4. Bukti
Hai, selamat hari Rabu
Ketemu lagi sama Mr. D
Walaupun gak ada pembaca, gue seneng-seneng aja sih wkwk
Kalau ada yang mampir jangan lupa vote sama komentarnya tinggalkan yaa hahaha
***
Andrea bergegas memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Alat tulis yang biasanya ia masukan rapi ke tempat pensil ia masukan asal saja kedalam tas. Pria berjaket biru dongker dengan headphone putih bertengger di lehernya itu sudah melenggang pergi dari kelas beberapa saat yang lalu setelah dosen keluar.
Andrea tidak boleh sampai kehilangan pria itu. Ada sesuatu yang harus ditanyakannya pada pria itu tentang kenapa kemarin pria yang jarang sekali berinteraksi dengannya bahkan tidak pernah sama sekali itu tiba-tiba saja datang ke kantor polisi dan mengatakan bahwa Dea dibunuh.
Ya. Siapa lagi yang kalau bukan Zayyan.
Pria misterius yang jarang terlihat berbicara dengan orang lain termasuk dirinya. Yang sebelumnya Andrea ragukan apakah pria itu mengetahui satu persatu nama teman sekelasnya atau tidak.
Andrea baru saja akan beranjak dari kelas saat Rineka tiba-tiba saja memotong jalannya.
Rineka menggigit bibir bawahnya. Terlihat takut dan ragu. Sorot matanya pun tak fokus, beberapa kali tertangkap basah menatap ke arah yang berbeda dengan intensitas kedipan mata yang cepat.
"Ada apa?" tanya Andrea dingin.
Andrea mengarahkan pandangannya pada pintu kelas dengan gusar. Takut Zayyan sudah pergi jauh dan tak bisa ia temukan.
"Gue minta maaf soal Dea." ujar Rineka terdengar tulus. "Maaf, karena gue sering jelek-jelekin dia, sering bully dia."
Andrea terdiam. Menatap lurus pada Rineka dengan matanya yang berkaca-kaca. Kenapa baru sekarang Rineka minta maaf setelah semuanya terlambat? Kenapa baru minta maaf setelah Dea meninggal?
"Gue seharusnya gak bully dia. Gue seharusnya gak nyebarin kehamilan Dea dan buat hampir satu kampus benci sama dia. Gue seharusnya..."
"Cukup." Andrea menutup matanya lamat-lamat. Air matanya jatuh. "Lo gak pantes minta maaf setelah semuanya terlambat."
Kelebatan bayangan wajah putus asa Dea sebelum kejadian itu begitu menghantuinya. Senyum terpaksa yang selalu Andrea lihat saat Dea mengatakan 'gue gak apa-apa' setiap kali melewati mahasiswa yang tengah menggungjingkannya. Wajah lesu Dea dengan bahu menurun serta wajah yang selalu menunduk setiap kali berada di dalam kelas. Tatapan meremehkan dan kebencian yang dilontarkan mahasiswa lain yang membenci Dea. Semua itu begitu menghantui Andrea. Membuat rasa sakit dalam dadanya menyeruak keluar. Sakit, pedih, perih, sampai membuat kerongkongannya terasa tercekat oleh sesuatu.
Membayangkan saat-saat terakhir Andrea melihat Dea membuat Andrea merasa terluka.
"Dre," Rineka meraih tangan Andrea dan menggenggamnya.
"Gue tahu gak ada gunanya gue minta maaf setelah kejadiannya kayak gini. Gue nyesel."
"Rin, lo tahu apa yang selalu Dea bilang ke gue tentang elo?" Andrea menghela napas memberikan pasokan udara ke dalam dadanya yang terasa sangat sesak sekali.
"Gue minta maaf." ucap Rineka, air matanya tak bisa lagi ia bendung.
"Dea bilang lo cewek paling cantik se-kampus, lo populer, keluarga lo keluarga terpandang, lo juga pinter, banyak orang yang suka sama lo. Dea bilang dia beruntung banget bisa temenan sama lo." Andrea menepis keras tangan Rineka.
"Maaf." lagi-lagi Rineka menarik tangannnya dan menggenggamnya.
"Tapi apa yang lo lakuin sama dia? Lo tahu dia lagi di tepi jurang tapi lo malah ajak anak-anak yang lain buat dorong dia. Dea gak pernah bikin masalah apapun sama lo. Gue, Rin, gue! Gue yang selalu bikin masalah sama lo! Bukan Dea!"
"Maafin gue, Dre."
Andrea menepis keras tangan Rineka. Menghela napas untuk meredakan emosinnya. Ditatapnya Rineka dengan tatapan tajam.
"Udahlah, gak ada gunanya lo menyesali apa yang udah lo lakuin. Dea juga udah gak ada."
