Rubrik 2.6
Smansa, Oktober 2013
Kantor redaksi surat kabar Radar Petanjungan letaknya cuma 200 meter dari Smansa. Aku bisa jalan kaki ke sana, tetapi gara-gara kerusuhan, anak buah Ayah selalu mengantarku ke mana pun aku pergi. Risih sih, apalagi semua yang mengantarku masuk kategori om-om. Apa Ayah tidak punya bawahan polwan?
Tapi ya sudahlah. Kepalaku bakal tak kuasa menahan beban jika aku selalu komplain tentang segala hal.
Sesampainya di sana, tak kusangka aku bakal bertemu dengannya.
Cowok itu berdiri di teras kantor sambil memandangi papan pengumuman. Dahinya diperban, begitu pula lengan kirinya. Wajahnya tampak lelah-kurasa memang begitu sih bentukannya. Setidaknya rambut ikalnya tampak lebih rapi daripada saat terakhir aku menemuinya. Bukan cuma rapi, tapi juga kinclong. Aroma segar menusuk hidungku ketika mendekatinya. Jarang-jarang aku melihatnya memakai minyak rambut. Apalagi parfum.
"Grey, bisa nggak sih sehari aja kamu enggak bikin aku kaget?"
Ia menoleh sebentar, lalu kembali berpaling.
"Diem doang lagi."
Ia mendesah. "Aku baru keluar dari rumah sakit lho. Sambutannya lebih manis dikit kek."
Ini cowok benar-benar ....
"Aku punya banyak kata-kata sarkas buat menyambutmu, tapi aku perlu menyimpan amunisiku buat seminar nanti."
"Oh gitu," ujarnya datar.
"Kapan kamu dibolehin keluar?"
"Tadi pagi, jam sepuluh."
"Terus kamu ngapain di sini? Bukannya harusnya kamu istirahat di rumah?"
"Aku ke sini mau menemuimu. Tak suka?"
"Ha? Aku seneng banget malah. Siapa sih yang nggak seneng ditemui cowok gombal mesum yang ucapannya enggak sinkron sama tindakannya, terus nekat melawan gembong preman sendirian sampai mau wafat?" sindirku. "Selamat, Mas. Semua berjalan sesuai rencanamu."
"Well, hampir semua," balasnya. "Aku perlu memastikan agar kau tak membuat masalah dengan keluarga Prakoso lagi. Makanya aku ke sini."
Sialan.
"Kamu datang jauh-jauh dari rumah sakit cuma mau nguping? Aku bingung harus baper atau merinding."
"Lin, Klub Jurik mungkin tak jadi dibubarkan, tapi kita tidak ada apa-apanya dengan keluarga Prakoso. Masih untung kemarin kita cuma berurusan dengan preman. Bagaimana kalau mereka menyewa pembunuh profesional? Kalau kau mau menguak kebenaran, kau juga perlu melihat kenyataan."
Ia menatapku serius. Menyebalkan. Biasanya aku tidak mau kalah debat. Namun melihatnya penuh luka begitu, aku tak bisa membantah.
"A-aku tahu kok. Kita butuh sponsor, 'kan? Kalau cuma ngomong, aku juga bisa sendiri."
Ia belum tampak yakin.
"Terserah. Tapi aku tetap ikut."
"Dih, bocah! Badan udah kayak mumi masih aja ribut. Pokoknya kalau kamu pingsan aku enggak tanggung jawab ya?"
Grey hanya menghela napas panjang.
Aku jadi kepikiran.
"Kamu ke sini naik ap-"
Belum selesai bertanya, aku melihat dompet merah jambu bergambar kartun Dora The Explorer di genggaman tangannya. Spontan kulihat ke parkiran. Ada mobil limosin hitam yang cuma bisa dimiliki oleh seorang sultan, selebriti, atau orang terkaya di kota ini.
"Maaf, Grey, toiletnya ngantri tadi. Kamu lama ya nunggunya?"
Suara lembut nan kekanak-kanakkan tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku menoleh pelan-pelan, lalu mundur beberapa langkah. Ia cewek bertubuh mungil yang tak tampak berbahaya, tapi itu semua cuma kedok untuk menyembunyikan taringnya.
"Tidak kok," jawab Grey.
"Makasih. Grey baik deh udah nungguin aku."
"Kalau bisa sih lebih lama lagi."
"Hee? Kok gitu?"
"Tadinya aku mau kabur, tapi ada Alin."
"Ih, jahat ...," katanya sambil mencubit pipi cowok itu.
Apa Poppy selalu begini kalau bersama Grey? Kupikir dia cuma bertingkah manja di depan Kak Rendy. Benarkah mereka berpacaran? Ya itu bukan urusanku sih, tapi aku penasaran.
"Hai Lin," sapa Poppy.
Aku menelan ludah. Senyum polosnya serasa bukan dari dunia nyata.
Grey melangkah memasuki ruangan.
