34. Dalam Hitungan ke Lima

Haii.. Selamat malam!!

Ketemu lagi sama aku, eh sama Mr. D maksudnya

***

Curhat:

Aku orangnya suka risih banget sama orang baru. Bahkan kadang suka dilanda panik berlebihan kalau ada di tempat yang orangnya banyak dan gak ada yang aku kenal. Kamu tahulah, rasanya kaya semua orang tuh lihatin kamu dengan cara terjelek. Akibatnya aku jarang banget keluar rumah. Dan ada yang sedikit nyinyir. Katanya, gaul dong sama orang-orang.

Aku cuma iya iya aja.

Mengakrabkan diri sama orang baru itu sulit tahu...

***

Btw, di chapter ini aku akan buat kalian terkejut se terkejut-kejutnya

Siap-siap aja yaaa

Selamat membaca

***

Glen meletakan semua kaset  yang diambilnya dari apartemen Dino di atas mejanya. Sebelumnya Glen membawa semua kaset itu ke rumahnya atas saran Fardhan, mereka baru hendak menyerahkan semua DVD itu ke tim bukti siang ini. Fardhan melewatinya begitu saja menuju mejanya yang berseberangan dengan Glen. Sekarang semuanya masuk akal jika mereka tak bisa menghubungkan pembunuhan Dea sahabatnya Andrea dan Dea kakaknya Zayyan. Karena memang yang membunuh mereka berdua adalah orang yang beda. Kalau memang benar mereka adalah sebuah perkumpulan atau sebuah organisasi dengan sebuah misi untuk setiap anggotanya, mereka pasti berjalan dengan cara sistematis. Punya pemimpin yang jenius dan bukan orang sembarangan. Karena kepolisian pun tak bisa mengetahui tentang hal itu. Kematian mereka berdua tak terendus sebagai pembunuhan sama sekali. Natural sekali. Seolah-olah bunuh diri.

Dea yang sedang bermasalah dengan kehidupan sosialnya karena dia hamil dan dibully semua orang menjadi alasan yang kuat sebagai dugaan bahwa dia mampu untuk membunuh dirinya sendiri dengan melompat dari atap gedung. Dan Dea Haryanti yang sedang bermasalah dengan skandal, Fardhan memejamkan matanya tak ingin mengingat skandal itu. Mereka berdua sama-sama sedang memiliki masalah. Masalah yang bisa menjadi alasan mereka bunuh diri. Namun, siapa sangka bahwa kedua orang itu dibunuh.

Fardhan mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ternyata ada orang-orang di dunia ini yang beranggapan bahwa satu masalah akan tuntas dengan cara membunuh. Ternyata ada sekelompok orang terorganisir yang memiliki visi yang sama untuk membunuh. Dan salah satu dari mereka adalah Bella.

Ia lalu beranjak dari kursinya menuju ruang interogasi. Ia harap bisa membujuk Bella agar memgatakan sesuatu. Fardhan merasa akan semakin gila jika hanya duduk diam saja dan berpikir sendirian. Kepalanya akan pecah. Ia akan membujuk Bella. Jika boleh, ia akan menggunakan cara klasik untuk mendapatkan sesuatu dari gadis itu.

Di kursinya Glen hanya mengekori dengan matanya. Dia punya urusan dengan kaset-kaset itu. Meskipun sebenarnya penasaran kemana perginya rekan sekaligus sahabatnya itu.

Seorang perempuan yang memiliki wajah lebih muda dari usia Fardhan keluar dari ruang interogasi. Perempuan itu menggeleng lemah. Tanda bahwa dia belum bisa membuat Bella berbicara.

"Makasih Marga." Fardhan menepuk bahu Margaret. Tak menyalahkan sama sekali.

Perempuan itu mengangguk. "Sekedar informasi saja. Tadi ibu nya Ferdi datang bawa sekelompok pengacara." Margaret nyengir.

