Rubrik 1.5 (TAMAT)

"Aku sedang memikirkan motifnya," ujarnya. "Tadi kaubilang Lilis sedang makan batagor, 'kan? Mungkin saja ia menumpahkan sambalnya ke keset dan sepatumu. Dia tak mau bilang padamu karena takut kau marah. Kalau itu benar, kurasa sekarang Lilis sedang membersihkan sepatu dan kesetnya di toilet."

Baru saja Grey mengatakan analisisnya, Lilis keluar dari toilet cewek sambil membawa keset. Kami segera menemuinya saat ia menjemur keset itu di atas pagar beton.

"Lilis!" panggilku.

"Cuk! Biasa aja dong ngomongnya!" balasnya agak terkejut.

"Di mana sepatuku?"

"Ha? Sepatu apaan?"

"Jujur aja. Aku enggak akan marah. Kamu nyuci sepatuku karena kena tumpahan batagormu, 'kan?"

Lilis memelotot, lalu berpaling. "Cuma kena keset kok ...."

"Lis, jangan-"

Grey menepuk pundakku. Lalu ia menunjuk ke arah pintu masuk toilet cewek yang setengah terbuka. Di dalamnya terdapat beberapa bilik, dan di depan salah satu pintu bilik ada bagian kanan sepatuku serta bagian kiri pasangan sepatu pantofel. Aku mencoba mengamatinya lebih dekat. Anehnya, tali sepatuku tidak ada.

Saat aku hendak masuk untuk mengambilnya, Grey mencengkeram lenganku.

"Ada Alin di dalam. Kau mau mati?" hardiknya.

"Dari mana kau tahu?" tanyaku.

"Tanya saja Lilis."

Lilis pun mengangguk.

Aku jadi makin bingung. "Kok kau bisa tahu?"

"Aku salah sangka. Tidak sepenuhnya salah, sih. Lilis memang menumpahkan batagornya, tapi bukan dia yang menukar sepatumu. Dugaan awalku benar. Alin yang menukarnya, tetapi bukan karena salah ambil. Ia sengaja mengambil sepatumu."

"Hah? Kenapa?"

"Kau lihat? Tali sepatumu tidak ada. Alin membutuhkannya untuk sesuatu yang ... darurat. Kurasa kita tak perlu membicarakannya."

Wajah Grey tersipu. Sialan. Aku jadi penasaran.

"Ayolah, ceritakan apa maksudmu!" desakku.

Grey menghela napas. "Dia mau latihan silat, 'kan? Sepertinya tali pengikat dada seragam silatnya putus atau hilang sesudah ganti baju, jadi dia butuh pengganti secepatnya. Dia tahu sepatumu punya tali yang mirip dengan tali seragamnya, makanya dia mengambilnya. Lalu karena panik dan buru-buru, dia tidak sempat melepaskan talinya, jadi sekalian saja dia ambil sepatumu.

"Alasan sebelah sepatunya tertinggal ... mungkin Alin berniat membawa sepatumu dan kedua sepatunya sekaligus, tapi karena salah satu tangannya harus memegangi leher bajunya, akhirnya sebelah sepatunya terjatuh. Dia tak peduli pada sepatu yang jatuh, karena yang dia pikirkan saat itu adalah membetulkan seragamnya."

Aku hanya bengong mendengarnya.

"Atau ... entahlah. Itu cuma perkiraanku," sambungnya. "Lebih baik tanya ke orangnya langsung."

Orang yang dimaksud pun keluar dari bilik toilet. Alin mengikat rambutnya menjadi ponytail dan mengenakan seragam silat hitam-hitam aliran setia hati terate. Rupanya Grey benar. Alin memakai tali sepatuku untuk mengencangkan leher dan dada seragamnya.

Alin membelalak melihat kami. "Grey? Eca? Kenapa kalian di depan toilet cewek?"

Lilis mendesis dan menatap nyalang pada Alin. Ia pun cepat-cepat pergi. Hubungannya dengan Alin memang tak begitu baik. Dia bahkan pernah diskors karena pernah meneror Alin.

"Ada Lilis juga lagi. Kalian ngapain sih?"

Aku tergeragap. "Umm, anu, eh-"

"Sifku sebentar lagi. Pulang dulu ah ...."

Aku langsung mencengkeram pergelangan tangan Grey dan berbisik, "Kau mau kuhajar?"

Alin bersedekap dan tersenyum. "Cie ... udah baikan nih ceritanya?"

Aku cepat-cepat melepaskan genggamanku dan memalingkan wajah. Sial. Kenapa aku jadi salah tingkah?

