7. Kenapa Benci Rineka

Hai, selamat pagi

Pagi-pagi aku bawa Mr. D buat kalian. Enjoy! jangan lupa juga pencet bintang dan kasih komen yaaa

***

Bus kota tidak terlalu ramai begitu Zayyan masuk. Jumlah penumpang masih bisa dihitung dengan jari. Dua duduk di jok depan sisi kanan, tiga di jok depan sisi kiri dengan terpisah-pisah satu kursi, satu laki-laki berjaket hitam berdiri memegangi tiang dekat pintu keluar yang tidak pernah dipakai sambil terkantuk-kantuk, empat siswi SMP yang duduk di deretan kursi belakang laki-laki yang terkantuk-kantuk itu terlihat sedang tertawa secara sembunyi-sembunyi.

Zayyan sejenak merasa sangsi melihat empat siswi SMP itu tertawa. Tiba-tiba merasa takut bahwa mereka sedang menertawakannya. Namun, saat salah satu siswi itu mengangkat ponsel dan mengarahkannya pada laki-laki yang berpegangan pada tiang, seketika itu juga Zayyan bernapas lega. Kembali berjalan menuju deret kursi bis paling belakang kemudian mengambil tempat duduk di dekat jendela.

Zaman sekarang, angkutan umum sudah jarang sekali peminat. Dalam bis kota ini saja hanya ada sebelas penumpang termasuk dirinya. Sementara itu di sisi kiri kanan jendela bis terlihat motor dan mobil berdesak-desakan menyelinap ke barisan terdepan di depan lampu lalu lintas yang beberapa detik lalu berubah warna menjadi merah.

Seseorang masuk. Seorang gadis yang ia kenal tapi tidak terlalu kenal juga. Hanya sebatas tahu namanya dan hanya pernah berbicara beberapa kali saja.

"Za." Seru gadis itu senang kemudian duduk di sampingnya. Gadis itu meletakan tas totebagnya di atas paha kemudian mengeluarkan ikat rambut hitam yang langsung digunakannya untuk mengikat rambut pirang sebahunya.

"Rumah lo di daerah mana?" tanya gadis itu tanpa menatap pada Zayyan karena sedang sibuk membenarkan poninya yang saat masuk sedikit berantakan.

"Kenapa emang Dre?" Zayyan balik bertanya membuat Andrea menoleh.

Andrea memutar bola mata. "Lo naik bis ini. Nanya aja sih, siapa tahu rumah kita searah."

Zayyan mengangguk. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Andrea tentang dimana tempat tinggalnya. Zayyan merasa ia belum terlalu akrab dengan Andrea sehingga ia mempunyai kewajiban untuk menjawabnya.

"Lo tahu gak kenapa orang-orang zaman sekarang jarang yang naik angkutan umum?" tanya Andrea.

Zayyan mengangkat bahu. "Males aja mungkin."

"Bukan." Andrea menggeleng tegas. "Karena masyarakat Indonesia sekarang itu udah konsumtif banget. Masyarakat kita sudah kecanduan yang namanya teknologi dan perkembangan zaman. Kebanyakan mikir kalau naik angkutan umum itu ribet karena turunnya seringnya jauh dari rumah. Maka dari itu, mereka mulai berlomba-lomba beli motor atau mobil supaya kalau kemana-mana gampang. Mau kemana aja tinggal pergi, pas pulang langsung nyampe rumah.

"Padahal yah Za. Kalau pola pikir semua orang kayak gitu, lo bayangin berapa juta kendaraan di jalanan setiap harinya, setiap paginya, seperti pagi ini. Bayangin jalanan yang biasanya lenggang jadi macet. Niatnya buat menghemat waktu malah buat jalan macet. Menghemat waktu?" Andrea menatap Zayyan seolah sedang bertanya. Namun Zayyan tahu pertanyaan itu bukan untuk dijawabnya melainkan untuk Andrea jawab sendiri.

"Big no!" lanjut Andrea menjawab pertanyaannya sendiri dengan nada bicara penuh penekanan.