"Maafin gue." Rineka menunduk.
Andrea tidak mau lagi berurusan dengan Rineka. Ia masih sangat marah pada teman sekelasnya itu. Jika saja Rineka tidak menyebarkan gosip itu ke orang yang lebih banyak mungkin Dea tidak akan seputus asa itu sampai bunuh diri.
Ah, Andrea hampir lupa.
Mengambil langkah seribu ia berlari mencari keberadaan Zayyan. Sesekali air matanya turun membuat ia harus mengelapnya beberapa kali. Andrea membiarkan saja Rineka menangis menyesali perbuatannya. Andrea berlarian sepanjang lorong. Sesekali berhenti untuk mengedarkan pandangannya mencari pria berjaket biru dongker dengan headphone putih yang setia dia bawa kemana-mana.
"Ada Zayyan di dalem?" Andrea menghentikan langkah Doni yang baru saja keluar dari toilet laki-laki di sebelah aula.
Doni menggeleng. "Ngapain nyariin dia?"
"Bukan urusan lo." balas Andrea segalak biasanya lalu berlalu dari hadapan Doni yang tampak tak mau ambil pusing.
Setelah lima belas menit mencari akhirnya Andrea menemukan pria itu sedang duduk di salah satu bangku taman samping gedung C di bawah rindangnya pohon beringin. Kepala pria itu menunduk dengan tangan bersidekap di depan dada. Headphone putihnya bertengger di kedua telinganya. Andrea melangkah mendekat dan menemukan bahwa Zayyan sedang memejamkan matanya namun kakinya bergerak-gerak dengan irama yang beraturan.
Andrea menarik napas. Sejenak ia mengisi pasokan udara di dalam dadanya yang seperti habis karena berlarian sepanjang lorong mencari keberadaan pria yang sedang mendengarkan musik itu.
"Za."
Tidak peduli dirinya dikatakan tidak sopan, Andrea menarik turun headphone putih Zayyan sampai membuat benda itu bergantung di leher pemiliknya.
Zayyan membuka matanya. Untuk sesaat mata Zayyan membelalak, kaget atas apa yang Andrea lakukan. Sebelum kemudian Zayyan memperbaiki raut mukanya sedatar biasanya.
"Za." sekali lagi Andrea memanggil pria di hadapannya sambil mengatur napasnya.
Zayyan hanya menatapnya datar dengan wajah tanpa ekspresi. Raut muka yang selalu terlihat seperti biasanya.
"Lo tahu nama gue?" Andrea merasa konyol sendiri mengatakannya. Tapi apa boleh buat, ia hanya ingin memastikan bahwa yang kemarin datang ke kantor polisi adalah pria ini. Bukan halusinasinya saja.
"Gue tahu." jawab Zayyan seadanya.
"Ada yang mau gue tanyain sama lo." ujar Andrea to the point.
Sepertinya Zayyan pun sudah menduga apa yang akan Andrea katakan pada pria itu. Terlihat dari raut wajahnya yang tak berubah sedikitpun.
"Tentang Dea?"
Benar saja, baru juga Andrea hendak membuka suara. Zayyan sudah lebih dulu menebak.
Andrea mengangguk. Berbicara dengan orang yang jarang berinteraksi dengan kita itu rasanya canggung sekali. Apalagi dengan pria tertutup seperti Zayyan yang jarang berbicara apapun selama di kelas. Pria misterius yang selalu masuk kelas bersamaan dengan masuknya dosen dan keluar mengekori dosen pula. Setelah itu Zayyan akan hilang bak ditelan angin. Tidak ada yang tahu tentang Zayyan. Semuanya serba tertutup.
Berhadapan dengan orang seperti Zayyan membuat Andrea gugup sendiri. Padahal Andrea bukan tipe orang yang canggungan seperti ini. Anehnya aura Zayyan yang mengintimidasi membuat Andrea seperti lain dari dirinya.
"Lo mau tahu kenapa gue bilang kalau Dea di bunuh?"
Sepertinya dalam diri Zayyan ada DNA cenayangnya. Kenapa? Karena lagi-lagi Zayyan berhasil menyuarakan apa yang Andrea pikirkan.
Andrea mengangguk. "Gue pengen tahu alasannya. Dea gak punya musuh sebelumnya." Andrea menggigit bibir bawahnya. "Lo tahu siapa yang bunuh Dea?"
Hening.
Zayyan menatap matanya tatapan datar namun entah kenapa terasa mengintimidasi.
"Saat kejadian itu lo dimana?" tanya Zayyan tanpa menjawab pertanyaan dari Andrea sebelumnya.
