Rubrik 2.11
Smansa, November 2013
Sebuah tendangan telak mendarat di perutku. Aku syok dan jatuh terjengkang di depan pelatihku.
"Jangan melamun! Fokus!"
Kuda-kudaku terlambat. Biasanya aku bisa menahan tendangan dengan perut, tetapi susah juga mengira-ngira kapan orang akan menendang saat mataku ditutup. Pecah konsentrasi sedikit, ulu hatiku serasa menjerit.
Sesi latihanku berakhir karena aku tak sanggup berdiri. Dari sisi lapangan, Eca berteriak menghampiri. Ia membantuku bangkit lalu memapahku ke tepi.
"Dasar kampret. Nendang cewek enggak tahu ukuran," gerutunya usai menjauh dari tempat latihan.
"Enggak, aku aja yang nggak konsentrasi tadi," ucapku.
"Tapi kalau kamu cedera gimana?"
"Enggak apa-apa. Aku udah biasa."
Sakit seperti ini masih bisa ditahan. Ini lebih baik daripada dijebak dan dikhianati orang yang sudah kuanggap teman.
Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu. Namun, rasanya baru kemarin bedak di muka cewek-cewek itu menempel di tinjuku. Setelah kejadian itu, berhari-hari aku tak mau berangkat sampai Ayah protes ke kepala sekolah. Kupikir meskipun aku berangkat, Stella dan anak buahnya bakal melaporkanku dan aku terbukti bersalah. Ujung-ujungnya aku pasti dikeluarkan.
Tapi entah kenapa, itu tidak terjadi.
Sekolah tak memberi peringatan apa-apa padaku. Kabar perkelahianku juga tidak tersiar di mana pun. Yang viral justru kabar bahwa Hana pindah sekolah. Kemudian muncul banyak rumor buruk tentang ia dan Stella. Ada yang bilang Stella merundung Hana, Stella merebut pacar Hana, Stella pernah mengutil di mal, dan sebagainya.
Aku tak paham kenapa. Dulu aku terlalu emosional untuk mengungkit-ungkit soal itu. Tiap hari aku hanya duduk di depan kelas sendirian dan enggan berinteraksi dengan siapa-siapa. Urusan OSIS pun kuserahkan pada Eca dan Pia.
Belum lagi, Ayah kemudian bermasalah dengan atasannya dan komplotan preman, sementara Mr. I mulai menggila. Terlalu banyak hal yang terjadi sehingga detail peristiwa itu tertumpuk jauh di lubuk memori, sementara aku terlalu sibuk untuk peduli.
Lucunya, orang yang dulu paling kuabaikan malah menarik kembali kenangan itu dan melemparkannya ke mukaku.
"Kamu kenapa ketawa?" tanya Eca seraya menemaniku ke tempat parkir. Aku sudah bilang aku akan pulang diantar Eca, jadi Ayah tidak perlu menjemput.
"Dari dulu aku udah merepotkan banyak orang ya."
"Heh, kalau itu aku juga sama. Banyak yang bilang aku ini cerewet, penggosip, dan enggak ada cowok-cowoknya sama sekali. Ingat nggak waktu SD? Aku pernah nggak sengaja ngejek kakak kelas karena nama bapaknya mirip sama nama orang gila yang sering keluyuran di dekat sekolah."
"Edi Mbembeng bukan sih?"
"Iya," katanya sembari tertawa. "Kalau kamu nggak ada, mungkin aku udah babak belur."
"Tapi seenggaknya kamu bisa berbaur sama anak-anak kebanyakan. Sementara aku? Kalau dulu kamu enggak dekat-dekat sama aku, mungkin temanmu bakal lebih banyak lagi."
"Berbaur? Aku lebih kayak badut buat mereka. Datang cuma pas butuh. Kalau aku yang butuh malah pada ngilang," ujarnya kesal. "Cuma kamu yang selalu ada pas aku butuh."
Usai berkata begitu, Eca memandangku. Wajahnya memerah dan segera berpaling melihat jalan.
"Masa? Emang nggak ada cowok yang bisa jadi sohibmu?" tanyaku sedikit menggodanya. "Grey misalnya?"
Eca tersenyum tipis. "Entahlah. Aku merasa nggak pantas jadi temannya."
"Heh, kita sepemikiran," ucapku. "Selama ini aku juga sering bikin repot kalian berdua. Aku cepat panik di bawah tekanan. Apalagi bulan kemarin. Semuanya kayak kerasukan setan."
"Termasuk aku."
