Rubrik 1.2
Kuhentikan langkahku sebelum menginjak karpet.
"Lepas dulu sepatunya kalau mau masuk," tegas Alin.
"Ups, maaf." Aku terbiasa masuk ruang klub tanpa melepas sepatu. Aku lupa kalau ruang klub sudah bersih dan ada karpetnya.
Setelah meletakkan sepatuku di rak, aku pun memasuki ruangan.
"Eca tumben," ujar Alin sambil lanjut mengetik. "Udah sebulan loh kamu enggak mampir ke sini."
"Rapatnya udah selesai ya?" tanyaku.
"Udah dari tadi. Kamu telat sih."
Aku tak kaget.
Omong-omong, namaku Mahesa Aruna. Keluarga dan teman masa kecilku biasa memanggilku Eca. Grey dan kebanyakan teman sebayaku menyebutku Red. Jujur, aku lebih suka dipanggil Red. Menurutku Eca terlalu kekanak-kanakan. Alin itu spesial. Cuma dia yang bisa memanggilku Eca tanpa membuatku kesal. Justru saat ia memanggilku begitu, aku seperti mendapat panggilan sayang.
"Ngapain kamu berdiri terus? Duduk," perintahnya. "Maaf ya aku enggak bisa ngobrol banyak-banyak sekarang."
Aku pun duduk lesehan sambil bersandar pada rak buku.
"Apa ada yang bisa kubantu?" tanyaku.
"Pembagian tugasnya udah kukirim di grup, 'kan?" balasnya.
"Iya sih, maksudku ... apa kamu butuh bantuan?"
"Enggak sih."
"Oke, kalau kamu butuh bantuan ... bilang aja sama aku. Aku tunggu di sini."
Alin mendongak dan menaikkan kacamata anti-radiasinya. "Kamu agak aneh deh hari ini."
"Masa? Bukannya selama ini aku selalu jadi pesuruhmu?"
Alin menghela napas. "Kamu bikin aku kayak orang jahat."
"Enggak, justru aku yang seharusnya minta maaf karena udah menghindarimu selama sebulan. Tentang kameramu ... aku juga minta maaf."
"Aku bisa maklum kok. Lagian ... aku juga salah," tuturnya. "Ah, udah deh jangan ungkit-ungkit soal itu lagi. Udah lama juga."
"Yeah, maaf."
"Enggak usah minta maaf, Eca. Bandel deh kalau dibilangin."
"Maaf."
"Kalau mau minta maaf jangan ke aku. Emang kamu udah baikan sama Grey? Dengar-dengar kalian masih pisah ranjang."
"Ngaco kamu. Sejak kapan kami jadi pasutri?"
"Ya abis kalian dari SMP selalu sebangku, 'kan? Baru kali ini kalian pisah bangku."
Bahkan Alin yang supersibuk dan berbeda kelas dengan kami pun menyadarinya.
"Menurutmu, Grey mau memaafkanku?"
"Tunggu, kamu belum coba tanya dia sama sekali?"
Aku mengangkat bahu.
Alin mendesah. "Kupikir cowok kalau berantem besoknya bakal akur lagi."
"Emang aku anak SD?"
"Emang ada bedanya?"
"Kampret."
Alin tersenyum lalu tertawa kecil. Rinduku terobati mendengar tawanya. Sudah lama aku tak mengobrol santai dengannya lagi. Ia sama seperti Grey. Makin lama makin sulit didekati. Bedanya, Alin sulit didekati karena ia memang sibuk sekali.
Meskipun Kak Ivan adalah ketua klub, secara de facto Alin-lah pemimpin klub sesungguhnya. Ia mengatur aliran kas, rencana kegiatan, memandu jalannya rapat, dan mengawasi kemajuan tugas-tugas para anggota. Aku yakin klub ini bakal bubar bulan lalu seandainya Alin diam saja.
Grey juga turut andil dalam kesuksesan penerbitan majalah bulan lalu. Kudengar ia menghasut Kak Rendy—ketua OSIS yang baru, sepupu Poppy juga—untuk menambah dana dan sarana-prasarana Klub Jurik. Ia juga menggunakan Poppy untuk mempromosikan majalah kami sampai ke luar sekolah.
Entah apa yang telah ia lakukan untuk mendapatkan dukungan dari dua siswa paling berpengaruh di Smansa. Aku yakin itu lebih dari sekadar menyelamatkan Poppy dari tangan preman. Poppy mungkin hanya artis sekolah yang tak berbahaya, tetapi Kak Rendy itu licik. Ialah aktor yang pernah menjerumuskanku untuk menjebak Grey. Ia tak mungkin membantu klub kami tanpa ada maksud apa-apa.
