36. Amukan Fardhan

Hai... selamat malam

Perasaan baru kemaren libur. Besok udah harus masuk kerja aja

Btw, aku harap kalian bisa mengubah kemalesan itu jadi semangat ya. Sugestikan kalau kamu gak akan kenapa-kenapa dengan hari Senin, anggap hari senin seperti hari-hari yang lainnya. Senin gak punya taring, gak punya cakar juga


Biar semangat menghadapi besok, aku update dulu nih!!!

Semoga setelah baca chapter baru Mr. D buat kalian makin semangat ya

Selamat membaca!!

Tetap positif dimanapun dan kapanpun kalian berada


***

"Gue gak bakal nanya gimana asal usul lo kenal sama ayah gue." ujar Andrea setelah ia dan Fardhan duduk di bangku taman rumah sakit. Sebelumnya Fardhan berpamitan pada Handoko dengan alasan harus segera ke kantor polisi karena situasinya sedang sangat buruk. Handoko yang tahu mengenai insiden teror bom di loby kantor polisi mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.

"Kamu emang gak harus tahu." Fardhan menanggapinya dengan opini yang sama.

Lagipula Handoko pasti melakukan banyak hal di luar sana. Tak heran jika Handoko punya banyak koneksi. Pekerjaannya sebagai arsitek yang suka survey kelapangan hampir tiap hari memungkinkannya untuk seperti itu. Tak heran juga kalau Handoko bisa mengenal Fardhan. Bahkan mungkin ayahnya itu kenal dekat dengan beberapa penjabat dan artis yang sering wara wiri di televisi.  Handoko memang orang hebat.

Selain itu Andrea juga tak pernah mau penasaran dengan apa yang dilakukan ayah dan ibunya di luar rumah. Jangan anggap Andrea terlalu cuek sebagai anak. Karena di rumahnya itu seperti punya aturan tak kasat mata bahwa diantara satu sama lain anggota keluarga jangan terlalu penasaran dengan kehidupan pribadi. Memang keluarga itu termasuk ke dalamnya, tapi di keluarga Andrea pribadi yang benar-benar pribadi adalah urus-saja-urusanmu.

Bukan karena satu sama lain tak peduli. Tapi, mungkin itu adalah cara ayah dan ibunya untuk membentuk pribadi Andrea agar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan kata lain membentuk Andrea agar bertanggung jawab dengan apapun yang terjadi dalam hidupnya. Sebab, banyak anak yang ketika melakukan kesalahan tak takut karena punya backing ayah atau ibu atau keduanya. Seperti Rineka.

"Jadi apa yang buat kamu mengikuti saya ke luar?" tanya Fardhan. Instingnya sebagai detektif bertahun-tahun mengatakan bahwa Andrea punya maksud sesuatu. Gadis seperti Andrea bukan seseorang yang suka beramah-tamah dengan mengantar tamunya sampai gerbang depan.

"Gue cuma pengen tahu siapa pelakunya?"

Fardhan terdiam beberapa saat, menatap Andrea dengan tatapan menelisik. Dari raut wajahnya dia seperti tahu bahwa kecelakaan ayahnya bukan kecelakaan tunggal biasa.

"Jangan lihat gue kaya gitu." sergah Andrea. "Gue udah tahu kalau ayah nyembunyiin sesuatu. Dia selalu terlihat cemas."

Memang begitulah keadaannya. Andrea tahu bahwa akhir-akhir ini ayahnya selalu pulang dengan wajah cemas. Bahkan beberapa kali dia mengintip dari balik tirai ruang tamu. Menatap ke luar rumah. Namun, ia tahu itu bukan karena dia sedang menunggu sesuatu datang. Dia mencemaskan sesuatu yang tak bisa Andrea tanyakan langsung padanya karena ia yakin ayahnya punya alasan menyimpan hal itu sendirian. Andrea hanya menghormati pilihan ayahnya.

Fardhan menghela napas. Masing menimbang apakah ia perlu mengatakan bahwa kecelakaan yang terjadi pada Handoko adalah ulah dari seseorang yang menyimpan dendam padanya.