"Apa?" Pekik Fardhan. Tak habis pikir dengan upaya orang tua Ferdi untuk membebaskan putranya

"Tapi tenang saja, lawannya punya backing lebih kuat. Ferdi masih di sel." Margaret menepuk Fardhan.

Pria itu mengangguk. Lalu mereka pun berpisah di depan pintu. Fardhan masuk ke ruang interogasi dan Margaret entah kemana.

Fardhan menghempaskan tubuhnya di kursi. Gadis itu lebih pucat dari semalam. Katanya Bella juga menolak makan apapun sejak tadi pagi.

Bella tak berbicara apapun sama sekali setelah mengaku bahwa dia sudah membunuh Rineka. Gadis itu tak mau mengeluarkan sepatah katapun selain pengakuan itu. Membuat mereka semua kewalahan bagaimana cara agar mereka tahu dengan cara apa Bella masuk ke rumah Rineka lalu menyusup ke kamarnya tanpa ketahuian oleh para penjaga. Entah apa yang disembunyikannya.

"Masih tak mau bicara tentang gimana kamu membunuh Rineka?" Fardhan memundurkan punggungnya pada sandaran kursi. Membuat jarak mereka terpaut sedikit jauh. Tangannya menyilang di depan dada. Cara ini biasanya mempengaruhi lawan bicara.

Bella hanya menunduk. Menatap tangannya yang di borgol. Selain kelopak matanya yang berkedip-kedip lambat tak ada gerakan lain yang dibuatnya. Ekspresinya dingin sekali. Entah karena kepalanya kosong tanpa memikirkan apapun atau karena terlalu banyak yang dipikirkannya.

"Kamu beneran mau diam saja seperti ini?"

Gadis itu bergeming.

"Apa kamu tahu kalau hidup kamu artinya sudah berakhir dengan duduknya kamu disini dan mengaku sebagai pembunuh sahabat kamu sendiri? Setidaknya kamu mengatakan sesuatu yang bisa meringankan hukumanmu." Laki-laki ini berharap bahwa Bella akan mau bicara dengan sedikit bujukan.

Fardhan hanya melihat tenggorokan gadis itu bergerak, menelan ludah.

"Atau kamu memang mau mengucapkan selamat tinggal pada semuanya? Pada masa mudamu, pada teman-temanmu, pada masa depanmu, pada kuliahmu, dan pada keluargamu?" Ia harap Bella terbujuk dengan kata-katanya.

Fardhan dengar bahwa Bella adalah salah satu mahasiswi pintar yang dibiayai kuliahnya oleh beasiswa. Dari Andea ia pun mendengar bahwa Bella adalah mahasiswi paling ambisius di kampus. Nilainya selalu sempurna di setiap mata kuliah. Tak hanya itu, Bella juga aktif dalam kegiatan organisasi dan selalu mengikuti berbagai lomba. Bella adalah mahasiswi yang melakukan apapun untuk membuat CV nya nanti bagai mahakarya ketika dia melamar bekerja di sebuah perusahaan. Bella adalah orang yang menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya terlepas dari setidaksempurna apa hidupnya sebenarnya.

Pertanyaannya, hidup yang sempurna itu yang seperti apa?

Tak tahu kenapa tiba-tiba terpikirkan pertanyaan itu. Sempurna itu seperti ketidakpastian. Seperti kata seseorang, yang terlihat sempurna belum tentu sempurna. Atau mungkin bisa dibilang sempurna itu adalah kecacatan itu sendiri.

Namun, mengejar kesempurnaan itu bukan hal yang salah. Manusia setidaknya harus mengejar sesuatu. Diam di tempat bukan pilihan yang tepat. Diam di tempat menunggu keajaiban cuma yang dilakukan orang-orang idiot. Ya, idiot. Karena kamu bisa melakukan apapun kalau berusaha. Seperti kata orang tua yang menasehati anaknya yang mendapat nilai kurang dari KKM. 'Lihat, temen kamu udah di jakarta, kamu masih di Tasik.'

