43. Teori Fardhan

Hai... selamat malam (sebelumnya kepencet publish padahal belum dikasih judul)

Malam banget ya

Hampir tengah malem aku baru update Mr. D

Iya tahu kok harusnya aku update kemaren. Maaf ya ngaret sehari dari janji. Kemaren aku kurang sehat


Di chapter ini bakal ada flashback, dua flashback. Semoga kalian faham dengan chapter ini yang makin njelimettt

Aku mikir buat chapter ini nyampe berhari-hari, gimana caranya biar ceritanya bisa dimengerti sama kalian


Semoga gak makin ngebul ya otaknya


Selamat membaca, jangan lupa vote sama komennya ya

Mau hujat atau kritik boleh banget

Bantu temukan typo juga ya

***

Zayyan mengambil sebuah betadine, kassa gulung, satu pack plester, dan sebotol alkohol dari rak khusus P3K. Setelah itu ia mengambil dua botol air mineral dari lemari pendingin. Tak ada lagi yang akan ia beli ia menuju kasir dan membiarkan kasir untuk menghitung total belanjaannya.

"Ada tambahan lagi?" tanya kasir sambil mengarahkan scanner ke kode batang air mineral.

"Gak ada." Jawab Zayyan sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya. "Itu aja." Lanjutnya.

Kasir itu tak mengangguk, lantas memasukan seluruh belanjaan ke satu plastic berlogo pohon beringin dengan tulisan Go Green di bawahnya. Dia menyebutkan total yang harus pelanggannya bayar.

Zayyan menyerahkan uang lima puluh ribu di tangannya. Sambil menunggu struk dan uang kembalian, ia menatap ke luar jendela. Fardhan tengah duduk di kursi berpayung di depan apotek. Meringis memegangi sudut bibirnya.

Kasir itu tampak penasaran dengan penyebab orang yang bersama pelanggannya ini babak belur. Terlihat sedikit waspada. Ketika Zayyan meletakan belanjaannya pun wanita ini sempat menatapnya curiga. Ya, meskipun wajah Zayyan tak memiliki luka apapun, baju nya yang memperlihatkan bekas perkelahian yang membuat wanita itu merasa begitu waspada.

Namun, meskipun pensaran, wanita itu tak bertanya apapun. Hanya ikut menatap keluar jendela sebentar lalu menyerahkan struk dan uang kembalian.

"Terimakasih." Ujar Zayyan singkat sebelum beranjak dari depan kasir.

Zayyan mengambil dua botol air mineral dari kresek lalu melempar kresek yang berisi P3K dasar ke hadapan Fardhan. "Obati sendiri."

Tak ada keramahan sama sekali dari nada bicaranya. Fardhan yang memahami bahwa sulit untuk bersikap baik kepada orang yang telah membuat keluarganya meninggal. Ia hanya menerima kresek berisi P3K itu tanpa bicara. Ia pun tak mau bicara karena merasa satu kata yang keluar dari mulutnya akan membuat ia makin terlihat jahat dan tak bertanggung jawab.

Fardhan sadar tak boleh menuntut maaf atas apa yang dilakukannya dahulu. Adik dari mantan kekasihnya bahkan masih sangat baik setelah mendengar bahwa ia telah ikut andil dalam kematian Dea Haryanti. Pasti sulit bagi Zayyan untuk menghentikan tinjuannya dan bilang bahwa ia tak puas dengan semua itu. Dan bukan perkara yang mudah juga untuk membelikan P3K untuk mengobati lukanya, mengobati orang yang sudah membuat kakak dari laki-laki itu meninggal.

Ah, Fardhan tersiksa selama ini dengan penyesalan itu. Namun, ia tak menyangka ternyata mengatakan pada Zayyan bahwa dia adalah laki-laki itu dan membiarkan Zayyan menghajarnya membuat ia merasa sedikit lega. Hanya sedikit. Lebih baik seperti itu. Fardhan tak mau jadi orang tak tahu malu jika menganggap pukulan Zayyan membuatnya impas dengan apa yang telah dilakukannya. Dea Haryanti tak akan kembali. Fardhan tak keberatan menanggung rasa bersalah ini sampai nanti.

"Minum." Zayyan meletakan botol air mineral di hadapan Fardhan. Laki-laki yang hendak menyiramkan alkohol ke kapas mendongak.

