38. Pembalasan

Hai... selamat malam

Aku sebenernya lelah banget hari ini. Padahal gak banyak gerak.

Kamu tahu lah kenapa?

Cuma lelah aja

Tapi, aku tetep menuhin janji sama kalian buat update Mr. D

Selamat membaca!!

Tetap semangat menjalani hari-harinya. Hari besok harus lebih baik dari hari kemarin!!


***

Berkat koneksi yang dimiliki keluarganya Ferdi bisa dibebaskan dari kantor polisi sebelum dia diserahkan ke kejaksaan. Dia di jemput oleh gerombolan pengawal dan langsung di amankan di vila milik keluarganya. Sengaja tak ke rumah mewahnya karena khawatir ada yang akan mencarinya. Keluarganya sadar bahwa apa yang dilakukan anak sulungnya adalah tindakan yang berat. Tak akan butuh waktu lama sampai dia bisa di tangkap lagi.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar serta berpakaian serba hitam masuk ke dalam kamar. Meletakan tiket pesawat lengkap dengan passport. Sebuah tiket menuju ke Bhutan terpampang di hadapannya. Keluarganya memang berniat melarikan anggota keluarganya yang sudah mencoreng ini ke tempat yang sangat jauh.

Bhutan?

Ferdi tertawa sinis.

"Pesawat akan berangkat dalam waktu satu jam." Ujar pria berbadan kekar itu. "Segera bersiap-siap. Saya akan mengantar Tuan Muda ke bandara 15 menit lagi." Lanjutnya. Perkataan yang seolah mutlah dan tak menginginkan bantahan.

Ferdi hanya menatap kosong tiket pesawat beserta passport itu. Tak mengatakan apapun.

"Tuan besar minta Tuan muda untuk tak membantah." Hal itu seakan penegasan bahwa Ferdi tak punya hak untuk bicara.

Setelah itu pria berbadan kekar itu meninggalkannya sendirian di kamar. Terdengar bunyi klik dia kali, pertanda pintu dikunci dari luar.

Tak pikir panjang Ferdi berjalan menuju ranjang, menarik seprai keluar, dia jura melepaskan gordyn dan menyatukannya dengan spray itu. Dia membuka jendela dan melongok ke bawah. Tak ada yang menjaga di bawah kamarnya. Ferdi mengambil tas yang sudah dipersiapkan oleh pengawal tadi untuk bekal kepergiannya. Di dalam tas yang tak terlalu besar ada beberapa pakaian besar, sebuah topi yang langsung ia pakai, dan beberapa masker yang juga langsung ia pakai. Ferdi menyampirkan tas itu ke melewati kepalanya. Dia bergerak cepat menalikan ujung sprai ke kaki ranjang lalu menurunkan ujung lainnya lewat jendela. Untaian itu ternyata tak sampai ke tanah, hanya menyisakan ruang satu meter. Namun itu tak masalah, Ferdi tak akan cedera jika melompat dari ketinggian itu.

Dia menuruni untaian kain itu perlahan-lahan sampai kemudian melompat dan berguling di tanah. Laki-laki itu berjalan merunduk takut kepergiannya di ketahui oleh salah satu penjaga yang ada di vila ini. Dengan melewati dinding belakang, ia akhirnya keluar dari vila itu.

Ferdi tak bisa pergi begitu saja sebelum menghabisi laki-laki yang sudah menghancurkan kekasihnya. Ia hampir membunuh laki-laki itu. Ia hanya sedang sial saja karena ternyata polisi membuntutinya. Namun, ia akan mencobanya sekali lagi. Laki-laki yang sudah menghamili Dea dan membuatnya bunuh diri harus dibunuh juga. Ferdi akan membalaskan rasa sakit yang dirasakan Dea sebelum hari kematiannya.

