35. Tepat
Haiii... Selamat pagi
Sebenernya mau update semalem, tapi dari habis magrib aku tepar. Niat bangun pagi buta malah bablas tidur nyampe subuh
Alhasil baru bisa update pukul setengah 7 lewat
Selamat membaca
Jangan lupa tinggalkn jejaknya yaa
***
Teror yang terjadi di kantor polisi yang terletak di tengah kota Jakarta seketika menjadi headline dalam berita manapun. Televisi yang sebelumnya menayangkan FTV siang tiba-tiba beralih menjadi berita terkini yang dibawakan seorang reporter dengan latar belakang bagian depan sebuah gedung yang rubuh. Orang-orang sibuk berlalu lalang di belakang reporter itu. Petugas membawa brangkar dengan seorang korban di atasnya tertangkap kamera. Tayangan di televisi beralih menyorot korban yang tengah merintih di atas brangkar. Dua petugas yang membawanya tampak tak peduli bahwa mereka tengah masuk ke siaran televisi nasional. Korban yang mengenakan seragam polisi itu merintih memegangi kakinya, celananya koyak memperlihatkan bagian betisnya yang robek cukup besar, darah mengalir membuat celana coklat itu lebih kemerahan. Kamera berhenti menyorot rintihan kesakitan karena korban sudah dimasukan ke dalam ambulance. Sirine ambulance kemudian yang mengambil alih suara lengkap dengan gambar kepergiannya menuju rumah sakit terdekat. Televisi pun kembali menayangkan wajah reporter yang tengah melaporkan kondisi terkini pasca teror bom yang mengakibatkan rubuhnya loby kantor polisi.
Kekacauan itu pun lengkap dengan liputan proses evakuasi. Puluhan relawan termasuk polisi yang selamat dari kejadian itu tampak bahu membahu mengangkat reruntuhan untuk menyelamatkan orang yang tertimpa. Seorang wanita berhijab panjang menangis tersedu-sedu, sesekali menyeka air matanya dengan ujung hijabnya. Seorang polisi wanita dengan wajah kotor terkena reruntuhan berhasil di keluarkan dari himpitan beton dalam kondisi pingsan, rambut sebahunya acak-acakan, luka sobekan menganga sepanjang 5 centi meter di salah satu lengannya. Kepanikan begitu terasa dari liputan berita tersebut. Kemacetan terjadi seketika di sekitar kantor polisi.
Reporter itu juga membawakan berita tentang kemacetan yang disebabkan oleh kejadian tersebut. Banyak pengendara berhenti lalu memarkir motornya di pingir jalan untuk melihat kekacauan lokasi kejadian. Beberapa ada yang merekam. Seorang pedagang es buah yang mempunyai lapak di depan kantor polisi memberikan keterangan bahwa sekitar pukul 14.00 tiba-tiba saja terdengar suara yang kencang. Pedangan itu memberikan keterangan bahwa tidak ada tanda-tanda apapun sebelum peristiwa itu terjadi.
"Saat ini belum diketahui pasti jumlah korban akibat serangan teror bom ini. Informasi terbaru akan ditayangkan satu jam dari sekarang." pungkas reporter itu lalu berita terkini berganti dengan iklan produk terbaru Wardah.
Andrea yang sejak tadi duduk tak bergerak sama sekali berdiri dengan gelisah. "Itu tempat Fardhan dan Glen kerja kan?"
Zayyan yang sejak tadi menonton dari kursi gamingnya mengangguk. "Mereka kerja disana."
"Gimana kabar mereka berdua?" Andrea menggulir chanel televisi untuk mencari berita lain terkait kejadian tersebut. Kejadian sebesar ini mustahil sekali tidak muncul dimana-mana.
"Mereka gak angkat." Zayyan menggeleng pasrah sambil menunjukan ponselnya yang menunjukan log panggilan kepada Glen.
"Mereka baik-baik aja kan?" tanya Andrea cemas.
"Kita cuma bisa berharap mereka berdua baik-baik aja, Dre." ucap Zayyan berusaha meyakinkan Andrea. Mereka berdua memang tak memiliki hubungan yang lebih erat dari sekedar kenalan, seorang wali korban dan detektif yang menyelidikinya. Namun, hubungan seperti itu tak menjadi alasan untuk mereka tak khawatir pada Fardhan dan Glen.
