6. Bian Prahadi Radika
BAGIAN ENAM
"Bian Prahadi Radika"
***
Fardhan menghempaskan tubuhnya pada sofa usang di rumahnya. Memejamkan kedua bola matanya mencoba untuk merilekskan pikirannya. Kelebatan bayangan seorang gadis berseragam SMA muncul kembali dalam ingatannya. Wajahnya begitu jelas, seolah hal tersebut baru terjadi kemarin siang.
Di keluarkannya dompet dari saku jaketnya. Menarik foto yang sengaja ia lipat sebagian sehingga hanya menampilkan wajahnya yang sedang tersenyum saja. Dibuka lipatan tersebut dan menatapnya dalam keheningan. Langit di luar sudah gelap, lampu rumah kecilnya belum ia nyalakan. Cahaya bulan menerobos masuk melalui celah-celah membuat wajahnya hangat diterpa sinar cantik tersebut. Walaupun begitu ia masih bisa melihat wajah tersenyum seorang siswa dan siswi yang saling berangkulan sambil sama-sama tersenyum. Ia meraba pinggiran kanan di sebelah tubuh gadis itu. Bagian terpotong yang sepuluh tahun lalu sengaja ia sobek.
Sudah puas memandangi foto tersebut dalam keheningan. Ia melipat lalu memasukan kembali ke tempat semula.
Fardhan baru saja hendak menuju kamar mandi, ponselnya menyala dengan nama Glen.
"Iya Glen?" Fardhan kembali berbalik dan menghempaskan tubuhnya kembali ke atas sofa.
"Atasan nyuruh kita buat segera menutup kasus Dea."Ujar Glen dari ujung sana.
"Apa alasannya?" tanpa sadar Fardhan menegakan tubuhnya.
Beranjak dari sofa untuk menyalakan lampu, sehingga terlihatlah ruangan berantakan itu. Bungkus makanan ringan, remah-remah biskuit, beberapa bekas minuman kalengan berantakan di meja depan televisi. Sofa yang tadi ia gunakan untuk rebahan pun tak kalah berantakannya. Baju-baju kotor serta beberapa celana dalam tersampir pada sandarannya dan beberapa jatuh di atas tempat duduknya.
Tak peduli dengan dapurnya yang juga tak kalah berantakan ia membuka kulkas lalu mengeluarkan air mineral. Panci-panci, wajan-wajan, dan beberapa alat makan bekas pakai menumpuk di bak cucian. Remahan mie instan dan bungkusnya terletak di samping kompor.
"Katanya karena tak ada bukti lain yang bisa mengarahkan kasus itu pada pembunuhan."
Detik berikutnya terdengar suara benda jatuh dari ujung sana. "Iya pak ini saya sedang bilang sama Pak Fardhan."
Setelah suara Glen terdengar bentakan seseorang yang sangat ia kenal. Atasannya. Si laki-laki berperut buncit yang tak pernah peduli pada kasus kecuali jika kasus itu membantunya naik jabatan.
"Ikan buntal ini marah-marah dari tadi." Bisik Glen.
Ikan buntal adalah panggilan kesayangan para bawahan untuk pria bertubuh gendut dengan perut mirip ibu hamil 9 bulan. Atasan Glen dan atasannya juga.
Fardhan tertawa sejenak kemudian kembali membahas tentang hal yang menjadi penyebab kenapa Glen menelponnya tengah malah seperti ini. "Kasus Dea... Apa hanya itu alasannya?"
Terdengar suara pintu di tutup dari disusul suara grasak-grusuk tak jelas di speaker ponselnya. "Kamu sedang dimana?"
"Nyari tempat aman." Jawab Glen. Cengirannya terdengar membuat Fardhan mau tidak mau ikut tertawa.
Juniornya itu memang sering sekali bertingkah aneh tapi lucu tanpa disadari. Membuat Fardhan tidak pernah bisa menahan untuk tertawa. Seperti saat ini, mungkin karena dia ingin menghindari di ikan buntal yang suka muncul tiba-tiba entah berasal dari mana membuat dia bersembunyi untuk bebicara dengannya.
"Aku tebak kamu di gudang."
"Dari mana kamu tahu? Aku pernah bilang."
"Dari suara grasak-grusuknya aja aku sudah tahu."
Glen tertawa.
"Jadi soal kasus Dea...."
"Ah iya. Dengarkan, aku tahu aku ini junior kamu yang paling bodoh diantara yang lainnya. Detektif yang sering membuat masalah dalam tim. Detektif yang tak pernah sekalipun tidak melakukan kesalahan. Detektif yang kikuk di TKP. Tetapi, soal pendengaran... jangan pernah ragukan aku."