"Hal paling tepat lo lakuin saat ini adalah tetap sehat." Ujar Zayyan. Dia menenggak air mineralnya sampai tersisa setengahnya. "Tetap sehat dan bantu gue temukan siapa orang-orang yang berkonspirasi bunuh kakak gue."

Fardhan terpana mendengar apa yang Zayyan katakan. Ia merasa kagum pada laki-laki di hadapannya. Kenapa Zayyan punya hati yang amat lapang.

"Karena cuma dengan cara itu lo bisa terus teringat kalau lo yang buat kakak gue meninggal." Lanjut Zayyan. Ternyata itu alasannya.

Seperti kata Zayyan bahwa dia belum memaafkannya. Entah belum atau bahkan tak akan pernah melupakannya.

Sedetik kemudian Fardhan mengangguk. "Saya akan terus sehat." Jawabnya lalu membasahi permukaan lukanya dengan kapas yang sudah dibasahi alkohol. Pertama yang di obatinya adalah luka di sikutnya. Pergulatannya dengan Zayyan tadi membaut sikunya ikut luka.

Terasa perih. Namun Fardhan bukan laki-laki cengeng yang tak bisa menahannya.

"Minum." Suruh Zayyan lagi.

Fardhan meletakan kapas di tangannya dan menenggak air mineral yang ternyata sudah dibukakan oleh Zayyan.

"Saya punya tebakan." Ujar Fardhan tiba-tiba.

"Tebakan?"

Fardhan meringis kecil lalu mengangguk. "Tebakan yang sedikit rumit tentang semua kasus ini. Kakakmu, Dea, Rineka, Dino, Farhan, Ferdi, Handoko, dan Andrea."

"Kenapa Andrea disebut?"

"Karena saya curiga dia yang akan jadi target selanjutnya."

"Target selanjutnya? Dibunuh?"

Fardhan menggeleng. "Bukan. Tapi dia yang akan membunuh."

Kedua alis Zayyan mengernyit, hampir bertemu di tengah. Meminta penjelasan lebih lanjut dari Fardhan.

"Kecurigaanmu selama ini benar." Ucap Fardhan. Namun, Zayyan malah bingung.

Kecurigaan mana yang Fardhan maksud. Zayyan punya terlalu banyak hal yang dia curigai.

"Kecurigaan kalau Farhan yang membunuh kakak mu." Ujar Fardhan. Dia menempelkan plester ke sikutnya. "Itu kan alasan kamu selama ini memburu keberadaan Farhan? Kamu curiga dia yang bunuh Dea lalu melarikan diri."

Mulut Zayyan terkatup. Mendengarkan sampai sejauh mana Fardhan dapat membaca gerak-geriknya selama ini.

"Orang-orang itu memang punya sebuah misi. Maksudnya seperti kata Bella, mereka punya misi. Dan aku pikir tiap orang anggota mereka punya misi yang berbeda namun punya konteks yang sama."

"Konteks yang sama? Alasan yang sama?"

Fardhan mengangguk. "Sebetulnya setelah kamu menemui Bella, aku juga menemui dia."

Flashback

"Dino yang bunuh Rineka." Ujar Fardhan tiba-tiba. Wajah Bella masih datar.

"Kamu pikir saya gak bisa menangkap pola yang kalian punya?" tanya Fardhan. Mendecih. "Terlalu gampang ditebak dan kekanak-kanakan."

Bella tersenyum. Dia menumpuk tangannya di atas meja. Sikap sempurna mirip sekali anak SD yang sedang berlomba paling rapi duduk sebelum diizinkan pulang. Menyimak.

"Saya percaya kamu membunuh Rineka." Ucap Zayyan. Siapa sangka senyum senang di wajah Bella mengembang.

"Lalu?" tanyanya. "Kenapa kamu percaya kalau aku yang bunuh Rineka saat orang lain gak percaya kalau aku yang bunuh dia."

"Karena kamu benci Rineka." Senyum di wajah Bella seketika pudar.

"Aku pun tahu kalau penyerahan diri kamu bukan karena kamu sedang menjalankan misi atas nama organisasi." Fardhan mencondongkan tubuhnya. Menatap Bella dengan tatapan penuh intimidasi dan sedikit mencemooh. "Melarihan diri huh?"