Intinya sudah ketinggalan jauh.

"Rupanya kamu benar-benar ingin mengucapkan selamat tinggal pada semua itu ya?" Fardhan terkekeh, lalu geleng-geleng tak habis pikir.

Bella mendongak.

Fardhan tersenyum sendu seolah menyayangkan semua pencapaian yang Bella raih selama ini. "Sayang sekali mahasiswi cerdas dan berprestasi seperti kamu berakhir di tempat ini. Semua orang bilang kamu punya potensi sebagai orang paling sukses."

Gadis itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. Namun Fardhan tahu ucapannya sedikit mempengaruhinya.

Orang seperti Bella biasanya suka sekali diapresiasi. Sekecil apapun yang dia lakukan dia akan memberikan perhatian kepada seseorang yang mengapresiasinya. Karena bagi orang seperti Bella yang lahir dari keluarga yang bisa dibilang kekurangan dalam banyak hal mencapai posisi ini bagai sebuah keajaiban. Bahkan untuk mengenyam bangku Sekolah Menengah Atas pun mungkin seperti sebuah anugerah terbesar bagi orang seperti Bella. Pengakuam sekecil apapun akan berarti baginya.

Karena yang ia dengar dari Andrea bahwa Bella pernah hendak putus sekolah ketika SMP. Bagaimana Andrea tahu? Katanya informasi itu ia dengar begitu saja.

Tentu perihal biaya adalah permasalahan utama. Bella hidup dengan seorang ibu tunggal dan 2 adik laki-laki yang juga masih sekolah. Sebagai anak pertama Bella seperti punya kewajiban untuk membantu orang tua. Sebagai anak pertama Bella seperti punya kewajiban untuk mengalah demi pendidikan 2 adiknya. Dan begitu Bella dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa penuh di SMA bergensi dia pun mulai memacu dirinya untuk belajar dengan giat. Bella yang pesimis berubah menjadi siswi yang ambisius. Berbagai lomba berhasil dia menangkan.

Salutnya, dari cerita Andrea, Bella adalah orang yang gigih ketika dia menginginkan sesuatu. Selain itu dia juga gigih mempertahankan apa yang sudah dimilikinya.

"Saya heran kenapa kamu mau merusak masa depan kamu sendiri?" Fardhan geleng-geleng kepala.

Bella hanya menatapnya tanpa ekspresi. Dari wajahnya Fardhan yakin bahwa Bella mendengarkannya.

"Saya harap kamu berubah pikiran dan menghilangkan kekeras kepalaan kamu. Diam bukan pilihan supaya kamu bisa diringankan dari hukuman. Justru ini bisa jadi pemberat buat kamu." Fardhan mencondongkan tubuhnya. Kedua tangannya saling bertautan di atas meja. Memberikan atensinya sepenuhnya pada Bella. Laki-laki itu menatap Bella dengan sangat bersungguh-sungguh. Berharap Bella tahu mengira bahwa Zayyan pun pernah mengalami hal yang sama dengannya.

Biasanya, seseorang menjadi lebih terbuka ketika dia tahu ada orang yang pernah atau sedang menderita hal  yang sama dengannya. Itu alasan kenapa dua orang atau lebih bisa bersahabat erat. Sahabat seperjuangan.

"Asal kamu tahu, saya tidak terlahir dari keluarga yang berada. Saya gak inget apa yang terjadi pada saya sebelum usia saya ke 10. Tiba-tiba saja saya ada di panti asuhan tanpa tahu siapapun dan bahkan saya gak tahu nama saya sendiri. Saya seperti gak kenal dengan diri saya sendiri. Saya ketakutan. Saya menderita."

"Bohong." itu kata pertama yang Bella ucapkan. Tatapan mata dinginnya memang tak menunjukan kepercayaan sama sekali.