Persetan juga dengan papanya yang akan semakin murka dengan kepergiannya ini. Ia tak peduli. Papanya pun punya andil besar dalam membuat hidupnya seperti ini. Jika saja dulu dia memberikan restu pada hubungannya dengan Dea, barangkali hal naas ini tak akan pernah terjadi.

Namun, yang tak laki-laki ini sadari adalah dia hanya mencari-cari pembenaran atas kemarahan yang dia rasakan sekarang. Marah karena memilih pergi ketika Dea membutuhkannya. Jika saja ia mendengarkan Dea baik-baik ketika dia menangis. Ferdi tak mendengarkan Dea dan memilih pergi begitu saja karena merasa terkhianati.

Ferdi sebenarnya sedang menyalahkan dirinya sendiri saat ini.

Dia masuk ke toko perabotan tak jauh dari sana. Dan membeli sebuah pisau. Setelah membayar bergegas pergi sambil memasukan pisau itu ke dalam tas. Disimpan baik-baik di bawah tumpukan baju.

Laki-laki memiliki tekad yang bulat dalam kuasaan kemarahannya. Kali pertama dia gagal, kali kedua dia akan memastikan laki-laki brengsek itu kehilangan nyawanya. Apakah Ferdi khawatir akan ditangkap polisi? Tidak.

Orang yang dikuasai kemarahan tidak akan peduli jika dirinya membusuk dipenjara. Selama dendamnya terpenuhi. Bahkan ia tak peduli dengan resiko kehilangan hak untuk mendapatkan warisan dari papanya.

Persetan dengan semua itu.

Ferdi masuk ke sebuah warnet.

"Berapa jam?" tanya wanita berpenampilan urakan tak tak bersopan santun sama sekali. Bertanya sambil mengunyah permen karet. Jarinya bergerak di atas keyboard.

Penjaga warnet itu mendongak malas karena lawan bicaranya hanya berdiri di depan konter tanpa mengatakan apapun. Berdiri tak tenang dan terlihat bingung.

"Disini harga satu jamnya lima ribu rupiah." ujar perempuan itu. Memperhatikan Ferdi dari ujung kepala sampai ujung rambut. "Gue gak pernah lihat lo di daerah ini. Bukan orang sini ya?" tanyanya.

Ferdi tak menjawab. Dia masih celingukan karena takut kalau kepergiannya ternyata diketahui oleh pengawal papanya. Setelah memastikan situasi aman. Warnet pun tak terlalu ramai laki-laki itu mengeluarkan selembar uang serratus ribu dari saku celananya, meletakannya di atas konter.

"Satu jam atau..." belum selesai perempuan itu bertanya Ferdi sudah lebih dulu memotong.

"Gue cuma butuh pake internet disini selama 10 menit." Ucapnya. Ferdi lalu mengeluarkan selembar uang serratus ribu lagi dari celananya. Menumpuknya di atas uang pertama. "Tolong pesenin ojek online buat gue. Ke Rumah Sakit Sentosa. Ojek itu harus udah ada disini dalam waktu 10 menit."

Perempuan itu mengernyitkan alisnya. Baru kali ini dia mendapat konsumen yang seperti dia. Berbaju serba hitam, lengkap topi, dan maskernya yang diturunkan. Terlihat was-was, barangkali buru-buru hendak ke suatu tempat tapi butuh mengakses internet.

"Gue butuh ke rumah sakit itu segera." Ferdi menatap perempuan itu dengan tatapan serius dan tak mau dibantah.

Melihat perempuan itu tak kunjung bergerak dari tempatnya, dengan gusar Ferdi mengeluarkan lembar ketiga uang serratus ribu dari celananya. "Ambil kembaliannya."