"Eh, Grey tungguin!" seru Poppy, tapi cowok itu tak menggubris.
Poppy menoleh padaku lagi, lalu mendekatiku sampai dadanya nyaris menyentuh ulu hatiku. Ia berjinjit dan membisiki telingaku.
"Nanti sore aku main ke rumahmu ya?"
Ia tersenyum sambil mengedipkan satu mata, lalu pergi sebelum aku sempat mencerna ucapannya.
Kupegangi dadaku. Jantungku seperti mau meledak. Kalau Poppy bicara denganku, biasanya cuma ada satu alasan. Dia pasti ingin menyeretku ke dalam rencana busuknya lagi. Namun, baru kali ini dia terang-terangan bilang mau ke rumahku.
Apa dia mau menunjukkan bahwa dia tak lagi takut dengan Ayah? Atau ada maksud lain?
"Sendirian aja?"
Aku menoleh. Seorang cowok tinggi blasteran Arab-Jawa menghampiriku. Ia datang bersama cewek langsing berkerudung merah.
"Robi? Pia?" ucapku. "Lama ya enggak ketemu."
Pia melambaikan tangannya. "Halo, Kak."
Tidak ada cewek seangkatanku di SMP yang tidak kenal Robi. Selain ganteng, dia juga pandai bermain bola. Dia juga ramah dan tak pernah membuat masalah, berbeda dengan dua cowok menyebalkan yang selalu mengganggu ke mana pun aku pergi. Cuma itu sih yang kutahu tentang dia. Sejak dia masuk SMA 2, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentangnya.
Sementara Sepia atau Pia, adalah adik kelasku di SMP yang pernah jadi pengurus OSIS di bawah kepemimpinanku. Kini ia ketua OSIS-nya. Ia tampak menggandeng tangan Robi erat-erat seperti takut direbut orang.
"Aku baca majalah Kakak lho," kata Pia. "Isinya keren! Apalagi yang tentang kerusuhan antarpreman kemarin. Seolah-olah penulisnya mengalaminya sendiri."
Pasti itu bagiannya Grey.
"Gimana Snida? Aman?" tanyaku.
"Tenang aja, Kak. Kami tetap melanjutkan tradisi yang udah Kakak bangun," ucapnya sambil membusungkan dada. "Insya Allah tahun depan aku juga bakal masuk Smansa, terus masuk klub yang sama dengan Kakak."
"Pfft, mending kamu jadi pengurus OSIS lagi aja deh."
"Kenapa?"
"Aku takut kamu gila kalau masuk klubku."
Robi tertawa. "Kayaknya Pia udah tergila-gila sama kamu deh Lin. Waktu dia tahu kalau klubmu lagi ada masalah sama preman, dia panik gara-gara enggak bisa ngontak kamu. Coba kalau aku yang gitu, paling-paling dia cuma bilang, 'Rasain!'"
"Ya soalnya Kakak suka jelalatan kalau lihat cewek cakep dikit! Kalau Kakak kena masalah, paling-paling Kakak kena karma gara-gara suka mainin cewek. Kakak juga pasti bakal ngerayu Kak Alin kalau enggak sama aku. Ya 'kan? Ngaku!"
"Mulai lagi. Lin, kamu enggak salah merekomendasikan dia buat jadi ketos Snida?"
"Ih ... Kakak!"
Pia menendang kaki Robi. Yang ditendang cuma ketawa-ketiwi. Malah Pia yang tampak kesakitan sendiri.
"Ngomong-ngomong, tadi itu Poppy sama Grey ya?" tanya Robi.
"Iya, emang kenapa?" balasku.
"Dulu aku sempat suka sama Poppy, tapi mundur gara-gara Kak Jerry. Apalagi katanya Poppy itu suka brutal kalau enggak suka sama cowok yang nembak dia. Waktu itu mentalku belum siap."
"Oh, jadi aku cuma ban serep buat Kakak?" tanya Pia. "Jadi Kakak bakal ninggalin aku kalau udah siap nembak Kak Poppy?"
"Bukan begitu. Aku cuma kaget ternyata selera Poppy itu cowok kayak Grey. Pakai pelet apa dia sampai bisa dapetin Poppy?"
"Entahlah. Aku lebih heran seorang Grey bisa pacaran," ujarku.
"Kasihan Kak Poppy. Pasti dia cuma dimanfaatin sama cowok itu," kata Pia. "Sama kayak Kak Stella."
"Stella? Apa hubungan Grey dengan Stella?" tanyaku.
"Lho, Kakak belum tahu ya? Dengar-dengar sih Grey itu mantannya Kak Stella."
Tunggu sebentar.
"Mantan?!"
Stella adalah cewek yang cukup populer di SMP-ku dulu. Seorang trouble maker juga.
"Iya, aku pernah lihat Kak Stella nangis setelah ngomong sesuatu sama Grey. Terus di status Facebook-nya dia bilang kalau Grey selingkuh."
"What the f-"
Grey seorang playboy???!!!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top