41. Yang tak Bisa Didapatkan Meskipun dengan Pukulan

Hai... selamat malam

Maaf, banget setiap update aku jarang buat author note. Karena aku selalu gak tahu apa yang mau aku omongin

Kadang aku post pun dalam keadaan kepala kosong

Tapi aku selalu berharap kalian menikmati cerita ini

Selamat menbaca!!

Jangan lupa votenya yaa

Bantu aku temukan typo:)


***

Dia mengeluhkan terlalu banyak masalahnya. Seolah semua yang ada di dunia ini menghambatnya. Dia mungkin merasa seperti itu. Kadang dia merasa dunia tidak mendukung apapun yang dia lakukan. Kadang juga dia merasa dunia tak adil karena tak memberikan apa yang dia inginkan. Hingga Fardhan harus mengatakan ini berkali-kali padanya.

"Yang berhak ngasih dan wujudin apa yang kamu pengen lakuin cuma Tuhan." Fardhan menghampiri perempuan yang tengah berdiri cemas di depan jendela apartemennya. Laki-laki itu memeluk kekasihnya dari belakang.

Gadis itu memejamkan matanya. Merasakan sensai hangat yang menentramkan menjalar ke seluruh sel dalam tubuhnya. Dipeluk kekasihnya memang selalu memberikan efek tenang yang tak bisa dia dapatkan dari tepukan meriah dan pujian media.

"Maaf, aku emang lebih banyak ngeluh akhir-akhir ini." Ujar gadis itu.

"Gapapa, Dea." Jawab Fardhan. "Aku seneng kamu ngeluh kaya gini. Wajar, seorang fublic figure yang dieluk-elukan banyak orang pun pasti sampai ke titik lelahnya sendiri. Ngeluhnya cuma sama aku ya?"

Dea tersenyum lalu mengangguk. Dia membalik badannya. Mencium bibir pria yang dicintainya lebih dulu. Hanya sekilas. Yang ternyata malah membangkitkan sisi liar Fardhan. Tak terima dengan kecupan singkat itu, Fardhan menarik Dea Haryanti merapat dengan tubuhnya dan menciumnya dengan lembut.

Sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu sampai tak sadar bahwa ciuman yang semula hanya sebatas kecupan ringan mendorong mereka pada perbuatan yang tidak seharusnya. Fardhan dan Dea Haryanti entah sejak kapan sudah berpindah ke ranjang. Fardhan berada di atasnya mengurung tubuh Dea agar tak bisa lari.

Dea yang sibuk dengan karir keartisannya dan Fardhan yang sibuk sebagai siswa akademi kepolisian baru saja di pertemukan kembali setelah setengah tahun. Dea perempuan matang begitu juga dengan Fardhan. Sama-sama tahu bahwa hubungan mereka sudah tak seperti remaja labil. Pertemuan kembali setelah enam bulan yang membawa kerinduan dan ditambah dengan langit malam yang tengah bernyanyi kecil amat sangat mendukung apa yang mereka berdua lakukan. Apalagi mereka hanya berdua di apartemen ini.

Malam dingin itu menjadi amat panas. Mereka berbaring kelelahan di atas ranjang dengan posisi saling berpelukan. Pakaian mereka teronggok di lantai seolah pernah melakukan kesalahan.

Sampai kemudian sebuah suara jepretan serta lampu blitz menyala. Dea yang pertama kali terbangun. Mengangkat kepala dan mendapati seorang laki-laki tengah memotret nya yang tertangkap basah tidur dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Jepretan-jepretan itu menunjukan kekalang kabutan Dea menutupi wajahnya dari kamera dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Walaupun sebenarnya terlambat karena saat dia bangung kamera sudah lebih dulu mengambil gambar wajah dan tubuhnya yang tertutup selimut sampai sebatas dada.

Pagi harinya berita di manapun menunjukan Dea yang sibuk menyembunyikan ketelanjangannya. Headline berita pun tak kalah kejam.

D.H Artis yang Sedang Naik Daun Tertanggap Basah Berbuat Tak Senonoh dengan Pria Tak Dikenal.

