Rubrik 2.12 (TAMAT)
Coda
Suara lembut dari gitar dan piano terdengar dari tempat parkir kafe Re:Noir. Sisa-sisa air hujan di jalan berbatako memantulkan cahaya kebiruan dari lampu-lampu hias di depan kafe. Malam yang dingin. Kupakai jaket biru muda, baju belang, rok denim dan stoking sebatas lutut. Di sebelahku, Eca memakai rompi hitam dan kemeja putih, dengan bawahan celana hitam yang tampak modis jika ia memakainya pada pesta lima puluh tahun silam.
Begitu kami masuk, di dalam sudah ramai dengan orang-orang yang familier, tetapi tak bisa dibilang akrab. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak konglomerat kenalan Poppy dan Kak Rendy, atau cuma penggemar Poppy yang ingin melihat gadis mungil itu bernyanyi.
Sepertinya aku tak diinginkan di sini. Belum duduk saja sudah banyak tatapan sinis. Bukannya aku suka sih berbaur dengan mereka. Aku ke sini cuma mau kue gratis, lalu bertemu Grey. Yep, terutama kue gratis.
Namun baik kue gratis maupun Grey, aku tak mendapatkan keduanya. Aku juga tak melihat Karina. Potongan kuenya sudah dibagi rata ke semua pengunjung tanpa sisa, dan satu-satunya orang yang paling mungkin untuk kuajak bicara di sini cuma Gita, cewek tinggi langsing yang juga anak pemilik kafe.
"Git, Grey mana?"
Ia cemberut dan mengangkat bahu. "Di rumahnya mungkin."
"Lho? Katanya ada pesta ultah buat dia di sini," ujar Eca.
"Tadi sih ada. Sekarang aku nggak tahu dan nggak peduli."
"Itu yang dibagi-bagi kue ultahnya Grey, kan?" tanyaku.
"Ya kali."
"Masa ultahnya dirayain tokoh utamanya malah pergi?" tanyaku lagi.
"Ya mana kutahu. Emang aku ensiklopedia Grey Ismaya?"
Gita berpaling sambil menyingkap poni yang menutupi mata kirinya.
Percuma bertanya soal cowok ke dia. Tapi biasanya dia tak sedingin ini padaku.
"Wah, datang lagi nih dua lelembut Klub Jurik."
Seorang cewek berambut panjang, keriting, dan bergaun ungu mendekati kami bersama dua orang cewek di belakangnya. Dia Kak Sinta, salah satu kakak kelas yang memeloncoku waktu MOS.
"Ini akibatnya kalau kita bikin pesta buat anak dari alam gaib. Arwah-arwah lainnya juga ikut penasaran," kata Kak Sinta. "Lama-lama kafe ini jadi sarang dedemit."
"Maaf, Kakak bilang apa?" tanyaku. "Bisa tolong pakai bahasa manusia?"
Matanya melotot.
"Eh, udah bikin kacau, masih aja songong. Dasar nggak tahu malu," ucap Kak Nia, cewek berkerudung merah di samping kiri Kak Sinta.
"Ini dua orang yang bikin drama sampai teriak sambil nangis-nangis kan?" tanya Kak Citra, cewek ketiga. "Kok sekarang jadi bareng lagi? Ketahuan banget setting-annya."
"Songong? Siapa yang songong?" tanya Eca. "Kami ke sini baik-baik tapi Kakak tiba-tiba ngata-ngatain kami dedemit. Kalau kami dedemit, Kakak apa? Baju ungu-ungu gitu kayak hantu janda kembang—ups, maaf. Kakak nggak mungkin jadi janda kalau nggak ada yang mau nikah sama Kakak. Pfft. Gimana rasanya ditolak Kak Rendy? Hmm?" Ia berhenti sejenak. "Sabar ya, aku tahu rasanya sakit banget walaupun kata Kakak cuma settingan. Semoga yang menimpa Kakak bukan settingan ya."
Tawaku hampir meledak jika tak segera menutup mulut. Kadang aku harus menampar bibir Eca agar bisa mengerem ucapannya, tapi kali ini kubiarkan saja.
Wajah Kak Sinta merah padam.
Gita melengos ke belakang membiarkan Eca dan Trio Ratu Drama beradu mulut.