Andrea memicing. Tatapan Zayyan padanya berubah. Lebih dalam dan terlihat lebih gelap. Menakutkan. Andrea merasa dirinya seperti sedang dicurigai.
"Lo curiga sama gue?" Andrea sendiri tidak yakin. Tapi melihat tatapan Zayyan yang seperti itu menunjukan jelas bahwa dia mencurigai dirinya.
"Kenapa lo tiba-tiba curiga sama gue? Kemarin lo..."
"Bilang kalau Dea gak mati karena elo?" potong Zayyan.
"Iya."
Zayyan berdiri dari duduknya. Tangannya dia masukan ke saku jaket biru dongkernya. Perlahan Zayyan melangkah mendekat membuat Andrea tanpa sadar memundurkan langkahnya. Suasana entah kenapa terasa mencekam. Ditambah lagi senyum miring tipis itu tercetak di wajah Zayyan. Menakutkan.
"Ke...kenapa lo tiba-tiba curiga sama gue?" dibawah tekanan atmosfer mencekam yang ditimbulkan karena senyum miring Zayyan, Andrea memberanikan dirinya untuk mendongak menatap mata pria ini.
"Karena setelah dipikir-pikir elo juga mencurigakan. Lo orang terakhir yang sama Dea kan?"
Mata Andrea tiba-tiba memanas. Kepalanya memutar kebelakang pada kejadian di sekre tari dimana ia memarahi Dea yang putus asa. Lalu meninggalkan sahabatnya itu sendirian.
"Lo bener, gue yang buat dia mati." Andrea tidak bisa lagi menahan desakan air matanya. "Gue seharusnya gak ninggalin dia sendirian."
Andrea menghapus air matanya. Memberanikan diri menatap Zayyan. Namun siapa sangka Zayyan malah menarik tubuhnya dan mendekapnya erat.
"Sekarang gue yakin bukan elo." bisik Zayyan di samping telinganya.
Apa yang Zayyan lakukan. Sebelumnya pria ini mencurigainya lalu sekarang memeluknya dan mengatakan bahwa dia yakin bahwa Andrea bukan orang yang membunuh Dea. Zayyan mengetesnya? Untuk apa.
Zayyan melepaskan dekapannya.
"Bukan elo orangnya." Zayyan menggeleng dan berbicara dengan nada yakin. Walaupun begitu Andrea masih melihat alis Zayyan yang saling bertautan seperti ada yang mengganggu pikirannya.
Andrea masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk mencerna apa yang baru saja Zayyan lakukan saat seseorang memanggil namanya.
Andrea dan Zayyan menoleh secara bersamaan.
Seorang laki-laki pertengahan 30-an berjalan menuju ke arah mereka dengan senyum ramahnya.
Melihat sekilas pun Andrea langsung mengenalinya. Dia adalah detektif yang waktu itu menginterogasinya. Kalau tidak salah namanya...
"Pak Fardhan."
Fardhan hanya tersenyum kecil. Tatapan matanya lalu beralih pada Zayyan.
"Sudah dapat hasil labnya?" tanya Zayyan terkesan tidak ramah. Senyum miringnya tercetak.
Fardhan menghela napas kemudian mengeluarkan kalung berbandul huruf D yang sempat Andrea lihat kemarin dan juga sebuah kertas dari saku dalam jaketnya. Menyerahkan kertas itu pada Zayyan supaya bisa dia baca.
Fardhan beralih pada Andrea. "Kamu kenal kalung ini?"
Andrea mendengar pertanyaan yang sama yang sempat Fardhan lontarkan padanya kemarin di ruang interogasi.
Andrea menggeleng. "Saya gak pernah lihat kalung itu."
Andrea menjawab jujur. Karena seberapa keras pun ia mengingat ia tidak menemukan jawaban apapun. Ia sama sekali tidak mengenali kalung itu. Tidak pernah melihat kalung seperti itu sebelumnya.
"Bukan punya Dea?" tanya Fardhan seperti sedang memastikan.
Andrea menggeleng lagi.
"Emang kenapa?"
Saat Andrea sedang menunggu Fardhan menjawab pertanyaannya Zayyan tiba-tiba menyerahkan kertas yang tadi dibacanya.
"Itu hasil lab dari darah di kalung itu." terang Zayyan.
Andrea membelalakan matanya. Dari laporan hasil lab ini jelas sekali bahwa darah dari kalung itu adalah darah Dea.
"Kenapa bisa? Dea gak pernah pake aksesoris apapun." Andrea menatap Zayyan meminta penjelasan.
"Itu bukti kalau Dea emang dibunuh." ucap Zayyan yang berhasil menjawab segala pertanyaan yang bermunculan di kepala Andrea.
***
Sampai jumpa hari Rabu berikutnya
281118
Flower Flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top