***

Zayyan memejamkan matanya, ingatan akan saat-saat terakhir pertemuan dengan kakak angkatnya membuat rasa sakit yang selama ini menyakitinya kembali muncul lagi. Terasa lebih sakit lagi setelah mendengar dari Bella bahwa laki-laki yang dulu ia pikir adalah Farhan ternyata Fardhan. Orang yang selama ini membantunya. Bagaimana bisa laki-laki itu bersikap tak tahu malu di hadapannya?

Selama ini Zayyan terlalu berambisi untuk mencari tahu keberadaan Farhan. Dan mengira bahwa laki-laki yang bersama dengan kakaknya saat itu. Karena setelah Dea jatuh, Farhan seketika itu juga menghilang tanpa kabar. Semakin menguatkan prasangka Zayyan bahwa laki-laki yang tak pernah disebutkan namanya di media adalah Farhan. Ia pikir Farhan merasa bersalah sudah membuat karir Dea Haryanti hancur sehingga dia memutuskan untuk menghilang.

Apakah benar itu Fardhan?

Itu seperti memberikan jawaban dari pertanyaannya yang tak kunjung terjawab selama ini. Tentang kenapa Fardhan tiba-tiba berubah pikiran dan membantu penyelidikan kematian Dea dan Dea Haryanti.

Sehingga disinilah ia sekarang, di sebuah café yang tak jauh dari kantor polisi. Fardhan baru datang beberapa menit lalu. Setelah memesan kopi dia kembali ke meja.

"Sudah menemui Bella?" tanya Fardhan. Dia tak menyadari bahwa Zayyan tengah mati-matian menahan geram yang luar biasa menyiksa.

"Sudah." Jawab Zayyan, tanpa sadar menggertakan giginya.

"Apa katanya?" Fardhan mencondongkan tubuhnya ingin tahu apa yang berhasil Zayyan dapatkan.

"Sesuatu yang gak gue duga." Jawab Zayyan. Ia masih menatap lurus Zayyan sambil menahan geram. Tangannya yang berada di bawah meja mengepal dengan kuat.

"Apa? Kenapa dia bunuh Dino?" tanya Fardhan.

Zayyan menggeleng. "Bella gak bilang apapun tentang itu."

"Lalu apa yang kamu dengar dari Bella."

"Hal lain."

Fardhan mengernyit. Dia melihat hal yang berbedaa dari Zayyan.

Zayyan pun tak menahan diri lagi untuk tak menunjukan apa yang ia rasakan saat ini.

"Ternyata lo cowok itu." Ujar Zayyan. Membuat kernyitan di kening Fardhan semakin dalam, bingung.

"Lo kenal kakak gue kan?"

Luar biasa, hanya dengan satu pertanyaan saja membuat tubuh Fardhan seketika kaku. Kenapa selama ini Zayyan abai memperhatikan hal ini. Fardhan memang mengenal kakaknya.

"Lo cowok itu kan?" tanya Zayyan lagi.

Fardhan terlihat semakin kelabakan. Namun, tak terlihat dari wajahnya bahwa dia hendak menukasnya. Laki-laki itu hanya bingung harus memulai dari mana. Ia tak tahu apa yang Zayyan tahu tentang dirinya dan Dea Haryanti. Sejauh mana hubungan Fardhan dengan kakaknya. Fardhan memang hendak mengatakan pada Zayyan bahwa ia pernah mengenal Dea Haryanti dan punya hubungan dengannya. Namun, sampai saat ini ia belum menemukan momen yang tepat untuk menceritakan semuanya.

"Kalau lo bantu gue karena rasa bersalah, gue gak butuh." Rahang Zayyan menegang. Menatap Fardhan penuh kemarahan. Tak lagi dia tahan-tahan.

"Saya gak menampik kalau saya memang sangat merasa bersalah atas kakak kamu." Fardhan menunduk. Dia tak membantah tuduhan itu.

Nyatanya selama ini dia memang dihantui oleh rasa bersalah. Kecerobohon yang dilakukannya malam itu membuat Dea Haryanti mengalami kejatuhan. Fardhan lupa mengunci pintu apartemennya sehingga seorang wartawan yang tengah mencari kesalahan Dea mendapatkan apa yang diinginkannya. Nama Dea Haryanti yang tanpa cela dengan image baik bak bidadari seketika berubah menjadi perempuan nakal yang suka tidur dengan laki-laki manapun.