"Bahkan gue pernah iseng-iseng melakukan riset kecil tentang seberapa cepet gue jalan kaki dari rumah ke pasar di depan sama orang yang naik kendaraan."

Zayyan memang tidak tahu kenapa Andrea datang-datang langsung membahas tentang kemacetan jalanan. Namun, perkataan terahir Andrea membuat ia terpancing kemudian bertanya, "jawabannya?"

"Jawabannya lebih cepet gue jalan kaki."

"Kok bisa?"

"Karena gue melakukan risetnya pas jalanan lagi macet." Andrea tertawa.

Begitu juga dengan Zayyan. Sia-sia sudah rasa penasarannya. Kalau seperti itu juga Zayyan tahu akan terjadi seperti itu.

"Balik lagi ke jalanan yang suka macet. Bayangin setiap kepala di rumah lo punya masing-masing satu motor karena alasan masing-masingnya punya tempat tujuan yang beda."

Zayyan mengangguk mengerti.

"Misal dalam keluarga lo ada lima orang, ibu, ayah, elo, kakak, sama adik lo. Semuanya punya motor. Dikali satu RT misalnya 10 keluarga dikali 5 orang. 50 motor. Satu RW ada 10 RT, dikali lagi jumlah desa di kota ini. Berapa kira-kira?"

Zayyan hanya nyengir. Kagum sendiri karena Andrea bisa sampai berpikiran sampai sejauh itu. Perkara kendaraan bermotor yang seringnya dianggap biasa saja, Andrea berpikir sampai sejauh itu.

"Terus, saat macet yang disalahkan siapa?"

"Pemerintah."

"Nah, pemerintah mengeluarkan solusi berupa pelebaran jalan buat menanggulangi kemacetan itu. Ruko-ruko, toko-toko, rumah-rumah pinggir jalan pada akhirnya di gusur. Masih mending yang digusur itu tingkat ekonominya sama rata. Nah ini, kan gak semua masyarakat kita punya penghasilan yang tetap, yang tinggi, kadang buat makan sehari-hari aja mereka banting tulang dari pagi sampai tengah malem. Siapa yang pada akhirnya jadi korban lagi?"

"Rakyat kecil." Jawab Zayyan.

"Sumpah Za, gue miris banget sama negara kita. Politik digunakan bukan buat mensejahterakan rakyat secara keseluruhan, tapi hanya segelintir rakyat kalangan atas, para elit."

Zayyan lagi-lagi tersenyum.

"Kemarin Rineka minta maaf sama gue soal Dea." Suara Andrea yang tadinya berapi-api mendadak memelan. Di wajahnya terlihat sekali rasa kehilangan dan kesedihan. Pasti karena Dea.

Zayyan tahu Rineka, teman sekelasnya juga yang ia tahu paling aktif di kelas dan menjadi kesayangan para dosen.

"Terus?"

"Pernah gak lo nanya kenapa dari semenjak masuk kuliah gue gak pernah akur sama Rineka?"

Zayyan menggeleng. "Gue gak merasa begitu akrab sampai harus nanya itu sama lo."

"Gue ngerti." Andrea menghela napas. "Karena orang asing buat lo."

"Tapi, kalau lo gak keberatan gue bakalan nanya hal itu sama lo sekarang. Gue pikir nanti lo gak bakalan lagi jadi orang asing buat gue."

Andrea terdiam dengan mulut menganga cukup lebar. Perkataan Zayyan cukup ambigu. Andrea bukan perempuan tolol yang baik-baik saja oleh perkataan ambigu tersebut. Jantungnya berdebar. Maksud dari Zayyan mengatakan bahwa ia nanti tidak akan menjadi orang asing lagi untuk Zayyan itu apa? Apa pria ini mulai memiliki perasaan padanya?

Andrea menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar mencoba menyingkirkan pikiran ngawur yang datang hanya karena kalimat ambigu itu. Seseorang yang nantinya tidak akan dianggap orang asing tak hanya akan jadi pacar kan? Jadi teman misalnya? Teman juga termasuk kategori bukan orang asing kan?