Grey menghela napas dan berkata, "Red mencari-cari sebelah sepatunya tadi. Ternyata kau yang mengambilnya."

"Oh iya, Ca, maaf aku pinjam sepatumu enggak bilang-bilang. Tali iniku ilang," kata Alin sambil menepuk dada.

"Tinggal bilang aja kenapa sih?" tanyaku.

Wajah Alin memerah. "Ya malu lah! Mana di sekre tinggal cowok-cowok doang lagi."

Aku jadi ikut tersipu. Kurasa saat itu aku sedang sibuk berbicara dengan Kak Ivan, dan Grey sedang tidur pulas, makanya tak ada yang menyadarinya. Sayang sekali. Padahal itu pemandangan langka.

Tunggu, bukan itu maksudku.

"Aku pinjam dulu ... enggak apa-apa, 'kan?" tanyanya dengan muka yang mirip seperti saat ia minta dibelikan kue pancong waktu SD. Aku tak bisa menolak ekspresinya kala itu. Tapi sekarang lain ceritanya.

"Lha terus aku pakai apa? Itu sepatu enggak bisa dipakai jalan kalau enggak ada talinya. Masa aku cuma pakai sebelah doang?"

"Pakai saja sepatu Alin. Ukuran kaki kalian hampir sama, 'kan?"

"Wah, ide bagus, Grey. Kenapa tidak kau saja yang meminjamkan sepatumu buatku, terus kau yang pakai punya Alin? Kau hobi cross-dressing, 'kan?"

Grey tak menggubris sindiranku.

"Nyeker sebentar aja kenapa sih? Kamu enggak lihat aku juga nyeker?" balas Alin. "Cowok kok manja."

"Iya, iya. Huh."

Cewek selalu benar. Apalagi kalau cewek itu lebih kekar dan lebih sangar darimu. Dikutip dari Redsiklopedia, ensiklopedia ngawur.

Alin lalu menyuruhku menunggu di pinggir lapangan sampai ia selesai latihan. Namun sebelum kami ke sana, aku ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya kukatakan sejak dulu pada Grey.

"Oke Grey, kau menang. Tadi aku janji bakal memberimu sesuatu yang kauinginkan, 'kan? Kebetulan hari ini juga hari ulang tahunmu." Aku menyodorkan sekotak kado untuknya. "Nih, hadiahnya. Selamat ulang tahun."

Tiba-tiba Alin menyikutku.

"Aduh!" Aku tahu sikutannya hanya main-main, tapi tetap saja sakit!

"Yang ikhlas dong ngasihnya," bisiknya.

"Berisik!"

"Apa ini?" tanya Grey.

"Buka saja."

Grey pun membukanya. Matanya melebar begitu merobek kertas kado itu pelan-pelan. Apa aku berhasil membuatnya terkejut?

"All The Wrong Questions?" ucapnya. "Bagaimana bisa ...."

"Teman dari temanku melihat kau ingin membeli buku itu kemarin, waktu kau belanja bareng Poppy. Jadi ... apa kau suka?"

"Bukannya tidak suka sih, tapi ...."

Grey tampak bingung.

"A-apa kau sudah punya?" tanyaku. "Atau jangan-jangan, Poppy sudah membelikanmu?"

Selama aku membuntuti mereka kemarin, aku tak pernah melihat Poppy masuk toko buku. Namun, bisa saja gadis itu membelikannya melalui jalur lain, atau dia sudah membelinya sebelum hari itu.

Grey menggeleng. "Jujur, aku sudah pernah membacanya. Kemarin aku mau membelinya bukan untukku sendiri." Ia menatapku, lalu cepat-cepat berpaling. "Aku mau membelikannya untukmu."

"Hah? Kenapa?"

"Kau terus menghindariku sejak bulan lalu. Kupikir kau membenciku." Grey menggaruk-garuk pipinya. "Aku mau mengakhiri ketegangan di antara kita. Sayangnya mulutku lebih pandai membuat orang marah." Ia tersenyum lemah. "Waktu SMP, cerita detektif adalah hal pertama yang membuat kita berteman. Jadi kupikir kalau aku memberimu hadiah novel detektif, setidaknya ada topik yang bisa kugunakan untuk memulai percakapan. Meski pada akhirnya, aku juga tak punya uang untuk membelikanmu buku ini."

Tak kusangka Grey berpikir sampai sejauh itu. Dia bahkan masih ingat percakapan pertama kami. Seharusnya aku tahu. Grey tidak mungkin mencelakai temannya sendiri.