"Aku juga."
"Aku lebih parah."
"Jangan mulai. Aku lagi capek debat."
Aku dan Eca saling pandang. Lalu kami pun tertawa.
"Pada akhirnya, enggak banyak yang bisa dilakukan anak SMA kayak kita," ujarku kemudian.
"Berarti Grey levelnya bukan anak SMA lagi," balasnya.
"Pfft, ya. Padahal dia bebannya paling berat di antara kita, tapi dia tetap tenang dan bisa mengendalikan situasi."
Eca menghentikan percakapan dan mengeluarkan sepedanya dari parkiran. Aku pun naik tanpa perlu disuruh.
"Maaf, orang tuaku belum mengizinkanku naik motor, jadi—"
"Enggak apa-apa kok," ucapku. "Sama kayak dulu, 'kan?"
"I-Iya sih."
Ia tersipu. Sudah dua tahun sejak kami terakhir berboncengan, dan selama itu pula aku telah mengerti tentang perasaannya padaku. Namun, aku tak pernah sungguh-sungguh menjawabnya dan sampai sekarang, yang kulakukan hanya membuatnya terluka.
"Lin."
"Hmm?"
"Aku salah ya udah suka sama kamu?"
"Hah? Ya enggak lah. T-Terserah kamu mau suka atau benci. Aku nggak berhak buat—"
"Tapi," potongnya, "tapi kamu merasa terganggu, 'kan? Aku sering menghalangimu buat berhubungan sama cowok lain. Padahal ... aku bukan siapa-siapa kamu."
"Perasaanmu nggak salah. Pikiranmu yang harus dilurusin. Kenapa sih semua hubungan harus dikaitkan sama asmara? Emang kita harus pacaran dulu biar kamu jadi siapa-siapaku? Dianggap teman, dibilang friendzone. Dianggap keluarga, dibilang familyzone. Istilah-istilah kayak gitu yang justru menyempitkan pandangan kita dan mengecilkan arti pertemanan."
Rasanya ada yang menggelitik dadaku saat aku berbicara.
"Lagian ... apa bedanya? Kita udah sering main bareng, ketawa bareng, nangis bareng. Aku paham kok kamu peduli sama aku, makanya kamu takut aku kenapa-kenapa. Aku pun sama. Kalaupun kamu melakukan kesalahan, aku juga ikut tanggung jawab. Apa kamu mau membantah semua kenyataan yang kita lalui dengan hal abstrak kayak cinta? Cinta itu letaknya di perbuatan, bukan di ucapan."
Aku menghela napas.
"Jadi ... meskipun aku nggak mengatakannya, mestinya kamu udah cukup tahu."
Eca terdiam. Aku tak tahu ekspresi apa yang ia pasang di balik punggungnya.
Lalu ia bertanya, "Apa kamu bakal bilang begitu juga pada Grey?"
Deg!
Sensasi menggelitik tadi kini menjalar ke seluruh tubuh. Namun sebelum aku mengatakan sesuatu, Eca tertawa.
"Maaf, nggak perlu dijawab."
Aku melipat bibir.
"Jujur, sejak dulu aku iri pada Grey," tuturnya. "Aku mungkin bakal kabur dan mikir dua kali kalau tahu yang sebenarnya kamu hadapi. Tapi dia tetap membantumu meski harus mengorbankan diri."
Grey memang aneh, walaupun aku juga bukan orang yang pantas mengucapkannya.
"Ini bukan pertama kalinya dia begitu demi membantu seseorang," lanjutnya. "Kamu bukan orang pertama yang dia tolong."
"Serius? Dulu Grey juga gitu?"
"Ya, dia juga pernah menolongku pas kelas tujuh. Ingat waktu KTS semester satu? Pas aku kalah taruhan gara-gara kelasmu kalah dari kelasku?"
"Uh-huh?"
"Sejak saat itu semua teman sekelasku menganggapku pengkhianat dan mengucilkanku. Enggak ada yang mau jadi teman sebangkuku, jadi waktu itu aku terpaksa duduk di sebelah Grey."
"Terpaksa?"
"Ya, sebelum itu aku enggak akrab sama dia. Malah, aku juga termasuk orang yang ikut mengucilkan dia. Dia cuek dan penyendiri, jadi anak-anak menganggapnya sombong. Aku ngikut aja soalnya takut dijahili juga," ucapnya. "Aku emang pengecut."
"Terus?"