Meskipun panggilan pertamanya tak membuahkan jawaban sama sekali, Zayyan mencoba untuk kedua kalinya. Dia menggeleng-geleng sekali lagi, tetap tak ada jawaban.
"Kita harus kesana, Za." Andrea menyambar tasnya.
Pria itu seketika bangkit dari duduknya dan menahan gerakan Andrea. Ia menggeleng tegas. "Mereka berdua minta kita buat gak kemana-mana dulu sebelum tahu motif Bella menyerahkan diri. Selain itu ada kemungkinan juga ada orang lain yang lihat kita di sekitar ruangannya Pak Dino."
Andrea ingat pesan Fardhan sesaat sebelum dia dan Glen melenggang pergi membawa semua kaset DVD itu. Mereka berdua pun sadar ada keanehan dari Bella. Alasan Bella meminta Andrea untuk tidak mencari tahu, namun berakhir memberi tahu. Mereka belum bisa menebak apa tujuan Bella melakukan semua itu.
"Gue yakin mereka berdua bisa menjaga diri masing-masing." Zayyan tersenyum samar.
Andrea menghela napas. Meskipun ia benci karena harus diam saja, namun ia akhirnya duduk. Ia menatap Zayyan penuh pertanyaan. "Beneran gak ada yang bisa gue lakukan?"
Pria itu sekali lagi menggeleng tegas. "Untuk saat ini, tidak."
"Masa kita gak ngapa-ngapain, Za?"
Ponsel Zayyan berdenting. Andrea hafal suara itu. Dentingan yang menunjukan bahwa pria itu baru saja mendapatkan sebuah pesan masuk. Totalnya ada 5 kali dentingan. Dan sumpah, kenapa Andrea sampai menghitungnya?
From: Selly
Meri ingat siapa om yang dateng ke rumahnya waktu itu.
Namanya dinosaurus. Brontosaurus kali ya wkwk
Selain itu dia gak bisa jelasin gimana om itu
Mungkin karena Meri masih anak-anak
Dan kupikir om dinosaurus itu sedikit gila, Za. Dia minta meri buat jadi pacarnya
Andrea baru saja memutuskan untuk mencari chanel lain yang mungkin menayangkan situasi pasca teror bom itu saat Zayyan tiba-tiba berdiri dan memakai jaketnya. Tas ranselnya juga tak ketinggalan dia sampirkan di salah satu bahunya. Gadis itu secara refleks ikut berdiri.
"Ikut gue, Dre." ujar Zayyan.
Andrea mematikan televisi. "Kemana?"
"Ketemu Meri."
"Meri kenapa?"
"Dia kasih tahu tentang om yang dateng ke rumahnya waktu itu." jawab Zayyan. Tatapannya amat sangat serius. "Gue punya firasat."
"Firasat?" Andrea bingung dengan apa yang Zayyan maksud.
Zayyan menggeleng, tiba-tiba terlihat tidak yakin. "Tapi gue pun gak yakin."
Andrea memutar bola matanya. "Yakin atau gak yakin, gue yakin lo tahu apa yang harus lo lakukan."
Sesaat mereka berdua saling bertatapan. Lalu pria itu mengangguk. Kemudian mereka berdua pergi.
***
Diperjalanan Andrea meminta Zayyan berhenti terlebih dahulu di supermarket untuk membeli buah-buahan, permen, dan beberapa makanan yang disukai anak kecil. Alhasil beginilah mereka berdua ketika masuk ke rumah perlindungan.
Heboh.
Zayyan membawa sekresek besar makanan ringan lengkap dengan berbagai permen. Dan andrea membawa sekresek ukuran sedang buah-buahan. Bawaan mereka memang bukan cuma untuk Meri. Namun untuk Selly dan beberapa orang yang ada di rumah perlindungan ini. Andrea merasa tidak enak karena sebelumnya mereka selalu datang dengan tangan kosong. Meri gadis kecil itu pun kerap kali menunjukan wajah kecewa ketika yang menjenguknya tidak membawa apa-apa. Memang dia tak mengatakan secara langsung bahwa dia berharap Om Zayyan dan Tante Andrea yang selalu baik padanya membawakannya banyak makanan. Ayolah, anak kecil itu gampang sekali di tebak apa maunya. Andrea bisa paham hanya dengan melihat wajahnya.