Sekarang bukan hanya senyum di wajah Bella saja yang hilang. Wajahnya pun terlihat menegang. Entahlah, Fardhan tiba-tiba terpikirkan hal ini. Perputaran yang aneh namun masuk akal. Masuk akal kalau dihubungkan dengan misi yang Bella selalu sebutkan. Selain itu dia juga mengatakan pada Zayyan penyebab Dino dibunuh karena tugasnya sudah selesai.

Fardhan pun Menyusun satu persatu puzzle itu dari awal. Secara hati-hati dan tak terlewat satu hal pun. Mulai dari Dea Haryanti, Farhan, Dino, Rineka, dan Bella.

"Nyatanya kamu cuma orang cerdas yang penakut ya?" Fardhan sengaja menampakan wajah kecewa. "Kamu takut kan setelah lihat Dino dibunuh? Kamu tahu ketika kamu membunuh kamu harus siap untuk dibunuh juga. Iya kan?"

Bella terlihat geram namun tak terlihat tanda-tanda dia akan membantah.

"Bom itu..." Fardhan berbisik. "Untuk menakut-nakuti mereka kan?"

Bella tiba-tiba berdiri dari duduknya. Menatap sipir wanita yang sejak tadi berjaga di pintu masuk. "Aku mau kembali ke sel." Ucapnya.

Sipir wanita itu mengangguk.

Flasback off

Zayyan hanya menatap Fardhan dalam diam. Tengah mencerna hal itu. Ia bisa mengerti sedikitnya garis besar dari semua ini. Sedikit mengerti ketika Fardhan mengatakan bahwa ketika membunuh harus siap untuk dibunuh.

"Bella takut dibunuh?"

Fardhan mengangguk. "Itu sebenerya cuma tebakan asal tapi saya gak nyangka ternyata saya melihat dampak yang besar di diri Bella."

"Bener Bella yang bunuh Rineka?" tanya Zayyan. Entah kenapa mendadak ia merasa amat pusing.

Bukankah ini terlalu berputar-putar?

Fardhan cuma tersenyum samar. Ekspresi Zayyan pun tak beda jauh dengan wajahnya ketika berhasil menemukan benang merah dari semua ini. Semua hal tak masuk akal yang ia faham tak akan bisa di curigai oleh polisi. Cara pembunuhan yang disamarkan dengan bunuh diri dan pembunuh yang berbeda-beda. Hanya satu kesamaan dari semua itu. Kalung berhuruf D itu.

"Farhan bunuh Dea Haryanti, 7 tahun kemudian Farhan dibunuh. Dino bunuh Dea, tak lama dia ditemukan dibunuh. Bella bunuh Rineka dan dia tahu kalau sebentar lagi dia akan dibunuh. Ferdi dia hendak membunuh Handoko namun gagal. Dengan dasar apa mereka membunuh?"

Zayyan mengernyit. Ia lalu memejamkan matanya.

"Membingungkan memang." Fardhan menempelkan plester ke dahinya. Karena terlalu sulit untuk menemukan letak lukanya, Zayyan mengambil alih dan menempelkannya. "Terimakasih."

"Antara satu korban ke korban lain gak ada hubungannya. Dea lalu Farhan, setelah itu Rineka, lalu Dino. Hanya satu." Fardhan mengangkat satu jarinya. "Hanya satu yang bisa saya simpulkan."

"Kemarahan?" tanya Zayyan terdengar amat sangat tak yakin.

Tanpa disangka Fardhan tersenyum. Dia menjentikan jarinya. "Tepat. Aku rasa itu alasannya. Kemarahan buat mereka terbujuk untuk membunuh orang yang dibencinya."

"Untuk Bella dan Rineka, gue tahu seperti apa hubungan mereka. Bella pernah cerita ke Rineka tentang sebenci apa dia sama Rineka. Dino ke Dea? Atau..." Suara Zayyan tiba-tiba menghilang. Hingga ia harus menghela napas terlebih dahulu untuk menanyakannya.

"Atau kemarahan apa yang Farhan punya buat kakak gue?" tanyanya. Sungguh, terlihat jelas sekali bahwa Zayyan amat sangat kesulitan mengucapkannya. Ia bahkan tak berani untuk mengucapkan nama Dea Haryanti. Seolah jika dia menyebutkan nama itu, roh kakaknya akan tiba-tiba muncul dengan wajah hancur dan otak yang meleleh di sisi wajahnya, persis seperti yang ia lihat di hari kematian kakaknya.

