39. Niat Jahat pun Sebuah Dosa
Hai... Selamat malam!
Gimana kabarnya hari ini?
Aku harap semuanya selalu dalam keadaan baik. Dimanapun dan apapun situasinya.
Seperti biasa nanti di akhir aku bakal kasih pertanyaan tentang chapter ini, selamat membaca sambil berpikir:)
Jangan lupa tinggalkan vote nya ya
***
Zayyan punya firasat yang kuat bahwa Ferdi akan kembali mengincar Handoko. Mendengar alasan Ferdi mencelakakan Handoko membuat ia amat sangat yakin. Orang seperti Ferdi tak akan menyerah sebelum berhasil. Satu kali gagal, dia akan mencoba untuk yang kedua kalinya. Gagal kedua kalinya, aka nada ketiga, ke empat, bahkan ke berapa ratus kali. Dia baru akan berhenti setelah niatnya berhasil.
Andrea cemas bukan main. Tadi ia malah pergi dari rumah sakit karena keraguan dan kemarahannya pada sosok ayahnya. Mendengar kemasuk akalan apa yang Zayyan katakan membuatnya merasa... kacau sekali. Dia meremas rambutnya. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Berkali-kali meminta sopir taxi untuk bergegas.
Sementara pria disampingnya berkali-kali mencoba menghubungi nomor Fardhan. Yang entah kenapa tak seperti biasanya mematikan ponselnya. Setelah panggilan ke tiga yang berakhir dengan pemberitahuan operator bahwa nomor Fardhan tidak aktif, dia pun memutuskan untuk menghubungi Glen.
Tak sampai pada deringan ketiga Glen menjawab panggilan telepon darinya.
"Ini darurat." Ujar Zayyan. "Lo dimana?"
"Apa yang darurat?" tanya Glen.
"Gue udah denger alasan Ferdi celakain ayahnya Andrea." Ujar Fardhan. "Gue juga udah denger kalau Ferdi dibebasin. Dia pasti bakal nyari Om Handoko."
Terdengar helaan napas dari ujung sana.
"Tenang aja." Katanya. Fardhan mengernyitkan alisnya. "Gue dan Fardhan udah di kamar Pak Handoko."
Andrea menatap Fardhan, sejak tadi dia memang mendengar percakapan telepon antara Zayyan dan Glen. Gadis itu merebut ponsel dari tangan Zayyan.
"Maksud lo?"
"Kami berdua dateng diwaktu yang tepat."
"Ayah gue gimana?" mendengar hal itu memang melegakan. Namun Andrea ingin mendengar hal yang lebih melegakan lagi. Tak ada yang ingin ia tahu selain kabar dari ayahnya.
"Dia selamat." Jawab Glen.
Taxi yang mereka tumpangi sudah sampai. Andrea menyerahkan ponsel Zayyan pada pria itu lalu bergegas turun. Meninggalkan Zayyan yang harus membayar taxi terlebih dahulu. Setelah itu dia menyusul Andrea yang berlari kesetanan.
Andrea terlihat panik sekali. Berkali-kali memencet tombol lift seolah dengan hal itu dia bisa memaksa benda balok itu meluncur begitu saja dari lantai 6 rumah sakit. Tak hanya itu dia juga memencet tombol buka semua lift yang ada di sana. Padahal keadaannya sedang ramai. Beberapa pasien dan keluarga yang menjenguk, yang sama-sama tengah menunggu lift turun bahkan sampai mengeluh karena perbuatannya.
"Tenang, Dre." Zayyan menarik Andrea yang kacau dan terlihat tak waras itu.
Andrea mengentakan tangan Fardhan dari pergelangan tangannya. Sehingga pria itu harus menarik Andrea lagi menatatpnya penuh peringatan.
"Tenang dong. Glen sama Fardhan udah ada disana."
"Mana bisa gue tenang saat ayah gue hampir mati untuk kedua kalinya!" teriakan frustasi Andrea membuat beberapa orang menoleh padanya.
Zayyan menatap prihatin gadis itu. Pasti tak tenang rasanya saat tahu bahwa orang yang disayang hampir dicelakakan kembali oleh orang yang sama. Pria itu menghela napas kemudian menggiring Andrea ke dalam pelukannya. Zayyan menepuk-nepuk punggung gadis itu untuk menenangkannya.