"Gue kira lo gak suka anak kecil." Cibir Zayyan.
"Siapa juga yang bilang." Andrea memutar bola mata. "Gue suka, cuma gak pernah bilang sesuka apa aja sih."
Zayyan mengangguk-angguk.
Andrea menghentikan langkahnya. Zayyan yang terlanjur berjarak beberapa langkah memutar tubuhnya dan menatap gadis yang tengah menatapnya sebal.
"Kenapa juga gue harus cerita sama lo kalau gue suka anak kecil." Andrea menunjuk dada Zayyan. "Lo siapa?"
Pria itu mengangkat bah. Bola matanya terlihat memutar sesaat sebelum dia berbalik badan dan meninggalkan Andrea.
Entahlah, bagaimana cara menunjukan pada pria itu, ia tak tahu.
"Hai." Sapa Selly yang entah dari mana. Perempuan itu sepertinya bergegas ke loby ketika tahu bahwa Zayyan dan Andrea.
"Hai." Balas Andrea ia baru saja tiba di samping Zayyan. Seketika senyum Selly berubah masam padanya. Namun beda ketika dia menatap Zayyan, muka manisnya kembali dia tunjukan.
Cari muka.
Andrea mau tak mau menyingkir dari sana, sadar bahwa keberadaanya disamping Zayyan tidak diindahkan sama sekali oleh Selly. Ia menghampiri meja tinggi lobby, dimana disana seorang perawat yang merangkap tugas sebagai receptionist baru saja meletakan gagang telepon. Atensinya tertuju Pada Andrea kemudian.
"Hai..." Andrea melirik name tag perawat itu. "Rin..." Andrea menelan ludah. Senyumnya pudar ketika mengeja nama perawat itu. "Suster Rineka."
Perempuan yang usianya sepertinya tak terpaut jauh dari Selly tersenyum padanya. Namun dibanding Selly, suster Rineka terlihat lebih muda, lebih kalem, dan lebih ramah. Beda dengan Selly yang suka cari muka itu. Ia beberapa kali ke rumah perlindungan ini bersama Zayyan untuk menengok Meri. Beberapa kali juga berpapasan dengan suster Rineka, namun baru kali ini ia tahu nama suster ini. Memang sebelumnya Andrea tak berniat berkenalan dengan siapapun. Kali ini rasanya berbeda, ketika mendengar bahwa Meri sudah sangat membaik dan bisa mengingat siapa yang datang ke rumahnya waktu itu, membuat ia merasa harus berterima kasih sekali pada semuanya. Meri membaik karena dia di rawat oleh suster-suster disini.
"Suster Selly emang kaya gitu." bisiknya, seolah tahu apa yang sedang Andrea pikirkan. "Biarkan saja, Suster Selly bukan suka yang itu kok." Suster Rineka membentuk kutip diantara kepalanya.
"Hah apa?" Andrea melongo.
Suster Rineka tertawa. "Suster Selly suka sama semua cowok ganteng yang dateng kesini," katanya. "Dia punya pacar kok sebenernya. Sebagai informasi aja hubungan mereka udah serius."
Andrea mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Suster Rineka. Entah apa yang membuatnya berpikiran seperti itu. Andrea cemburu? Sumpah demi apapun itu hal yang paling lucu yang pernah ia dengar seumur hidup. Bagaimana bisa Andrea yang cantik, baik, supel, dan berpendirian ini bisa disalahfahami suka pada spesies cowok seperti Zayyan? Yang kaku, dingin, dan... bukan tipenya sama sekali.
"Enggak gitu." bela Andrea.
"Benarkah?" suster Rineka menatapnya tak percaya.
"Serius." jawab Andrea lebih ngotot.
"Tapi kalian cocok lho." puji suster Rineka senyum lebarnya tak luntur dari wajahnya sama sekali.
