33. Penangkapan

Hai... salam sejahtera

Semoga selalu diberikan kebaikan, keberkahan, dan yang paling penting ketenangan hati 

Udah malam minggu nih

Mr. D. update lagi

Semoga makin heboh cerita ini

Ayo dong komen, kuburan aja rame

***

"Mas hari ini pulang gak?" tanya Lina pada suaminya. Akhir-akhir ini Handoko jarang sekali ada di rumah. Dia selalu mengatakan bahwa pekerjaannya di kantor sedang banyak, dimana mau tidak mau dia harus lembur setiap hari. Namun, Lina bukan ibu rumah tangga saja. Dia pun wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan yang juga bisa dibilang sibuk setiap bulannya. Akan tetapi, sesibuk apapun dia tak pernah melupakan kewajibannya untuk pulang, selarut apapun.

"Aku lembur lagi hari ini. Kemungkinan nginep di kantor." Entah kenapa ia merasa bahwa suaminya sedang beralasan. Tak salah kan bagi seorang perempuan mengira bahwa suaminya hanya sedang beralasan karena punya perempuan lain di luar sana. Rasa curiga seperti ini tak serta merta muncul jika Handoko selalu membalas pesannya tak begitu lama dan tak sering lembur.

Lina menghela napas. Sesaat ragu untuk menanyakan ini. Mereka memang bukan suami istri yang baru berumah tangga setahun dua tahun. Tahun ini adalah tahun ke 20 pernikaan mereka. Dan sebelum itu Lina dan Handoko sudah saling mengenal satu sama lain sejak di bangku SMA. Mereka menikah di usia ke 23. Itu artinya sudah setengah abad mereka saling mengenal. Wanita 40 tahunan itu mendadak merasa sesak.

"Gak ada perempuan lain kan?" Setidaknya suaminya tahu bahwa saat ini ia sedang merasa tak nyaman dengan jarak yang tiba-tiba membentang dengan alasan lembur setiap hari sampai tak pulang selama berhari-hari.

Handoko di ujung sana pun diam.

Lina pun menangis. Ia tidak mau mempercayai dugaannya. Namun diamnya Handoko membuat ia semakin curiga. "Boleh aku minta satu hal sama kamu, mas?"

Di ujung sana masih diam. Hanya terdengar hembusan napas saja. Itu artinya Handoko masih mendengarkannya.

"Jangan sampai Andrea tahu kalau ayahnya punya perempuan lain di luar sana."

"Ya." hanya sahutan itu yang terdengar sebelum panggilan itu diputuskan.

Lina meletakan ponselnya hati-hati di atas meja ruang tamu. Ia lalu memijat pelipisnya yang mendadak terasa pening. Laki-laki mengalami puber sebanyak 2 kali. Apakah ini alasannya? Lina juga tahu bahwa laki-laki bisa mencintai dua perempuan dalam satu waktu. Lina bukan bocah yang tak tahu hal itu. Lina juga tak mau merusak martabatnya dengan mencak-mencak melarang suaminya untuk pacaran dengan wanita lain meskipun itu memang salah. Meskipun hal itu sebuah pengkhianatan dari janji suci yang saling mereka ucapkan 20 tahun yang lalu. Lina juga tak berani membentaknya untuk memberi tahu siapa wanita itu agar ia bisa mendatanginya dan menjambak rambutnya. Walaupun memang sakit. Ia pun punya hati.

Dibawah remang-remang ia pun berpikir. Ini memang hanya kekhawatirannya. Akan tetapi ia tak bisa berhenti berpikir akan kemungkinan ketika putrinya tahu.

Bagaimana jika Andrea tahu?

Meskipun anak itu sangat-sangat cuek dan terkesan tak peduli kepada apapun. Lina tak bisa menjamin bahwa hal itu tak akan melukainya.

Andrea punya sahabat. Dia adalah Dea yang meninggal beberapa bulan yang lalu. Andrea yang cuek itu tak pernah menunjukan seberapa peduli ia pada Dea. Hingga pada akhirnya Dea meninggal dan Lina pun melihat seterpuruk apa Andrea. Situasi yang sama ia khawatirkan terjadi jika kecurigaannya benar.

"Kenapa gelap-gelapan sih, ma." Andrea masuk tanpa mengetuk dan glangsun berjalan menuju saklar lampu. Seketika ruang tamu terang benderang.

"Lagi banyak pikiran, Dre."

Andrea duduk di sofa yang berbeda. "Karena kerjaan?"

Lina mengangguk meskipun bukan itu alasannya.

"Kenapa gak ngambil cuti aja kalau cape? Kerja terus kaya kuda." Andrea terkekeh.

Lina terkekeh karenanya. "Kamu itu ya."

"Ma, seandainya aku berhenti kuliah gimana?" tanya Andrea.

Lina memang membebaskan Andrea selama ini, dan ia pun tahu bahwa kebebasan yang diberikannya membuat Andrea berleha-leha dengan kuliahnya. Nilai D bukan lagi hal baru.

"Kamu khawatir gak lulus?" tanya Lina.

"Itu salah satunya." katanya. "Tapi ada hal lain yang buat aku berpikir buat berhenti kuliah."