"Kenapa lo gak bantu kakak gue?" tanya Zayyan. Sejak dulu ia ingin tahu kenapa laki-laki tak dikenal di banyak pemberitaan tak pernah ditemukan. Tak pernah juga memunculkan dirinya. Kakaknya yang sudah stress dengan pemberitaan, pamornya turun serta dia harus membayar ganti rugi dari beberapa iklan yang dibintanginya perlahan menariknya menuju depresi.

Dulu Dea Haryanti tak pernah mengatakan pada Zayyan seberapa menderitanya dia akibat pemberitaan itu. Namun, ia tahu bahwa itu sulit baginya. Apalagi laki-laki yang bersamanya malam itu tak pernah menunjukan wajah. Ditambah dengan Farhan yang juga mendadak menghilang setelahnya. Dea Haryanti hanya seorang perempuan yang tak bisa apa-apa tanpa agensi dan managernya. Dia ditinggalkan manager dan agensi itu artinya dia harus memaksa dirinya untuk berdiri sendiri. Disaat dia sendiri pun ragu apakah bisa melakukannya.

"Saya harus kembali ke akademi. Saya gak bisa mangkir." Fardhan masih menunduk dalam. Mengakui betul-betul kesalahan yang dilakukannya ketika masih muda. "Kata maaf pun kayanya gak akan cukup."

"Memang." Sergah Zayyan cepat.

"Maka dari itu saya berusaha untuk menebusnya."

"Dengan cara apa?"

"Dengan menemukan siapa dan kenapa Dea dibunuh."

Zayyan mengepalkan tangannya. "Gue pengen pukul lo!"

Fardhan mengangguk-angguk. Mengerti apa yang Zayyan rasakan. Ia pun berdiri.

"Mari kita keluar." Ujar Fardhan. "Kamu bisa pukul saya dengan puas di luar."

Pertarungan yang aneh. Si pemukul meminta izin untuk memukul orang yang membuatnya emosi. Dan Fardhan pun mempersilakan Zayyan untuk memukulnya sepuas yang dia mau. Fardhan memang tak bisa dimaafkan. Pukulan pun tak cukup untuk mengganti semua kerugian yang dialami Dea Haryanti, kekasihnya. Berkat ulah Fardhan, Dea kehilangan semuanya.

Zayyan tak menahan diri lagi sekarang. Setelah mereka berada di luar café ia langsung menghantamkan pukulannya ke wajah Fardhan. Beberapa kali. Kiri dan kanan. Tak terlewat tendangan juga. Ia sedang butuh samsak untuk melampiaskan semarah apa dia mengetahui kejutan ini.

Fardhan tak melawan sama sekali. Membiarkan Zayyan melampiaskan kemarahannya. Ia memang pantas mendapatkan semua ini. Pukulan tak cukup. Dea Haryanti sudah tak ada. Rasa bersalah yang menghantui dan pukulan ini tak bisa menghidupkan kembali Dea Haryanti. Zayyan adik yang begitu menyayangi kakak tirinya.

Namun, sebanyak apapun pukulan yang Zayyan layangkan tak membuat ia puas. Zayyan tak tahu kenapa. Memukul Fardhan yang tak melawan sama sekali malah membuat ia merasa sakit. Pukulan membabi buta disertai tangisan itu malah membuat ia merasa seperti anak kecil yang memukul anak rese yang mengganggunya. Ia tak merasa puas dengan hal ini. Hingga kemudian ia berhenti. Mengentakan tubuh Fardhan yang sudah lemas di atas paving blok. Fardhan terbatuk-batuk. Darah keluar dari sudut bibir, hidung, wajahnya pun memar-memar. Belum lagi tubuhnya yang terhalangi baju.

Fardhan menatapnya memberikan protesan. Tak terima Zayyan berhenti memukulinya. Namun, Zayyan sadar bukan ini yang ia inginkan. Obsesinya mencari Farhan selama ini pun bukan karena ingin memukuli mantan manager kakaknya habis-habisan. Bukan itu yang ia inginkan.

Zayyan jatuh di atas paving blok. Duduk bersila di hadapan Fardhan yang babak belur karena ulahnya. Menatap wajah memar-memar itu dengan tatapan sendu.