Andrea memutar bola mata. Memutuskan untuk tak menanggapinya lagi. Lagipula kesalahfahaman seperti ini biasanya lebih seru ketika objek terus menyangkalnya. Ya kan?
"Oh ya." Andrea meletakan kresek berisi buah-buahan segar yang tadi dibelinya dari supermarket di atas meja tinggi itu. "Kalian gapapa kan menerima yang seperti ini?" tanya Andrea antisipasi. Siapa tahu mereka dilarang memberikan apapun yang diberikan pengunjung.
Suster Rineka tersenyum, menerima buah-buahan pemberiannya dengan senang hati. "Kami gak dilarang untuk menerika makanan kok." katanya.
"Semoga itu cukup untuk semua yang ada disini." ujar Andrea.
"Makasih ya." Suster Rineka membawanya turun. Meletakannya di meja yang lebih rendah.
"Aku dan Zayyan yang harusnya berterima kasih." kata Andrea. "Meri jadi lebih baik semenjak disini."
"Itu sudah tugas kami." jawab Suster Rineka.
"Dre." panggil Zayyan. Tepat sekali menarik Andrea sebelum larut pada situasi canggung saling mengucapkan terimakasih berulang-ulang.
"Udah ngobrolnya?" tanya Andrea. Maksudnya apakah laki-laki itu sudah selesai berbasa-basi dengan Selly.
Zayyan mengangguk.
"Selamat menikmati ya." ujar Andrea kepada Suster Rineka sebelum ia melanjutkan langkah mengikuti Zayyan.
Meri sedang tertawa ketika mereka berdua masuk ke ruangannya. Ketika menyadari Zayyan lah yang datang gadis kecil itu langsung turun dari ranjangnya dan memeluk pria itu. Animasi si kembar botak itu tak lagi menarik sejak kehadiran mereka berdua. Tunggu, sebenarnya sejak Zayyan muncul. Kehadiran Andrea seolah tak terlihat oleh gadis itu. Bahkan sama seperti Selly, Meri pun mendelik tak suka padanya.
Ada apa ini? Kenapa rasanya semua orang cemburu akan kedekatannya dengan Zayyan?
"Om bawa apa?" Meri beralih pada kresek yang ada di tangan Zayyan.
Sementara itu Andrea yang diabaikan berjalan menuju sofa setelah mengabil remot dari atas ranjang. Dia lalu memindahkan chanel yang seketika mendapat protesan dari Meri.
"Jangan dipindahin!" protes Meri.
Anak perempuan 5 tahun itu jadi lebih galak setelah dia membaik. Sebelumnya boro-boro dia berteriak seperti itu. Mengeluarkan sepatah katapun kayanya mahal banget. Kaya mau dibeli berapapun gak akan kebeli.
Andrea pun mendengus, mau tak mau memindahkan chanel ke chanel semula. Padahal kartun botak itu sedang iklan. Dan harus banget ya? dia menonton siaran ulangnya?
Zayyan menggendong Meri. "Kamu suka permen gak?" tanyanya.
"Suka." jawabnya dengan wajah gemas.
Mau tak mau Andrea tersenyum melihat hal itu. Ia merasakan senang dan haru secara bersamaan. Melihat anak itu bisa berekspresi seperti itu seperti keajaiban. Andrea pikir Meri akan terus menutup mulutnya. Trauma sebesar itu memang sulit untuk dijalani oleh siapapun. Termasuk orang dewasa sekalipun. Meskipun Meri selalu menyangkal akan kematian ayahnya dengan terus menanyakan kapan ayahnya akan datang, ia yakin bahwa Meri sudah tahu apa yang disebut dengan kematian.
Takdir mengerikan yang membuatnya tak bisa bertemu lagi bertemu dengan ayahnya.
Zayyan menurunkan Meri di atas ranjangnya. Kresek berisi makanan ringan dan permen itu diletakan di depannya. Dengan antusias Meri langsung mengeluarkan semua oleh-oleh yang dibawa Om kesayangannya.
"Aku suka ini... ini... ini... ini..." Meri menunjuk satu persatu yang disukainya. Sebenarnya dia menunjuk semuanya. Anak itu suka semua yang dibawa Zayyan.