"Mungkin kamu merasa bahwa apa yang saya ucapkan seperti cerita dalam novel. Seorang anak 10 tahun yang gak tahu asal-usulnya tiba-tiba terbangun di panti asuhan tanpa tahu namanya sendiri." Fardhan mengangguk-angguk faham. "Saya faham kenapa kamu bilang kalau saya berbohong. Karena rekan-rekan sesama polisi pun kebanyak tak percaya. Kamu bisa mengeceknya sendiri."

Fardhan menghela napas. "Saya gak tahu apa yang membuat kamu memilih jalan ini. Apa kamu tersesat?"

Bella diam. Hanya menatapnya. Tatapan itu sekarang menunjukan ketertarikan. Dia berhasil menarik perhatian Bella.

"Ketika umur 10 tahun dan tak tahu saya siapa, tak tahu apa yang terjadi kemarin, bahkan saya gak tahu siapa ayah dan ibu saya, saya pun merasa bahwa saya sedang tersesat. Saya gak minta kamu membayangkan gimana rasanya anak 10 tahun melihat dunia ini seolah dia tersesat dari dimensi lain, penuh rasa curiga, penuh kewaspadaan, dan selalu merasa takut pada hal kecil seperti di bangunkan dari tidur oleh Ibu Panti. Seorang anak 10 tahun sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Saya sudah bisa berpikir secara rasional saat itu. Mempertanyakan banyak hal.

Kenapa saya seperti ini?  Kenapa saya seperti itu? Kenapa saya ada disini? Kemana orang tua saya? Siapa saya sebenarnya? Apa yang membuat saya ditelantarkan seperti ini? Siapa mereka? Apakah mereka orang baik? Apakah mereka orang jahat? Apakah mereka punya motif ketika baik kepada saya?

Begitulah. Di usia 10 tahun saya sudah menjadi anak yang penuh prasangka. Diusia itu saya sudah menjadi orang penuh rasa curiga dan rasa takut. Apa kamu sedang seperti itu sekarang?"

Bella tak bereaksi.

"Saat umur 12 tahun saya kabur dari panti demi mencari jati diri. Saya menjadi anak jalanan selama berbulan-bulan, sampai kemudian saya bertemu dengan seseorang yang bilang kalau dia akan menolong saya. Saya yang baru 12 tahun yang berjalan mencari jati diri tanpa arah mdengan mudah mempercayainya. Dua tahun, sampai usia saya ke 14 saya merasa bahwa penolong saya bukan orang yang baik. Tapi gimana, saya sudah terlanjur berjalan jatuh di jalan satu arah itu, bersama penolong saya. Untuk putar balik mustahil sedangkan di depan sana entah ada di mana jalan bercabang yang bisa saya ambil.

Saya gak tahu gimana caranya sehingga kamu bisa berada di titik ini? Kalau ternyata alasan kamu duduk di sini saat ini adalah karena hal itu. Ada satu hal yang bisa kamu lakukan Bel." Fardhan berusaha untuk bersikap sebersahabat mungkin dengan memanggil nama panggilannya.

"Kamu bisa bicara sama saya gimana cara kamu bunuh Rineka." ujar Fardhan meyakinkan. "Karena dengan cara itu saja yang bisa meringankan hukuman atau bahkan menghapus hukuman kamu."

Bella menunduk.

Fardhan merasa bahwa apa yang diceritakannya membuat Bella benar-benar terpengaruh. Gadis ini seperti sedang meresapi semuanya. Meresapi alasan ia duduk disini setelah mengaku membunuh sahabatny sendiri lalu tak mengatakan sepatah katapun setelah itu adalah hal yang sia-sia.

"Saya harap kamu memikirkan masa depan kamu. Apa yang sudah kamu raih selama ini. Karena saya pun yang pernah tersesat bias berada di titik ini sekarang." kata Fardhan.

Bahu Bella terguncang.

