Rubrik 2.4
Smansa, Oktober 2013
Rapat pertama Klub Jurik pasca-kerusuhan hanya dihadiri oleh aku dan Pak Seta. Grey dan Kak Feli masih dirawat di rumah sakit, Kak Ivan masih syok atas kondisi Kak Feli, Eca tak pernah menjawab pesanku, dan aku tak mau membicarakan anggota gaib yang lain.
Ujung-ujungnya aku yang merangkap semuanya. Ya, kuakui Grey juga banyak membantuku mengedit walaupun dia sedang dalam masa penyembuhan.
Kuserahkan revisi terakhir majalah yang hendak diterbitkan pada Pak Seta. Setelah beberapa lama membaca, akhirnya beliau pun menyetujui.
"Baik, kamu bisa mulai mencetaknya."
"Makasih, Pak."
"Oh ya, kamu tidak perlu menjual sampai dua ratus majalah," katanya. "Saya memaklumi situasi kalian. Bisa menyelesaikan majalah tepat waktu saja sudah luar biasa."
Aku terdiam beberapa saat. "Meski begitu, saya tetap berusaha untuk mencapai target. Klub takkan bisa bertahan lama kalau kami tak bisa mengelola keuangan sendiri."
"Lalu apa rencanamu?"
"Saya sudah meminta Kak Ivan untuk bernegosiasi dengan kepala sekolah untuk mencabut larangan menjual majalah ke luar sekolah. Dengan begitu, target pemasaran kita bisa lebih luas. Grey bilang dia sedang melobi Kak Rendy agar OSIS mau ikut mempromosikan majalah kami. Sejauh ini saya dapat laporan kalau Klub Drama, Pramuka, PMR, PKS, Catur, sudah memesan lima puluh majalah dan mau ikut menjual. Kalau larangan berhasil dicabut, saya sudah menyiapkan proposal ke almamater saya, Snida, agar bisa menjual majalah di koperasi sana. Setelah dari sini saya ada jadwal menghadiri workshop jurnalistik koran Radar Petanjungan. Mereka juga mengundang klub-klub jurnalistik dari berbagai sekolah. Kalau beruntung, kita bisa dapat koneksi juga dari sana."
"Oke, oke, silakan lakukan rencanamu. Cuma ingat, jangan memaksakan diri."
"Saya takkan melakukan kesalahan yang sama."
"Kalau butuh bantuan, bilang saja," ucap Pak Seta sambil menyodorkan kartu persku yang sempat ia tahan.
Aku pun menerimanya sambil berkata, "Terima kasih, Pak."
Pak Seta memandangku selama beberapa saat.
"Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan secara personal."
Aku menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Membicarakan hal personal. Berdua. Bersama om-om.
Boleh aku pergi sekarang? Perasaanku tidak enak.
"Apa pendapatmu soal Grey?" tanyanya.
"Grey?" Di satu sisi, aku agak lega. Di sisi lain, aku kaget nama cowok itu muncul lagi. "S-selama pembuatan majalah, dia cukup membantu sih. Jujur, saya tidak menyangka dia bisa mengembalikan uang kas yang sempat lenyap, lalu mengumpulkan materi berita sebanyak ini. Yah, mungkin saya sudah salah paham tentang kemampuannya."
"Tidak, bukan itu maksud saya. Kita lupakan dulu soal majalah."
"Terus apa?"
"Apa perasaanmu setelah dia menyelamatkanmu?"
"K-kenapa saya harus jawab?! Itu bukan urusan Bapak."
Pak Seta tertawa cekikikan, lalu berangsur-angsur berhenti. "Benar juga sih. Tidak usah dijawab juga tidak apa-apa."
Dasar aneh.
Gara-gara pertanyaan konyolnya, aku jadi ikut penasaran.
"Bapak sudah kenal sama keluarga Grey sejak kapan?"
"Hmm, kapan ya? Mungkin puluhan tahun sebelum anak itu lahir."
"Serius? Pantes Bapak suka banget ngurusin kehidupan pribadinya kayak bapaknya sendiri."
Wajah pria berkuncir kuda itu tampak muram, meski bibirnya tersenyum. Kurasa aku tak seharusnya mengucapkan kalimat itu.
"Pak, Grey itu diam-diam jenius ya?"
"Kenapa kamu mikir begitu?"
"Soalnya ... gimana ya? Kayaknya otaknya itu encer, tapi dia lebih sering memakainya buat bikin rencana kotor atau mengakali aturan," terangku. "Ya saya berterima kasih udah diselametin sama dia, tapi saya tetap enggak suka sama caranya."
Beliau tertawa lagi. Aku tak tahu kenapa om-om suka menertawakan hal yang tidak lucu.
"Kalau saya tanya pendapat Grey tentang kamu, saya yakin pendapatnya bakal mirip dengan jawabanmu. Kalian berdua itu mirip."
"Hah? Mirip apanya?!" Baru kali ini ada yang menyamakanku dengan abu-abu gosok!
"Semua orang jenius pada hal-hal yang ia cintai," sahut Pak Seta. "Tapi dalam kasus Grey, dia sudah kehilangan hal itu semenjak kepergian bapaknya."
"Oh ya, saya enggak pernah lihat ayah Grey. Apa beliau sudah ...."
"Bapaknya pergi saat Grey masih kelas lima SD."
Pria di depanku memandang pintu sambil menghela napas panjang.
Lagi-lagi aku menyesal sudah bertanya.