"Itu gue tahu yang pilihin." kata Andrea ketus.
Meri mendelik. "Bohong. Orang Om Zayyan yang beliin. Ya kan Om?"
"Dia bawa doang, bocah. Gue yang beliin tadi." gak tahu kenapa rasanya seru aja resek ke anak kecil. Hiburan.
"Meri gak percaya sama kamu. Tante jelek." ledeknya sambil memalingkan wajah.
"Gini-gini gue banyak yang suka." bela Andrea.
"Bohong-bohong." Zayyan mengompori.
"Om aja bilang bohong."
Andrea mengetatkan rahangnya. Pria itu memang harus diberi pelajaran.
"Om Zayyan lo aja suka sama gue." jawab Andrea tak mau kalah.
Seketika gerakan Meri terhenti. Dia menatap Zayyan dengan wajah penuh pertanyaan. Antara percaya dan tidak percaya. Dan ada apa itu... kenapa wajah Zayyan tiba-tiba memerah?
Melihat wajah Zayyan yang kian memerah Meri memalingkan wajah ke arah gue dan menatap gue sengit. "Tante jangan ngarang. Om Zayyan gak suka kamu."
"Kata siapa?" Andrea berdiri menghampiri Zayyan dan berdiri di hadapannya.
Andrea memaksa pria itu menghadap padanya. Dengan tangannya ia memaksa pria itu agar bertatapan dengannya. Berbeda dengan wajahnya yang merah, kulitnya malah terasa dingin. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah, mencari titik fokus lain namun rupanya dia tak berhasil menemukan titik fokus yang diinginkannya.
Gadis itu jadi gugup sendiri.
"Lo suka kan sama gue?"
Zayyan diam.
Meri menunggu.
Dan Andrea pun menunggu.
Satu detik... dua detik... sampai puluhan detik tak ada jawaban sama sekali. Kulit pipi pria itu semakin terasa dingin. Hingga...
Huekk...
Zayyan mendorong Andrea lalu berlari menuju kamar mandi.
"Tuh kan, dia gak suka sama tante. Nyampe muntah gitu."
Andrea merengut dari tempatnya berdiri. Baru kali ini ia merasa di jijik-an oleh seseorang. Andrea ingin menangis.
Zayyan kembali sepuluh menit kemudian. Entah apa yang dia lakukan di toilet sampai selama itu. Ketika dia kembali bagian depan rambutnya basah, wajahnya pun terlihat lembab. Dia melewati Andrea yang berdiri di depan toilet dengan wajah khawatir begitu saja. Dia menghampiri Meri dan mengajak gadis kecil itu main ke taman rumah perlindungan.
Catat: Tanpa-mengajak-Andrea-sama-sekali.
Andrea mematung di tempatnya.
"Gue baru saja diabaikan?" Kekeh Andrea tak percaya. "Bodo amat lo, Za!" umpatnya.
Ia lalu memilih untuk menonton televisi dari sofa, membiarkan Meri dan Om Zayyannya berkeliling taman sesuka mereka. Ia cuma berharap pria itu tak lupa dengan tujuan mereka kesini bukan untuk mengajak Meri jalan-jalan tapi untuk menanyakan apakah Om Dinosaurusnya adalah Dino. Ya, Dino, dosen mereka. Dino yang meninggal dua hari yang lalu di ruangannya.
30 menit berlalu. Andrea pun mengirimkan pesan pada Zayyan.
"Lo boleh bikin seneng Meri, tapi jangan lupa tujuan lo kesini, Za."
Bodo amat dengan anggapan pria itu bahwa Andrea tak punya hati dengan mengingatkan betapa jahatnya mereka. Karena kedatangan mereka bukan karena ingin bertemu Meri, tapi ingin tahu siapa Om Dinosaurus yang dia maksud. Tapi, lebih cepat tahu bukankah lebih buruk.
Hampir satu jam berlalu tak ada tanda-tanda mereka berdua kembali ke kamar. Andrea pun menatap keluar jendela yang baru ia tahu berhadapan langsung dengan taman rumah perlindungan. Taman yang tak begitu besar namun terawat. Rumah perlindungan ini memang memiliki manejemen yang baik. Meskipun tak banyak yang bekerja disini, semua hal yang ada disini terawat dengan baik. Dari sini ia melihat Zayyan yang sedang duduk di bangku taman menatap Meri yang tengah main kejar-kejaran dengan kucing liar.