"Bukan ini yang gue inginkan." Ujar Zayyan. Ia menggeleng. "Mukulin lo gak buat gue lega."

Fardhan terbatuk. Meludahkan darah dari mulutnya. Bagian dalam mulutnya mungkin robek.

"Walaupun begitu, gue gak bisa maafin lo semudah itu." Tegas Zayyan.

"Saya tahu." Fardhan mengangguk. "Seharusnya dulu saya gak bersikap pengecut, kembali ke akademi dan buat kakak kamu menderita sendirian. Jangan maafkan saya."

Zayyan terpana. Disaat semua orang ingin dimaafkan kesalahannya. Tak peduli sebesar apa salahnya, Fardhan justru memintanya untuk tak memaafkannya. Ia menatap lurus mata Fardhan dan menemukan penyesalan yang amat sangat besar disana.

***

Kabar penangkapan Ferdi atas upaya pembuhuhan yang kedua kalinya itu sampai juga ke telinga papanya. Satu jam setelah penangkapannya, laki-laki angkuh yang wajahnya sering wara-wiri di televisi dan majalah bisnis datang bersama dengan lima pengawal. Tampilan klimis yang dibalut dengan jas merek terkenal membuatnya makin terlihat pongah. Berjalan dengan tenang seolah dia berada di rumahnya sendiri. Berbeda dengan sebelumnya dimana Ferdi dijemput oleh mamanya, kali ini sang Raja yang datang menjemputnya.

Suasana kantor polisi mendadak gaduh akibat kedatangannya. Bagaimana bisa mereka tenang ketika di kunjungi oleh orang yang punya image terhormat dan berwibawa. Seseorang yang jarang terlihat keberadaannya. Dan amat sangat sulit untuk menemuinya. Lebih sulit daripada menemui presiden di negeri ini. Namun, kali ini seorang Hardiyan Hanggoro datang sendiri ke kantor polisi.

"Saya ingin melihat anak saya." Itu yang dia ucapkan pertama kali kepada seorang polisi urakan yang ditemuinya di pintu masuk ruang detektif.

Glen yang tengah menulis laporan penangkapan Ferdi berdiri dari duduknya.

Hardiyan menatap Fardhan dan Glen, tersenyum miring.

Glen mengernyit. Tak pernah mereka melihat orang seperti Hardiyan. Dari gesturnya saja terlihat dengan jelas bahwa dia punya sifat sombong yang tinggi. Amat angkuh. Seolah menganggap seisi dunia adalah miliknya.

Ya, wajar saja dia berpikiran begitu. Hardiyan terkenal dengan kejeniusannya dalam berbisnis. Dia punya banyak sekali property yang tersebar di seluruh Indonesia, belum lagi bisnis perhotelan dan restorannya yang sudah terkenal di Indonesia. Belum bisnis lain. Dan Hardiyan yang mengurus semuanya. Kekayaannya melimpah dan pernah masuk ke dalam jajaran orang terkaya di Asia.

"Ferdi saat ini tak belum boleh dikunjungi." Sehebat apapun laki-laki dihadapannya. Glen bersikap tegas sebagaimana seharusnya. Meskipun sikapnya nanti akan ditertawakan habis-habis oleh rekan-rekannya. Karena jujur, sikap seperti ini tak cocok sama sekali untuk Glen yang biasanya cengar-cengir tak jelas.

Insiden percobaan pembunuhan Handoko yang kedua kali membuat Fardhan melarang siapapun untuk menemuinya. Apalagi Hito. Kepala kepolisian pun ia minta siapapun untuk melarangnya menemui Ferdi karena tak mau terjadi lagi kejadian dimana Ferdi dibebaskan. Glen setuju untuk itu.

"Kenapa? Saya keluarganya." Hardiyan menatap Glen tak suka. Sebagaimana orang kaya kebanyakan, Hardiyan menunjukan bahwa dirinya tak suka di tolak.

"Karena Ferdi berbahaya." Jawab Glen tak ragu-ragu. Ia tak takut sama sekali oleh laki-laki kaya yang hanya bisa bersembunyi di balik penjagaan lima pengawalnya.

