37.Salam Kenal

Hai.. selamat malam

Aku gak akan bosen-bosen untuk ucapin terimakasih untuk kalian yang setia baca cerita ini dari awal sampai akhir. Makasih ya:)

Selamat membaca!

Jangan lupa tinggalkan jejak


***

Haruskan Andrea percaya? Haruskah ia mempercayai sesuatu yang tak masuk akal?

Ayahnya memang mengenal Dea karena beberapa kali dia main ke rumah. Namun, hanya sebatas itu. Handoko tak pernah berusaha untuk mengakrabkan diri dengan teman Andrea seperti orang tua kebanyakan. Dea dan ayahnya hanya sebatas tahu wajah dan tahu nama. Dea tahu Handoko adalah ayahnya. Dan Handoko tahu Dea adalah teman kuliah putrinya. Hanya sebatas itu.

Kalau alasan Ferdi mencelakakan Handoko karena mengira dia adalah ayah dari anak di kandungan Dea... ia yakin bahwa Ferdi hanya sedang dibutakan rasa marah setelah tahu bahwa perempuan yang dia cintai sudah meninggal. Semarah apapun dia sehingga pergi saat itu. Namun, kadang cinta bias membuat rasa marah itu hilang begitu saja. Rasa cinta bisa menimbulkan perasaan yang lain. Cemburu buta, merasa diremehkan, merasa tak dianggap, bahkan bisa menimbulkan kebencian yang tak beralasan.

Andrea pergi begitu saja dari kantor polisi tanpa menunggu Fardhan kembali. Apa yang dikatakan Glen sudah lebih cukup untuk membuat ia amat sangat terkejut.

Dan disinilah ia berada sekarang. Kembali ke rumah sakit. Duduk di sofa menatap dingin Handoko yang sedang menonton siaran berita malam. Beberapa saat lalu ibu pulang karena harus berganti pakaian dan melakukan kegiatan rumah lainnya.

Terkurung di dalam ruangan yang tak terlalu besar bersama dengan ayahnya yang saat ini sedang ia curigai sangat tak nyaman. Andrea berusaha tak percaya namun ucapan Glen tak bisa dipungkiri amat sangat mengganggu.

"Ayah kenal Dea?" mungkin lebih baik Andrea menanyakannya. Ingin membuktikan bahwa tindakan Ferdi hanya pelampiasan saja karena dia tak tahu bahwa Pak Dino lah ayah dari anak itu. Karena dia tak tahu laki-laki mana yang membuat Dea menduakannya.

"Dea?" gumam Handoko. "Almarhum temen kuliah kamu kan?"

"Dia beberapa kali main ke rumah."

"Iya ayah tahu."

"Menurut ayah Dea orangnya gimana?"

"Baik." Handoko mengangkat bahu. "Entahlah, bagaimana bisa ayah menilai orang kalau ayah sendiri gak tahu dia seperti apa."

Andrea mengangguk-angguk. Memang benar. Seseorang seharusnya tak berani menilai orang lain hanya dengan sekali atau dua kali melihat saja.

"Kalau Ferdi?" tanya Andrea. Seketika wajah Handoko berubah menjadi kaku. Seluruh tubuhnya tampak diam seketika. Handoko mengenal Ferdi.

"Ferdi?" gumamnya. Tampak jelas sekali wajah mengingat-ngingat itu hanya pura-pura. "Ferdi Siapa?"

Andrea hanya menatap lurus Handoko. Matanya memanas begitu juga dengan dadanya. Tak yakin dengan alasan di balik reaksi ayahnya karena dia cuma berniat menyembunyikan pelaku yang mencelakakannya, atau dia sedang menyembunyikan sesuatu yang ada hubungannya dengan Dea. Entah kenapa Andrea tak percaya pada ayahnya. Kedekatannya dengan Handoko yang tak bisa dibilang erat membuatnya ragu.