Kalau boleh jujur, alasan kenapa Zayyan selalu merasa berat setiap kali mengingat kakaknya, karena ia melihat dengan jelas bagaimana rupa Dea Haryanti di hari kematiannya.

"Dino ke Dea..." Fardhan menjeda. Dia minum terlebih dahulu. Karena ia merasa selanjutnya ia harus mengeluarkan lebih banyak kata. Agar Zayyan mengerti teorinya.

Ya. Ini memang baru sekedar teori yang dipikirkannya.

"Seperti yang kita tahu, Bella gak segan-segan bilang kalau dia memang benci Rineka atas apa yang telah dilakukan Rineka padanya. Bella yang sebelumnya jumawa dan menerima saja perlakukan Rineka lama-lama gak tahan. Lalu kemarahan itu berkumpul sedikit demi sedikit menjadi rasa marah yang amat besar dan gak bisa di tahan. Lalu seseorang datang menawarkan cara untuk melenyapkan Rineka. Tentu Bella langsung menerimanya, terlebih dia tak akan punay campur tangan. Maksudnya DNA atau sidik jarinya gak akan tertinggal di mayat Rineka. Kupikir Bella gak bunuh Rineka secara langsung dengan tangannya.

Entah kenapa aku berpikir hal itu, aku hanya menyimpulkan dari wajah Bella ketika dia bilang kalau dia mengaku bunuh Rineka dan menjelaskan metode pembunuhan yang dilakukannya."

Zayyan mengernyit. Tak mengerti.

"Bella gak menggunakan kata kerja aktif ketika menjelaskan metode pembunuhannya.

Alis Zayyan semakin terlihat menyatu. "Gue gak ada saat Bella menjelaskan metode pembunuhan Rineka."

"Saya akan memutarnya." Fardhan lalu mengeluarkan ponsel dari saku dalam jaketnya. "Ada earphone atau sesuatu."

Zayyan merogoh serampangan saku-saku di baju dan celananya. Kemudian ia menemukan kotak earphone wireless dari saku kanannya. "Ada ini." Ia menyerahkan pada Fardhan.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghubungkan Bluetooth ponsel dengan earphone wireless milih Zayyan. Yang syukurlah masih punya daya 60 persen. Zayyan sering menggunakan earphone ini. Kadang ketika dibutuhkan baterainya hanya tersisa 30 atau 20 persen.

Zayyan menerima satu earphone dari Fardhan dan memasangnya di telinga kanan.

Awalnya hanya suara hening. Kemudian terdengar suara pintu dibuka. Berlanjut dengan derit kursi di tarik.

"Saya Glen." Itu suara Glen. Zayyan sempat kagum sesaat mendengar suara Glen yang terdengar berbeda dari biasanya. Terdengar menakutkan dan mengintimidasi dalam waktu bersamaan. Dari suaranya saja Zayyan merasa bahwa suasana saat itu begitu mencekam.

Flashback On

"Aku yang bunuh Rineka." ujar Bella di hadapan Glen yang sikap jenakanya hilang saat itu.

Glen mengangguk-angguk. Pura-pura menulis sesuatu di laptop yang tadi dibawanya. Dia sedang berusaha membuat Bella merasa tak dihargai terlebih dahulu sebelum ia memancing Bella untuk mengatakan semuanya pada hari ini. Ini adalah metode rahasia Glen ketika menginterogasi. Pertama, semua orang sangat ingin dirinya dihargai, ketika penghargaan itu tak didapatkannya dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Kedua, setelah tersangka melakukan hal pertama, buatlah tersangka merasa berhasil menarik perhatian orang di depannya. Maka, setelah dua cara itu dilakukan, tersangka akan dengan suka rela menceritakan apapun. Glen sering melakukan metode ini. Meskipun banyak juga yang tak mempan. Pernah Glen diperintah untuk menginterogasi seorang bandar narkoba yang bebal dan tak peduli pada banyak hal. Glen gagal lalu termakan emosi dan meninju wajah bandar narkoba itu.

