Rubrik 2.3
Snida, September 2010
Kegiatan tengah semester di sekolahku mengadakan lomba futsal putra dan putri. Aku jadi salah satu pemainnya. Kelas kami memenangi babak penyisihan dengan mudah hingga akhirnya mencapai babak final.
"Oh, apa yang terjadi saudara-saudara!? Alin sang Teratai Hitam baru saja merebut bola dari pemain belakang. Kali ini apakah dia sanggup melewat-oh! Lawan mencoba menjegal tapi malah jatuh sendiri. Sekarang Alin tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper, jambreeet ... GOOOL!!! Luar biasa saudara-saudara, seluruh tim futsal putri kelas 7A dibuat tak berdaya oleh sang pemilik nama Teratai Hitam dari dunia persilatan. Skor 7-0 untuk keunggulan kelas 7B!"
"BERISIK WOI!!!" teriakku ke arah bangku komentator.
Eca memegang mikrofonnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menghasut kakak kelas untuk jadi komentator lomba.
Pertandingan berakhir dengan skor 11-0. Teman-teman sekelasku langsung mengerubungiku dan mengelu-elukanku sebagai pencetak gol terbanyak.
"Kita beruntung kelas kita punya Alin!"
"Kayaknya Alin bakal menang walaupun cuma sendirian deh."
"Iya bener, dia terlalu tangguh buat cewek."
Aku melirik ke arah kerumunan kelas 7A. Tampak Eca sedang diprotes oleh teman-teman sekelasnya.
"Cuk! Kalau jadi komentator jangan berat sebelah dong!"
"Iya, masa Alin mulu yang disorakin!"
"Kalau mau bucin di kamar aja sono, berdua!"
Aku pun bergegas mendatangi kerumunan dan melerai Eca dari teman-temannya.
"Kalian apa-apaan sih? Emang Eca punya salah apa ke kalian?" bentakku.
"Nah ini istrinya dateng," sindir seorang cewek.
"Eh, diam kamu!"
Si cewek langsung bersembunyi di balik temannya.
Sementara itu, yang diprotes malah cengar-cengir.
"Santai, Lin, biar aku yang tangani," ujar Eca. "Maaf guys, bukannya aku membelot dari kelas ini. Aku cuma bicara fakta, dan faktanya, Alin lebih jago daripada seluruh anak cewek di Snida disatukan. Pernah dengar legenda Teratai Hitam? Cewek yang paling jago berantem di seantero Kidul Pasar? Ya ini orangnya," katanya sambil menepuk pundakku. "Kalian anak-anak cowok juga belum tentu bisa ngalahin dia."
"Eca! Kamu ngomong ap-"
"Oh, Teratai Hitam?" Tiba-tiba seorang cowok bertubuh jangkung dengan codet di dahinya ikut menimbrung. "Eh Kampret, kalau dia emang jago kayak cocotmu, menurutmu dia bakal menang lawan kelas kita di final futsal cowok besok? Kebetulan besok kita tanding lawan kelas 7B juga, 'kan?"
"Serius kalian nantang Alin? Mending jangan deh. Malu sendiri nanti."
Cowok jangkung itu mengangkat kerah Eca. "Kalau gitu bibir ente yang kita bikin bengkak. Setuju teman-teman?"
"Setuju!"
"O-Oke, tapi jangan menyesal kalau kalian kalah sama cewek."
"Eca! Hmph-"
Mulutku dibungkam. "Please Lin, aku udah telanjur keceplosan. Kalau kelasmu kalah aku bisa digebukin rame-rame!"
Ini yang salah siapa sebenarnya!?
Pada akhirnya, aku menuruti kemauan Eca setelah ia mentraktirku kue pancong. Sebenarnya permintaannya tidak terlalu berat sih. Dulu pas SD aku sudah sering bermain bola bersama cowok-cowok. Apa bedanya dengan sekarang?
Jelang pertandingan, aku menjadi satu-satunya cewek yang hendak bertanding. Dalam peraturan memang melarang cowok untuk ikut dalam tim cewek, tapi tidak disebutkan sebaliknya. Secara umum, cewek memang dianggap lebih lemah dari cowok. Bahkan rekan setimku pun khawatir.
"Kamu yakin, Lin? Cowok-cowok kelas A itu mainnya kasar-kasar lho," tanya Robi, cowok yang jadi top skorer sementara dari kelasku.
"Santai aja Rob, lakuin aja kayak pas latihan kemarin."
Aku pun bergegas ke lapangan. Para penonton kebingungan dengan kehadiranku di tim cowok. Beberapa di antara mereka mencibir kelasku dan menganggap kami bertanding untuk kalah. Yang lain berkomentar bahwa kami terlalu meremehkan kelas A. Namun, aku tak terlalu memikirkannya.