"Tenang oke." Ucapnya pelan. "Ayah lo baik-baik aja."
"Gue takut, Za."
"Pasti. Pasti takut. Gue pun akan takut, Dre." Ucap Zayyan setuju. "Fardhan sama Glen udah selamatin ayah lo, oke."
Andrea menghela napas lalu menyandarkan keningnya pada dada Zayyan. Menghela napas beberapa kali berharap emosinya luruh sedikit demi sedikit. Zayyan benar, Glen dan Fardhan sudah ada disana. Usaha Ferdi untuk menyelamatkan ayahnya berhasil.
"Sekarang lo harus bersikap sewaras mungkin biar bisa hajar cowok itu."
"Boleh gue bunuh dia?" tanya Andrea pelan.
Zayyan menggeleng. "Pukul aja sampai babak belur. Lo masih harus denger dari mulut dia gimana bisa dia ngira kalau ayah lo yang hancurin hidup Dea."
Andrea mengangguk. "Lo bener, Za."
"Oke, sekarang udah tenang?" tanyanya sambil melepaskan pelukan perlahan-lahan.
Andrea mengangguk. "Sedikit." Jawabnya. "Tapi gue gak yakin nanti kalau udah lihat muka Ferdi."
"Inget!" Zayyan menatap matanya. "Pukul aja."
Andrea mengangguk.
"Janji jangan bunuh Ferdi."
Andrea diam lalu menghela napas. "Gue gak bisa janji."
"Dre." Zayyan menatap Andrea penuh peringatan.
"Oke, fine! Gue gak akan bunuh dia."
***
Melihat Handoko yang sedang duduk di tepi ranjang sedang di bebat dadanya oleh perawat membuat Andrea jadi punya alasan untuk ingkar janji. Pertanyaannya mana ada seorang anak yang baik-baik saja melihat ayahnya terluka. Dan yang ia lihat lukanya berada di daerah yang kalau terlambat sedikit akan sangat fatal.
Tak peduli dengan beberapa luka memar di wajah Ferdi dan juga tangannya yang diborgol ke teralis jendela. Andrea seketika berlari dan meninju wajahnya. Pukulannya cukup kuat. Sangat cukup untuk membuat kepalanya terhuyung ke samping dan membentur teralir dengan kuat. Luka baru di kening Ferdi pun menganga. Tak cukup disana, Andrea pun menampar wajah Ferdi berkali-kali. Seolah tak cukup dia juga mengambil batang infus yang tergeletak di lantai kamar.
Zayyan dengan segera merebut tiang infus sebelum gadis itu bertindak semakin jauh.
"Lepas, Za!" Andrea mencoba merebut tiang infus itu dari tangan Zayyan. Kilatan kemarahan tampak jelas sekali di wajahnya.
Zayyan menggeleng. "Inget janji lo, Dre."
"Apa?" Andrea mengentakan tiang infus kepada Zayyan. Membuat pria itu terhuyung satu langkah ke belakang. "Gue janji apa emang?"
Andrea tak lupa sama sekali dengan janjinya. Tapi persetan dengan itu. Ia tak akan bisa waras melihat ayahnya terluka di bagian dada. Dan juga... Ia tak mau membayangkan separah apa pertarungan Handoko dan Ferdi. Sehingga membuat kamar rawat yang ketika ia tinggalkan dalam keadaan rapi berubah menjadi bak kapal pecah. Benda-benda bergeser tak wajar. Beberapa benda kramik dan kaca pecah berserakan. Ia yakin telah terjadi pertarungan hebat tadi.
Terlebih saat melihat sebuah pisau di berdarah dalam plastik yang Glen pegang.
Menyadari Andrea menatap benda tajam yang melukai Handoko, segera Glen memasukannya ke dalam saku jaketnya. Ia tersenyum bodoh. Bodoh karena benda yang dilihat gadis itu akan semakin membuat dia tak waras.
"Lo yakin gue harus menepati janji gue sementara gue tahu kalau ayah gue hampir aja mati untuk kedua kalinya?"
Di sudut kamar, Fardhan hanya menghela napas.
Zayyan diam. Mengerti semarah apa Andrea saat ini. "Tapi gue gak bisa biarkan lo berakhir jadi kriminal, Dre."
"Apa peduli lo?"