Handoko bahkan Lina, ibunya terlalu membebaskannya dalam hal apapun. Bersikap seolah tak peduli dengan apapun yang Andrea lakukan. Hal itu pun yang membentuknya punya pola pikir yang sama. Apapun yang dilakukan Lina maupun Handoko di luar rumah ia tak mau peduli.

Namun, setelah mendengar apa yang Glen katakan membuat ia merasa bahwa didikan ayah dan ibunya selama ini salah.

Ia tak mempercayai Handoko.

Entahlah Andrea hanya cemas. Ia juga emosi. Kecelakaan Handoko dan alasan Ferdi membuatnya amat sangat frustasi. Andrea merasa kacau. Apa ia kacau karena mengkhawatirkan keadaan Handoko? Atau ia khawatir alasan Ferdi adalah sebuah kebenaran?

Andrea sadar ia tak mengenal Handoko selain dia adalah ayahnya yang membiayai sekolahnya.

"Kenapa, Dre?" tanya Handoko yang menyadari mata Andrea yang berkaca-kaca. Matanya pun menatap tangan anak gadisnya yang saat ini mengepal sampai buku-buku jarinya memutih.

"Dre." Tegurnya sekali lagi.

Gadis itu hanya dia menatap ayahnya dengan tatapan yang sama.

Andrea cuma ingin ayahnya berterus terang. Atau mungkin ia ingin mengatakan bahwa ayahnya tahu Ferdi adalah orang yang mencelakakannya dan takt ahu alasannya. Dengan begitu Andrea akan merasa lega. Dan bisa menyalahkan Ferdi karena menyerang orang lain tanpa alasan.

"Ayah akan sembuh kok sebentar lagi." Katanya sambal mengangkat tangannya yang patah. Sedetik kemudian dia meringis.

Melihat ayahnya sok kuat malah membuat Andrea semakin marah. Gadis itu menghela napas kasar, mengusap wajahnya lalu keluar dari ruangan itu dengan Langkah menghentak-hentak. Andrea gak mau lebih gila lagi kalau membiarkan dirinya terus bersama di ruangan yang sama dengan ayahnya. Ia harus mencari tahunya.

Maka yang ia datangi kemudian adalah Zayyan.

"Lo bisa cari tahu Ferdi sekarang ada dimana?" tak perlu basa-basi. Andrea langsung menodongnya begitu ia sampai di hadapan pria itu. Dia ada di rumahnya dan sedang tidur. Seketika terbangun ketika ada yang menyalakan lampu kamar.

"Sumpah, ini jam berapa, Dre." Zayyan mengucek-ngucek matanya. Ia lalu sadar bahwa jam di kamarnya baru menunjuk angka 9. Dia tidur terlalu cepat hari ini.

"Emang kenapa sih sama dia?" tanyanya ngantuk dan kesal dalam waktu bersamaan. Lagipula siapa juga sih yang suka dirinya diganggu ketika baru akan tidur lelap.

"Dia yang buat ayah gue kecelakaan." Andrea berjalan menghampiri Zayyan. Menarik tangan pria itu memaksanya untuk duduk. "Dia yang buat ayah gue di rumah sakit. Tangan ayah gue patah, dan dia luka-luka. Gue hamper gak bisa ketemu lagi sama dia gara-gara Ferdi."

"Bukannya pelaku yang nyelakain ayah lo udah di tangkep polisi. Fardhan sendiri yang bilang kan?" Andrea memang menceritakan tentang ayahnya yang masuk rumah sakit. Ia juga tadi sempat mengirimkan whatsapp pada pria itu kalau dirinya sedang menuju ke kantor polisi untuk menemui pelaku.

"Ferdi gak disana." Andrea pun kesal harus mengatakan ini. "Dia dibebaskan."

"Why?" tanyanya heran. "Katanya dia pelaku tangkap tangan?"