"Semua tahu kalau Grey dapat peringkat satu waktu masuk Snida. Makanya dia jadi target nyontek. Dia juga sering dipalak dan disuruh sana-sini. Tapi dia enggak pernah protes. Sampai suatu ketika, justru dia yang menawarkan diri buat disuruh-suruh. Mungkin itu yang bikin anak-anak mulai simpati sama dia.
"Setelah KTS, posisi kami berbalik. Dia jadi orang kepercayaan Gendon setelah membantu mengatur strategi pas lomba. Dia juga satu-satunya teman sekelas yang mau bicara denganku. Aku masih ingat kalimat pertama yang dia ucapkan."
"Apa?"
"Kau suka Alin, ya?"
"Hah?!"
Eca tertawa. "Serius, terus dia bilang, 'Maaf, aku yang memberi ide agar dia kalah. Sebagai gantinya, kau boleh memukulku.'"
"Terus kamu apain dia?"
"Awalnya aku marah. Tapi melihat dia serius minta dipukul, aku jadi nggak tega. Aku cuma nanya, 'Kenapa kau diam saja padahal orang-orang sudah memanfaatkanmu?' Lalu dia balik tanya, 'Kau tahu apa keistimewaan yang bisa kaudapat saat orang-orang percaya padamu?'"
"Apa katanya?"
"Tidak ada yang tahu kapan kau berbohong, dan meski kau bohong pun, tidak akan ada yang menyadarinya," ucapnya sambil menirukan suara Grey.
"Pfft, aku bisa mbayangin mukanya pas bilang gitu. Terus?"
"Ya udah. Kami ngobrol, bercanda, main bareng, belajar bareng, jajan bareng dan akhirnya akrab. Walaupun aku yang mendominasi 90% obrolan kami, dari situlah awal kulihat dirinya dari sisi lain. Lebih dari sekadar anak pendiam yang gampang diconteki dan disuruh-suruh." Ia menghela napas. "Dan pas UAS, aku pun menyadari sisi kampretnya."
"Emang dia ngapain?"
"Sebelum UAS, dia selalu ngasih contekan. Tapi pas UAS, dia tiba-tiba pelit. Katanya, 'Kalau kau mau kembali dihargai, kerjakan sendiri.'"
"Bagus dong. Terus kampretnya di sebelah mana?"
"Dia begitu sama aku doang. Padahal kalau yang lain minta, tetap dikasih."
"Dan kamu cemburu?"
"Bukan! Dengerin dulu napa," ujarnya kesal. "Waktu itu kupikir Grey ikut mengucilkanku. Apalagi ia semakin dekat dengan grup si Gendon. Sekuper-kupernya aku, aku tahu sebelum UAS anak-anak lain dapat contekan dari komplotan Gendon. Kupikir Grey tahu, jadi aku minta sama dia. Eh, dia malah nyuruh aku belajar sendiri. Ngajarin aja enggak."
"UAS kelas tujuh ... bukannya itu kasus pas Gendon dikeluarin gara-gara kunci jawabannya bocor ya?"
"Yep, UAS Matematika terutama. Anak-anak di kelasku paling banyak kena hukuman, kecuali aku. Nilaiku paling jelek, sedangkan yang lain nilainya bagus-bagus dan banyak yang sama. Termasuk Grey."
"Grey juga ikut-ikutan?!"
"Ya, ada yang bilang dia sekongkol sama Gendon buat mencuri kunci jawaban. Tapi lebih banyak yang nggak percaya. Kalaupun memang benar, paling mereka bakal menganggap Grey terpaksa menuruti permintaan Gendon. Ujung-ujungnya Gendon yang kena hukuman paling berat, sementara yang lain cuma harus ikut remidiasi dan nilai di rapornya dikurangi. Grey pun sampai turun ke peringkat 13."
"Oh, jadi itu penyebabnya."
"Setelah itu, beberapa teman Gendon menuduhku udah melapor ke guru. Untung banyak yang membelaku, entah karena kasihan, atau cuma takut kena hukuman kayak Gendon juga. Pada akhirnya semua minta maaf karena udah mengucilkanku."
"Intinya ... kamu selamat karena nilaimu jelek?"
"Iya. Haha. Ironis," tuturnya lemah. "Cuma Grey yang bikin aku kesal. Padahal dia yang bilang biar aku ngerjain sendiri, tapi dia sendiri menyontek. Malah aku sempat ngatain dia munafik walaupun cuma bercanda. Kehidupan sosialku mulai membaik, sementara dia kembali jadi penyendiri. Aku enggak habis pikir sama dia. Sampai sekarang pun aku bingung. Baru setelah aksinya bulan kemarin, ide-ide ini muncul di kepalaku."