Namun, Glen tak pernah menyerah untuk melakukan metode halus ini. Ia tidak mau terjadi kekerasan di ruang interogasi dalam bentuk dan alasan apapun. Persis seperti yang sering Fardhan ajarkan padanya.

Walaupun sayangnya Fardhan juga manusia biasa yang gampang tersulut emosinya.

"Saya yang bunuh Rineka." Bella mencondongkan tubuhnya karena Glen sejak tadi hanya sibuk mengetik.

Bella lalu mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. "Penjarakan aku. Aku bunuh Rineka. Temen aku sendiri." Suara Bella bahkan semakin tinggi.

"Aku juga yang memasang bom itu." Lanjut Bella. Dia akhirnya mengaku. Namun Glen tak akan gentar. Dia terus berusaha membaut Bella merasa tak dihargai keberadannya.

"Kamu akan dibebaskan dalam 1 x 24 jam." Ujar Glen. Kalimat kedua setelah perkenalan singkat.

Mata Bella membulat.

"Sebenernya aku gak tahu kenapa kamu tiba-tiba ngaku kalau kamu yang melakukan semua ini." Glen menunjukan wajah bingung. "Maksudnya, sebelumnya kamu bungkam ketika kami tanya."

Glen mengangkat bahu. "Kalau tujuan kamu pengen dipenjara cuma untuk tidur dan makan gratis. Maaf, itu cuam untuk penjahat yang perlu dibina. Aku gak punya keberanian untuk buang-buang pajak negara cuma biar kamu tidur dan makan gratis. Aku gak punya wewenang. Kecuali kalau kamu memang melakukan kejahatan."

"Aku memang bunuh Rineka." Bella bersikeras. Glen mengernyit. Entah kenapa Bella terdengar sangat ngotot. Bella tak terlihat seperti psikopat berdarah dingin. Dia tak punya karakteristik psikopat narsis yang ingin memamerkan pembunuhannya seolah itu adalah tindakan yang benar dan layak untuk mendapatkan penghargaan.

"Ah, kamu jangan buang-buang waktu." Glen mengibaskan tangannya di depan wajah Bella. Dia menepuk udara kosong, pura-pura menangkap nyamuk dia lalu mengibaskannya di sampign tubuhnya. Bersikap sesantai mungkin.

"Pokoknya besok, paling lambat..." Glen menatap jam dinding. "Jam 5 sore kamu sudah dipulangkan."

Bella berdiri dan menatap tajam Glen. "Gue yang bunuh Rineka!" suaranya bahkan naik sampai beberapa oktaf.

"Gue menyelinap ke kamarnya. Gue tahu gimana cara menembus penjagaan di rumah Rineka. Karena Rineka sendiri yang pernah bilang."

"Oke, duduk." Glen mempersilakan Bella duduk. "Jangan berdiri, karena insiden bom itu leher aku jadi sering sakit." Glen menambahkan dramanya dengan memegangi lehernya sambil meringis.

Bella pun duduk kembali.

"Jadi lewat mana kamu masuk kamarnya Rineka?"

"Gue masuk lewat pintu belakang. Pintu yang biasa digunakan asisten rumah tangga di rumah Rineka. Itu cuma sebuah gang sempit yang langsung menuju bak pembuangan sampah. Om Bian sangat sensitif dengan bau sampah, asisten lebih sering buang sampai daripada memasak makanan. Karena gak mungkin membiarkan asisten rumah tangga membuang sampai melewati pintu depan atau pintu samping, Om Bian membuatkan gang khusus untuk asisten rumah tangga untuk buang sampah." Jelas Bella. "Gang itu bisa diakses dari sayap kanan dapur, gang yang tertutup dan gak akan terlihat seperti bagian rumah. Diapit dua tembok yang sama-sama tinggi agar bau sampah gak terbawa angin."

"Rineka tahu tentang gang itu, dan sering kabur dari sana. Rineka pernah cerita kalau dia pernah menyelundupkan Pak Dino ke kamarnya."

"Melalui gang itu?" tanya Glen.

"Ya. Melalui gang itu. Dan berhasil gak ketahuan."

"Pintu itu gak dikunci?"

"Pintu itu dikunci setiap malam. Lebih dari jam 8 malam akan terkunci."

"Rineka bukannya dibunuh menjelang tengah malam?"