"Gue pun gak tahu. Gue cuma yakin kalau ini ada hubungannya dengan koneksi yang dia punya terhadap kepolisian. Ferdi emang bukan cowok yang lahir dari keluarga biasa-biasa."

Baik, sampai disini sepertinya Zayyan mengerti. Memang mudah bagi orang-orang kalangan atas, yang punya banyak koneksi dan punya banyak uang untuk melakukannya. Ia lalu menghela napas. Mengucek matanya.

"Pertama, gue mau tanya ini." Zayyan mengubah posisinya sehingga dia dan Andrea berhadap-hadapan. "Ini pertanyaan yang sangat penting, langkah selanjutnya tergantung jawaban dari lo."

"Apa pertanyaan itu?"

"Kapan Ferdi di bebaskan? Maksudnya jam berapa?"

Andrea diam sesaat. "Tadi sore. Setelah insiden pengeboman. Sekitar jam 4."

Zayyan menatap ke arah jam dinding. Menghitung waktu dari sejak Ferdi di bebaskan sampai sekarang.

Kemudian Zayyan menggeleng. "Gue kayanya gak bisa bantu. Udah 6 jam sejak dia dibebaskan. Dia punya banyak waktu buat kabur."

"Plis Za."

"Gak bisa Dre."

"Ferdi udah nyelelakain ayah gue."

Sama seperti Zayyan yang bersikeras bahwa 6 jam adalah waktu yang cukup untuk melarikan diri ke tempat yang tak diketahui dan tak terlacak. Sementara itu Andrea pun bersikeras meminta Zayyan untuk membantunya menemukan keberadaan Ferdi karena alasan yang menyangkut nyawa ayahnya.

"Dre." Zayyan menghela napas. Pria itu memegangi kedua bahu Andrea. Membuat gadis yang terlihat kacau sekali itu dengan tatapan yang meyakinkan. "Gue yakin Ferdi udah gak ada di Indonesia. Bakal sia-sia aja kita nyari keberadaan dia karena dia pasti udah sejak tadi ke luar negeri."

"Lo cuma gak mau bantu gue kan?" Kekacauan ini membuat Andrea akhirnya tak bisa menahan air matanya. "Karena orang yang dia celakain bukan siapa-siapa lo makanya lo gak peduli."

Zayyan berdecak. "Bukan gitu, Dre." Bantahnya.

"Lalu apa? Lo bahkan belum berusaha bantu gue nyari dia. Tapi lo udah bilang gak bisa."

"Gue cuma realistis. Gue berpikir gimana seandainya gue jadi Ferdi. Setelah gue ketahuan melakukan kejahatan bahkan di tangkap di tempat kejadian, ketika gue bebas begitu aja, hal pertama yang akan gue lakukan adalah pergi dari negara ini secepatnya. Itu, Dre. Itu alasannya." Ujarnya penuh penekanan.

Pelaku kejahatan manapun akan menggunakan kesempatan yang sama untuk melarikan diri sejauh mungkin. Keluar dari negara ini itu artinya kamu menyulitkan aparat untuk mencarimu. Ditambah dengan Ferdi yang punya koneksi orang berkedudukan tinggi, buktinya dia bisa bebas kan? Bukan hal yang sulit bagi dia untuk melarikan diri secepat mungkin dari Indonesia.

"Gini Dre." Zayyan sadar bahwa ucapan kerasnya barusan membuat Andrea semakin kacau. Pria itu pun menurunkan nada bicaranya. "Kalau gue jadi Ferdi, gue gak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk pergi. Karena dengan lo ada di negara ini, itu artinya lo harus siap di tangkap lagi kapanpun. Dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri kemudian bersembunyi. Kalau Ferdi waras dia bakal pergi secepatnya."

"Kalau dia gak waras?"

"Emang apa yang bikin dia gak waras? Dia punya peluang yang tinggi banget buat memberhasilkan dia kabur dari Indonesia."