"Gue emang peduli sama lo. Entah lo sadar atau enggak." Zayyan menunjuk Ferdi. "Lihat." Ia lalu memaksa Andrea untuk menatap wajah Ferdi dengan seksama.
"Glen sama Fardhan udah ngasih dia pelajaran lebih dari cukup." Ujarnya. "Dan pukulan dari lo tadi pun gue rasa udah amat sangat cukup."
"Tapi dia masih hidup."
"Ayah juga masih hidup Dre." Ucap Handoko sambil meringis. Dia memaksakan sebuah senyum terukir. "Serahkan aja ke polisi. Ayah baik-baik aja."
"Ayah!" teriak Andrea memprotes. Bagaimana bisa Handoko masih bilang kalau dirinya baik-baik saja. Bagaimana bisa dia masih bisa tersenyum ketika dia tengah menahan rasa sakit yang Andrea yakin sangat luar biasa?
"Apapun yang kamu lakukan dengan alasan pembalasan, gak akan pernah kamu rasa setimpal, sayang." Handoko berusaha mendinginkan kepala putrinya. "Pembalasan dendam cuma akan melahirkan dendam yang lain. Lalu setelah itu apa? Dendam tidak akan pernah menemukan ujungnya. Biarkan saja Fardhan dan Glen yang ngurus anak muda itu."
Handoko bahkan tak kenal baik dengan Ferdi. Meskipun pria paruh baya itu tahu persis apa yang menyebabkan dirinya menjadi incarannya. Namun, apakah ia harus membalas? Handoko merasa tak perlu melakukan itu.
"Kalau ayah lupa, beberapa jam lalu dia baru aja dibebaskan dari penjara." Andrea menunjuk Ferdi. Tampak jelas dari wajah Ferdi, yang meskipun sudah babak belur sampai membuat matanya bengkak. Yang semakin membuatnya terlihat mengerikan karena aliran darah dari kening Ferdi mengucur ke mata bengkaknya.
Penampilan mengerikan itu tak membuat Andrea iba sama sekali. Andrea beranggapan bahwa Ferdi memang pantas mendapatkan hal itu.
"Setidaknya aku harus kasih dia hukuman, ayah!"
Handoko menggeleng tegas. "Kamu bukan Tuhan, Dre. Kamu gak punya hak apapun untuk menghukum orang lain. Ayah tahu, niat buruk saja sebuah kejahatan apalagi sampai melakukannya. Tapi biarkan hak untuk mengadili itu ada pada polisi."
Andrea menggeram. Baru mengetahui bahwa ayahnya memiliki hati yang sangat lapang. Andrea baru menyadari hari ini. Kemana saja dia selama ini? Namun, hal itu tak membuat Andrea lantas setuju. Sifat kerasnya tak mengizinkan ia berpikiran hal yang sema dengan Handoko. Selama ini dia menganut prinsip mata dibalas dengan mata, gigi dibalas dengan gigi. Ia jelas tak terima ketika ayahnya bilang bahwa ia tak berhak untuk membalas Ferdi.
"Gimana bisa ayah masih percaya sama polisi?"
Fardhan menghela napas. Suaranya yang cukup keras membuat Andrea, Zayyan, dan yang lainnya menoleh padanya. "Maaf, ini kesalahanku." Ucapnya.
Terlepas dari kelalaiannya atau bukan, sebagai polisi yang menangkap Ferdi dan juga polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus ini membuatnya merasa bersalah.
"Sekarang akan aku pastikan Ferdi gak akan bisa keluar lagi dari penjara." Ujarnya meyakinkan.
Semoga saja ancamannya terhadap Hito tadi berdampak padanya. Sehingga tak ada lagi alasan Hito untuk membebaskan Ferdi apapun tawaran yang akan diterimanya. Terlebih Ferdi sudah melakukan kejahatan yang sama dua kali dalam jangka waktu yang dekat. Selain itu rumah sakit ini dipantau oleh CCTV aktif selama 24 jam. Jejak digital selalu menjadi bukti kuat yang bisa memberatkan sebuah kejahatan.
"Fardhan dan ayah lo bener, Dre." Zayyan memegangi pundaknya. "Gue pun akan membantu untuk memastikan Ferdi gak bisa keluar dari penjara."