Poppy tampak bercengkerama dengan orang-orang di depannya. Ia adalah orang yang paling antusias ingin merayakan ulang tahun Grey. Ia juga yang mengajakku kemari. Sungguh aneh jika Grey menghilang begitu saja sementara dia masih di sini dan bernyanyi riang.
Atau mungkin, Grey memang masih di sini.
Aku bergegas menuju ke koridor yang searah dengan langkah Gita. Eca berseru, "Lin, tunggu!" tetapi sebelum ia mengejarku, Kak Sinta membentaknya.
"Heh! Urusan kita belum kelar!"
Well, kupikir Eca tak butuh bantuanku untuk menghadapi mereka bertiga. Sekarang aku cuma perlu menemukan Grey. Belakangan ini, aku sering menyuruhnya untuk memata-matai Poppy dan orang-orang di sekitarnya, tetapi aku lupa mengatakan sesuatu yang penting.
Di dapur, aku menemukan Karina tengah mencuci gelas-gelas di wastafel.
"Kar," panggilku.
Yang dipanggil pun menoleh. "Alin! Ya ampun, akhirnya datang juga. Udah dapat kue?"
"Emm, enggak."
"U-udah abis, ya? Aduh, maaf ya. Tadi rencananya kita cuma mau ngadain pesta kecil-kecilan, tapi ternyata Poppy sama Kak Rendy bawa banyak orang. Jadinya kuenya nggak cukup deh." Karina tampak menyesal. "Oh, apa mau kubuatin es krim?"
"Ah, enggak perlu repot-repot, Kar. Makasih," ujarku. "Kok kamu di sini? Enggak gabung sama anak-anak di depan?"
"Mbak-Mbak yang nge-sif malam ini lagi izin, jadi aku gantiin."
Tangan Karina dengan cekatan mengelap gelas dan cangkir satu per satu sambil menjawab pertanyaanku. Di sampingnya piring-piring kotor tampak masih menggunung.
Kuambil satu piring dan kubantu mencucinya. Karina memandangku heran.
"Eh, Lin, nggak usah!"
"Udah, nggak apa-apa."
"T-tapi, ini emang udah kerjaan—"
"Nggak enak juga lihat kamu kerja lembur sendirian sementara di depan masih pada pesta. Padahal kamu yang pertama ngasih ide."
Karina tampak tersipu. "Malah aku yang jadi ngerepotin."
"Lagian mending di sini daripada harus berbaur sama anak-anak cerewet yang enggak kukenal."
Ia berterima kasih dengan lirih.
Percakapan kami berakhir usai tangan kami sudah sibuk sendiri-sendiri. Kalau tak diajak bicara duluan, Karina benar-benar diam tanpa kata. Selain itu, aku memang jarang bicara dengannya. Terakhir kali aku berbicara dengannya adalah saat kami di rumah sakit untuk menjenguk Grey.
Itu adalah momen-momen yang canggung untuk diingat. Di antara semuanya, aku tak menyangka cewek pemalu seperti dia mau menjenguk Grey sendirian.
Jadi dia dan Grey sudah makin dekat sejak Grey belum kerja sampingan di sini?
Tidak, bukan cuma itu. Karina sendiri waktu itu bilang dia punya hubungan dengan Mr. I. Apa itu artinya dia juga tahu tentang perkataan Poppy? Bahwa Grey saat ini sedang mengambil-alih Phantom Club?
Aneh. Aku tahu aku berada di samping salah satu anggota Phantom Club, tetapi aku sama sekali tak merasakan aura tipu muslihat. Tak seperti Poppy, berada di dekat Karina rasanya begitu bersahabat.
Selesai mencuci, aku kembali membuka obrolan.
"Omong-omong, di mana Grey?"
"Di depan nggak ada?"
"Enggak. Justru aku tadi ke sini mau nyari Grey."
"Oh, iya. Seingatku dia sama Kak Rendy tadi naik ke lantai dua. Mungkin mereka masih di sana."
Aku bergegas menaiki tangga. Suasana di atas lebih sepi daripada di bawah. Malah, aku hanya menemukan seseorang yang duduk di kursi di dekat pagar pembatas sambil menikmati pemandangan di bawahnya.
Kak Rendy.
Laki-laki itu menyadari kedatanganku dan tersenyum padaku. Satu lagi orang yang tak ingin kuajak bicara. Di atas mejanya ada tas pinggang Grey. Mau tak mau aku pun bertanya.