Ah, Andrea merasa dirinya sedikit tidak waras.

"Kenapa lo gak pernah akur sama Rineka?" tanya Zayyan membuat gadis itu seketika tersadar dari imajinasinya.

"Karena dia dan keluarganya penuh pencitraan."

Itu adalah jawaban yang paling jujur dari mulutnya. Tentang kenapa ia tidak pernah suka pada Rineka sejak dulu. Bukan karena Rineka suka cari muka pada dosen-dosen, suka tebar pesona karena kecantikannya, dan suka memandangnya rendah hanya karena ia sering mendapat nilai pas-pasan.

"Bukan karena Rineka sering hina lo terkait nilai mata kuliah?" tanya Zayyan membuat ekspresi penuh keterkejutan di wajah Andrea terlihat jelas. Senyumnya mengembang lagi, lucu.

"Gue sama sekali gak akan mempemasalahkan hal kekanak-kanakan seperti itu." Bantah Andrea. Heran sendiri kenapa Zayyan bisa tahu apa yang sedang ia pikirkan.

"Terus kenapa?"

"Gue ngerti kenapa lo bisa berpikiran seperti itu. Karena di kelas gue emang paling barbar diantara yang lain. Paling kekanak-kanakan diantara yang lain. Tapi, asal lo tahu, di dalem sini...." Andrea menunjuk dada dan kepalanya secara bergantian. "Gue lebih dewasa."

"Lalu kenapa lo gak suka Rineka?"

"Kan udah gue bilang, karena dia dan keluarganya penuh pencitraan."

"Jelasin tepatnya seperti apa?"

"Lo tahu siapa papanya Rineka?" tanya Andrea.

Zayyan mengernyitkan alis. Kurang faham kenapa Andrea tiba-tiba menanyakan tentang laki-laki hebat yang sering muncul di televisi itu.

"Karena Bian Prahadi Radika itu salah satu pendiri PT Radikatex, pabrik textile di Tasikmalaya yang buat banyak orang berimigrasi karena gak kuat dengan pencemaran lingkungan disana." Suara Andrea tiba-tiba berubah menjadi sendu. "Keluarga gue dan Dea adalah salah satu keluarga yang terpaksa pindah ke sini. Lima tahun lalu adik gue yang baru delapan bulan meninggal. Waktu dia dilahirkan dia sehat-sehat aja, tiba-tiba aja setelah dia dibawa pulang dari rumah sakit beberapa bulan ke depan tiba-tiba aja dia punya asma. Dia meninggal karena polusi. Nenek gue juga satu tahun sebelumnya berpulang karena hal yang sama. Banyak warga kampung gue yang terkena penyakit batuk kronis.

"Banyak yang protes, banyak yang dilakukan orang disana buat menghentikan operasi pabrik itu. Tapi," Andrea menggeleng. "Gak pernah ada titik terang. Yang protes malah ditangkap. Bahkan tetangga gue ada yang pulang tinggal badan, dia meninggal. Siapa dibelakang itu semua? Bian Prahadi, papa dari Rineka. Itulah kenapa gue gak pernah suka sama Rineka. Kalau bukan karena pabrik papanya, kehidupan gue sama tetangga-tetangga gue bakalan baik-baik aja. Gak ada yang harus pindah, gak ada yang harus dipenjara, gak ada yang harus pulang tanpa nyawa, dan gak ada yang meninggal karena polusi."

***


Ada banyak sekali alasan kenapa seseorang membenci orang lain. Banyak sekali. Alasan yang terlihat saja banyak apalagi alasan yang tidak terlihat. Yuk mari perbaiki diri, introspeksi diri, jangan sampai banyak hal dari dalam diri kita yang tidak disadari menjadi alasan orang lain membenci kita.

Dan untuk yang sampai sekarang masih menyimpan kebencian dalam dirinya, yuk mulai memaafkan satu persatu kesalahan orang lain.


Apa banget yah gue ngomong itu di atas wkwk


Enjoy with your weekand


Sending hug

Iis Tazkiati Nupus

220919

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top