"Sesekali ayah gue pun kelihatan takut." Andrea berusaha menutupi rasa khawatirnya. Ia meremas tangannya.

Fardhan pun melihat tangan gadis itu. Tahu bahwa Andrea sedang menutupi rasa khawatirnya. Gadis ini mungkin merasa selama ini ayahnya sedang dalam keadaan yang tidak aman, namun dia seperti ragu untuk memastikan perasaannya.

"Dia cuma kecelakaan." ucap Fardhan.

Namun, Andrea tak langsung percaya. "Ayah gue gak lagi sakit hari itu. Dia melewati jalan yang biasa dia lewati."

"Kecelakaan gak ada yang tahu kapan terjadi sama seseorang, Dre." Fardhan mencoba lebih meyakinkannya. "Tuhan udah mengatur supaya Handoko kecelakaan hari itu. Kalau Tuhan udah bilang iya, meskipun dia sering melewati jalan itu, siapa yang tahu."

Andrea menghela napas. "Lalu apa yang bisa lo jelasin tentang bumper belakang mobil ayah gue yang kaya di tabrak seseorang?"

Laki-laki itu diam dalam wajah beku. Dia sepertinya heran darimana Andrea tahu hal itu. Panik.

"Sebelum kesini, pihak bengkel telepon ke rumah dan ngasih tahu keadaan mobil ayah." jelas Andrea.

Fardhan semakin panik. Handoko jelas-jelas melarangnya untuk merahasiakan kejadian itu pada istri dan anaknya. Masalahnya Andrea tahu karena kecerobohan Handoko sendiri yang membiarkan bengkel menguhubungi telepon rumahnya.

"Ada yang mencelakakan ayah gue kan?" tanya Andrea. Ia menatap penuh harap pada laki-laki di sampingnya. Ia harap Fardhan menceritakan kejadian tersebut padanya. Akan tetapi, laki-laki ini masih diam tak terlihat tanda-tanda akan membuka mulut sama sekali.

"Pak Polisi," panggil Andrea dengan nada bicara yang menuntut. "Gue anggota keluarga orang yang kecelakaan itu. Gue punya hak dong buat tahu kronologi kejadiannya?"

Seketika Fardhan menatapnya. Beberapa detik dengan tatapan bimbang yang sama. Entah apa yang dia bingungkan.

"Oy!" Andrea menjentikan jari di depan Fardhan. "Jawab!"

Fardhan menghela napas. "Oke, saya menyerah," katanya.

Gadis itu tersenyum simpul. "Kasih tahu gue semuanya."

"Ada seseorang yang nguntit Handoko hampir satu bulan ini." ujar Fardhan. "Karena dia semakin merasa ternganggu dan taku bahwa orang itu akan melakukan sesuatu yang buruk, dia akhirnya minta bantuan saya. Dengan kata lain dia minta bantuan saya secara pribadi."

"Kenapa ayah gak lapor polisi biar penguntit itu bisa di selidiki sampai tuntas?"

"Itu mungkin bisa kamu tanyakan ke ayah kamu kenapa dia malah minta bantuan saya secara pribadi." ujar Fardhan terdengar jengkel.

Andrea mencebik. "Oke, oke, nanti gue tanya ayah."

"Kami lalu merencanakan upaya untuk menjebak penguntit itu. Saya minta bantuan rekan di kepolisian yang kebetulan bersedia membantu secara pribadi meskipun dia tidak kenal dengan Handoko. Sayangnya upaya pertama gagal. Orang itu seperti tahu bahwa dia di ikuti."

Andrea dengan sabar mendengarkan.

"Pada operasi ke dua. Saya dan rekan berhasil menangkapnya. Sayangnya, itu juga terjadi bersamaan dengan kecelakaan Handoko." Fardhan menatap Andrea sendu. "Maaf karena saya ayah kamu kecelakaan."