"Dia emang lagi gak waras, Za." Ucap Andrea. "Ferdi lagi gak waras karena dia ngira kalau ayah gue adalah ayah dari anak di dalam kandungan Dea."

***

"Apa yang kamu dapatkan dari ini?" Fardhan menatapnya sengit. "Jawab!"

Hito menggeleng lemah. "Saya gak mendapatkan apapun. Saya membuat semua yang bekerja di kepolisian ini tetap bekerja."

Haruskan Fardhan percaya?

Pak Hito sudah terkenal suka korupsi. Atasan yang terkenal suka menyalahgunakan kekuasaan. Orang sepertinya akan sangat mudah terpancing dengan tawaran bergepok-gepok uang. Mana bisa ia percaya bahwa Hito melakukannya untuk semua orang di kantor polisi ini?

"Saya gak beralasan, Fardhan." Katanya bersikeras. Dia menghela napas. "Saya faham kalau kamu gak percaya."

Fardhan mendecih. Ia lalu menatap Margaret yang tengah berdiri di sudut ruangan tak berani mendekat setelah mendapat dorongan dari pria itu.

"Kalau kamu, apa kamu percaya apa yang dia bilang?" tanya Fardhan pada Marga sambil menggedikan dagunya dengan marah kea rah Hito.

Kepala kantor polisi itu tak berkutik sama sekali di bawah kurungan Fardhan. Tak bergerak seincipun karena tahu jika ia bergerak lehernya akan jadi korban. Fardhan adalah salah satu bawahannya yang punya kemampuan bela diri yang mumpuni. Akan sangat mudah sekali bagi Fardhan untuk mematahkan lehernya.

Sayangnya Fardhan tak memikirkan hal mudah seperti itu. Dia lebih akan senang kalau menghajar Hito berkali-kali sampai babak belur. Sampai dia sadar sudah sejauh mana salah yang dia perbuat sebagai atasan yang tak beradab. Membuat dia sakit dengan sekali pukul tak akan membuat dia sadar.

Di tempatnya Marga hanya diam. Dari wajahnya menunjukan bahwa dia pun berpikir hal yang sama dengan rekannya. Salah satu kasus yang pernah Marga tangani pun pernah menjadi salah satu korban dari keserakahan Hito. Padahal kasus itu di soroti media dan masyarakat Indonesia. Kasus di tutup begitu saja tanpa ada penjelasan jelas. Membuat Marga yang akhirnya di cap media dan masyarakat sebagai polisi yang tak kompeten. Ya, pada akhirnya Hito selalu bersembunyi di balik meja di ruangnanya yang megah dan mewah.

Margaret membuang muka.

"Lihat." Fardhan mendorong Hito semakin menempel pada dinding. Memaksanya untuk melihat bagaimana reaksi Margaret. "Aku dan Marga cuma salah dua dari bawahanmu yang muak dengan semua yang kamu lakukan selama ini. Di luar masih banyak bawahan anda yang tak menaruh hormat pada Anda."

Hito menggeleng, kedua bibirnya hendak terbuka untuk memberikan pembelaan. Namun, Fardhan lebih cepat menyelanya.

"Asal kamu tahu, Ferdi punya senjata api." Ucap Fardhan, namun tak ada perubahan reaksi dari Hito. Dia tampaknya sudah tahu. "Anda tahu namun masih membebaskan dia?"

Hito menggeleng. "Saya tak bisa berbuat apa-apa."

"Anda pikir itu lucu?"

"Saya gak sedang melucu, Fardhan." Katanya penuh penekanan. "Saya gak punya kuasa."

"Apa yang sebenarnya anda takutkan?" tanya Fardhan. Pertanyaannya benar-benar membuat Hito diam dan terlihat bingung.

"Apa yang kamu lakukan?" teriak seorang polisi yang baru masuk ke ruang kendali. Berlari seketika menarik Fardhan menjauh dari atasannya.

"Apa yang kamu lakukan ha!!" teriaknya mengadang Fardhan yang hendak keluar dari sana.