Momen haru itu membuat Andrea pun meneteskan air mata. Anak itu sudah ceria lagi.
Andrea sudah sejak tadi kembali duduk di sofa dan nonton TV, bahkan ia hampir ketiduran gara-gara Zayyan dan Meri yang tak kunjung kembali padahal ia sudah mengirim banyak pesan untuk pria itu. Suara tawa Meri membuat Andrea menegakan punggungnya lalu membuang napas.
"Seneng ya lo main sama Om?" tanya gue pada Meri yang baru saja di letakan Zayyan di atas ranjang.
Tiba-tiba saja Meri menyerahkan sebungkus permen kenyal dengan bentuk beruang pada Andrea. "Ini buat tante." katanya. Andrea melongo tak mengerti.
"Asal Om Zayyan buat aku."
Andrea tersenyum miring pada Zayyan. "Gue terima." katanya. "Silakan ambil aja, kalau dia mau sama lo."
"Mau kan om?" tanya Meri penuh harap.
Zayyan mengangguk. "Lihat nanti aja ya."
Andrea menjulurkan lidahnya. Terimakasih Zayyan sudah membuat ia menang di depan gadis kecil resek ini.
"Oh ya..." Zayyan duduk di samping Meri. "Om sama Tante mau tanya sesuatu dong."
Andrea menyusul. Duduk di sisi yang berlawanan dengan Zayyan. Ini waktunya. Memang, seperti dugaannya Zayyan cuma ingin membuat Meri senang dulu.
"Katanya yang nyuruh kamu buat gak bangunin ayah Om Dinosaurus ya?" tanya Zayyan.
"Om tahu dari suster Selly ya?" tanyanya polos.
"Iya, Suster Selly tadi cerita." jawab Andrea. "Kami mau nanya dong."
Meri menatap Andrea.
"Kamu masih inget wajah Om itu gak?" tanya Andrea lagi.
Meri mengangguk.
Sesaat Zayyan mengotak-atik ponselnya dan menunjukannya pada Meri. "Om Dinosaurus itu ini bukan?" tanya Zayyan sambil menunjukan foto Pak Dino yang dia ambil dari media sosialnya.
Senyum di wajah Meri seketika terbit. "Om sama Tante kenal Om Dinosaurus?"
Andrea menghentakan tubuhnya ke sandaran ranjang. "Kamu gak salah kan? Dia Om Dinosaurus itu."
Meri mengangguk yakin. "Yakin. Jadi kapan Om Dinosaurus main kesini?"
Andrea dan Zayyan pun saling bertatapan.
Ada apa ini?
Dino yang membunuh Farhan? Karena apa? Apa hubungannya dengan dia?
***
"Ayah!!"
Andrea tidak bisa tenang ketika mendapati sebuah notes di tempel di kulkas yang mengatakan bahwa ayahnya masuk rumah sakit. Bagaimana bisa kabar itu hanya di tempel di kulkas?
"Bisa-bisanya gak ada yang ngasih tahu aku." Andrea menampakan wajah kesal.
Padahal hal seperti ini sangat harus ia ketahui. Ini ayahnya yang sakit bukan orang lain.
Ia sungguh tak mengerti kenapa kabar sedarurat itu hanya beruba notes di pintu kulkas. Meskipun keluarganya tergolong cuek satu sama lain, dalam artian ikatan keluarga tak membuat anggota keluarga merasa terkekang dengan aturan perumah tanggaan. Buktinya Andrea bebas melakukan apapun, pergi kemanapun, dan pulang jam berapapun.
"Andrea." Lina memegangi dadanya.
Handoko menatap putri semata wayangnya dengan mata membulat.
Pria paruh baya itu tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan kondisi tangan kanan bergips, lengan kiri diperban penuh, dan yang menunjukan beberapa luka goresan. Kecelakaan separah itu kenapa hanya ditulis pada noted di pintu kulkas?
Andrea rasanya ingin mengamuk karena hal itu.