Andrea tak bisa menyalahkan Fardhan atas kecelakaan itu. Meskipun mungkin kalau penguntit itu ditangkap lebih dulu kecelakaan itu tak akan terjadi. Syukurnya ayahnya masih selamat, meskipun tangan kanannya patah, dan terluka di beberapa tempat. Mobilnya juga rusak parah. Sekali lagi Andrea tak bisa menyalahkan Fardhan meskipun pria ini menunjukan wajah penyesalan saat ini. Bagaimanapun juga Fardhan dan rekannya sudah membantu ayahnya secara pribadi. Melakukan operasi diam-diam untuk mengangkap orang itu.

"Orang itu udah di tangkap kan?" hanya itu saja yang ia khawatirkan saat ini.

"Ya." jawab Fardhan. "Orang itu sudah di kantor polisi. Handoko akan memastikan dia dihukum setimpal dengan apa yang dilakukannya. Kamipun akan berusaha mewujudkan hal itu. Orang itu dituntut pasal berlapis. Perencanaan pembunuhan, penguntitan, perusakan properti, dan..." Fardhan menjeda. Ragu untuk mengatakannya, karena jika Andrea tahu, dia mungkin bisa mengamuk jika tahu hal terakhir yang akan dikatakannya.

"Dan apa?" tuntut Andrea.

"Dan..." lagi-lagi Fardhan meragu. Ia menelisik wajah Andrea. Gadis ini sudah pasti akan mengamuk. "Aku tak mau mengatakannya karena khawatir dengan apa yang akan kamu lakukan."

Andrea meantap geram Fardhan. "Gue janji gak akan melakukan apapun. Lagipula dia udah di kantor polisis."

Fardhan masih menatap Andrea dengan tatapan tak yakin. Beberapa bulan mengenalnya ia tahu watak Andrea yang keras ini akan seperti apa reaksinya. Lebih baik memang tak mengatakannya.

"Kamu akan tahu nanti di pengadilan."

Gigi Andrea saling bergemletuk. Kesal.

"Kalau gitu... Gue boleh lihat orang itu?" tanya Andrea yang sebenarnya tak yakin sama sekali apakah Fardhan akan mengizinkannya. "Gue sebagai keluarga ayah gue berhak dong tahu siapa orang yang mencelakakan ayah gue?"

Sempat terlihat kekhawatiran di wajah Fardhan, namun siapa sangka bahwa Fardhan menyanggupinya. Mereka berdua pun langsung pergi. Ketika sampai, masih ada keramaian di sekitar lokasi pengeboman. Wartawan masih wara-wiri di sekitar lokasi kejadian. Masyarakat juga masih berkumpul di sekitar lokasi. Sampai saat ini pihak kepolisian belum ada yang memberikan keterangan apapun. Korban yang tertimpa reruntuhan sudah dilarikan kerumah sakit. Beruntung tidak ada korban jiwa. Sekitar 15 anggota polisi mengalami luka-luka berat sampai ringan. Ada yang patah tulang, ada yang terluka lebar, dan ada yang hanya mengalami luka lecet-lecet.

Fardhan membawanya masuk melalui pintu lain.

"Gimana keadaan Glen?" tanya Andrea. Ia baru teringat pada rekan Fardhan yang kadang punya selera humor aneh itu.

"Dia baik-baik saja." jawab Fardhan sambil membuka pintu dorong yang ternyata adalah pintu emergency di gedung yang berbeda dengan lokasi kejadian. "Sekarang dia sedang menginterogasi pelaku terduga pengeboman."

"Teroris itu udah di tangkap?" Andrea bertepuk tangan. "Cepat sekali."

"Pelaku pengeboman itu sudah ada di ruang interogasi kepolisian sejak semalam." ujar Fardhan, tak yakin apakah Andrea tahu bahwa yang dimaksudnya adalah Bella.

"Kok bisa?"

"Ya, dia menyerahkan diri sejak semalam." jawah Fardhan. Mereka berdua melewati pintu dorong yang lain.