Fardhan menatapnya sengit.

"Situasi sedang sangat sulit sekarang."

"Situasinya sulit karena kita punya atasan yang gak pantas disebut atasan." Tegas Fardhan padanya. Lalu dia keluar dari ruang kendali dengan membanting pintu. Meninggalkan Hito, Marga dan polisi itu. Marga menghela napas. Menatap Hito dengan tatapan yang lelah.

"Bapak memang suka sekali membuat situasi menjadi lebih buruk." Ucap Marga pada Hito lalu dia pun menyusul Fardhan keluar.

***

Glen terhenyak mendengar pintu di ruang kendali dibanting oleh rekannya. Fardhan yang hendak sejak tadi berdiri di luar tak berani untuk menginterupsi keributan di dalam menghela napas. Pria jenaka itu lalu mengikuti langkah Fardhan. Menuju ruangan mereka. Ruangan tempat meja para detektif berkumpul.

"Bos! Bos!" panggil Glen sambil berusaha mengejarnya. Namun Fardhan tak mendengarkannya sama sekali.

Situasi benar-benar kacau saat ini. Pengeboman dan Ferdi yang dibebaskan setelah hampir membunuh Handoko pasti membuat Fardhan sangat marah. Sebetulnya yang lain pun lelah dengan hari ini. Ia pun merasa bahwa semua ini terjadi karena ketidak becusan Hito sebagai kepala kepolisian. Atasan korup mereka selalu punya alasan untuk lari setelah mengacaukan semuanya. Namun, apakah masalah ini akan selesai jika melimpahkan kesalahan pada satu orang?

Glen hanya bisa diam dan bekerja sebaik mungkin. Ia hanya bisa berusaha agar terus berada di jalan yang lurus. Meski ia tahu bahwa apa yang dilakuan Hito har ini lebih dari kata biadab.

Dia bahkan tak menampakan dirinya sama sekali ke media untuk menjawab semua pertanyaan terkait pengeboman. Malah menyuruh semua polisi untuk sembunyi dan membuat media dan masyarakat lagi-lagi beprasangka buruk terhadap kepolisian. Komentar-komentar tentang kekecewaan masyarakat terhadap kepolisian yang diam saja tak memberikan keterangan terkait pengeboman itu merajah di komentar semua artikel. Lagi-lagi Hito memaksa semua bawahannya untuk sembunyi. Seolah masalah ini kecil dan bisa dilupakan seiring waktu.

Masalahnya? Mana ada masyarakat yang akan lupa pada peristiwa besar yang terjadi hari ini. Pengeboman yang mengakibatkan belasan orang terluka dan sebagian gedung runtuhr. Dengan diamnya kepolisian membuat masyarakat bertanya-tanya apa yang akan dilakukan kepolisian. Dan gak menutup kemungkinan banyak yang merasa was-was, jangan-jangan selanjutnya di rumah mereka.

Pengeboman di kantor polisi bukan hal yang kecil. Orang yang berani mengebom kantor polisi pasti bukan orang yang main-main. Perlu nyali yang besar untuk meletakan sebuah bom di tempat yang penuh CCTV dan orang-orang yang punya kewenangan untuk memenjarakannya.

Yang terjadi di kantor polisi ini bak ajakan perang untuk kepolisian di daerah yang lain. Seperti ungkapan, aku tak takut sama polisi, ayo tangkap aku.

"Bos!" baru Glen hendak menyentuh bahu Fardhan, laki-laki itu sudah berdiri lagi. Lagi-lagi tak mengindahkan panggilannya.

Glen menghela napas lelah. Kemana lagi dia sekarang dengan wajah yang terlihat menyeramkan itu?

Mau tak mau Glen mengekorinya, takut rekannya akan melakukan sesuatu yang menyeramkan lagi.