Glen memang tak main-main dengan kata-katanya. Ferdi saat ini amat sangat berbahaya. Upaya keduanya telah gagal dan dia pasti akan memikirkan metode lain untuk membunuh Handoko.

"Siapa kamu bilang anak saya sembarangan seperti itu?" nada bicara Hardiyan memang masih sama seperti sebelumnya. Tegas dan penuh wibawa, namun Fardhan sadar bahwa ada kilatan kemarahan darinya.

Glen menghela napas. Pria itu meletakan pisau dalam plastik klip besar dia tas mejanya. Sengaja meletakannya agar Hardiyan melihatnya.

"Ini senjata yang Ferdi gunakan untuk membunuh Pak Handoko." Ujar Glen.

"Ferdi sedang sakit." Ucap Hardiyan. "Dia punya masalah dengan mentalnya. Kenapa dia harus masuk kesini sekali lagi padahal sebelumnya pengacara saya sudah menjelaskannya."

Hardiyan yang memegang teguh harga dirinya menggunakan alasan klasik itu agar putranya dibebaskan. Miris, dia menutup mata dari kenyataan bahwa putranya memang berniat membunuh seseorang.

"Dari yang saya lihat, anda sedang berusaha menutup mata." Dengan Gerakan seringan bulu Glen mendorong pisau itu agar bisa dilihat lebih dekat oleh Hardiyan. "Barangkali anda tak tahu ala tapa yang anak anda gunakan untuk membunuh."

Hardiyan memalingkan muka dengan angkuh. Tampak tak mau tahu.

"Kalau anda belum tahu, anak anda sebelumnya menggunakan pistol yang dia dapatkan dari pasar gelap. Itu dia gunakan juga sebagai senjata dalam upayanya membunuh Pak Handoko." Lanjut Glen memberitahunya. Mustahil memang laki-laki dengan koneksi dimana-mana tak mengetahui hal itu.

"Yang Ferdi lakukan bukan kejahatan sederhana." Ujar Glen. Mulai kehilangan kesabaran. Dia mendesah marah. "Seseorang bisa saja kehilangan nyawanya kalau dia dibebaskan. Apakah anda belum mengerti itu wahai Tuan Hardiyan yang terhormat."

Glen tampaknya sengaja membuat sebutan itu untuk mengejek laki-laki yang katanya berwibawa tinggi ini. Yang nyatanya malah datang ke kantor polisi dengan upaya untuk membebaskan kembali putranya yang telah tertangkap basah mencelakakan orang lain. Bukan hanya sekali. Melainkan dua kali.

"Anak saya bukan orang seperti itu."

Ucapan Hardiyan membuat Glen memutar bola mata. Orang yang punya kekuasaan yang merasa memiliki seluruh dunia. Orang yang menggunakan harta yang dimilikinya untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya. Termasuk membeli hukum.

Hardiyan hanya sedang menyangkal. Dia tak mau perbuatan putranya mencoreng nama baiknya. Hardiyan hanya seorang pengusaha dengan ambisi besar, tak menginginkan cela sedikitpun dalam perjalanan hidupnya. Laki-laki ini bahkan tak terlihat peduli sama sekali kepada putranya. Sikapnya yang keras kepala itu dilakukannya hanya agar Ferdi dibebaskan dan tak mencemari namanya.

Glen mengangguk. Pura-pura mengerti posisi Hardiyan yang bersikap seolah sulit menerima kelakukan putranya. Ya, Fardhan tahu sikap Hardiyan hanya sebuah kepura-puraan.

"Terserah." Ujar Glen tak mau tahu. Ia menunjuk pisau di atas meja. "Bukti sudah ada di depan mata anda. Dan kami gak akan membebaskan anak anda untuk kedua kalinya."

Hardiyan tersenyum mirip. Tatapannya berubah kejam. Seperti yang Glen duga, Hardiyan hanya orang yang memperdulikan dirinya sendiri.

"Anda tahu apa akibatnya anda berbicara seperti itu?" tanya Hardiyan penuh intimidasi.

"Gue gak takut." Glen maju selangkah bersikap seolah hendak melawan. Lima laki-laki bertubuh kekar yang sejak tadi berdiri layanya patung maju secara bersamaa. Tak terima tuan mereka di tantang oleh polisi kelas rendah tak tahu diri itu.