Andrea baru sadar bahwa sejak tadi mereka berlum sampai di tempat pelaku yang mencelakakan ayahnya. Ternyata kantor polisi ini memiliki banyak ruangan dan lorong-lorong layaknya labirin.

"Orang yang mencelakakan ayahmu adan di gedung yang satu lagi." terang Fardhan tanpa diminta. Menjawab pertanyaan Andrea tentang kenapa mereka sejak tadi hanya melewati lorong dan ruangan-ruangan.

Gedung yang lain, itu artinya orang itu ada di gedung yang sama dengan lokasi pengeboman itu.

"Gak mungkin tadi kita masuk dari salah satu pintu di gedung itu." ujar Fardhan. "Kepala kepolisian belum mengizinkan siapapun untuk menemui media sebelum mendapat keterangan pasti dari pelaku."

"Oke." Andrea mengangguk. "Sekarang pertanyaan gue, kenapa teroris itu menyerahkan diri lebih dulu? Kalau gue jadi dia gue akan lari sejauh mungkin. Gue gak akan menyerahkan diri dan bilang 'Hei! gue mau ngebom kantor ini."

"Dia tak menyrahkan diri karena itu," kata Fardhan. "Dia menyerahkan diri karena membunuh temannya."

"Tunggu!" langkah Andrea terhenti.

Membunuh temannya?

Menyerahkan diri semalam?

Membunuh temannya?

Menyerahkan diri semalam?

Apa mungkin...

"Bella?" alis Andrea saling bertaut.

Fardhan yang sama-sama berhenti hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun. Namun, tatapan itu seolah cukup menjadi jawaban.

"Kenapa?" Andrea merasakan rasa kecewa yang tiba-tiba. Apakah Bella memang orang seperti itu?

"Bella masih diselidiki." jawab Fardhan. "Glen mengabari kalau Bella belum memberikan keterangan apapun."

"Ini ada hubungannya sama organisasi yang dia bilang? Mr. D?"

Fardhan tak mengangguk tak juga menggeleng. "Kami masih mencari tahunya."

Dari wajah laki-laki ini sepertinya meyakini hal yang sama dengannya.

Pertanyaannya, untuk apa mereka menebar teror seperti ini?

Apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan? Penyerahan diri Bella pun terasa sangat janggal. Kematian Rineka pun sebenarnya tak bisa di buktikan sebagai pembunuhan. Mendengar Bella menyerahkan diri karena alasan itu, Andrea dan Zayyan pun tak yakin dengan itu. Bella memang mengatakan bahwa dia membunuh Rineka. Namun, kesaksian itu seperti labirin tersendiri di dalam kepalanya. Bella jelas-jelas punya alibi saat itu. Dia sedang berada di kosannya saat itu. Itu sudah dibuktikan dengan keterangan dari ibu kostnya. Selain itu, rumah Rineka pun di pantau dengan CCTV selama 24 jam. Penjaga keamanan pun ada di setiap sudut rumahnya. Bian Prahadi memang selalu tampak berlebihan dalam mengatur keamanan untuknya dan keluarganya. Seingat Andrea pun, Bian tak pernah terlihat datang bersama dengan kurang dari 4 pengawal.

Pengakuan Bella terasa janggal. Kecuali...

Andrea baru menyadari sesuatu.

Kecuali Bella punya maksud lain ke kantor polisi ini.

Bom.

Apa lagi?

"Kemana orang yang ada di sel ini?" suara tinggi Fardhan menyadarkan Andrea dari lamunannya.

Ternyata ia sudah berada di ruangan besar dengan 3 ruangan berjeruji besi yang di depannya meja-meja anggota kepolisian. Suasana tampak semrawut disini. Terlihat kacau di segala sisi. Terlebih bom baru saja meledak loby gedung ini.

Ada belasan detektif yang ada di ruangan ini. Yang sama-sama menunjukan wajah lelah dan cemas yang sama. Mereka seperti habis bekerja seharian dan dipaksa bekerja lembur karena insiden bom itu. Lelah namun mereka punya tanggung jawab yang besar.