Ternyata tujuan Fardhan adalah ruang interogasi. Tanpa memperdulikan ada polisi lain yang sedang menginterogasi gadis itu, Fardhan menerobosnya. Dia memukul meja dan mencondongkan tubuhnya. Membuat wajahnya dengan Bella sejajar.

"Wesss, apa yang lo lakuin?" protes polisi yang sedang mengintrogasi Bella. Dia terpaksa berdiri dan mundur karena Glen menariknya. Bahkan Glen juga menahannya agar tak bisa maju sedikitpun. Dia masih berontak sampai Glen harus membisikan sesuatu padanya.

"Serahkan sama Fardhan." Bisik Glen. "Gue yakin dia punya rencana untuk buat Bella buka mulut."

Polisi itu akhirnya tak berontak lagi. Hanya menghentakan lengan Glen yang mengurungnya.

"Oke." Setujunya. Dia pun kelihatannya lelah karena tak berhasil membuat Bella buka suara.

Bella mendongak. Menatap Fardhan. Tampak tak gentar sama sekali. Tatapan yang berani seolah lupa keberadaannya saat ini.

"Jujur!" Fardhan berkata dengan tegas namun penuh nada intimidasi.

Bella berkedip.

"Apa tujuan lo datang kesini?" tanya Fardhan tak basa-basi sama sekali.

"Gue bunuh Rineka." Ucap Bella.

Fardhan memukul meja lagi. Membuat Glen dan polisi disampingnya terhenyak. Glen tak pernah bersikap sekasar ini sebelumnya meskipun pada tersangka. "Gue tanya sekali lagi..." Dia menghela napas. Tak ada keramahan sama sekali di wajahnya. "Apa-tujuan-lo-datang kesini?" Fardhan bahkan menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Bella tersenyum. "Cari tahu sendiri." Ucapnya penuh tantangan.

Fardhan mengepalakn tinjunya. Glen pun merasakan emosi yang sama, begitu juga dengan polisi di sampingnya. Bella mempermainkan mereka semua.

"Kalian kan polisi." Bella menatap satu persatu orang yang ada di ruangan. Glen, polisi disampingnya, dan terakhir pada Fardhan. Dia tersenyum.

Fardhan mengangguk-angguk. Tanpa disangka dia mengangkat kursi dan bersikap hendak menghantamkannya pada Bella.

"Oh... seram sekali." Ledek Bella sambil menutupi wajahnya dengan tangannya yang di borgol. Kursi di tangan Fardhan hanya melayang sampai atas kepala gadis itu.

Glen bergerak dan mengambil kursi dari tangan Fardhan dan perlahan-lahan menurunkannya. Bisa kacau kalau sampai dia benar-benar menghantamkannya pada tubuh Bella. Setidaknya Glen membantu Fardhan agar tak terkena masalah lain. Ia yakin, sikap buruknya pada Hito tak akan dibiarkan begitu saja.

Tiba-tiba Bella melepaskan kalung dari lehernya. Meletakannya di atas meja.

Kalung itu... Fardhan dan Glen saling tatap.

"Salam kenal ya."

***

Mari tebak-tebakan!!

1. Handoko yang hamilin Dea kah? Atau Pak Dino?

2. Apa yang buat Ferdi yakin kalau Handoko yang hamilin Dea?

3. Menurut kalian Ferdi udah kabur ke luar negeri atau justru sembunyi di Indonesia?

4. Alasan Hito bebaskan Ferdi karena apa?

5. Kalian yakin kalau Bella yang bom kantor polisi atau dia cuma kaki tangan?

Yang terakhir...

6. Kenapa setiap insiden selalu ada kalung huruf D?


Semakin kesini makin banyak hal-hal yang membingungkan gak sih? wkwk

Siap-siap akan ada chapter yang BOOOMMMM!!!

Apakah chapter selanjutnya? Mari tunggu sajaa


Kalau berkenan follow instagram aku yaaaa

@ iistazkiati


Sending Hug

Iis Tazkiati N


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top