"Pintu gang itu berhasil dibuka. Kuncinya dibobol dengan jepitan rambut. Gue masuk melalui dapur, lanjut ke sayap kanan rumah Rineka, Disana gak ada penjagaan apapun, karena itu tempat pribadi Rineka. Rineka memang sengaja gak mengizinkan orang berjaga disana untuk pelariannya. Selalu ada tangga di bawah balkon kamar Rineka."

"Oke, lalu?"

"Gue masuk dengan tanggal itu. Jendela kamar Rineka dicongkel dengan pisau dan gue bisa masuk lewat teralis kamarnya yang gak terlalu rapat. Rineka sedang di ruang bacanya saat gue masuk. Gue hampir tahu setiap kebiasaan Rineka. Dia selalu kembali ke kamarnya menjelang tengah malam untuk mandi. Itu waktu yang cukup untuk membuat simpul tapi dan dikaitkan ke kayu di plafon kamar mandinya. Salah satu ujung diikatkan ke batu besar di samping bathup. Diangkat naik ke atas wastafel. Saat Rineka masuk dia gak punya kesempatan lari atau teriak karena gue langsung menodong dia dengan pisau di pintu kamar. Gue paksa dia berjalan mundur ke kamar mandi. Situasi dibuat agar Rineka gak punya kesempatan untuk memilih. Ke kamar mandi atau di tusuk pisau.

"Lalu... tali yang udah dikaitkan ke kayu palfon kamar mandi dikaitkan ke lehernya. Dia naik ke atas kursi masih gue todong dengan pisau. Rineka tanya kenapa gue harus bunuh dia. Gue bilang kalau dia gak pantes untuk hidup setelah apa yang dia lakukan ke gue dan Dea. Setelah itu batu di wastafel di turunkan. Rineka sempat memohon-mohon agar dia dipelaskan. Dia kesakitan. Dan gue puas melihat wajahnya yang perlahan membiru. Tangannya juga berusaha untuk melonggarkan tali di lehernya. Dia terbunuh saat itu juga. Lalu gue keluar lewat jalan yang sama."

Flashback off

"Dia seperti sedang menceritakan adegan pembunuhan yang dia saksikan." Komentar Zayyan setelah rekaman pengakuan Bella selesai di putar.

"Itu juga yang buat gue menyelidiki ulang semuanya. Diam-diam. Tanpa kasih tahu lo dan Andrea."

"Jadi ada orang lain?" Zayyan menerawang. "Orang yang bantu Bella bunuh Rineka."

Fardhan mengangguk. "Gue berkesimpulan seperti itu."

"Bella gak mungkin bisa ngangkat batu besar itu sendirian. Begitu juga dengan Rineka."

"Dia laki-laki." Ujar Fardhan yakin. "Bisa jadi dialah Mr. D yang kita cari selama ini."

Tepat setelah hal itu panggilan telepon dari Glen membuat Fardhan harus berhenti terlebih dahulu. Suara tergesa Glen membuat ia menatap Zayyan dengan wajah kaku.

"Kita harus ke kantor polisi. Andrea kena masalah."

"Masalah apa?" Zayyan bahkan tak sadar sudah berdiri lebih dulu. Fardhan yang tengah membereskan sampah dan P3K yang tersisa menatapnya heran.

"Khawatir huh?" dia tersenyum geli.

"Andrea kenapa?"

Fardhan membuang kapas dan bekas plester serta botol air mineral yang baru dia habiskan di depan tong sampah.

"Masalah apa?"

Fardhan tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Zayyan yang begitu khawatir. "Dia robek-robek cek senilai 2 miliar."

"Gila!"

***


Gimana nih gimana?

Lieur? Puyeng? Rumit? Aneh?

Atau gak nyangka

Btw, itu cuma teori Fardhan ya

 Dan sebelumny Zayyan juga punya teori tentang pembunuhan-pembunuhan ini

Menurut kalian lebih masuk akal teori siapa? Zayyan? atau Fardhan


Dan satu lagi, teori Hito gimana? Di chapter sebelumnya dia bilang tahu tentang Mr. D lho


Sampai jumpa di chapter selanjutnya...

Semoga makin buat kalian ngebul, eh


Makasih yaa buat kalian yang setia baca Mr. D


Sampai jumpa 2 hari lagi


Terimakasih

Sending hug

Iis Tazkiati N

ig: iistazkiati

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top