"Grey di toilet. Tunggu saja," ucapnya. "Sini. Pemandangannya bagus lho."
"Enggak, makasih."
"Jutek amat."
"Hmph. Kakak enggak gabung sama yang lain?"
"Aku suka ketinggian. Lebih banyak yang bisa diamati dari sini. Walaupun tidak setinggi rumahku sih."
"Kenapa ke sini kalau gitu."
"Aku dengar tentang pesta ini dari Poppy. Kalau aku tahu dari awal, kuadakan pestanya di rumahku."
"Sejak kapan Kakak mau bikin pesta ultah buat dia?"
"Menurutmu aku sejahat apa sih? Begini-begini aku juga tahu cara berterima kasih," katanya sembari terkekeh. "Seingatku, dia juga bertindak sebagai perisaimu sampai hampir terbunuh. Kamu sendiri, sudah memberikan apa padanya?"
Itu pertanyaan yang menohok. Namun, kucoba tetap tenang.
"Kalaupun aku ngasih hadiah, buat apa aku bilang sama Kakak?"
Ia menaikkan dagu. "Oh, jadi kamu sudah mempersiapkan hadiah? So sweet. Ternyata seorang Alin tidak sedingin reputasinya."
"Berisik!"
Sayup-sayup kudengar suara tawa beberapa orang dari arah samping. Grey berjalan sambil diapit oleh empat orang cowok berbadan tinggi. Aku hanya pernah melihat muka mereka. Anak-anak kelas sebelas. Mungkin kenalan Kak Rendy juga. Grey cengar-cengir tapi ekspresinya jelas tak nyaman.
"Alin?" ujar Grey usai melihatku.
"Lama sekali kalian," kata Kak Rendy.
"Urusan cowok, Bro. Enggak bisa ditunda," balas cowok berjaket kulit.
"Kalian tidak berbuat macam-macam dengan Grey, 'kan?"
"Oh, enggak. Kami sekarang teman baik. Ya 'kan, Grey?" ujar yang lain sambil mengusap kepala Grey dengan kasar.
"Kalau Grey tergores sedikit saja, dana buat ekskul kalian kupotong nanti."
"Tenang aja, Pak Ketos, semua aman dan terkendali," kata si jaket kulit sambil menepuk pundak Kak Rendy. "Eh, itu cewek yang jadi pacarnya Ivan sontoloyo itu, 'kan?"
Uh! Masih ada yang ingat soal itu.
Ketiga orang yang masih mengelilingi Grey pun bereaksi.
"Apa-apaan nih, Bro? Masa udah sama Poppy masih mau nikung cewek lain?"
"Awas kalau sampai Poppy patah hati."
"Bukannya bagus ya? Semakin cepat Grey putus sama Poppy, semakin besar peluang kita!"
"Eh, benar juga. Apalagi Jerry masih diopname."
Kak Rendy berdeham keras. "Bisa tolong kalian diam dulu?"
Semuanya menurut.
Kak Rendy membiarkan Grey sendirian di toilet bersama orang-orang aneh ini? Apa yang dia pikirkan?
"Baiklah. Ayo pergi." Kak Rendy beranjak. "Beri dua adik kelas kita sedikit privasi."
Lucu mendengarnya bicara soal privasi setelah semua yang ia lakukan pada Grey dan Eca.
Usai rombongan Kak Rendy turun, Grey berkata,
"Jadi ... kau mau apa ke sini?"
"Ha? Jelas-jelas aku ke sini mau ikut ngerayain ultahmu."
"Kupikir kau cuma mau makan kue gratis, lalu kau mencariku karena kehabisan kue dan tidak tahu harus berbuat apa."
"I-itu juga enggak salah sih." Dasar cenayang!
"Maaf mengecewakanmu. Pesta sudah berakhir sejak rombongan Kak Rendy datang. Sekarang Poppy yang jadi pusat perhatian," ucapnya.
"Kasihan. Bahkan saat ulang tahun pun panggungmu dibajak."
"Bukan berarti aku tidak suka sih. Aku justru berterima kasih karena tidak harus meladeni semua orang di bawah. Hanya saja ...."
"Hanya saja?"
"Lagi-lagi aku tak dapat menikmati kue buatan Karina."
Grey menghela napas penuh kekecewaan.