"Dia dimana?" tanya Fardhan lagi. Suaranya lebih tinggi.

Belasan detektif itu tak ada satupun yang berani menatap Fardhan. Mereka menghindari tatapan Fardhan. Andrea melihat sel nomor 3 yang kosong. Itu alasan Fardhan mengamuk. Orang yang dikurung disini--pelaku penguntit ayah dan orang yang mencelakakan Handoko tidak ada di sel ini. Andrea hanya menatap ruangan itu kosong.

Sementara Fardhan semakin murka dengan ketiadaan pelaku kejahatan itu di selnya. Yang mana tak ada yang berani menjawab, dan tak ada pula yang berani menatapnya. Mereka seperti tak tahu harus mengatakan apa. Tatapan yang menyesalkan hal yang sama namun, seperti tak bisa melakukan apapun.

Fardhan menghampiri salah satu meja. Laki-laki muda yang memakai seragam polisi lengkap dan terlihat paling junior disini dicengkeram kerah bajunya oleh Fardhan. Dipaksa perdiri menatapnya.

"Juno, katakan, Ferdi dimana?"

"Aa...anu..." Juno menghindari tatapan Fardhan. Mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari seseorang untuk membantunya.

"Kemana?" Fardhan mengguncang Juno.

"Dia..."

Glen datang dengan wajah penuh sesal. "Dia dibebaskan." jawabnya lalu menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi entah kursi siapa. Wajahnya sangat kusut. "Tua bangka itu datang dan marah-marah tadi."

"Gimana bisa dia membebaskan Ferdi begitu aja?"

Glen menggeleng lemah.

"Dia tahu kalau Ferdi hampir menembak Handoko. Kemungkinan dia punya senjata lain."

Gleng menggeleng kacau. "Gue gak tahu, bos. Gue gak tahu kenapa dia dibebasin."

Fardhan terdiam beberapa saat tak percaya apa yang didengarnya. Bagaimana bisa kepala kepolisian membebaskan pelaku kejahatan tangkap tangan begitu saja. Ia lalu menghempaskan Juno hingga punggun polisi muda itu membentur tembok di belakangnya. Dengan emosi yang memuncak dia berlalu dari ruangan itu meninggalkan kelenggangan di seluruh ruangan.

Tak ada yang mengeluh dengan sikap Fardhan. Mereka semua diam. Hening. Terlihat menyesalkan hal yang sama.

Seseorang yang sejak tadi berdiri di pintu masuk dengan handuk melingkar di lehernya berjalan dengan santai melewati Andrea. Membanting handuk dari lehernya ke atas meja. "Aku sudah tahu Fardhan akan ngamuk."

Andrea melangkahkan kakinya pada Glen.

Glen yang baru sadar bahwa Andrea ada di sana terlonjak. "Andrea."

"Siapa pelaku yang celakain ayah gue?" tanya Andrea terpatah-patah dan penuh penekanan. Ia tadi mendengar Fardhan menyebut nama Ferdi. Dan seketika memiliki firasat.

Glen menghela napas.

"Jawab gue Glen, bukan malah buang napas."

Glen menghela napas lagi. "Ferdi." jawabnya.

"Ferdi?"

Glen mengangguk.

"Bukan Ferdi yang gue kenal kan?"

Sekali lagi Glen menghela napas. Itu sudah cukup menjadi jawaban bahwa tebakannya benar.

"Iya, dia Ferdi yang lo kenal."

"Kenapa? Ada dendam apa dia sama ayah gue?"

Glen menggeleng. Akan tetapi dari raut wajahnya dia tahu sesuatu. "Kasih tahu gue Glen."

"Lo gak akan mau mendengar ini."

"Bilang sama gue Glen."

"Ayah lo yang hamilin Dea."

***

Pak Hito--kepala kepolisian--yang sering dipanggil tua bangka oleh banyak bawahannya sedang berada di ruang kendali. Laki-laki 60 tahunan itu sedang memantau proses intorgasi Bella ketika Fardhan masuk dan langsung menyudutkannya ke tembok.

