yang memperlihatkannya sedang tersenyum. Mukanya datar-datar saja. Bukan berarti aku mau melihat senyumnya sih. Aku pernah melihatnya tersenyum di dunia nyata dan itu membuatku ingin menonjok mukanya.
Biodatanya juga biasa saja. Status hubungannya masih tetap lajang. Cuma yang terakhir itu sih yang meragukan.
Bisa saja semua kenangan tentang Stella sudah dihapus-kalau memang mereka pernah pacaran. Akun Grey yang lain juga terlalu normal. Mungkin coba kubuka akun Stella.
Akun Stella bertolak belakang dengan akun Grey. Temannya ribuan, entah itu teman betulan atau bukan. Sekarang dia di SMK Tunas Bangsa, dan tampaknya dia jadi ratu di sana. Cuma bilang 'halo' saja yang nge-like sampai ratusan, dan yang berkomentar kebanyakan cowok-cowok hidung belang.
Akan tetapi, ada yang aneh.
Ketika ku-scroll status-statusnya ke bawah, ada satu status yang rentang waktunya enam bulan dari status yang lebih baru. Itu artinya, dia sempat mengabaikan akun Facebook-nya dan baru aktif kembali bulan lalu. Status terakhir sebelum ia vakum cuma terdiri atas satu kata.
CHEATER
Itu status ketika ia masih kelas 9. Komentar-komentarnya bervariasi. Banyak yang bertanya kenapa dan ada apa, tetapi tak satu pun dijawab oleh Stella.
"Kenapa sayang? Pacarmu selingkuh ya?"
"Sini sama aku aja, Beb."
Kulewati semua komentar gombal itu dan berhenti pada satu kalimat.
"Mr. G STRIKES AGAIN."
"Siapa Mr. G?"
"Ya cowoknya Stella lah, pakai nanya lagi."
"Mampus. Kena karma kan lo!"
"Cheater ngatain cheater!"
Dari komentar-komentar yang kubaca, kebanyakan komentar negatif justru datang dari cewek-cewek yang dulu adalah teman sepermainan Stella. Apa maksudnya ini? Aku tak mengikuti beritanya lagi sejak kami berbeda kelas. Apa Stella ketahuan menikung cowok rekan satu gengnya, sehingga dia ditindas dan dikucilkan?
Mr. G, Mr. G. Maksud mereka Grey atau Gendon? Soalnya setahuku dulu cowok yang paling dekat dengan Stella adalah Gendon. Dulu aku juga sering melihat mereka berdua. Meski sudah dikeluarkan, Gendon tetap setia menjemput Stella setiap cewek itu pulang sekolah.
Kalau begitu, kenapa Stella menampar Grey? Apa Pia salah lihat? Mungkinkah dia sebenarnya melihat Gendon, bukan Grey?
Tidak masuk akal. Grey terlalu mungil kalau dibandingkan dengan Gendon.
Di samping itu, apa benar Stella menulis status begitu karena sudah diselingkuhi? Cheat tidak selalu berarti selingkuh. Stella adalah gamers, mungkin saja ada yang mencuranginya dalam game online. Atau mungkin ada yang menyontekinya sewaktu UAS, mengingat ia mem-posting status itu saat UAS baru berakhir. Cuma kalau melihat sepak terjangnya, aku ragu dengan kemungkinan terakhir. Biasanya Stella yang menyontek siswa-siswa lain, bukan sebaliknya.
Perlukah kutanya Grey? Tidak, tidak. Kalau ternyata dia tidak ada hubungannya dengan ini, mau ditaruh di mana mukaku?
Lebih baik langsung kutanya Stella.
Kuhubungi ia lewat chat berkali-kali, tetapi tak ada balasan. Dibaca saja tidak.
Seingatku dia juga pernah diundang mengisi acara pentas seni di Smansa. Semoga kontak grup band-nya masih ada di akun resmi panitia KTS.
Setelah susah payah mencari, akhirnya ketemu juga nomornya. Aku menghela napas dalam-dalam, bersiap akan kemungkinan terburuk. Lalu kutekan tombol telepon di ponselku.
"Halo?"
"Permisi, apa benar ini nomornya Stella?"
"Ya, ini siapa?"
"Alin."
"Alin? Heh. Buat apa orang sehebat dan se-famous Alin menelepon rakyat jelata?"
Ada nada sarkasme di ucapannya.