Akan tetapi melihat keadaan ayahnya membuat ia hanya berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Dadanya naik turun dan perlahan tapi pasti matanya memanas. Menjadi orang terakhir mengetahui berita buruk sama sekali tidak melegakan. Meskipun ia paham bahwa maksud ibunya hanya menuliskan notes dan tidak menelpon atau mengirimkan pesan melalui whatsapp adalah agar ia tidak cemas. Namun, mana ada seorang anak yang tak khawatir begitu tahu bahwa ayahnya sedang berada di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan yang...
Dari melihat keadaannya saat ini pun sudah menunjukan bahwa kecelakaan yang menimpanya tak main-main. Itu pasti kecelakaan besar.
"Kenapa gak ada yang ngasih tahu aku sih?" Andrea berjalan perlahan menuju ranjang dan langsung memeluk ayahnya.
"Ayah gapapa sayang." Handoko menepuk-nepuk punggung putrinya.
Ketika membaca notes di pintu kulkas itu seketika tadi kakinya seolah tak bisa menopang berat badannya sendiri. Siapapun akan seperti itu ketika mendengar kabar bahwa orang yang disayanginya sedang terbaring di rumah sakit. Tidak ada yang baik-baik saja ketika mendengar berita buruk.
"Ayah kaya gini dan aku gak tahu." ucap Andrea disela tangisnya.
Handoko menoleh sekilas pada istrinya dan tersenyum. Ia ingin menenangkan wajah khawatir itu dengan mengisyaratkan bahwa dia bisa menenangkan Andrea.
"Tiga hari lagi ayah udah bisa pulang kok. Tadi dokter udah bilang."
"Ya tetep aja..." Andrea terisak. "Gak mikirin perasaan aku apa ketika nanti ayah pulang dengan keadaan yang... mengerikan kaya gini. Gak mikirin aku bakal bertanya-tanyanya kaya gimana?"
"Iya.. iya..." Handoko menepuk-nepuk punggungnya lebih keras. Namun itu gerakan yang amat sangat menenangkan. "Maafin ayah sama ibu ya."
Andrea melepaskan pelukan ayahnya. Menatap ayahnya dengan tatapan yang amat sangat khawatir. Ia bergidik sendiri melihat kedua tangan ayahnya. Hatinya yang keras menjadi lunak, lunak sekali. Mendadak anak gadis yang selalu dikira keras, cuek, tak mau mendengarkan kata orang lain, dan mandiri ini berubah bak anak lima tahun yang punya hati yang amat sangat lembut.
"Ya ampun ayah sekarat." rengek Andrea. Lalu Handoko merengkuh kembali putrinya menggunakan tangan kirinya. Dan menepuk-nepuknya.
"Udah... udah.. jangan nangis." katanya. Dia lalu terkekeh. "Ayah gak sekarat, Dre."
Tiba-tiba saja pintu di ketuk.
Andrea melepaskan pelukannya, mengelap air matanya dan kemudian melongo melihat siapa yang saat ini berdiri di pintu masuk.
"Fardhan."
Sama halnya dengan Andrea yang heran dengan kehadiran laki-laki itu, Fardhan pun menunjukan wajah yang sama.
"Andrea." Panggil Fardhan. Apa yang terjadi mirip sekali dengan yang sering terjadi di drama-drama. Kedua tokoh berdiri dengan wajah heran sambil memanggil nama satu sama lain.
***
Cieee... ada yang dibikin muntah-muntah. Pen nangis lihat reaksi Zayyan. Dia suka gak sih sebenernya sama Andrea? Serasa pengen nyeret mereka ke KUA deh
Akhirnya Andrea tahu kalau Fardhan baik-baik aja setelah insiden teror itu...
Btw gimana part ini menurut kalian
Chapter selanjutnya akan di update 2 hari lagi, nantikan terus yaaa
Btw, terimakasih untuk kalian semua yang setia baca cerita ini dari awal mula aku bikin. Terharu banget karena cerita berdebu ini ternyata masih ada yang baca. Bahkan rasa terimakasih kayanya gak cukup buat aku ucapin. Sayang kalian pokoknya
Sending hug
Iis Tazkiati N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top