"Oh, jadi kamu nggak butuh semua pesta ini selama ada Karina? Pantesan kamu betah kerja di sini walaupun kena hukuman."
"Kenapa nadamu sinis sekali?"
"Kenapa? Suaraku jelek? Maaf ya, aku bukan Poppy."
Grey cengengesan.
"Oh ya, kamu tadi diapain sama mereka di toilet?"
"Tidak ada. Mereka cuma mau kenalan."
"Bohong. Mereka fans berat Poppy, ingat? Mereka yang terus-terusan gangguin kamu di sekolah cuma gara-gara satu berita hoaks!"
"Oke, anggap saja mereka memang menggangguku," ujarnya. "Lantas kau mau apa?"
"Ya pastinya aku bakal—"
"Menegur? Membentak? Menonjok? Kapan terakhir kali cara frontalmu berhasil?"
Tanpa sengaja, ia mengingatkanku pada kenangan-kenangan pahit itu.
"Kau masih butuh berita terbaru tentang Kak Rendy dan Poppy, 'kan? Kalau begitu, ini adalah risiko yang harus kuambil."
Lagi-lagi ini salahku, ya?
"Grey, umm ... ini soal tugas yang kukasih tadi siang. K-kalau misal kamu keberatan buat menyelidiki mereka, kamu enggak perlu maksain diri, kok."
Grey menatapku sambil mengernyitkan dahi.
"Kau ngidam, ya?"
"Hah? Ngaco!"
"Tadi siang kau memberi tugas ini tanpa sekali pun mendengar keluhanku, sekarang malah sok perhatian begini. Ini sama seperti kau menyuruhku membeli es tung-tung, tapi malah menangis gara-gara kau tidak suka rasa kacang pistasio."
"Apaan sih! Enggak nyambung!"
Grey cekikikan.
"Maksudku, kamu enggak perlu selalu cari berita sendirian," ujarku. "Kalau kamu butuh bantuan bilang aja. Selama ini kan kamu selalu komplain soal tugas klub, tapi ujung-ujungnya semua kamu kerjain sendiri. Aku juga salah sih. Klub Jurik sekarang terlalu bergantung sama kamu buat terus berjalan."
"Aku baru tahu kau menganggap serius keluhanku," balasnya. "Terlepas dari perintahmu, aku sudah menduga bakal jadi begini. Makanya sebagai jaminan, mau tak mau aku bergaul dengan kelompok Kak Rendy. Mereka takkan macam-macam padaku, jadi jangan khawatir."
"Jelas aja aku khawatir! Aku enggak percaya sama omonganmu sejak kamu masuk rumah sakit, tahu! Duh. Aku jadi mikir kamu cuma main-main saat kamu bilang kita berteman. Emang enggak ada yang bisa kuperbuat sebagai temanmu?"
"Justru itu, Lin," ujarnya tenang. "Justru karena kau temanku, aku tidak mau kau berbuat sesuatu yang bisa menyakiti diri dan nama baikmu. Kau satu-satunya anggota klub yang masih bersih. Bukan berarti kau tidak bisa membantuku sama sekali. Cuma kau tak perlu ikut-ikutan terjun ke sisiku. Sekarang yang klub butuhkan adalah mengembalikan kepercayaan orang-orang. Kita tidak butuh satu berandalan lagi, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa diandalkan sepertimu."
"Gombal. Bilang aja aku terlalu bego buat mengakali niat licik orang kayak kamu, jadi kamu sengaja menjauhkanku dari rencanamu. Tapi oke, aku bakal tahu diri mulai dari sekarang."
Grey tersenyum tipis. Tidak adil. Aku jadi merasa seperti anak kecil yang ngambek gara-gara tidak diajak ke mal.
"Meskipun kau itu sarkastis, kasar, sinis, dan pernah mengancamku, kurasa jauh di dalam hatimu, kau sebenarnya baik."
"Itu pujian?" tanyaku.
"Ya. Karena itu, kupikir kau lebih cocok berada di tempat terang daripada di kegelapan."
"Heh, terus kenapa kamu pikir dirimu cocok di kegelapan? Emang kamu Batman? Kamu tahu julukanku di kalangan anak-anak berandalan? Teratai Hitam! Masih mau bilang kalau aku lebih cocok di tempat terang?"
