Rubrik 2.7

Snida, September 2011

Bulan pertamaku menjadi ketua OSIS kufokuskan untuk menghapus semua tradisi konyol yang dilakukan pengurus-pengurus sebelumnya. Tidak boleh lagi ada yang memelonco, memalak, menindas, menyontek, dan bermesra-mesraan di lingkungan sekolah.

Sebenarnya peraturan sekolah sudah mengatur semua itu, tetapi para guru di sini tak begitu peduli akan hal itu. Bahkan beberapa siswa yang sering berbuat onar kebal dari hukuman hanya karena mereka berprestasi, disukai para guru, atau masih berkerabat dengan oknum guru.

Aku tak bisa selalu mengandalkan guru untuk mengatasi masalah siswa. Aku sering mendengar keluhan dari teman-temanku yang ditindas. Mereka takut lapor karena setiap lapor, mereka seringkali tak digubris, dan malah tambah dikucilkan. Karena itu, kubuat forum khusus di internet untuk menampung keluhan mereka, dan kubentuk tim pencari fakta dengan Eca sebagai ketuanya. Kuberi hadiah untuk siapa pun yang berani melapor dan mendapatkan bukti-bukti kenakalan siswa.

Rencanaku sukses. Baru sebulan, tingkat kenakalan di sekolahku menurun drastis. Bagaimana mungkin mereka bisa nakal kalau semuanya saling mengawasi satu sama lain? Heh. Hukuman saja memang tak cukup. Orang perlu diberi penguatan agar mereka mau berlomba-lomba membela kebenaran.

Akan tetapi, yang tidak suka pada kami tetap saja ada. Aku sering mendapat serangan anonymous di forum kami.

"Gara-gara kalian semua aibku terbongkar!"

"Enggak ada yang bisa dipercaya di sekolah! Semuanya palsu!"

"Kalian yang suka ngepos aib di sini, enggak malu apa? Cuma demi hadiah yang nggak seberapa kalian mau mengkhianati teman kalian sendiri?"

"Ini sekolah apa penjara sih? Kami nggak butuh diawasi!"

"Turunin Alin! Balikin OSIS yang dulu!"

Tentu saja, aku tetap teguh pada pendirianku. Mereka yang cuma berani berkicau di balik kedok anonim hanya pengecut, sama seperti mereka yang sering berbicara buruk di belakangku. Lagi pula, dari awal mereka memang anak-anak yang bermasalah dan pantas dihukum.

Nyatanya, banyak kok yang mendukungku.

"Kalau menjaga pertemanan lebih penting daripada mengatakan kebenaran, yang tertindas bakal selalu ditindas tanpa ada yang tahu," kata salah satu pendukungku di forum.

Dia adalah sosok yang paling menarik perhatianku. Nama akunnya Mr. I. Katanya dia sudah sering mengikuti aktivitasku di medsos sejak mem-follow akun Facebook dan Instagram-ku. Seperti namanya, dia itu misterius. Aku bahkan tidak tahu apakah dia siswa Snida atau bukan. Setiap ditanya, dia selalu bilang "ada deh" atau "rahasia". Menyebalkan. Namun, aku tak bisa berhenti mengobrol dengannya.

"Kita deket kok, nanti kamu juga tahu sendiri," katanya suatu malam di chatroom pribadiku.

"Kasih petunjuk dikit kek. Kamu cowok apa cewek sih sebenarnya?" tanyaku.

"Kan ada tulisan Mr. di nama akunku."

"Yaelah. Banyak juga yang akunnya gambar cogan tapi ternyata nggak punya batang."

Ia membalas dengan stiker karakter anime cowok sedang tertawa terbahak-bahak. Lalu kami membahas banyak hal tidak penting, dari tipe cowok yang kusukai sampai hukum dan eksistensialisme. Sebelum aku tidur, ia bilang,

"Pokoknya, apa pun yang kamu lakukan, aku bakal selalu di sisimu."

"Dih, gombal. Udah sana tidur."

Itu adalah obrolan terakhir kami pada malam itu.

***

Meski secara umum tingkat kenakalan di sekolahku menurun, masih saja ada siswa yang bandel. Di kelasku, ada satu siswa yang sering membuat kepalaku pusing. Namanya Stella. Meski baru kelas dua SMP, badannya sudah bongsor mirip tante-tante. Tipikal anak hits. Setiap tasnya dicek, lebih banyak perlengkapan make up daripada buku pelajaran. Dia berjilbab, tapi seragamnya dimodifikasi dan dibuat ketat. Sudah begitu, banyak yang mengikuti gayanya pula.

Di sekolah, dia adalah pemimpin geng cewek-cewek centil. Dia juga sering bolos. Namun, dia selalu lolos dari hukuman. Alasannya karena dia ikut lomba. Maklum, dia anak marching band dan sering ikut lomba menyanyi juga. Karena sering menang, para guru pun selalu memaklumi perbuatannya.