Perempuan itu menghela napas. Dia cuma penjaga warnet. Bukan ranahnya untuk kepo urusan konsumennya. Lagipula siapa lagi yang akan membayar serratus ribu untuk menggunakan internet selama 10 menit. Siapa juga yang akan memberikan uang seratus ribu untuk memesankan ojeg online menuju ke rumah sakit yang hanya berharga 35 ribu dengan ojeg online. Rejeki nomplok lainnya karena orang ini memberikan tips serratus ribu. Dia realistis, mengambil 3 lembar uang seratus ribuan itu lalu menunjuk bilik yang dipojok yang kosong.

"Lo bisa pake komputer itu." Ujarnya. "Setelah 10 menit, gue akan pastiin kalau ojeg online itu udah nunggu di depan warnet ini."

Tanpa mengucapkan terimakasih Ferdi berjalan menuju komputer yang ditunjukan perempuan itu. Tanpa memperdulikannya yang seperti hendak marah karena ditinggalkan begitu saja.

Namun, perempuan itu tak jadi marah ketika melihat lembaran uang seratus ribu di tangannya. "Gue gak akan marah untuk konsumen murah hati kaya dia." Gumamnya. Dia pun membuka aplikasi ojeg online dan memesankan kendaraan untuk pria hitam-hitam yang sepertinya berasal dari keluarga kaya itu.

Ferdi tak bisa tenang, sesekali ia melongok ke pintu masuk takut pengawal papanya menemukannya. Ia membuka email pribadinya. Mengetikan pesan kepada seseorang.

"Gue emang gak tahu lo siapa. Gak tahu lo tahu gue dari mana. Gue pengen berterimakasih karena lo kasih tahu gue siapa cowok brengsek yang hamilin Dea. Informasi itu berguna banget buat gue. Gue sangat marah saat ini. Usaha pertama gue untuk lenyapin dia dari dunia ini gagal. Tapi kali ini gue akan pastiin agar berhasil. Gue akan menghabisi Handoko hari ini."

Ferdi melongok sekali lagi ke arah pintu masuk. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, menunggu balasan email dari orang misterius pemberi informasi itu dengan gusar. Dia tak sabar menunggu balasan sampai ia memencet reload beberapa kali.

"Biasanya lo bales email gue cepet." Giginya bergemeletuk sambil memencet Ctrl + R berkali-kali sampai suaranya terdengar begitu keras. Ferdi seperti hendak menghancurkan keyboard itu.

"Ada apa dengan lo hari ini?" Ferdi melongok ke pintu masuk lagi. Saat itu perempuan di konter menujukan layar ponselnya yang menyala lalu menujuk ke pintu masuk. Laki-laki berjaket hijau khas ojeg online sudah parker di sana.

Ctrl + R.

Akhirnya.

Ferdi hampir memekik ketika orang misterius itu membalas pesannya.

"Good luck!"

Hanya itu saja. Namun hal itu cukup untuk membuat Ferdi melog out email lalu mematikan komputer. Setelah itu dia bergegas keluar dari warnet itu. Perempuan perjaga warnet itu sedang berbincang ringan dengan ojeg online itu.

"Ini pak yang mau diantar." Kata perempuan itu begitu Ferdi datang.

Tanpa mengatakan apapun pada perempuan itu, Ferdi langsung duduk di boncengan setelah memakai helm yang disodorkan driver.

"Jalan sekarang juga. Cari rute tercepat."

***

Handoko berjalan menuju jendela. Menatap lalu lalang kendaraan di jalan raya. Beberapa saat yang lalu Andrea pergi meninggalkannya setelah menatapnya dengan amarah. Laki-laki paruh baya itu tahu ada hal yang ingin putrinya tanyakan. Dan bisa jadi alasan dia menatapnya dengan penuh amarah seperti itu. Ia tak menanyakannya. Membiarkan Andrea mengumpulkan keberaniannya sendiri untuk menanyakannya.

Dan ternyata Andrea memang punya keberanian itu. Handoko memejamkan matanya. Mendengar dia menyebut nama sahabatnya lagi membuat ia punya prasangka yang buruk. Apakah Andrea tahu apa yang dilakukannya pada Dea? Apakah kenyatannya itu yang membuatnya semarah itu padanya. Hal tersulit di dunia memang mengetahui rahasia orang lain. Andrea mungkin saja tahu rahasianya dan marah karena hal itu.