Hardiyan menoleh. Merentangkan tangan kanannya dan menggeleng. Mengisyaratkan kepada para pengawalnya agar tetap diam di tempat.

Glen serta beberapa polisi lain menatap penuh antisipasi atas apa yang akan Hardiyan lakukan selanjutnya. Dia terlalu tenang namun memberikan kesan yang amat menakutkan. Laki-laki itu merogoh sesuatu dari saku dalam jasnya. Sebuah cek dengan nominal yang tak pernah dibayangkan oleh Glen dan beberapa orang di sana tiba-tiba saja tergeletak di atas meja. Seolah cek dengan logo Bank Indonesia dan tanda tangan Hardiyan bukan sesuatu yang berharga.

Polisi urakan yang tadi bertemu dengan Hardiyan dipintu masuk melongok dan menghitung nol yang tertulis di cek itu diam-diam. Lalu tercengang. Dia mundur dan mengatakan satu miliar kepada temannya tanpa suara. Ya, sejumlah uang satu miliar tertulis di cek Bank Indonesia itu. Nominal yang akan sulit terkumpul meskipun mereka sudah mengabdi seumur hidup.

"Terima uang ini dan tetap bekerja..."

"Saya gak akan memilih itu." Potong Glen.

Namun siapa sangka Hardiyan tertawa. Dia mengeluarkan satu lembar cek lagi dengan nominal yang sama. "Ini bukan pilihan. Ini perintah. Saya harap anda bersikap bijak dan realistis."

Glen mendecih. "Perintah? Realistis?" Dia menatap Glen dan menggeleng tak habis pikir. "Anda siapa? Mau membeli kami dengan..." Glen mengentak dua lembar cek itu menunjukan padanya bahwa dia tak akan goyah. "2 miliar?"

"Serius? Hanya dua miliar? Untuk nyawa seseorang yang bahkan bisa menghasilkan lebih banyak daripada ini."

Laki-laki yang tanpa sadar malah merendahkan dirinya di depan para pegawai publik itu hanya tersenyum. Meremehkan semua orang yang ada disini.

"Jadi..." Hardiyan hendak mengambil lembar ketiga ketika seseorang datang.

Andrea datang menyuruk dan langsung mengambil dual embar cek dari atas meja. Merobek-robeknya tepat di hadapan Hardiyan. Beberapa orang yang menyayangkan 2 miliar berubah menjadi potongan kertas hampir memekik. Sedangkan Glen membelalak.

"Gue akan pastiin anak lo membusuk di neraka!" teriak Andrea murka sambil melempar potongan cek tepat ke muka Hardiyan.

Dua pengawal dengan gesit meringkus Andrea, memiting tangannya karena tak terima atasannya dipermalukan seperti itu.

"Lepas! Lepasin gue!" Andrea meronta namun kekuatan dua pengawal yang punya kekuatan besar itu memegangi tangannya. Berlebihan sekali, padahal seorang gadis preman seperti Andrea pun tak bisa melawan satu orang dari mereka. Walhasil, Andrea hanya bisa mendongak menatap Hardiyan penuh kemarahan. "Gue gak akan biarkan Ferdi lolos setelah buat ayah gue masuk rumah sakit!"

"Andrea!" pekik Glen yang baru tersadar dari keterkejutannya.

Melihat seorang gadis dipiting tangannya oleh dua orang yang tak sebanding dengannya membuat naluri kelaki-lakian Glen keluar. Tanpa ancang-ancang Glen menerjang salah satu dari mereka. Tendangan melayangnya berhasil mengenai wajah salah satu dari mereka. Tindakan Glen pun menyulut perkelahian disana. Lima pengawal melawan belasan polisi.

***

Ngomong-ngomong....

Apa yang mau kalian bilang sama Fardhan?

Dan untuk Hardiyan, apa yang pengen kalian lakuin atau bilang sama dia?

Btw, jangan nonjok ya, ntar di smackdown pengawalnya


Penasaran sama part selanjutnya? Seperti biasa... tunggu aku dua hari lagi


Ig: Iistazkiati


Sending Hug

Flo


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top