Rubrik 1.3

"Permisi," ucapnya sambil malu-malu mengintip ke dalam. Matanya yang sayu tampak berseri melihatku.

"Eh, Karina. Cari siapa?" tanyaku.

Dia Karina Ratnasari, siswi kelas X-5, anggota klub catur dan setahuku bukan anggota klub Jurik. Ruang klubku letaknya terpencil di sudut sekolah. Selain anggota klub dan guru pembimbing, siswa yang datang kemari paling-paling mau mencari orang.

"Anu, aku cuma mau tanya sesuatu ke kamu."

Tunggu sebentar. Karina mencariku? Untuk apa? Kami memang saling mengenal, tetapi kami tak pernah bicara empat mata sebelumnya. Aku cuma pernah mengunjunginya di kafe tempat ia bekerja sebanyak tiga kali, dan itu pun aku datang hanya sebagai pelanggan. Apa yang ia inginkan dariku?

"B-boleh aku masuk?" tanyanya.

"Ah, silakan. Copot sepatumu dulu."

Gadis itu menurut. Tak lama kemudian, ia duduk bersimpuh di depanku.

Karina terdiam selama beberapa saat. Bibir tipisnya berkali-kali mengucapkan huruf "m" tanpa membuka mulut. Kedua tangannya perlahan meremas kain roknya, dan saat kutatap matanya, ia langsung menghindari kontak.

Aku jadi malu sendiri. Karina memang tak seatraktif Alin di mataku, tetapi kalau dibandingkan dengan rata-rata cewek di sekolah, taraf kecantikannya termasuk rata-rata atas. Kalau Alin menarik karena karakternya yang kuat dan tubuhnya yang atletis, Karina justru kebalikannya. Tubuhnya kurus, seolah bisa remuk seandainya dipeluk terlalu erat, dan pandangannya sembab seperti anak kucing yang ditelantarkan induknya.

Pada situs gosipku, seingatku ia ada di urutan ketiga dalam kriteria, "Cewek dengan senyuman yang paling ingin kamu lindungi" dan urutan pertama dalam kategori, "Cewek yang paling pantas jadi protagonis sinetron religi melawan mertua jahat."

"Jadi, ada apa?" ucapku memecah keheningan.

"Anu, a-aku ganggu kamu ya? Maaf kalau aku ke sini mendadak."

"Enggak kok. Kerjaanku sebentar lagi juga kelar."

Karina melipat bibirnya. Aku jadi gugup. Jangan-jangan dia mau menyatakan perasaannya padaku? Sialan. Aku belum siap. Apa yang harus kukatakan agar bisa menolaknya tanpa menyakiti perasaannya? Aku bukannya tak suka Karina. Hanya saja, Alin sudah mengisi hatiku sejak lama.

"Umm ... kamu teman Grey, 'kan?"

"Ehh? I-iya?"

"Kamu tahu hari ulang tahunnya kapan?"

Rupanya itu yang ingin ia tanyakan. Huh.

"Dua puluh tiga November ... kurasa," jawabku malas.

"Hah? Itu kan minggu depan! Ya ampun udah deket banget."

"Emang kamu mau apa? Bikin pesta kejutan?"

Wajahnya kembali memerah. Ia pun mengangguk pelan. "Habisnya Grey udah banyak membantu di kafe selama sebulan, jadi aku mikir gimana cara buat berterima kasih ke dia. Terus aku bilang deh ke Gita, 'Kayaknya kalau nanti kita bikin pesta ulang tahun bakal seru deh.'"

Oh. Aku pernah dengar Grey harus bekerja di kafe milik Gita sebagai ganti rugi atas kerusakan yang ia buat saat berkelahi dengan Kak Jerry. Kurasa dari situ ia jadi semakin dekat dengan Karina, yang bekerja sambilan sebagai pelayan di sana.

Tapi aku tetap tidak percaya ini. Pertama Poppy, kedua Alin, lalu Karina. Berapa banyak cewek yang hatinya sudah kaucuri, Grey? Apa kau ingin mengalahkan rekor Kak Rendy?

"Kalau gitu, makasih ya, Red. Nanti kalau pestanya jadi, jangan lupa datang ya."

"Ya, sama-sama," ucapku seraya melihat Karina pergi.

Aku tiduran di atas bantal. Kepalaku pening. Rasanya jurang pemisah antara aku dan Grey dalam piramida popularitas semakin jauh saja. Namun, kini bukan saatnya untuk iri. Aku masih harus minta maaf.