"Sebelum ditinggal bapaknya, Grey juga sama sepertimu. Rajin, ambisius, punya rasa keadilan yang tinggi. Pada usianya yang belum sampai dua digit, dia sudah tertarik dengan bacaan filsafat dan kriminal. Kamu juga pernah masuk ke kamarnya, 'kan?"
"Ah, i-iya." Aku pernah meminjam kamarnya untuk ganti baju. Kamar Grey tak ubahnya perpustakaan kecil. Raknya cuma satu, tapi bukunya sampai berkardus-kardus mengepung ranjang. Aku sampai khawatir tetesan air dari rambutku membasahi koleksinya.
"Itu semua adalah barang-barang peninggalan bapaknya. Bapaknya juga yang mendorong Grey untuk mempelajari semua itu. Katanya dia mau anaknya jadi ahli hukum, jadi pengacara. Biar tidak cuma jadi sopir seperti dia."
Pak Seta terkekeh-kekeh sambil geleng-geleng kepala.
"Grey sangat mengagumi bapaknya. Apa pun yang dia katakan, Grey bakal dengan senang hati melakukannya. Saat bapaknya pergi, Grey seperti kehilangan satu-satunya mentor dan motivasi belajarnya. Tidak, mungkin lebih dari itu."
Beliau lanjut menceritakan kronologi saat ayah Grey dijebak, hampir dipenjara, lalu diincar oleh pembunuh yang disewa penjebaknya.
"Grey tidak menerima kabar kematian bapaknya dengan baik. Dia berubah drastis dari yang tadinya rajin jadi pemalas. Dari yang tadinya optimis jadi pesimis. Mungkin dalam pikirannya, percuma punya cita-cita tinggi, bersikap baik, dan selalu taat aturan, kalau orang baik dan taat aturan seperti ayahnya tetap kalah oleh pelanggar hukum yang lebih kaya dan lebih berkuasa daripada mereka."
Aku menggigit bibir. Kini aku paham kenapa Pak Seta menganggap kami mirip.
"Bapak enggak perlu cerita sebegitu panjang," ucapku lemah. "Toh ... saya bukan siapa-siapa Grey."
"Ah, masa?" Pria itu tersenyum licik. "Kamu tidak penasaran kenapa dia mau menyelamatkanmu?"
Dadaku berdesir. Apa om-om ini punya mata batin?
"Bapak yang memaksanya, 'kan?"
"Kalau soal masuk klub memang iya. Tapi dia sendiri yang memutuskan untuk membantumu lolos dari preman-preman yang mengincarmu. Malah sebelum dia tahu kamu berurusan dengan Tomcat, Grey meminta saya untuk membubarkan klub untuk mencegahmu membahayakan diri. Jujur, saya kaget sekaligus lega. Ternyata sisi kemanusiaan anak itu belum sepenuhnya mati."
Jadi dia memang-eh, tunggu dulu.
"Tapi ... kenapa saya? Saya enggak pernah bersikap ramah sama dia sebelumnya."
"Apa kita cuma boleh bertindak baik pada orang yang ramah?"
Aku bergeming.
"Mungkin dia teringat dirinya sewaktu kecil saat melihatmu," lanjutnya. "Secuek-cueknya dia, dia tetap benci saat orang di dekatnya tertindas."
Apa Grey seromantis itu? Semakin dipikirkan, rasanya semakin jauh dari bayanganku.
"Mustahil. Grey hampir celaka karena saya. Dia pasti membenci saya sekarang."
"Lalu menurutmu kenapa dia begitu?"
"Mungkin dia menyelamatkan saya karena saya punya aset penting untuk memuluskan rencananya. Saat saya tak lagi berguna, paling-paling saya bakal dibuang seperti yang dia lakukan pada preman-preman itu."
Ya, itu lebih cocok dengan Grey yang kukenal.
Pak Seta tertawa untuk kesekian kalinya. Aku mulai muak mendengarnya tertawa.
"Terima kasih atas waktunya," ucapku sambil beranjak.
"Silakan kalau kamu mau mempertahankan pendapat itu, tapi saran saya, mending kamu tanya orangnya langsung."
"Heh, saya ragu dia bakal jujur."
Sesampainya aku di depan pintu, beliau memanggil.
"Ah, satu hal lagi, kamu kenal gadis kaya yang dekat dengan Grey? Yang pernah diculik bersama Grey?"
Mendadak dadaku sesak.
"Poppy, maksud Bapak?"
"Ya, Poppy. Apa hubungannya dengan Grey? Apa mereka pacaran?"
"Kurang tahu. Memang kenapa?"
"Tidak, tidak apa-apa."
Lagi-lagi pertanyaan tidak penting.
"Entah kenapa, saya merasa lebih tenang melihat Grey bersama kamu daripada bersama Poppy."
Dadaku serasa ditusuk-tusuk.
"Permisi," ucapku sambil bergegas pergi. Aku lelah mendengarkan celetukan om-om itu lagi.
Poppy adalah alasan utamaku menganggap Grey membenciku. Setelah kerusuhan, Grey semakin akrab dengan gadis itu. Grey pasti berpindah kubu setelah selesai urusannya denganku. Mana mungkin dia belum tahu siapa Poppy setelah semua penyelidikan yang ia lakukan. Gadis itu adalah otak dari kelompok yang menjadi teror terbesarku sejak SMP.
Gadis itu adalah Mr. I.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top