"Itu cuma kiasan. Maksudku, dibanding denganku, kupikir masa depanmu lebih cerah."
"Sekali lagi aku tanya, apa yang bikin kamu mikir kamu udah enggak ada harapan?"
"Entahlah. Mungkin aku memang busuk sejak awal. Kaubilang Klub Jurik bergantung padaku untuk terus berjalan. Kenyataannya, aku cuma memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan."
"Tapi kamu masih punya rasa bersalah. Aku enggak percaya orang yang rela ditawan preman buat nyelametin Kak Feli dan Poppy bakal seburuk itu."
"Rasa bersalah. Ya, mungkin benar." Grey menatap ke bawah. Pandangannya sendu. "Aku jadi penasaran. Apa sekarang kau perhatian padaku karena sekadar perhatian, atau cuma merasa bersalah?"
"I-itu enggak penting, 'kan?"
"Kalau kau cuma merasa bersalah, lupakan saja. Ini bukan salahmu. Bahkan meskipun aku tak melihat isi rekamanmu dan kau tak mengancamku, aku tetap bakal terseret pada kekacauan bulan lalu. Sejak dulu aku memang seperti itu."
"Sejak dulu, ya? Apa itu artinya ... Stella juga salah satu 'korban'-mu?"
Grey tak segera menjawab.
"Itu lagi. Apa Stella begitu penting buatmu?"
"Enggak gitu. Kamu tahu kalau aku sama Stella pernah punya masalah dulu. Aku kaget aja pas denger kabar kalau kamu punya hubungan sama dia. Ya, mungkin aku cuma kepo. Mungkin itu enggak ada hubungannya sama kamu yang sekarang. Atau mungkin itu bukan soal Stella atau kamu. Mungkin aku cuma ... takut. Aku sering dikhianati, tapi aku enggak pernah terbiasa dikhianati. Tetep aja rasanya sakit. Sejak dulu, aku payah dalam menilai karakter orang. Aku udah ngumpulin semua informasi yang bisa kukumpulin, tapi tetep aja aku nggak bisa nyimpulin, apa aku bisa percaya sama kamu atau harus ngejauhin kamu. Jadi aku mau denger keseluruhan ceritanya dari narasumbernya langsung. Dari kamu."
Grey melongo. Wajahnya memerah.
"Kata-kataku aneh, ya? Udah kutebak. Lupain aja."
"Tidak, aku hanya ... wow, aku tak tahu harus bilang apa." Ia meremas kain baju di dadanya. "Jadi itu yang mengganggu pikiranmu belakangan ini? Rasanya aku tak pantas dapat perhatian sebesar itu."
"Jangan ngomong yang aneh-aneh!" Aku memalingkan muka. Mungkin aku memang sudah mengatakan hal yang tak perlu. "Salah ya kalau aku mau tahu masa lalu teman sendiri?"
"Tergantung. Aku sih tak pernah berusaha merahasiakannya. Aku hanya tak berpikir bakal ada orang yang tertarik dengan masa laluku."
"Jadi, kamu mau cerita?"
"Sebelum itu, sampai sejauh mana yang kautahu?"
Kuceritakan sejak Grey pertama kali berkenalan dengan Eca. Lalu tentang kasus contek massal itu. Kemudian tentang Stella.
"Ada yang bilang kemungkinan besar kamu udah bikin Gendon dikeluarin. Waktu kelas delapan, ada yang nyebar gosip jelek tentang Stella. Tapi setahuku gosip gitu doang enggak bakal mempan sama cewek sepopuler dia, kecuali ada sesuatu yang bikin dia kehilangan dukungan. Beda sama Gendon, dia itu kebal hukuman.
"Terus pas lihat riwayat statusnya waktu kelas sembilan, aku sadar kalau dia ada masalah sama teman-teman terdekatnya. Dia bilang sesuatu tentang cheater. Dan kebetulan waktu itu pas UN. Aku jadi mikir, apa ada yang ngebocorin rahasia kalau dia nyontek kayak kasus Gendon? Tapi itu nggak mungkin. Kalau Stella dikeluarin atau dihukum, pasti udah heboh seisi sekolah. Aku juga bakalan tahu tanpa perlu ngubek-ngubek isi statusnya.
