1.2 ; Pemburu
Pemburu
1.2
[•]
ELANG tidak menyukai gagasan yang terdapat unsur kepura-puraan di dalamnya. Jadi, tanpa harus mendengar penolakan langsung dari laki-laki itu, Loka sudah tahu jawabannya.
"Tidak. Iya, kan?" Loka mendorong tangan Elang agar melepas belitan dipinggangnya. "Kamu terlalu lurus untuk aku ajak jadi gila, El." Kekehan Loka malah menambah rasa gemas Elang.
"Aku memang akan jawab itu, tapi aku boleh dapat satu kesempatan bersama kamu?"
"No, no. Kamu enggak boleh dikasih kesempatan, El. Aku pasti hilang dan tenggelam gara-gara kamu nantinya," jawab Loka begitu anggunnya.
"One kiss?"
Loka mampu melihat dari sudut pandangnya, bahwa saat ini, ada pria yang sedang gemas ingin menerkamnya. Mengizinkan Elang melakukan satu ciuman padanya, sama saja mendobrak pakem yang selama ini Loka teguhkan, bukan? Ya, tentu saja. Namun, masalahnya bukan tentang pakem lagi. Ini mengenai perasaannya yang benar-benar terpaut pada Elang sejak mereka kecil. Sayangnya, pria itu tidak pernah menyadarinya atau lebih tepatnya enggan menyadari perasaan yang dimiliki Loka untuk Elang.
Dan kenapa aku harus ketemu kamu lagi, El?
Loka mendaratkan satu kecupan pada bibir Elang. Hanya untuk Elang, dan atas permintaan Elang.
Tidak masalah, kan?
"What was––"
"One kiss." Loka membalasnya dengan kerlingan.
Good. Sekarang Mr. Eagle yang karismanya membahana hampir kehilangan akal karena sebuah godaan dari teman masa kecilnya. Wajah Loka yang terlalu manis dan begitu mewujudkan pandangan mendamba adalah makna sempurna yang Elang tunggu-tunggu. Sebelumnya, tidak pernah ada yang memberikannya pandangan penuh damba seperti itu. Bolehkah Elang merasa tersanjung?
"Aku serius," ucap Elang. "Bukan satu kecupan. Aku meminta kesempatan untuk satu ciuman."
Dengan pandainya Loka menarik-ulur kesabaran Elang. Pria 37 tahun itu meremas pinggul Loka, tetapi berhasil diturunkan oleh si pemilik pinggul cantik tersebut.
"Enggak. Satu ciuman akan aku kasih, kalau kamu mau menerima usulanku. Enggak ada pernikahan selama aku belum siap, dan enggak ada permintaan apa pun dari kamu yang aku turuti selama kamu enggak setuju."
Loka berbalik badan lebih dulu, membiarkan Elang dengan sejuta tanya. Ini pertemuan pertama setelah bertahun-tahun Loka pergi karena kedua orangtuanya pindah kediaman. Pembahasan pertama kali bisa seperti ini.
"Kenapa?"
Perempuan yang mengenakan dress floral tersebut mengangsurkan pandangan pada Elang yang sudah membawa dua botol bir.
Dalam hati Loka tertawa. Elang menganggapnya perempuan yang suka menghabiskan malam di pub dan meminum alkohol sesuai yang dia mau. Padahal, kenyataannya bukan begitu.
"Enggak ada minuman lain?" Loka mengalihkan.
Elang melirik pandangan pada kaleng bir yang tidak disentuh Loka.
"Kamu enggak suka bir? Apa butuh wine? Aku cuma punya yang––"
"Aku enggak minum. Kalau kamu berpikir kenapa aku enggak minum, sedangkan aku ada di pub, itu karena aku nunggu klien." Loka terkekeh. "Oh, ya. Nanti kamu pikir aku nunggu klien untuk dipuaskan lagi. Enggak, kok. Aku freelancer juga. Jadi, kebetulan ke Jakarta karena ada projek bagus."
"Sorry. Aku enggak pernah berpikir kamu perempuan murahan, Ka. Aku tahu kamu. Sedari kecil. Orangtua kamu pun aku tahu. Jadi, aku enggak pernah berpikir sampai merendahkan kamu sebagai perempuan panggilan."
Mata cantik Loka mengerling. "Benar? Aku belum pernah ketemu laki-laki yang enggak mandang aku sebelah mata. Karena mereka selalu bilang, penampilan aku cuma kedok dari sikap binal aku."
Elang mencecap bir-nya. Tidak langsung menanggapi, dia tidak ingin bicara menjurus masalah ini. Namun, sepertinya Loka ingin menjabarkan mengenai dirinya.
"Itu urusan mereka. Menganggap kamu binal di luar tampilan kamu yang terlalu manis ini. Aku enggak peduli. Toh, kalau kamu mau menghabiskan waktu dengan laki-laki yang lebih baik pun, enggak ada salahnya. Itu manusiawi, Ka. Selain itu, karena semua itu privasi kamu, hidup kamu. Aku enggak punya hak atas itu."
Menyilangkan kakinya, Loka berpendar mencari pemandangan lain ketimbang melihat makhluk tampan seperti Elang.
"Benar. Seharusnya aku enggak peduli kamu mikir apa, ya? Lagian, kamu memang enggak ada hak buat selalu menilai aku. Atau bahkan... kamu enggak cukup peduli untuk menilai aku."
Inilah sisi perasa Loka. Tanpa sadar dia sudah membuat Elang illfeel karena terlalu menduga-duga persis sifat alami para wanita yang begitu bercabang pikirannya.
Loka mendengkus sendiri. "Aduh. Maaf, maaf, El. Aku aneh, ya? Kayaknya sudah tahap lelah paling tinggi, nih. Boleh antar aku pulang?"
Ingin disudahi saja semuanya. Mungkin dengan berhenti meracau di hadapan Elang, dia akan lebih bagus bagi pria itu. Entahlah, Loka tidak suka menduga-duga, tapi berada di dekat Elang... dia ingin dipedulikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top