Aku jarang mendengar gosip, tapi sepertinya aku tak bisa sehari saja berhenti mendengar kabar miring tentang Stella. Eca bilang, dia bolos untuk bertemu pacarnya, Gendon, yang waktu UAS kemarin dikeluarkan karena kepergok mencuri kunci jawaban dan menjualnya ke anak-anak lain. Ada lagi yang bilang katanya Stella suka main sama anak geng Tomcat, geng paling ditakuti di seantero Petanjungan.

Sayangnya semua itu hanya rumor dan tak ada yang bisa membuktikannya. Kenakalannya yang paling terlihat adalah ketika di kelas. Contohnya pagi itu, ketika ia baru berangkat setelah seminggu "izin lomba".

Saat ada tugas kelompok, dia sering memasukkan siswa paling kompeten di bidang itu ke dalam "geng"-nya. Harapannya biar anak itu sendiri yang mengerjakan, sementara Stella dan gengnya bisa bersantai ria. Karena itu, aku sengaja menariknya ke dalam kelompokku, bersama Eca, Grey, dan teman sebangkuku, Hana. Kukira aku bisa membuatnya lebih banyak bekerja, tapi yang terjadi malah kebalikannya.

Selama seminggu ia tak pernah ikut kumpul dan menimbrung di grup chat. Saat hari-H, dia dengan santainya mendatangi mejaku dan Hana sambil berkata,

"Ini boneka buatan kalian? Kok jelek?"

Spontan aku tersulut. "Ha?"

"Pasti Alin ikut bikin ya?" Stella bertanya pada Hana tanpa menggubrisku. "Dia itu nggak tahu apa-apa soal seni. Lebih bagus kalau cuma kamu yang bikin."

"Eh, udah nggak ikut bikin, ngata-ngatain lagi!" bentakku.

"Ya kan aku kemarin ikut lomba, mau gimana lagi?"

"Lomba cuma dua hari, izinnya seminggu."

"Aku ini beneran sibuk, bukan cuma nyari-nyari aib doang," sindirnya. "Eh, Han, jangan lupa tempelin namaku juga ya."

"Jangan mau, Han! Repot di kamu, enak di dia."

"Oh, kamu lebih nurut sama Alin daripada sama aku? Dia itu anak OSIS. Salah sedikit, dia bakal nyebar aibmu ke guru."

"Apa? Justru aku bakal melindungi Hana dari trouble maker kayak sampean!"

Hana tampak gemetar. Badannya lebih kecil daripada aku dan Stella. Kurasa ia tak terbiasa menghadapi tekanan sebesar ini.

Namun pada akhirnya, ia menuruti perintah Stella.

"Han!"

"E-enggak apa-apa, Lin. Aku ikhlas."

Stella tersenyum sambil melirikku puas. "Makasih Han."

Lalu ia melenggang ke bangku di belakangku, mendatangi Grey dan Eca.

"Eh, Grey, kamu PR Matematikanya udah belum?"

"Sudah."

"Grey kan baik. Pinjam dong."

Dengan masa bodoh Grey melempar buku tugasnya.

Stella kembali ke habitatnya-di bangku paling belakang. Namun, adegan barusan tidak bisa kubiarkan.

"Grey, kok kamu mau-mau aja sih ngasih bukumu ke dia?"

"Terus kenapa?"

"Emang kamu nggak kesel? Udah capek-capek mikir, eh dia seenaknya nyontek."

"Aku bukan kau. Aku tak suka meributkan hal-hal sepele."

Kata orang yang pernah berkelahi cuma gara-gara sebuah cerpen.

"Orang kayak dia itu enggak bisa dibiarin. Awalnya dia cuma lihat PR-mu, terus nyontek ulanganmu, lama-lama mereka bakal jadi parasit yang terus bergantung sama kamu." Aku menoleh ke samping. "Kamu juga, Han, jangan terlalu lembek sama Stella. Kalau udah gitu, siapa yang rugi? Kalian berdua!"

Hana hanya menunduk.

"Lin, maaf," ucap Eca. "Aku tahu maksudmu baik. Tapi mending kamu enggak perlu terlalu membesar-besarkan deh. Lagian, bukan cuma Stella kok yang kayak gitu."

"Kamu juga, Ca? Emang kamu enggak merasa marah waktu karya kita disebut jelek sama orang yang enggak pernah ikut bantuin? Udah gitu masih minta namanya dicantumin lagi!"

"Iya, iya, aku paham perasaanmu. Cuma marah-marah di depan orang banyak juga enggak enak dilihat. Kamu ini ketos, Lin."

"Justru karena aku ketos, aku harus ngasih contoh mana yang benar dan yang salah!"

"Iya tapi ... bisa nggak bilangnya agak lembut-"

"Menurutmu kau yang paling benar, eh?"

Aku menoleh pada Grey.