Tetap saja, Grey patut dipuji karena klub berkembang pesat sejak ia mulai serius dan berhenti menjadi anggota 'gaib'. Tak heran Alin mengandalkannya.
Ah, membayangkan Alin jatuh cinta pada Grey membuatku depresi.
Alin menjentikkan jari sebanyak tiga kali di depan mukaku, membuyarkan lamunanku.
"Bengong aja. Nanti kesambet loh."
Spontan aku berpaling. Bukan suara jemarinya yang membuatku kaget, tetapi posisinya saat mendekati wajahku. Ia membungkuk sambil bertopang pada meja. Akibatnya, aku bisa melihat sesuatu di balik leher seragam pramukanya.
Aku ingat waktu kecil aku pernah menganggapnya cowok karena rambutnya pendek dan tingkahnya yang tomboi. Namun, kini kutelan bulat-bulat anggapanku. Alin tidak suka pamer. Ia lebih sering memakai baju yang longgar sehingga aku jarang melihat lekuk tubuhnya. Karena itu, sampai sekarang aku masih syok saat melihat 'perkembangan'-nya.
"Tambah gede, huh."
"Hah?! Maksudnya? Aku tambah gendut, gitu?"
Sialan. Tanpa sadar aku mengatakan yang kupikirkan.
"M-maksudku, kamu tambah ...."
"Tambah lemak? Tambah berat badan? Tambah ginuk-ginuk?"
"Bukan ... t-tapi tambah ... seksi." Aku segera melindungi kepalaku. Bohong atau jujur sama-sama berpotensi membuat Alin marah, jadi lebih baik jujur saja.
Akan tetapi, tak ada yang terjadi selama beberapa detik kemudian.
Kuberanikan diri untuk melirik gadis itu. Wajahnya memerah sementara tangannya memegang kerah.
Alin menatapku tajam. "Kamu ... lihat ya?"
"S-sedikit," ucapku sambil memejamkan mata.
"Bohong. Pasti banyak. Coba tadi kamu lihat apa aja?"
"Merah mud—eh."
Tunggu, itu pertanyaan jebakan!
"Ohh ... apanya yang merah muda?" tanya Alin. "Dasar mesum."
"S-salah sendiri bajunya kedodoran!"
"Kok jadi nyalahin aku? Orang matamu yang jelalatan."
Aku tak bisa menyangkalnya.
"Kamu dan Grey sama aja. Sama-sama ngeres."
"Hah?! Jadi Grey pernah lihat juga?" Sialan kau, Grey!
Alin tampak gelagapan. "Y-ya enggak lah! Maksudku, Grey juga suka ngoleksi video gituan, 'kan? Itu yang bikin otak kalian kotor, tahu nggak?"
Sangkalannya malah membuatku makin curiga. Aku pernah melihat foto Grey dan Alin berdua di belakang stadion. Awalnya kupikir Grey ingin berbuat macam-macam pada Alin, tetapi ternyata Alin merancang skenario itu agar Grey tutup mulut soal rahasianya. Meski begitu, aku ragu Grey sama sekali tak melihat apa-apa.
Alin juga tampak biasa saja soal itu. Jangan-jangan ia memang menyukai Grey? Sialan. Sekarang aku jadi tambah putus asa.
"K-katanya kamu mau bantuin aku, 'kan?" ujarnya. "Posisi sekretaris masih kosong sejak ditinggal almarhum Mas Diaz, jadi kamu bisa isi. Dah tahu 'kan tugasnya?"
Aku mengangguk.
"Mulai sekarang kamu enggak boleh bolos rapat. Oh ya, rencananya kita juga mau mengaktifkan rubrik misteri lagi, tapi kotak pengaduannya cuma lewat medsos. Itu semua kamu yang ngatur. Nanti sekalian bikinin akun Ig-nya ya?"
"Banyak amat."
"Aku enggak akan membebani semua tugas itu ke orang yang enggak kupercaya."
Jantungku berdegup kencang.
"Kamu mau, 'kan, jadi asisten pribadiku?"
Aku mengangguk. Kalau Alin yang bilang, mana mungkin aku menolak.
"Bagus. Nih, aku udah bikin ringkasan rapat tadi, tinggal dirapiin doang. Aku mau latihan silat dulu."
Alin memercayakan laptopnya padaku dan pergi mengikuti ekskul pencak silat.
Lima belas menit kemudian, datang seorang gadis berjilbab.
***
A/N: Kenapa aku geli sendiri ya baca part ini? :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top