Ketika merahasiakan sesuatu secara rapat dari orang lain ia memang harus siap jika suatu waktu rahasia itu terungkap. Handoko menghela napas. Seharusnya ia siap-siap sejak dulu.

Handoko menghela napas dengan mata terpejam. Kelebatan seseorang terpantul dari kaca di depannya membuat ia seketika berkelit.

"Mati!!" teriak Ferdi bak kesetanan.

Dada Handoko naik turun. Ia menatap pria yang tengah menatapnya dengan tatapan marah. Pisau di tangannya hampir menusuk punggungnya. Semalam Handoko tak bermimpi apa-apa. Tak punya firasat apapun lagi sampai pria yang membuatnya di rumah sakit ini kembali mendatanginya. Handoko berharap ini hanya mimpi buruk. Namun, rasa ngilu dari tulangnya yang belum tersambung menyadarkannya bahwa pria ini kembali datang untuk membunuhnya.

"Sebenarnya apa masalahmu?" Handoko tak mengerti kenapa pria mudah ini amat sangat berambisi untuk menghabisi namanya.

Ferdi berdecih. Kehabisan akal kenapa laki-laki paruh baya di hadapannya dengan tak tahu malunya menanyakan apa kesalahannya. Geram oleh pertannyaan tak tahu malu itu Ferdi dengan beringas berlari menerjang Handoko.

Punggung pria paruh baya itu menabrak meja kecil samping ranjangnya. Membuat vas bunga jatuh dan pecah. Untung kakinya tak terluka cukup parah pada kecelakaan tempo hari membuatnya tak kesulitan berkelit dari serangan Ferdi. Handoko segera berlari menjauh sebelum Ferdi sadar bahwa serangan keduanya lagi-lagi tak mengenai sasaran. Namun sayang dia tak bisa kemana-mana. Pintu masuk terlalu jauh dan Ferdi sudah lebih dulu bangkit dan berlari ke arahnya.

Baku hantam terjadi. Handoko tak memperdulikan keadaan tangannya yang mungkin akan lebih parah kondisinya. Ia melepaskan bebat di tangan kirinya. Ia mengambil tiang bekas infusnya. Menusuk-nusuk udara di depannya. Mengadang Ferdi agar tak bisa mendekat padanya. Handoko sadar seberapa bahayanya pria di hadapannya saat ini. Dengan wajah marah bak kerasukan setan bersama dengan pisau di tangannya bukan ide yang baik jika ia melawannya. Ia bisa-bisa menjadi korban lagi. Pilihan yang tepat saat ini adalah bertahan.

Ferdi menarik tiang infus itu dengan mudah dari tangan Handoko yang lemah. Membantingnya ke sembarang arah. Suara tabrakan tiang infus dan dinding membuat Handoko menutupi telinganya. Setelah tak ada lagi halangan, Ferdi dengan mudan mendekat kea rah Handoko. Menerjangnya hingga berhasil menjatuhkan Handoko. Pria paruh baya itu berusaha untuk bangkit dan berlari sekuat tenaga untuk keluar dari ruangannya. Ferdi tak akan bisa berbuat apa-apa jika ia sudah berhasil keluar dari ruangan ini.

Namun, sayangnya. Keberuntungan Handoko akhir-akhir ini sedang buruk. Belum sempat ia berdiri Ferdi sudah lebih dulu menarik kakinya. Menyeretnya kembali masuk ke dalam. Handoko berbalik, menendang-nendang Ferdi sebisa mungkin. Pada dasarnya orang dengan amarah memuncak memang suka punya bantuan kekuatan lebih dari dari amarahnya. Sekuat apapun Handoko menendangnya Ferdi bergeming. Tak tampak kesakitan sama sekali.