"Aku cuma mau nanya sesuatu."
"Dan menurutmu aku mau jawab?"
"...."
"Cukup masa SMP-ku aja yang kamu rusak. Jangan bikin hidupku kacau lagi. Makasi-"
"Ini soal Grey."
Stella membisu.
"Berani-beraninya kamu sebut nama itu di depanku."
"Apa yang terjadi dengan kalian waktu SMP?"
"Apa urusannya kamu nanya begitu?"
Aku berpikir sejenak. Kedengarannya dia benar-benar marah. Dia bisa memutus sambungan kami kalau aku salah bicara. Lebih baik jujur atau memberi jawaban yang membuatnya senang?
Kalau Grey di posisiku sekarang, dia pasti takkan ragu memilih yang kedua.
"Grey pernah mempermainkanku gara-gara dia tahu rahasiaku. Aku mau balas dendam."
"Jadi ... kamu juga 'digituin' sama dia?"
Sebenarnya, aku tak tahu apa maksudnya, tapi demi informasi, kuiya-iyakan saja. Maaf, Grey.
"Kamu juga kesel kan sama dia? Gimana kalau kita kerja sama? Kalau kamu cerita, aku bakal bikin dia kapok macem-macem sama cewek lagi."
Akan tetapi, Stella cuma tertawa.
"Eh, kamu lupa ya? Aku juga masih benci sama kamu. Mana ada orang yang mau nyeritain rahasianya ke orang yang hampir menghancurkan aset berharganya."
Sial. Tampaknya percuma saja.
"Aku cuma punya satu kata buat Grey."
"Apa?"
"Bajingan."
Sambungan kami terputus.
Jalan buntu. Namun, setidaknya aku bisa memastikan bahwa memang ada apa-apa antara Grey dan Stella.
Pintu kamarku tiba-tiba diketuk.
"Lin, ada temanmu," kata ibuku.
Perasaanku tidak enak.
Seorang gadis mungil dengan sweter merah dan stoking belang zebra menyambutku begitu kubuka pintu. Di tangannya ia membawa sekotak kue brownies dari toko roti langgananku.
"Hai Alin," katanya sambil tersenyum.
"Astaghfirullahalazim, Poppy! Kenapa enggak duduk di ruang tamu?"
"Ada papamu sama temennya. Kata mamamu aku langsung ke kamarmu aja." Ia menyodorkan bingkisan di tangannya. "Nih, buat kamu."
"Perasaan sekarang bukan hari ultahku."
"Emang kalau mau ngasih hadiah harus nunggu kamu ultah ya?"
Dengan ragu kuambil bingkisan dari tangan Poppy sambil tetap menatapnya. Bola matanya berbinar di balik lensa kacamatanya.
Ia kemudian masuk tanpa menunggu dipersilakan, lalu duduk di tepi kasur sambil memandangi laptopku yang masih menyala.
"Dalam rangka apa kamu jauh-jauh ke sini?" tanyaku.
"Main."
"Permainan apa lagi? Belum puas bikin kota kacau kayak dua minggu yang lalu?"
Poppy tertawa singkat. "Aneh aja. Kita udah kenal sejak SD, tapi enggak pernah main ke rumah masing-masing. Aku nggak diterima di sini, ya?"
"Mungkin aku bisa lebih ramah kalau situ bukan pemimpin grup yang menjual dendam atas nama keadilan. Dulu aku parno karena masih enggak yakin siapa Mr. I, tapi sekarang ancamanmu udah enggak berlaku lagi."
"Terus, kenapa sekarang kamu enggak bilang ke orang-orang tentang aku?"
Kukepalkan kedua tanganku erat-erat. Aku masih belum mengerti kenapa ia nekat pergi ke tempatku setelah aku tahu rahasianya. Tanganku sudah gatal ingin menonjok orang yang selama ini mempermainkanku dari balik layar. Sekarang dia tepat di depanku. Apa dia mengujiku?
"Aku sempat bertanya-tanya, kalau aku ketemu langsung sama Mr. I, aku mau ngapain ya? Terus aku mikir. Kayaknya aku tetap kalah seandainya aku adu informasi sama dia. Tapi mungkin kalau kusobek bibirnya, kupatahin jari-jarinya, dia enggak bakal berani macam-macam sama aku dan orang-orang terdekatku lagi."