"Apa? Apa yang buat kamu tertarik gak menyelesaikan kuliah kamu?"

"Kalau aku jadi polisi gimana?

"Polisi?"

Andrea mengangguk.

"No!"

"Kenapa, ma?"

"Itu beresiko." ucap Lina khawatir. "Itu pekerjaan yang penuh resiko. Mama gak mau kamu menggadaikan nyawa kamu untuk pekerjaan yang penuh resiko itu."

"Aku pun tahu. Bagi aku semua pekerjaan punya resikonya masing-masing ma."

Lina diam, menatap putrinya lamat-lamat. Ia pun menghela napas dan berusaha berbicara selembut mungkin. "Apa ini karena Dea?"

Andrea tak menjawab. Itu artinya pertanyaannya memiliki jawaban Ya.

"Kamu masih yakin kalau Dea dibunuh?"

"Ya. Dea memang dibunuh, ma."

"Oke, kalau gitu? Kalau mama dan papa cerai gimana?"

Andrea membulatkan matanya. "Masa gara-gara aku mau masuk polisi aja mama dan papa cerai?"

***

Handoko menutup telepon lebih dulu. Menatap ke luar jendela besar yang menampakan hamparan kota Jakarta di malam hari. Gemerlap seperti bintang di atas langit. Ia sedang berada di hotel, namun ia tak bersama siapapun. Hanya sendirian. Laki-laki 43 tahun itu tak menyalahkan istrinya yang menganggap ia punya perempuan lain. Wanita lain pun akan curiga ketika suaminya mendadak jarang pulang ke rumah dan selalu mengkambing hitamkan pekerjaan.

Namun, ini adalah pilihan yang ia buat untuk mengamankan keluarganya. Lina dan putrinya Andrea.

Tidak mungkin ia mengatakan pada Lina dan Andrea bahwa saat ini ia selalu diikuti oleh orang tak dikenal. Dicurigai lebih baik daripada ia harus menggadaikan keselamatan keluarganya. Di hotel inilah ia sedang mengasingkan diri. Berusaha menjauhkan diri dari keluarga sebelum ia tahu siapa dan dengan tujuan apa penguntit itu terus menguntitnya.

Pintu di ketuk dari luar.

Handoko sudah tahu siapa yang mengetuk kamar hotelnya malam-malam. Siapa lagi kalau bukan satu-satunya orang yang tahu bahwa ia diikuti.

"Selamat datang." Handoko mengulas senyum ramah pada pria berjaket kulit itu. Mengarahkan tangannya, mempersilakan Fardhan untuk masuk. Namun setelah Fardhan masuk seorang perempuan muda memunculkan diri dan tersenyum padanya.

Handoko bertanya-tanya siapa perempuan yang bersama dengan Fardhan, namun ia tetap mempersilakannya masuk.

"Margaret." ujar Fardhan setelah ia menghempaskan dirinya di sofa.

Perempuan bernama Margaret itu mengulurkan tangan. "Junior Kak Fardhan." dia mengenalkan dirinya.

Ternyata perempuan ini detektif juga.

***

***

Handoko menoleh sekilas pada kaca spion ketika sedang memundurkan mobilnya di parkiran hotel. Orang itu sudah menunggu. Seperti kemarin, dia menunggu Handoko turun dan akan mengikutinya seharian. Orang berjaket hitam itu menatapnya dari balik kemudi. Meskipun dia berusaha untuk tak terlihat mencolok, namun Handoko sudah mengenali orang itu karena sudah menguntitnya selama ini. Sulit sekali untuk tak mengenalinya.

Handoko berusaha memacu mobilnya pada kecepatan normal, mengarungi jalan raya. Tak mau terlalu lambat karena itu bisa menunjukan bahwa saat ini dirinya sedang was-was. Handoko pun berusaha untuk tak berkendara terlalu cepat karena itu bisa menimbulkan kecurigaan dari orang itu. Seperti biasa Handoko menyambangi gerai kopi langganannya dan memesan satu cangkir kopi panas. Dia lalu kembali ke mobil. Selagi memundurkan mobilnya ia meantap kaca yang menggantung di atas dashboard, orang itu mengawasinya dari pinggir jalan. Di dalam mobilnya mungkin dia sedang mengawasi Handoko dari balik setirnya.

Di tengah laju mobilnya ia menyempatkan menatap kaca spion. Orang itu mengendarai  avanza hitam. Di belakangnya sebuah motor mengikuti.

Saat seseorang diikuti ia hanya bisa berharap sekeliling ramai sepanjang jalan, atau setidaknya kecepatan lajunya tak bisa diimbangi. Handoko berharap dia bisa melarikan diri dari kuntitan orang itu. Laki-laki itu mencoba untuk mejalani kesehariannya seperti biasa, meskipun ia memasang mode siaga.