Andrea mendesah keras. Tak mengerti kenapa semua orang bisa satu pikiran. Kenapa orang lain bisa semurah hati ini terhadap seorang biadab seperti Ferdi.
"Ayah mohon, biarkan masalah ini diurus oleh pihak yang berwenang." Pinta Handoko lembut.
Gadis itu menatap ayahnya prihatin. Tak ingin setuju namun melihat ayahnya ia merasa iba. Ia tak bisa memaksakan sesuatu berjalan sesuai dengan keinginannya. Ia tak bisa membalaskan kemarahannya ketika Handoko tak mau dia melakukannya. Andrea menjadi lemah oleh permintaan dan tatapan itu.
Akhirnya Andrea mengangguk. "Oke."
Handoko tersenyum bangga padanya. Dia lalu meminta perawat untuk mengobati luka Ferdi.
***
Ferdi di bawa Glen memasuki mobilnya. Untuk mencegahnya kabur, Glen memborgol tangan Ferdi pada pegangan. Andrea tak bisa ikut melihat saat Ferdi di bawa Fardhan dan Glen ke kantor polisi. Dia lebih memilih untuk menemani ayahnya. Hanya Zayyan yang ikut mengantar sampai bawah. Selain memastikan bahwa Fardhan dan Glen berhasil memasukan Ferdi ke dalam mobilnya, ia juga ingin menanyakan hal lain pada mereka berdua.
"Bella gimana?" tanya Zayyan sebelum Fardhan membuka pintu mobil.
Glen sudah lebih dulu masuk ke balik kemudi.
Fardhan urung membuka mobil dan memilih untuk menghampiri Zayyan. "Kami masih mencari motif terror yang dia lakukan. Dia menunjukan bela sungkawanya dengan menyerahkan kalung itu."
Pria itu tak butuh waktu lama untuk berpikir apa yang Fardhan maksud dengan kalung itu. Apa lagi kalau bukan kalung tali prusik berbandul huruf D.
"Kalian belum menemukan apapun?" tanya Zayyan.
"Belum." Katanya. "Bella gadis yang tangguh, saya sampai salut karena ada orang seperti dia."
"Maksudnya?"
"Sampai saat ini dia tahan gak membicarakan apapun tentang motifnya. Dengan kata lain, dia gak gentar sama sekali dengan metode interogasi apapun yang kami lakukan. Bahkan ketika saya mengingatkan tentang keluarganya, dia sama sekali gak peduli."
Zayyan tak mengira hal itu. Rasanya aneh sekali. Ia masih ingat ketika Bella meminta pertolongan padanya dan Andrea. Apa maksudnya? Apakah dia cuma main-main saja. Menganggap keingintahuan mereka berdua sebagai bahan permainan yang menghibur.
Ia sangat ingin tahu alasannya.
"Apa gue boleh menemuinya?" tanya Zayyan. "Ada yang harus gue tanyakan sama dia?"
"Kalau boleh saya tahu, tentang apa?"
Zayyan menggeleng. "Biar nanti gue yang tanya langsung sama dia."
"Maaf." Fardhan menolak dengan lembut. "Saya gak akan mengizinkannya kalau kamu gak bilang dulu sama saya."
Zayyan menatap lawan bicaranya dengan serius. Dia merasa diintimidasi dengan tatapan itu. Memang bukan sekali dua kali Fardhan menatapnya seperti ini. Tatapan curiga. Hal ini tak pernah membuat Zayyan terbiasa.
"Ada sesuatu yang harus gue tanyakan sama dia tentang Pak Dino?"
"Pak Dino?"
"Kenapa mereka bunuh anggota mereka sendiri?"
***
Bersambung ke chapter selanjutnya
Sebelum perpisahan untuk ketemu 2 hari lagi, aku mau tanya 3 pertanyaan nih.
1. Kenapa Handoko bisa semurah hati itu sama orang yang nyelakain dia?
2. Darimana Zayyan tahu Pak Dino anggota Mr. D?
3. Kenapa Pak Dino akhirnya dibunuh?
Sebenernya 2 dari 3 pertanyaan di atas akan terjawab di chapter selanjutnya, tapi aku pengen tahu dulu nih dari pemahaman kalian tentang 3 pertanyaan itu
Sampai jumpa 2 hari lagi
Ig: @ iistazkiati
Sending hug
Iis Tazkiati N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top