"Yang jelas, ada sesuatu yang bikin hubungannya sama teman-teman dekatnya berantakan. Kayak, ada yang ngebocorin skandal yang cuma diketahui sama mereka," Aku berhenti sejenak. "Aku enggak bisa langsung nuduh kamu terlibat. Tapi mengingat kamu pernah dekat sama kelompok Gendon dan Stella, aku mau nanya. Apa kebencian Stella ke kamu ada hubungannya sama kasus itu?"
"Hmm, kurasa kau sudah cukup memahami semuanya," ujar Grey. "Lalu? Apa lagi yang ingin kautanyakan?"
"Jadi itu beneran?! Terus ... kenapa kamu bisa gitu?"
"Apa semua perbuatan harus punya alasan?"
"Kalau kamu enggak gila, mabuk, dan itu bukan kecelakaan, harusnya ada."
"Mungkin aku memang sedang mabuk waktu itu."
"Jangan bercanda!"
Ia garuk-garuk kepala. "Tapi aku memang lupa. Itu sudah lama sekali dan ... oh, mungkin aku kesal karena Stella dan teman-temannya sering menjelek-jelekkan novel detektif. Ingat aku pernah berkelahi dengan Red gara-gara itu? Ya, pasti itu alasannya—aduh!"
Kusentil pergelangan tangannya.
"Sakit, tahu! Lagi pula, itu tidak ada hubungannya denganmu, 'kan? Apa kaupikir, karena Red membalas dendam pada Stella untukmu, aku juga ikut balas dendam untukmu? Pede juga ada batasnya!"
Aku tidak tahu kenapa ucapannya begitu menusuk. Seperti ada kain pel kotor yang meremas-remas wajahku lalu memperlihatkannya ke Instagram.
"Lin? Kau demam?"
"Diam!"
Kurebahkan kepalaku di atas meja dengan muka menghadap ke bawah. Sudah cukup. Aku tidak mau bertanya apa-apa lagi pada si abu-abu itu.
"Kau tahu," Grey mulai bicara lagi, "aku pun tidak selalu mengerti maksud perbuatanku. Pada dasarnya aku lebih suka menghindari masalah. Bapakku bilang, aku harus jadi orang baik dan suka menolong agar orang-orang memercayaiku. Tapi bahkan orang sebaik Bapak pun punya musuh yang ingin melenyapkan nyawanya. Aku tidak ingin seperti Bapak. Aku cuma mau hidup tenang, bukan jadi pahlawan kesiangan.
"Semasa kecil, kupikir cara terbaik dalam menghindari masalah adalah dengan mengikuti peraturan. Tapi orang tetap bisa menindas orang-orang di sekitarku tanpa mengindahkan peraturan. Yang kuat, kaya, berkuasa, tetap bisa berbuat seenaknya tanpa mendapat hukuman. Aku tak memiliki ketiganya, jadi agar terhindar dari masalah, aku hanya bisa menuruti mereka.
"Eh, tapi jangan salah. Aku menurut bukan karena aku suka. Kalau aku punya kekuatan, aku tak mau repot-repot mematuhi perintah. Peraturan dibuat untuk diakali. Kau tak perlu terlalu taat, tetapi untuk hidup damai, kau juga tak boleh melanggarnya terang-terangan. Itu motto hidup yang kupegang teguh sampai saat ini.
"Saat SMP, aku berkali-kali dimanfaatkan, diconteki, disuruh-suruh tanpa pernah mengeluh, hingga aku sadar. Tak ada lagi yang berpikir dua kali dalam menitipkan uangnya padaku. Tak ada yang pernah mempertanyakan jawaban yang kuberikan ketika ujian. Tak ada yang berpikir aku bakal membocorkan rahasia. Anak baik-baik atau berandalan, semua percaya bahwa aku di pihak mereka. Entah apa mereka benar-benar percaya atau cuma tidak peduli. Yang jelas, aku merasa kepercayaan itu memberiku kekuatan atas mereka. Rasanya seperti pahlawan super yang punya kekuatan menghilang. Ya, kurang lebih seperti itu.
"Lalu aku pun menguji kekuatanku. Aku tetap memberi contekan, tetapi sedikit-sedikit kuberi jawaban yang salah. Aku tetap memberi tips pada Gendon cara menjahili orang, tapi sedikit-sedikit kubocorkan rahasianya. Puncaknya adalah waktu UAS, saat kulaporkan contekan yang disebar teman-teman sekelasku pada guru. Setelah semua kerja keras yang kulakukan untuk mereka, aku ingin mereka membayar—dengan memberiku hiburan.