Sayangnya jalan menuju tempat kerjanya membuatnya mau tidak mau harus melewati jalanan yang cukup sepi. Bertahun-tahun ia melewati jalan ini, baru akhir-akhir ini ia merasa ngeri melewatinya. Seperti bahaya bisa saja menyerangkan kapanpun saat ia melewati jalan ini. Jalan yang melalui kawasan industri yang entah kenapa sepi pada jam ini, padahal biasanya ada satu dua orang yang menggunakna jalan ini untuk akses menuju pabrik. Tunggu, sekarang sudah jam 9, itu artinya kebanyakan karyawan pabrik sudah memulai aktivitas bekerjanya.

Bodohnya, ia tak menyadari bahwa keberangkatannya mendekati pukul sembilan adalah sebuah kebodohan. Lewat dari jam 8 jalan ini selalu sepi. Tiba-tiba saja bagian belakangnya di tabrak. Keras sekali sampai-sampai Handoko harus mengeratkan pegangannya pada setir mobilnya. Tabrakan itu tak hanya satu kali. Tabrakan kedua bahkan lebih keras lagi. Hampir saja ia kehilangan kendali atas mobilnya.

Avanza hitam itu melambat.Handoko menggunakan kesempatan itu untuk memacu mobilnya lebih cepat meskipun ia tahu mustahil menjalankan mobil dengan kecepatan lebih dari 50 km di jalan yang di beberapa tempat berlubang ini. Handoko berhasil merentang jarang diantara mobilnya dengan avanza hitam itu. Handoko tak peduli sama sekali dengan belakang mobilnya yang mungkin penyok-penyok. Ia hanya perlu menuju tempat aman. Jalan yang cukup ramai mungkin. Dan itu masih jauh.

Mobil hitam itu entah sejak kapan sudah berada 3 meter di belakangnya. Handoko tak menyadari bahwa mobil itu berhasil mengejarnya sampai ia melihatnya di spion bahwa mobil itu memacu kecepatannya gila-gilaan dan menabrak belakang mobilnya lagi. Handoko kehilangan keseimbangan sesaat. Mobilnya hampir melompat ke pesawahan. Beruntung ai sempat bergerak reflesk membelokan mobilnya kembali ke jalanan. Ia pun memacu mobilnya lagi yang nyatanya percuma karena belakang mobilnya ditabrak keras sekali.

Handoko benar-benar kehilangan kendali atas mobil yang dikendarainya. Dan satu tabrakan terakhir membawa mobil Handoko meluncur ke dalam jurang sedalam 5 meter. Mobilnya sempat berguling-guling 3 dua putaran sebelum tersangkut pada batang pohon besar.

Handoko mendarat dalam posisi mobil yang miring. Dirinya berada di atas. Tubuhnya menggantung. Laki-laki itu sempat tak sadarkan diri sesaat sebelum tersadar dengan sendirinya. Darah menetes dari kepalanya. Lengan kirinya luka, darah merembes dari sela-sela robekan lengan kemejanya. Handoko tersadar dengan kepala pusing dan tubuh terasa lemas.

Ini buruk.

Lebih buruk lagi ketika ia mendengar letupan-letupan kecil. Mobilnya seperti akan terbakar.

Tak mau menjadi daging panggan, Handoko memaksa tangan kanannya yang menggantung untuk meraih sabuk pengaman, melepaskannya. Tubuhnya seketika terbanting ke sisi mobil yang lain. Saat itulah Handoko sadar bahwa tangan kanannya patah. Dengan tangan kiri yang terluka ia berdiri merayap dan memukul kaca mobilnya. Tak mudah. Lalu ia teringat pada kunci inggris yang selalu dia letakan di dalam dashboar. Handoko menggunakan kunci inggris itu untuk memecahkan kaca. Dan woww.... Seseorang memang bisa menjadi seseorang dengan kekuatan mengerikan ketika berada diambang batas kematian. Kaca itu hancur dan berjatuhan. Serpihannya mengenai keningnya dan turut andil dalam menambah luka di wajahnya.

Namun luka baru itu bukan masalah besar. Masalah besarnya adalah pria berjaket hitam itu sedang berdiri di atas jurang dan menodongkan pistol ke arahnya.

Tunggu, pistol?

Handoko membatu. Seketika ragu untuk keluar dari mobilnya. Karena jika keluar pun ia tak punya pilihan lain selain kematian.

'Dorrrr'

Handoko memejamkan mata.

'Dorrr'

Tembakan kedua terdengar berselang seperkian detik dari tembakan pertama. Namun ia tak merasakan peluru menembus kepala atau tubuhnya. Sampai kemudian Handoko mendengar suara gemerisik rerumputan di atas saja.

Perempuan bernama Margaret itu sedang melumpuhkan pria itu. Pria berjaket hitam itu meronta-ronta di bawah kuncian Margaret yang sedang memasangkan borgol di tangannya.

"Pegang aku." Entah kapan Fardhan sudah menuruni jurang dan berdiri di atas mobil. Menatapnya panik sambil mengulurkan tangan. Handoko meraihnya membiarkan Fardhan menariknya dari dalam mobil.

"Maaf, kamu hampir terlambat." katanya.

"Tak apa-apa." ujar Handoko. "Aku masih  hidup."

***

Aduhhh... siapa sih orang itu serem banget. Udah nguntit... ternyata punya niat yang lebih buruk dari itu



Sending Hug

Iis Tazkiati N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top