Pertandingan dimulai. Bola mengalir lebih cepat daripada saat bertanding melawan cewek. Kaki-kaki cowok juga lebih keras saat berbenturan dengan kakiku. Mereka tidak segan membenturkan bahu, menjegal, dan melakukan pelanggaran kecil untuk merebut bola. Lama-lama aku merasa ada yang janggal.
"Rob, oper sini!" teriakku. Namun, Robi memilih memaksa menggiring sendirian hingga bolanya direbut. Saat aku meminta bola pada yang lain, mereka pun tidak memberikan bola padaku. Satu-satunya caraku mendapat bola adalah dengan merebut bola dari lawan, atau mengejar bola liar. Apa-apaan ini?
Usai melalui babak pertama yang penuh dengan pelanggaran, aku pun memprotes, "Kalian apa-apaan sih! Kenapa enggak ada yang ngoper ke aku? Kalian kira aku enggak bisa main?!"
"B-Bukan begitu, Lin. Kami cuma takut kamu diincer sama mereka kalau kamu pegang bola. Si Gendon sialan itu kasar banget mainnya," kata Robi sambil merujuk pada cowok jangkung dengan codet di dahi itu.
"Iya. Lihat aja, kakiku aja sampai memar," timpal yang lain.
"Oh gitu? Coba kalian cari batako lima biji deh," perintahku.
Dengan bimbang, mereka menyanggupi permintaanku.
Kupastikan semua batako itu cukup keras. Kutaruh kelimanya di atas bangku besi, lalu kutendang dari atas menggunakan tumit. Seluruh batako itu pun remuk hingga sepatuku mengepulkan debu.
Cowok-cowok di sekelilingku hanya bengong saat aku berkata,
"Lain kali, enggak usah ragu buat mengoper ke aku."
Pada babak kedua, rekan-rekanku mulai memercayaiku menggiring bola. Memang benar kata Robi. Begitu aku pegang bola, Gendon langsung menghadangku. Tubuh kekarnya memang memudahkan ia menang duel badan dan kaki, tapi dia juga punya kelemahan: kuda-kuda kakinya terlalu lebar.
Kumasukkan bola melewati sela-sela kakinya dan berlari melaluinya. Para penonton bersorak dan komentator-si Eca tentunya, siapa lagi-berteriak,
"Wow! Sulit dipercaya! Gendon Gatusso, pemain bertahan terbaik selama kompetisi ini baru saja di-nutmeg [*] oleh sang Teratai Hitam! Dan kini sepertinya Alin mengambil ancang-ancang untuk melakukan shooting, jambreeet ... GOOOL! Luar biasa pemirsa, satu-satunya cewek di pertandingan kali ini baru saja membuat gol indah dari tengah lapangan!"
[*nutmeg: teknik dalam sepakbola yang bertujuan menggulirkan bola melewati sela-sela kaki pemain lawan.]
Aku bersumpah kalau Eca tidak dihajar oleh rekan-rekannya usai pertandingan ini, aku yang bakal menghajarnya.
Skor 1-0 untuk keunggulan kelas kami. Namun, babak kedua masih panjang. Gendon dan rekan-rekannya menjagaku lebih ketat. Bukan cuma satu, tetapi bisa dua sampai tiga orang. Aku sempat berkali-kali hampir terjatuh. Kakiku juga mulai kesakitan akibat benturan.
Taktik bertahan mereka mulai membuat irama permainan kami kacau. Rata-rata teman sekelasku punya postur lebih kurus daripada anak kelas A. Pada akhirnya, saat pemain belakang kami kehilangan konsentrasi, seorang anak kelas A berhasil merebut bola dan menyontekkan bola ke ruang kosong di gawang kami.
"Skor berubah jadi satu sama! Apa yang terjadi dengan kelas B? Sepertinya mereka mulai kelelahan."
Aku melirik pada salah seorang teman sekelasku yang tergeletak. Tampaknya ia cedera. Ia pun diganti dan ditarik keluar lapangan.
Lalu Robi berbisik padaku, "Aku nggak yakin kita bisa lanjut ke babak perpanjangan waktu."
"Pertandingan ini enggak perlu sampai perpanjangan waktu. Oper aja ke aku terus."
Selain anak yang baru masuk, aku dan Robi adalah yang paling fit di tim kami. Namun, aku juga tak yakin bisa menjaga konsentrasi kalau terus ditekan. Kelas A benar-benar tangguh.
Babak kedua berlanjut. Robi mengirim umpan panjang padaku yang telah menunggu di dekat gawang lawan. Sayang, umpannya lebih dulu membentur kepala Gendon sehingga bola memantul ke atas. Saat aku hendak melompat, tiba-tiba ada yang meremas dadaku dari belakang.
"Heh! Dasar cabul!" Refleks kusikut muka orang di belakangku sekuat tenaga. Cowok itu terjatuh. Dari hidungnya keluar darah.