"Kamu juga tahu kan kalau selalu ada kesempatan kedua untuk orang yang bersungguh-sungguh. Sama seperti saya dan mungkin banyak orang lain di luar sana." Baru saja Fardhan hendak menepuk bahu gadis itu. Guncangan bahu Bella semakin hebat.

Namun....

Bukan karena Bella menangis.

Tangan Fardhan bahkan sampai melayang di udara karena heran dengan Bella yang tiba-tiba tertawa. Padahal sebelumnya dia hanya menatapnya datar. Tiba-tiba saja sekarang dia tertawa hebat seperti itu. Seolah dia sedang menyaksikan acara komedi.

Glen yang entah sejak kapan menyusul namun memantau dari ruang kendali bahkan buru-buru ke ruang interogasi.

"Bel..." ucapan Glen bahkan hanya sampai terdengar telinganya sendiri karena mereka melihat Bella mengangkat tangannya.

Tiba-tiba saja Bella menghentikan tawanya. Sekarang dia tersenyum lebar. 5 jarinya terangkat. Ibu jari yang pertama melipat. Disusul dengan jari kelingking

Bella seperti sedang menghitung sesuatu.

Namun baik Glen maupun Fardhan sama-sama terheran dengan apa yang sedang dia hitung. Hingga dua pria itu hanya saling tatap sesaat sebelum kembali menatap pada Bella.

Bella memang sedang menghitung sesuatu.

Fardhan perlahan berdiri dan mundur, waspada.

Jari manisnya sekarang yang melipat. Senyum lebar Bella tak luruh satu mili pun.

Glen dan Fardhan semakin waspada.

Ketika jari tengah itu melipat. Senyumnya semakin melebar hingga menunjukan jajaran giginya. Creepy.

Dan...

Duarrr....

Suara ledakan terdengar disusul dengan suara retakan lalu terdengar sesuatu seperti rubuh.

Mengabaikan Bella yang kembali tertawa. Fardhan dan Glen bergegas berlari untuk melihat apa yang terjadi. Petugas polisi berlarian di sepanjang lorong menuju satu arah yang sama. Sumber dari suara ledakan itu. Suara teriakan ada di mana-mana. Semuanya berlarian dengan panik tak tentu arah. Kekacauan itu seolah tak lengkap dengan suara sirine yang saling bersahutan dan juga semburan air dari plafon.

Glen hampir menjadi korban yang tertimpa reruntuhan jika saja Fardhan tidak cepat menarik bahunya. Mereka berdua sampai lebih dulu disana.

"Astaga!"

Pekik Glen.

Tembok yang seharusnya ada di depan mereka sudah berubah menjadi tumpukan beton.

Mereka berdua dan beberapa polisi yang beruntung terhenyak melihat lobi kantor polisi yang sudah berubah menjadi reruntuhan. Butuh beberapa detik bagi Fardhan dan Glen sadar bahwa di depan mereka seorang polisi muda sedang merintih minta tolong karena kakinya tertimpa reruntuhan.

Secepat kilat mereka berdua dan beberapa orang lain membantu mengangkat beton yang menghimpit kaki polisi muda itu.

Sementara polisi muda itu diamankan dan ditenangkan oleh Glen dan yang lainnya Fardhan terbengong. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah ini ulah Bella?

***

Haii.....

Uwuwwwww mari berbingung-bingung ria

Alasan Bella menyerahkan diri karena dia beneran bunuh Rinekaatau justru buat ngebom sih?

Kalau Bella yang bunuh Rineka, dia punya alibi sejak awal makanya dia gak di periksa lebih lanjut sama polisi

Atau apa dia yang naruh bom itu? Apa Fardhan sama Glen bakal dapet bukti kalau Bella yang ngebom loby kantor polisi?

Atau menurut kalian pelaku pembunuhan Rineka dan yang ngebom itu orang yang beda?


Nantikan terus kelanjutannya yaa

Sending hug

Iis Tazkiati N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top