Fardhan mengusap wajah. Mengangguk-angguk malas, rentetan kalimat panjang seperti itu entah kenapa selalu Glen ucapkan setiap kali akan memberikan informasi penting padanya. "Oke, lanjutkan."
"Tadi sore, saat kamu keluar kantor dengan hasil kalung dan hasil tes itu, ada seseorang yang datang."
"Seseorang?"
"Bian Prahadi Radika. Tahu?"
"Bian Prahadi Radika?" ulang Fardhan sambil mengingat-ngingat. Ia ingat betul pernah melihat nama itu. Tapi entah dimana. Dan dia siapa. Fardhan pusing. Ia tidak mengingat apapun tentang Bian Prahadi. "Siapa dia? Aku tidak tahu dia siapa."
"Praha TV."
Setelah Glen mengatakan dua kata itu membuat ingatan Fardhan tentang siapa Bian Prahadi Radika seketika merecall kembali semua ingatan tentang siapa itu seorang Bian Prahadi Radika. Kenapa ia bisa lupa, padahal wajah pemilik nama itu setiap hari selalu hilir mudik di televisi. Di iklan sebuah partai politik yang menggambarkan kegiatan blusukan ke desa-desa kumuh.
"Sekarang sudah tahu siapa itu Bian Prahadi Radika?" sindir Glen atas kemudahlupaan Fardhan.
Fardhan sedikit kesal oleh sindiran Glen. Namun, detik berikutnya ia kembali memasang mode normal. "Aku tebak." Jeda. "Setelah Bian Prahadi datang, si ikan buntal itu langsung memerintahkan untuk segera menutup kasus itu?"
"Betul sekali." Sahut Glen cepat. "Dari yang aku dengar salah satu terduga yang kemarin kita interogasi adalah anaknya. Namanya..."
"Rineka?" tanya Fardhan terdengar kurang yakin. Ia ingat sekali dengan gadis cantik yang ia interogasi tetapi masih mengkhawatirkan ujiannya itu.
"Ya itu. Rineka Radika, anaknya Bian Prahadi Radika."
Ia tidak mungkin lupa akan hal itu, karena Rineka satu-satunya yang berbeda saat ia interogasi. Selain dia masih mengkhawatirkan ujiannya, diantara yang lain dia juga sempat bertanya tentang ruang interogasi dan mengatakan keren dengan ruangan tersebut. Terlebih lagi, sikap Rineka yang terliha takut tapi dibuat-buat. Berbeda sekali dengan reaksi Andrea yang datang sangat pucat bahkan mengatakan bahwa dia yang membunuh sahabatnya sendiri.
"Ini semakin menarik." Gumam Fardhan. Senyum miringnya tercetak.
"Kalau aku tebak kenapa Bian Prahadi melakukan itu karena yang aku dengar di pemilu yang akan datang dia akan mencalonkan diri di pemilihan presiden. Dia tidak mau merusak citranya di televisi yang mana semua orang melihatnya sebagai orang yang dermawan dan penyayang. Bian pasti tidak mau ada salah satu media yang mengabarkan bahwa putrinya salah satu terduga dari kasus Dea."
"Masuk akal juga."
"Tapi, yang jadi pertanyaannya, kenapa Bian sampai repot-repot datang sendiri ke kantor polisi dan menemui di ikan buntal itu?"
Ia mendengar suara gedoran keras dari speaker ponselnya. Fardhan tebak, pasti tempat persembunyian Glen diketahui. Dan orang yang menggedor itu pasti suruhan si ikan buntal. Bukan rahasia lagi jika Glen, selaku junior selalu tertindas oleh si ikan buntal. Kasihan.
"Aku harus keluar." Suara Glen terdengar enggan sekali. "Si ikan buntal itu pasti ingin dipijit lagi."
Fardhan tertawa.
"Kenapa kamu ketawa." Protes Glen. "Senang ya kalau aku jadi bulan-bulanan si ikan buntal itu."
Fardhan menggeleng. Gerakan bodoh yang ia lakukan tanpa sadar padahal orang di seberang tidak akan melihat gelengan kepalanya.
"Aku hanya heran, kamu kerja sebagai polisi atau tukang pijat?"
"Sialan!"
Fardhan lagi-lagi tertawa. "Jangan mengeluh terus. Syukuri aja posisi kamu sekarang. Karena dengan begitu kita bisa tahu lebih lanjut tentang si ikan buntal, rahasia-rahasianya, aku ingin sekali segera melengserkan dia dari kursinya."
"Kalau alasannya seperti itu aku jadi semangat! IKAN BUNTAL!! Lihatlah nanti apa yang akan terjadi."
***
Hallo, setelah sekian lama aku update Mr. D lagiii
Kangen Zayyan, Andrea sama Fardhan :((
Sending hug
Iis Tazkiati Nupus
160919
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top