Handoko berusaha menggapai benda apapun dari jankauannya akan tetapi Ferdi sudah lebih dulu menindih tubuhnya. Sekaranga da hal penting yang harus ia lakukan. Berhenti mencari benda untuk melawan, Handoko sekarang menggunakan tangannya untuk menahan pisau yang di tekan menuju dadanya. Mencengkereamnya erat. Tanpa peduli kalau tangan kanannya berdarah banyak. Rasa ngilu tangan kiri yang patah juga ia abaikan.

Handoko pernah bermimpi mati dengan pisau menancap di dadanya. Untuk menghalang mimpi itu terwujud ia berani mengorbankan telapak tangannya tergores pisau itu. Rasa perih ta kia hiraukan sama sekali.

Kekuatan Ferdi berkali-kali lipat lebih kuat daripada dirinya yang bahkan belum dinyatakan pulih ini. Bisa dikatakan ia bisa bangung dari tempat tidur pun belum lama ini. Kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan pria di atas tubuhnya ini. Karena hal itulah perlahan-lahan Ferdi berhasil menekan pisau itu sampai ujungnya mengenai dada Handoko.

"Kamu pantas mati dengan cara seperti ini setelah apa yang kamu lakukan." Wajah bengis Ferdi tampak seperti joker di mata Handoko.

"Memang apa yang sudah aku lakukan? Kenapa kamu bisa memiliki dendam sebesar ini sama saya?" Handoko tak mengenal siapa Ferdi. "Setidaknya beri tahu alasan apa yang buat aku pantas mati dengan cara seperti ini." Pinta Handoko. Ia sudah kehabisan tenaga untuk melawan.

Ia meringis. Ujung pisau itu berhasil menancap di dadanya. Kalau saja tangannya tak menghalangi, mungkin pisau itu sudah sejak tadi menancap di jantungnya.

"Gara-gara perbuatan bejat lo orang yang gue cintai lenyap dari dunia ini."

"Siapa yang kamu bicarakan?"

"Jangan bersikap seolah lo gak tahu."

"Aku memang gak tahu. Siapa yang kamu maksud?"

"Dea." Raut kesakitan dan marah terlihat. Air mata meluncur dari mata Ferdi menunjukan seberapa tersiksanya dia selama ini ketika mengetahui Dea meninggal. "Kamu bunuh dea."

Seketika perlawanan Handoko lenyap. Dia menatap Ferdi dengan tatapan terkejut.

"Lo bunuh cewek yang gue cintai."

Tanpa perlawanan lagi dari Handoko membaut Ferdi dengan leluasa menekan pisau ke dada Handoko.

Laki-laki paruh baya itu tak lagi memberikan perlawanan. Rasa bersalah dari rahasia yang dia simpan membuat ia merasa tak punya hak untuk melawan. Ujung pisau itu menancap semakin dalam. Handoko meringis. Air matanya mengalir. Seperti mimpinya, ia sepertinya memang ditakdirkan mati dengan pisau di dadanya.

Namun...

Dor!

Suara tembakan membuat Ferdi mendongak.

"Jatuhkan senjata di tanganmu!" teriak Fardhan.

Fersi hanya menatap sebentar, selanjutnya dia kembali menekan pisau itu. Membuat Fardhan harus menembakan peluru di pistolnya sekali lagi.

"Tembakan ketiga akan aku pastikan bersarang di kepalamu!" ancam Fardhan.

Ferdi tersenyum miring. Tak peduli sama sekali dengan peringatan Fardhan.

"Aaaa!!!!" Handoko berteriak. Ferdi menekan pisau itu kembali.

Dor!

***


Karena aku lagi lelah banget, aku gak bakal banyak ngasih pertanyaan tebak-tebakan di akhir kaya sebelumnya


Sampai jumpa malam minggu

ig: iistazkiati

Sending hug

Iis Tazkiati N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top