"Hasilnya? Cukup menghibur. Semuanya saling tuduh tanpa seorang pun mencurigaiku. Mungkin tak ada yang berpikir aku punya nyali untuk berkhianat. Ketika semua orang terancam bakal kena hukuman berat, mereka bakal melakukan apa pun untuk membuat hukumannya lebih ringan. Termasuk mengorbankan seseorang yang dianggap paling bertanggung jawab. Kemudian, kau tahu sendiri yang terjadi pada Gendon.
"Stella pun sama. Sejak Hana pindah, Stella bergantung padaku untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Setiap ada tugas kelompok, ia jadi mendadak sok manis agar aku mau bergabung. Kau tahu sendirilah. Saat sekelompok dengannya, orang sepertiku cuma diajak agar bisa mengerjakan tugas, sementara Stella dan teman-temannya bisa asyik mengobrol.
"Kadang ngeri juga mendengar mereka ngerumpi, seolah tak sadar kalau aku masih bersama mereka. Mungkin lucu kalau diam-diam kurekam obrolan mereka, atau kupotret coretan-coretan di buku tulis mereka. Entah apa mereka tahu kalau aku sudah banyak mengingat rahasia pribadi mereka, seperti mantan, pacar, selingkuhan, dan password akun medsos mereka.
"Menjelang UN, kuputuskan bahwa sudah saatnya mereka membayar. Kugunakan akun medsos milik Stella untuk menyebarkan contekan palsu pada teman-temannya. Sementara Stella sendiri memiliki kunci jawaban yang asli dari koneksinya. Stella pun lulus, sedangkan komplotannya justru harus mengulang. Singkatnya, itu membuat Stella terlihat ingin menjerumuskan orang-orang yang selama ini mendukungnya. Dan sesuai dugaanku, mereka pun terpecah belah."
Tiba-tiba aku jadi kasihan pada Stella.
"Dulu aku terlalu meremehkan pertengkaran cewek. Aku bahkan hampir ketahuan karena Stella mencurigaiku. Aku selamat karena teman-temannya sudah terlanjur benci padanya dan tak percaya pada kata-katanya. Meski begitu, Stella tetap menangis dan menamparku. Katanya, hidupnya hancur. Semua kejelekannya diungkit-ungkit sampai jauh melebihi rumor yang disebar Red. Bahkan ada yang menyuruhnya bunuh diri. Mengerikan. Kalau sejak awal aku tahu bakal seburuk itu, aku seharusnya tak melakukannya."
Grey mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Kuangkat wajahku. Ia tersenyum tipis. Namun, raut wajahnya yang kelabu dan matanya yang sayu membuat senyumnya hanyut.
"Emang harusnya aku nggak percaya sama kamu," ucapku.
"Ya. Kupikir aku sudah berubah, tapi setelah yang kulakukan bulan lalu ... kurasa manusia memang tak bisa berubah semudah itu," sahutnya.
"Ha? Yang enggak kupercaya itu omonganmu tadi, tahu? Kamu bilang kamu lebih suka menghindari masalah, tapi setelah kamu udah di zona nyaman, kamu malah bikin masalah baru. Terus kamu bilang masalahmu sama Stella enggak ada hubungannya sama aku. Tapi dari mana kamu tahu kalau Eca udah nyebar rumor jelek tentang Stella? Aku emang bilang ada yang nyebar, tapi aku nggak bilang kalau pelakunya Eca. Mungkin ceritamu ada benarnya, tapi kamu jelas nyembunyiin sesuatu. Kali aja Eca sempat minta kamu buat bersekongkol, tapi kamu tolak, atau kamu lebih suka pakai caramu sendiri."
"Cewek memang mengerikan," ujarnya lirih. "Tetap saja. Akan lebih baik kalau kau tidak dekat-dekat denganku."
"Apa kamu yakin, Grey? Kamu yakin kalau kamu emang busuk, berengsek, dan nggak pantas dapat perhatian?" tanyaku. "Kalau kamu yakin, duduk yang tegap dan tatap mataku. Mana ada orang yang percaya sama kamu kalau tampangmu lesu begitu."
Grey hanya bergeming.