"Aku juga minta maaf," ucap Alin. "Secara enggak langsung, aku udah bikin kalian berdua berselisih sampai sekarang. Seandainya aku bisa lebih terus terang-"

"Kenapa malah kalian yang merasa bersalah? Aku tersangka utamanya di sini," balasku. "Maaf sudah menyusahkan kalian. Aku tahu maaf saja tidak cukup. Aku juga salah menebak hadiah yang paling Grey inginkan. Bilang saja kalau kalian mau sesuatu, asal jangan mahal-mahal."

"I-itu tak perlu. Kau sudah mengeluarkan biaya cukup banyak untuk membeli buku ini." Grey mengusap-usap hidung. "Biasanya anak-anak cowok suka mengerjaiku waktu ulang tahun. Ini pertama kali aku mendapat hadiah dari teman cowokku. Aku tak tahu bagaimana ekspresi yang tepat, tapi jujur ... aku sangat senang."

Tampang datarnya memerah. Ia berbicara layaknya robot yang baru belajar tentang perasaan.

Bisa-bisanya aku pernah iri padanya. Harusnya aku juga ikut senang saat ia sedang gembira.

Alin tersenyum, lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Tawanya pun lambat laun menular padaku.

"Maaf, maaf. Entah kenapa perutku geli lihat kalian berdua," ujar Alin sambil memegangi perutnya. "Selamat ulang tahun juga, Grey. Hadiahnya entar nyusul ya. Lewat mimpi."

"Aku lebih senang kalau kau mengurangi beban tugasku," celetuk Grey.

"Apa? Kamu mau tugasmu ditambah?" balas Alin sambil tersenyum.

"Senyummu makin manis. Siapa yang mengajarimu? Mak Lampir?"

"Grey, lapangan luas loh. Kalau mau berantem, ayo."

Grey membalasnya dengan tawa kecil. Entah apakah ini cuma perasaanku, atau mereka berdua memang bertambah dekat selama aku vakum dari klub. Namun kalau mereka benar-benar jadian, kurasa aku tak begitu kecewa. Grey lebih baik daripada cowok-cowok yang pernah kutemui. Grey lebih baik dariku.

"Waktu SMP kita juga pernah berantem gara-gara alasan yang lebih konyol, 'kan?" tanyanya padaku. "Kau pernah marah saat kubilang Sherlock Holmes itu sesat dan kuno."

"Ah ya, dan kau juga pernah menonjokku gara-gara aku bilang Philip Marlowe cuma pria mesum yang pura-pura jadi detektif biar bisa merayu cewek."

Kami bertiga tertawa lagi sampai Grey kelabakan saat melihat layar ponselnya.

"Aku harus pergi. Maaf," katanya sambil bergegas. "Dan Red, uh, terima kasih hadiahnya."

Saat kulihat Grey berlari, Alin berseru, "Aduh, iya! Aku juga hampir telat latihan!"

Ia pun segera melangkah menuju lapangan sambil menenteng sepatunya. Kuikuti langkahnya tanpa alas kaki.

"Eh, Lin! Katanya ada kejutan ulang tahun buat Grey di kafe Gita. Kamu mau ke sana nanti?" tanyaku.

"Entahlah. Aku dengar Kak Rendy dan anak-anak klub Drama juga ikut. Mau ke sana tapi kok males ya."

Aku bisa memakluminya. Hubungan Alin dengan mereka tidak begitu baik, terutama dengan senior-senior cewek di klub Drama. Jangankan Alin, aku pun kesal dengan tingkah mereka yang bak ratu di sekolah.

"Kalau ke sana sendirian pasti banyak yang rese, tapi kata Karina di sana ada kue dan puding gratis. Duh, gimana ya?"

Alin melirikku. Apa ia sedang mengirim kode keramat yang sering dilewatkan oleh cowok-cowok dengan tingkat kepekaan nol persen, atau dia cuma mengatakannya tanpa ada maksud tertentu? Berpikir, otakku, berpikir!

"Mau kutemani ke sana?"

Sialan. Lagi-lagi aku mengatakan yang kupikirkan. Kalau Alin menolakku, aku mungkin takkan bicara dengannya lagi tanpa memakai topeng.

Alin tak membalas. Ia hanya mempercepat langkahnya.

Dia tidak mau, ya?

"Apa perlu kuperjelas?" tanyanya sambil memunggungiku. "Kamu bilang aku dan Grey boleh minta yang kami mau, 'kan? Tadi Grey udah dapat, sekarang giliranku dong."

Hidungku mengembang. Aku baru tahu ucapan seorang gadis bisa mengubah udara jadi senikmat aroma kopi.

***

[Kisah Kado dan Sepasang Sepatu - Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top