Kupikir, hari ulang tahun Grey adalah kesempatan terbaik bagi kami untuk berbaikan.

***

Selama satu minggu, aku mengumpulkan informasi mengenai hadiah yang paling Grey inginkan. Menurut pembaca setia akun gosipku, Grey dan Poppy berbelanja bersama sehari sebelum hari H. Aku pun bergegas membuntuti mereka.

Kulihat Grey dan Poppy keluar dari sebuah limosin hitam di depan sebuah plaza di pusat kota Petanjungan. Poppy adalah gadis yang mungil. Tingginya hanya sebatas bahu Grey dan wajah polosnya mengingatkanku pada adikku yang masih SD. Namun, ia tak mungkin populer dan jadi bintang klub Drama jika kualitas fisiknya di bawah rata-rata. Ia mungkin pendek, tetapi badannya seksi dan ia tak malu menampilkan keseksiannya. Hari ini saja ia berani memakai hotpants dan kaus ketat yang menampakkan kedua pundaknya.

Grey benar-benar beruntung. Namun, penampilannya masih saja membosankan. Jaket abu-abu, celana jins yang sudah luntur, rambut dan wajah yang seperti baru bangun tidur, seolah-olah ia tak tertarik berkencan dengan salah satu cewek idaman di sekolahku. Mendadak aku ingin melempar kepalanya dengan pot bunga.

Mereka berhenti di depan kios baju dan pakaian dalam cewek. Kudekati mereka tanpa membuat mereka menyadari keberadaanku.

"Cepatlah masuk. Aku mau ke tempat lain sendirian," ujar Grey acuh tak acuh.

"Ih ... masa gitu? Kan kita ke sini bareng. Masuknya juga bareng dong," protes Poppy sambil berusaha menarik lengan Grey ke dalam.

"Untuk apa aku masuk konter pakaian cewek? Aku bukan penjahat kelamin."

"Tapi kan aku butuh pendapatmu buat milih baju. Ayolah, Grey."

"Pilih saja baju yang kainnya banyak dan murah. Tuh, coba pakai yang itu."

Grey menunjuk ke arah daster putih yang digantung di langit-langit etalase.

"Hah? Enggak mau lah! Entar aku jadi kuntilanak dong."

"Tepat sekali."

"Hmph. Grey jahat!" ketusnya sambil berbalik badan.

"Tahu begitu tapi tetap mengajakku."

Poppy kembali melunak dan membujuk Grey lagi. Kurasa aku mulai memahami hubungan mereka. Mereka tidak seperti sepasang kekasih, tetapi lebih seperti seorang kakak yang mengajak adiknya jalan-jalan agar tidak rewel.

Aku mengamati mereka di depan kios melalui kaca etalase. Pengunjungnya tidak terlalu banyak. Akan mencurigakan kalau cowok sepertiku masuk sendirian. Poppy tampak bersemangat menunjukkan baju-baju pilihannya pada Grey, tetapi Grey tak tampak menikmati sama sekali. Cowok normal pasti sudah megap-megap di dalam sana bersama cewek seimut Poppy. Aku tak tahu apakah Grey sengaja bersikap sok cool di depan Poppy, atau dia memang tidak peka.

Saat Poppy tengah mencoba baju di fitting room, Grey menyelinap keluar toko. Ia berjalan cepat, lalu menaiki eskalator menuju lantai dua dan masuk ke bagian toko buku.

Aku mengamatinya dalam jarak dua rak. Grey tampak memandangi buku-buku di rak yang penuh dengan novel berbahasa Inggris. Ia mengambil sebuah buku, membaliknya, lalu menaruhnya lagi untuk mengambil dompet. Wajahnya tampak suram saat melihat isi dompetnya.

Grey tak jadi mengambil buku itu. Ia pergi keluar toko dengan tampang kecewa.

Aku jadi penasaran. Aku pun mendekati rak tersebut dan melihat buku yang ingin ia beli. Judulnya All The Wrong Questions: "Who Could That Be at This Hour?" oleh Lemony Snicket. Dari sinopsisnya, tampaknya ini adalah novel detektif.

Jadi ini yang Grey inginkan, huh? Padahal kalau dia mau terus terang pada Poppy, gadis kaya itu pasti bakal membelikannya.

Kubeli buku itu, lalu usai membeli kertas kado, aku pun pulang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top