"Awalnya, aku juga dihantui perasaan bersalah. Kupikir itu bisa dihapus dengan melakukan semua yang kamu mau. Aku baru sadar kalau aku udah egois. Aku cuma membantumu demi diriku sendiri, dan nggak benar-benar peduli sama perasaanmu. Yang bisa kukatakan cuma maaf, maaf, dan maaf. Kupikir kamu udah muak mendengarnya. Padahal kamu udah sering menolongku, tapi aku malah pusing mikir apa kamu bisa dipercaya atau enggak sampai ngubek-ngubek masa lalumu. Aku sampai lupa bilang sesuatu yang paling penting."
Aku berdeham beberapa kali, mengetes apakah suaraku cukup jelas.
"Terima kasih atas semuanya, Grey. Happy birthday."
"...."
Krik.
Tak ada balasan.
Grey yang biasanya cengengesan, atau mengatakan lelucon yang tidak lucu hanya untuk membuatku kesal, kini bibirnya tak bergerak sama sekali.
Aku sudah bilang happy birthday, rasanya aneh kalau aku tak memberi hadiah. Hanya saja ... situasi macam apa ini?
"M-mungkin ini aneh, datang dari orang yang udah sering nyusahin kamu. Kupikir kalau kamu masih merasa bersalah, kamu bisa jadi orang yang lebih baik lagi. Aku nggak akan menilaimu dari masa lalumu, atau dari kemungkinan yang belum tentu terjadi di masa depan."
"Jadi kau memutuskan untuk percaya padaku? Meskipun pada akhirnya aku bisa saja mengkhianatimu?"
Aku mengangguk mantap.
"Kuharap aku bisa percaya pada orang lain semudah itu."
Lagi-lagi tatapan mata itu. Tatapan yang seolah menyatu dengan tema kafe ini. Noir. Hitam. Depresi. Sendu.
Saatnya mencairkan suasana.
"Grey, kamu ada acara nggak pas libur semester nanti?"
"Tidak. Kenapa?"
"Jadi gini, kan kita dapat surplus dari penjualan majalah bulan kemarin. Aku nggak tahu harus diapain sisanya, tapi setelah diskusi sama Pak Seta, katanya terserah kita uangnya mau diapain. Akhirnya aku bikin agenda jalan-jalan buat liburan nanti. K-kamu mau ikut, 'kan?"
"Oh, siapa saja yang ikut?"
"Aku belum bilang ke yang lain. Kalau kamu mau ngajak orang dari luar klub juga nggak masalah sih. Dan juga ... ini." Kuambil sesuatu dari ranselku. Kukasih ia sekotak hadiah yang dibungkus kertas kado dan wadah sepatu. "Jangan dibuka di sini! Di rumah aja, oke?"
"O-oke."
"Udah gitu aja."
Saat kupalingkan wajah, terdengar langkah kaki dari anak tangga. Karina, Eca, dan Poppy mendatangi kami. Aku sampai lupa. Mereka pasti juga mencari-cari Grey, tetapi aku malah menahannya terlalu lama di sini.
Mungkin sekali lagi aku sudah tertipu. Mungkin pelangi yang kulihat sekilas waktu itu hanya fatamorgana. Mungkin memang tak ada pelangi di langit kelabu. Yang jelas, pertemuan malam itu telah membuatku yakin, bahwa perasaan yang selama ini menggangguku ... bukan sekadar timbul dari perasaan bersalah.
***
[Tak Ada Pelangi di Langit Kelabu - TAMAT]
A/N: Halo gaes, ketemu lagi sama saya. Hehe. Btw awalnya aku gak nyangka bagian Alin bakal sepanjang ini, tapi ya sudahlah. Emang katanya kalo belum selesai ditulis, kita belum benar-benar tahu inti ceritanya tentang apa. Dan setelah kubaca-baca lagi, kayaknya bagian ini lebih condong ke straight teenfiction daripada misteri. xD
Harus kuakui, di bagian ini aku lebih banyak mengeksplor karakter yang sama-sama punya trust issue (Grey & Alin), dan gimana mereka bertahan (coping) daripada mikir puzzle buat misterinya. So, maaf buat penggemar misteri kalo endingnya agak melenceng dari perkiraan.>,<
Udahlah. Panjang amat. Sampai jumpa di bagian selanjutnya atau di karya saya yang lain! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top