"Ide-ide apa?"
"Sebenarnya Grey itu baik, licik, atau masokis sih?"
"Umm ... aku nggak tahu harus jawab apa."
Eca tertawa. "Sejak dia nolong kamu, aku jadi mikir. Mungkin dia melarangku menyontek buat menyelamatkanku dari hukuman. Mungkin dia yang membocorkan rahasia bahwa Gendon udah mencuri kunci jawaban, dan dia ikut menyontek biar enggak dicurigai komplotan mereka."
"Tapi apa untungnya buat dia? Ujung-ujungnya dia juga dihukum, 'kan? Kenapa dia lebih memilih dihukum sekolah daripada dibenci sama kelompok berandalan?"
"Ya, tapi sama 'kan kayak tingkahnya bulan lalu?" tanyanya. "Dia seperti berusaha mendapatkan kepercayaan mereka, agar bisa menghancurkannya dari dalam."
"Aku paham sampai situ. Tapi buat apa dia melakukan sampai sejauh itu? Kalau tujuannya menolong orang, kenapa harus mengorbankan nama baiknya juga?"
"Hmm, itulah kenapa aku bilang dia masokis," ungkapnya. "Kamu juga sama, Lin. Jangan kira kamu nggak pernah bertingkah kayak dia. Kalian membantu orang tanpa mikirin keselamatan kalian sendiri. Orang kayak kalian berdua yang bikin aku iri. Aku nggak bisa langsung terjun ke tengah permasalahan tanpa menghitung untung rugi. Sementara kalian bisa melakukannya seolah itu hal yang alami."
"J-Jangan samain aku sama dia lah. Aku nggak pernah pakai cara serumit itu buat menyelesaikan masalah."
"Mau pakai cara rumit kek, mau langsung tonjok kek, buatku sama aja. Aku tahu bulan kemarin bukan pertama kalinya kamu masuk sarang preman sendirian. Pas SMP juga, 'kan? Gila. Kamu tahu ribetnya OSIS buat nutupin fakta bahwa kamu udah berantem sama anggota Tomcat? Apa waktu itu kamu juga pernah mikir kenapa kamu bisa sampai segitunya?"
Aku terhenyak. "Jadi ... kamu yang menutupi semuanya?"
"Jelaslah! Aku juga lihat pesan di forum. Mungkin aku yang pertama sadar kalau kamu udah pergi ke sana."
"Maaf, aku baru tahu," ucapku lirih. "Aku ... teman yang buruk ya?"
"Enggak masalah." Eca menghela napas. "Caraku menutupinya juga enggak bisa dibilang baik sih. Aku melimpahkan semua kesalahan ke Stella dan menyebarkan rumor jelek tentangnya, biar enggak ada yang bicara jelek sama kamu lagi."
Aku menggigit bibir.
"Itu yang membedakanku dengan kamu dan Grey. Aku nggak peduli sama keadilan dan kebenaran. Aku cuma peduli sama kamu."
"Eca ...."
"Tapi enggak apa-apa. Meskipun kamu enggak suka sama aku, meskipun kamu jatuh cinta sama orang lain, perasaanku ke kamu enggak akan berubah."
Eca tertawa getir dan menghentikan laju sepedanya begitu tiba di depan rumahku. Aku pun turun dan berterima kasih, tetapi ia hanya tersenyum tanpa berkontak mata.
"Umm, anu." Kucegah ia sebelum pergi.
"Hmm?"
"Kamu ingat Stella, 'kan? Pas kelas sembilan ... kamu tahu dia dan Grey ada masalah apa?"
Eca mengelus-elus janggut. "Grey sama Stella ... oh, maksudmu gosip tentang Grey pacaran sama Stella, dan Grey selingkuh?"
"Iya, iya, itu!"
Ia malah tertawa. "Kamu tahu lebih banyak tentang dia daripada rumor itu. Jadi enggak perlu khawatir."
Eca mengayuh sepedanya hingga memasuki pintu gerbang rumah sebelah.
"Apaan sih?! Siapa yang khawatir coba?"
***
A/N: aku baru sadar ada yang kurang di bab sebelumnya. Jadi bab sebelumnya itu kejadian pas Alin SMP, tapi aku lupa belum dikasih keterangan "Snida" sama bulan dan tahun di atasnya. Next chapter, let's see how they'll wrap this up.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top