"Sebenarnya, kupikir membuat forum pengaduan adalah langkah yang keren. Tapi ... memberi upah untuk anak yang jujur?"

"Emang kenapa? Berani jujur, berani membela yang benar, itu pantas diapresiasi. Sekolah ngasih beasiswa sama anak yang berprestasi, kenapa anak yang jujur enggak dikasih?"

"Ya, aku setuju denganmu. Dunia bakal lebih nyaman ditinggali kalau semuanya jujur dan adil. Tapi kejujuran yang kauharapkan berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Singkatnya, kau memberi hadiah setiap kali ada yang mengadu padamu, dan menghukum siapa pun yang melanggar aturanmu, 'kan?"

"Terus, masalahnya apa? Toh aku ngasih hadiah atau hukuman buat mereka yang pantas menerimanya kok."

Grey menghela napas. "Kau ini pura-pura bodoh, atau memang tidak paham, sih?"

"Maksudmu apa?"

Dia diam saja.

Kadang aku kesal sendiri kalau bicara dengan Grey. Omongannya sering berputar-putar di tengah, tapi selalu menggantung di akhir.

"T-tolong jangan terlalu keras sama Stella, aku cuma mau balas budi," ujar Hana lirih. "Aku bisa jadian sama cowokku yang sekarang juga berkat dia."

Aku tersentak. "Kamu punya pacar? Siapa dia? Kenalan Stella juga? Han, udah berapa kali kubilang, jangan dekat-dekat sama Ste-"

"Lin,"

Eca menatapku agak lama.

"Kamu pasti capek. Udah sebulan kamu bekerja keras demi sekolah kita." Ia bertepuk tangan sekali. "Gimana kalau kita berempat nanti mampir ke kedai gelato? Kutraktir deh."

Aku menggigit bibir. Kurasa itu adalah cara Eca untuk bilang "Berhenti ikut campur urusan orang lain" padaku.

***

Pulang sekolah, kumakan sedikit gelato yang Eca belikan, lalu kuletakkan di meja belajar. Setiap aku kesal, entah kenapa semua makanan terasa hambar. Aku tak tahu pasti kenapa aku kesal. Perasaan jadwal datang bulanku sudah lewat deh. Aku juga sering bertengkar dengan orang seperti Stella, tapi kekesalanku tidak sampai berlarut-larut begini.

Mungkin ini gara-gara Grey mengucapkan pertanyaan sarkastis itu.

Menyebalkan.

Wajar sih kalau Grey tidak suka dengan aturanku. Aku masih belum lupa siasat liciknya saat tim futsal kelasnya menang melawan kelasku. Di sistem yang lebih menghargai kejujuran, orang seperti Grey bakal tersisihkan.

Eca dan Hana juga sama saja. Bukannya ikut menentang Stella, mereka malah seolah-olah membiarkannya bertindak semaunya. Cuma karena dia populer dan pintar menjilat guru, dia mendapat perlakuan istimewa. Sistem bobrok macam apa ini? Ketika aku ingin memperbaikinya, semuanya malah menentangku.

Ponselku bergetar. Rupanya ada lima chat dari Mr. I. Chat pertama dikirim sekitar tiga puluh menit yang lalu.

"Sibuk ya?" tanyanya di chat terakhir.

"Enggak, lagi bad mood aja. Maaf lama."

"Nggak apa-apa. Aku ganggu ya?"

"Enggak kok. Justru aku pengen nanya sesuatu ke kamu."

"Apa?"

"Menurutmu, aku terlalu maksa nggak sih? Emang salah ya kalau aku berusaha menegakkan aturan dengan cara yang sekarang? Apa caraku keliru?"

"Ini masih tentang komentar-komentar di forum itu?"

"Aku cuma penasaran. Aku tahu caraku nggak sempurna, makanya aku juga menerima masukan orang. Ada yang bilang kalau banyak yang mem-bully orang-orang yang mengadu ke aku, karena itu aku dan teman-teman OSIS juga ngasih perlindungan buat mereka. Terus salahnya di mana lagi? Apa ngasih hadiah dan hukuman itu salah? Apa aku harus ngebiarin aja semuanya terjadi kayak kebanyakan orang?"

"Itu yang mereka inginkan, Lin. Bikin kamu merasa bersalah gara-gara melakukan hal yang benar. Kalau kamu menyerah di sini, selesai sudah."

"Gitu ya?"

"Jangan terlalu dipikirin deh. Kalau kamu diapa-apain sama mereka, bilang aja ke aku. Biar aku dan teman-temanku yang urus mereka."

"Enggak perlu sampai segitunya sih, tapi makasih."

"Sama-sama."

Kukirim stiker kucing tertawa.

"Apa yang lucu?"

"Aku tuh kayak bercermin tahu kalau ngobrol sama kamu. Cuma kamu yang bisa memahami jalan pikiranku."

"Aku rela kok jadi cerminmu."

"Halah. Mulai lagi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top