Poppy mengangkat kedua telapak tangannya. "S-sebentar. Kamu enggak berniat memakai kekerasan ke cewek yang jauh lebih lemah dari kamu, 'kan?"
"Siapa bilang? Kuat fisik aja bisa kalah sama yang populer dan kaya. Aku cuma memaksimalkan kekuatanku dan memanfaatkan kelemahanmu." Kutarik leher bajunya. "Itu kan yang kalian lakukan selama ini? Hah?!"
Poppy memandangku tanpa membalas. Sekilas, matanya tampak berkaca-kaca menyiratkan ketakutan.
Sesaat kemudian, ia kembali tersenyum sembari menutup matanya.
"Kamu benar. Mungkin aku pantas menerimanya."
Aku takkan tertipu. Dia cuma ingin membuatku merasa bersalah.
"Tapi kalau sekarang kamu bilang aku Mr. I, kamu salah. Posisi itu udah jatuh ke tangan Grey."
Ha?
"Jangan main-main! Grey enggak mungkin-"
Tapi tunggu. Itu menjelaskan kenapa Grey begitu dekat dengan Poppy akhir-akhir ini meski dia tahu gadis ini berbahaya. Hanya saja, apa motivasinya sehingga mau jadi admin grup laknat itu menggantikan Poppy?
"Grey berniat mendamaikan seluruh pecahan geng akibat kerusuhan kemarin lewat Phantom Club," ujar Poppy. "Belum ada anggota grup yang tahu kalau admin mereka udah ganti, tapi kalau info itu sampai bocor, pasti bakal ada perpecahan lagi."
"Terus? Hubungannya sama aku apa?"
"Kamu satu-satunya orang di luar Phantom Club yang tahu identitas Mr. I sebelumnya. Grey minta aku bilang langsung ke kamu buat jaga rahasia. I-itu doang kok. Aku udah enggak punya kekuatan dan niat buat ngapa-ngapain kamu."
Kulepaskan cengkeramanku. Ku duduk di samping Poppy yang masih telentang.
"Kalau Grey Mr. I, kenapa dia enggak bilang langsung ke aku?"
"Sebenarnya dia enggak mau orang lain tahu identitas barunya, tapi kalau nggak gitu, kamu nggak akan mau diajak kerja sama. Jadi kubocorin deh."
"Kenapa begitu?"
"Orang lebih gampang dibujuk sama orang yang dia suka, 'kan?"
"Ap-kata siapa aku suka sama dia?"
"Kalau kamu nggak suka, kenapa semua akun medsosnya muncul di laptopmu?"
Aku baru sadar. Cepat-cepat kututup layar laptopku.
Ia tersenyum. "Lagian, siapa cewek yang nggak bakal klepek-klepek kalau ada cowok yang benar-benar rela mati demi melindungi dia."
Aku tak membalas.
"Grey pasti marah kalau tahu aku ngebocorin identitasnya. Abis dia jahat sih. Udah tahu kamu bakal marah kalau ketemu aku, tapi tetep aja nyuruh aku ke sini tanpa ditemenin."
Poppy berguling menghadap ke arahku.
"Lin, maaf ya."
"...."
"Aku cuma nggak mau kamu ditangkap prem-"
"Cukup, aku capek dengar alasan itu."
Selang beberapa lama, pikiranku sibuk mencerna informasi yang kuterima hari ini. Sialan. Aku lebih suka kelelahan gara-gara latihan silat daripada gara-gara dipermainkan.
Apa Grey sudah "menjinakkan" Phantom Club? Atau malah Poppy yang mengendalikan Grey seperti yang lain? Aku sudah tak tahu lagi.
"Lin, seandainya dulu kamu sadar kalau Mr. I itu cewek, kamu tetap mau main gombal sama aku nggak?"
"Bodo."
Ia mendekati telingaku dan berbisik,
"Kalau bareng kamu, aku nggak peduli kalau kita sejenis, Lin."
"Amit-amit! Aku cewek normal, tahu?!" bentakku sambil mendorongnya menjauh.
"Kalau sama Grey, mau?"
"Enggak!"
"Gimana kalau kamu juga gabung? Kalau gitu 'kan enggak masalah meski kamu tahu rahasia kami."
"Enggak, makasih."
"Bayangin aja. Aku, kamu, Grey. Kita bertiga nanti bisa threes-"
Kulempar mukanya dengan bantal.
"Dasar gila!"
***
A/N: buka lapak ship baru xD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top