"Punya hak apa anda membebaskan Ferdi?" teriak Fardhan tepat di depan batang hidung laki-laki 60 tahunan itu.

Margaret yang sedang berada di ruangan yang sama segara menarik Fardhan agar menjauh dari Pak Hito. Sayangnya perempuan itu malah mendapat dorongan keras. Punggungnya menabrak monitor hingga terjungkal seketika.

Fardhan mengcengkeram kerah baju Pak Hito dan menatapnya sengit. Tatapan matanya menyiratkan bahwa dia seperti ingin membunuhnya sejak lama. Siapapun tahu bahwa Pak Hito suka menyalahgunakan wewenangnya. Bukan hanya kali ini dia membebaskan pelaku kejahatan. Sebelumnya dia pun membebaskan pelaku perusakan minimarket karena dia anak wakil rakyat. Dia juga pernah membebaskan calon kepala daerah yang kedapatan mengemudi melebihi batas maksimal kecepatan hanya karena dia tak mau calon kepala daerah itu punya catatan hitam sebelum pemilihan. Selain itu masih ada beberapa lagi. Dari semua itu, baru kali ini Pak Hito membebaskan pelaku kejahatan berat dan tertangkap tangan.

"Jelasin sama gue kenapa lo bebasin Ferdi?" teriak Fardhan.

Margaret terhenyak. Baru kali ini ia mendengar Fardhan berteriak sebegitu marahnya. Meskipun pria itu berwatak keras, Margaret tak pernah mendengar Fardhan berteriak dan berkata kasar seperti itu. Yah.... memang hampir semua orang di kantor polisi ini tak suka dengan sosok kepala kepolisian berperut buncit itu. Namun, entah dia punya apa semuanya tak punya keberanian sama sekali untuk membantahnya.

Fardhan merasa bahwa yang Hito lakukan kali ini di luar batas yang seharusnya dia lakukan. Kejahatan berat tak boleh dibiarkan bebas begitu saja sebelum diadili oleh hukum. Kejahatan Ferdi sudah jelas.

"Lo tahu kan dia kemungkinan punya senjata api?" Fardhan masih menatap sengit Hito.

Berbeda dengan Fardhan, Hito justru menunduk. Mungkin merasa bersalah. Merasa bahwa tindakannya salah.

"Lalu kenapa lo melakukan itu?" Sergah Fardhan. Dia mengguncang tubuh Hito. Margaret mendekat sekali lagi.

Fardhan menyingkirkan menyikut Margaret yang hendak menjauhkannya dari Hito. Perempuan itu menghela napas.

"Kamu gak boleh kaya gini, kak." Margaret mencoba meredakan emosinya.

"Jawab!" Fardhan mengguncang tubuh Hito. "Sebelum gue pukul lo!"

"Kak, pliss..." Margaret mencoba membujuk Fardhan.

"Saya gak bisa melakukan apapun." akhirnya Hito membuka mulutnya setelah sekian lama. "Nasib kalian akan buruk kalau memenjarakan dia. Terlebih kamu, Dan."

Fardhan tertawa. "Lucu sekali anda mengatakan itu, terdengar seperti memperdulikan kepolisian ini."

"Saya memang peduli sama kalian. Sama semuanya." ucap Hito. Ucapannya tak terdengar seperti pembelaan diri palsu.

"Keadaan semakin buruk apalagi setelah bom hari ini. Saya terpaksa harus membebaskan dia."

"Apa yang kamu dapatkan dari ini?" Fardhan menatapnya sengit. "Jawab!"

Hito menggeleng lemah. "Saya gak mendapatkan apapun. Saya membuat semua yang bekerja di kepolisian ini tetap bekerja."

***

Heyooooooo

Gimana? Makin semrawut kan?

Aku harap kalian masih waras ketika baca chapter selanjutnya karena konfliknya akan lebih berat dari ini

Stay tune!!


Sending Hug

Iis Tazkiati N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top