Wasit membunyikan peluit. Lalu ia mengeluarkan kartu merah dan mengacungkannya ke arahku.
"Pak, dia yang pertama megang-megang!"
Sang wasit tak menggubris protesku. Lalu teman-teman si cabul itu turut membela rekannya dan hendak mendorongku. Beruntung teman-temanku melindungiku.
"Eh, Lampir! Ini lagi main bola, bukan pencak silat!" bentak teman si cabul.
"Salahin dia udah megang-megang nggak jelas!"
Robi menyuruhku mundur dan berkata, "Udah Lin, nggak apa-apa. Kamu istirahat aja."
"Kalau aku dihukum ya dia juga dong! Ah!"
Aku keluar lapangan setelah menepis tangan Robi. Aku tak peduli lagi dengan permainan curang itu.
Selesai ganti baju, aku kembali ke kelas. Pertandingan ternyata memasuki perpanjangan waktu. Namun, timku jelas-jelas sudah kehabisan bensin semua. Hingga pertandingan berakhir, kami kembali kebobolan tiga gol. Skor 4-1 untuk kemenangan kelas A.
Aku tak melihat komentator kampret itu seusai pertandingan. Paling-paling dia kabur duluan.
"Udah curang, mesum lagi!" gerutuku sambil bersedekap.
"Curang apanya?"
Aku menoleh ke samping. Grey duduk beberapa meter di sampingku.
"Gimana nggak curang? Masa main sambil pegang-pegang dada!?"
"Dalam sepak bola maupun futsal, kontak fisik seperti itu wajar, 'kan? Apalagi lawanmu cowok. Seharusnya kau sudah memikirkan itu sebelum memutuskan bergabung dengan tim cowok."
"Tapi dia sengaja!"
"Kau melihatnya?"
"E-enggak sih, tapi aku bisa ngerasain kalau dia enggak cuma pegang, tapi juga ngerem-heh! Kenapa juga aku harus bilang-bilang ke kamu?"
"Terserah. Faktanya, tidak ada saksi yang melihatnya memegang dadamu. Faktanya, semua orang melihat bahwa kau sengaja menyikut dia. Aturannya jelas kau pantas diberi kartu merah karena melakukan aksi kekerasan dengan sengaja."
Aku tak bisa menyangkalnya, tapi tetap saja!
Para siswa kelas 7A berbondong-bondong mendatangi kami, termasuk Gendon. Ia menepuk pundak Grey dan berkata,
"Pak Bos! Kok cuma diem-diem aja? Ayo ikut makan-makan!"
Pak Bos?
Gendon menoleh. "Oh, Alin. Ngomong-ngomong makasih pialanya."
Anak-anak kelas 7A yang lain tertawa cekikikan. Mereka menatapku dengan pandangan merendahkan.
Di belakang, teman-teman sekelasku juga ikut mencemooh.
"Kita pasti menang kalau tadi enggak ada yang memakai lapangan futsal buat latihan silat!"
"Percuma main bagus kalau nggak ngerti aturan."
"Awalnya kupikir dia harapan kita, tapi ternyata malah jadi beban."
Aku ... beban? Semudah itukah mereka melupakan jasaku saat memenangkan final kemarin hanya karena satu kesalahan?
Gendon tertawa. "Hei, kalian itu cuma ampas. Enggak usah ngata-ngatain Alin kalau kalian sendiri enggak bisa main. Wajar kalau dia enggak tahu aturan bola. Mana ada cewek ngerti bola."
Kalimat terakhir itu terasa seperti pemicu granat di jantungku, tapi kalau aku mengamuk di sini, aku takkan cuma dapat kartu merah.
Semua anak kelas A di sekitar Gendon menertawakanku kecuali Grey. Satu per satu dari mereka pergi hingga menyisakan Grey dan Gendon. Gendon bersikeras mengajak Grey ke kantin, meski Grey berusaha menolak.
"Maaf, aku tak suka makan ramai-ramai."
"Udah ikut aja, aku yang traktir."
"Aku kan cuma penonton. Traktir saja anak-anak yang ikut main."
"Halah. Kita bisa menyingkirkan Alin juga berkat saran dari Pak Bos."
Tunggu, apa?!
"Grey, kamu juga bersekongkol sama mereka?"
Grey tak menggubris ucapanku.
"Dasar cowok berengsek!"
Aku bergegas ke kelas untuk mengambil tas, lalu pergi ke suatu tempat agar tak ada orang yang tahu aku menangis. Ke kamarku.
Biasanya Eca akan membela dan menghiburku ketika orang lain menjahiliku. Namun saat dibutuhkan, dia malah menghilang.
Sorenya, cowok itu pulang sambil menangis di sepanjang jalan. Bibirnya bengkak gara-gara dipaksa makan dua puluh lombok setan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top