29. Tim
Haiiiiii.... Ya ampun kangen banget sama Andrea dan Zayyan
Btw, gak tahu diri banget sih kalau aku minta komen panjang apalagi komen tiap paragraf
Semoga suka yaaaa
***
"Lo bener... kita gak punya alibi." memikirkan dirinya akan dipanggil lagi ke kepolisian dan masuk ke ruang interogasi membuatnya memejamkan mata lamat-lamat. Kalau sebelumnya Andrea dipanggil sebagai saksi kemungkinan besar sekarang ia akan dipanggil sebagai tersangka. Lebih buruk dari sebelumnya. "Kita mungkin terekam CCTV."
Pria itu hanya diam di hadapannya. Memikirkan hal yang sama. CCTV tersebar di setiap sudut bangunan. Bahkan lorong menuju toilet pun tak luput dari pengawasan benda kecil bulat itu. Pihak kampus memang sengaja memperketat keamanan untuk mengurangi tingkat kriminalitas di kampus. Bian Prahadi, selaku pemilik yayasan amat sangat terobsesi dengan rasa aman. Atau mungkin barang kali dia sangat terobsesi untuk mengawasi semua mahasiswa. Membatasi ruang gerak semua orang dengan dalih keamanan.
Bisa dikatakan tak ada harapan bagi mereka berdua lepas dari tuduhan.
"Gue males banget Za kalau harus ke kantor polisi lagi. Terlebih sekarang, kemungkinan besar gue gak akan dipanggil sebagai saksi, tapi bisa jadi sebagai tersangka." Andrea menjeda kalimatnya, menunggu respon Zayyan. Namun pria itu hanya diam sejak tadi. Terlihat tenang namun ia tahu bahwa pria itu sedang memikirkan sesuatu.
"Apa ada yang bisa kita lakukan?" tanya Andrea cepat saat melihat Zayyan mengangkat wajahnya.
Pria itu menatap Andrea selama beberapa detik tanpa mengatakan apapun. Zayyan sepertinya mempunyai sebuah ide. Dia memang selalu menemukan jalan terlepas sebuntu apapun pikiran Andrea.
Sayangnya jarang bahkan hampir tak pernah Zayyan mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya. Seperti saat ini.
"Tunggu disini." Pria itu tersenyum samar sambil memakai tudung jaketnya. Setelah itu Zayyan melenggang pergi entah kemana. Menyisakan lenggang dan pertanyaan yang belum sempat tersampaikan dari mulut Andrea. Dan juga meninggalkan Andrea yang kebigungan harus melakukan apa saat ini.
Jujur Andrea benci dengan sifat Zayyan yang satu itu. Dia selalu punya ide sendiri, dia selalu punya pemikiran sendiri namun tak pernah membagikan kepadanya. Padahal Zayyan bilang mereka sebuah tim. Andrea ingin menangkap siapa yang membunuh Dea dan pria itu pun ingin menangkap orang yang membunuh kakak angkatnya. Mereka punya hubungan simbiosis mutualisme. Mereka punya kepentingan yang sama. Tujuan yang sama. Namun sayangnya, Zayyan tak pernah mengatakan rencananya. Membuat Andrea lagi-lagi hanya berdiri dan menunggu kabar. Ia merasa tak prenah dilibatkan.
Bahkan ketika dia pergi menemui Farhan dan menemukan pria itu meninggal pun dia tak mengatakannya sama sekali. Memang Andrea tak berhubungan dengan Farhan. Bahkan mengenalnya pun tidak. Barangkali Zayyan lupa bahwa mereka punya tujuan yang sama sebagai sebuah tim. Punya pemikiran yang sama. Dan punya tingkat kepercayaan yang sama terhadap kepolisian, terkecuali Fardhan dan Glen. Dua detektif itu berjuang diam-diam bahkan setelah atasan mereka memaksa untuk menutup kasus Dea yang terkesan terburu-buru, tanpa penyelidikan lanjutan.
Andrea benci hanya menunggu kabar. Andrea benci tak tahu apapun.
Sementara Andrea selalu mengatakan apapun kepada Zayyan. Ia pikir apapun yang berkaitan dengan tujuan tim, pria itu harus tahu. Paket ancaman, Ferdi, kehidupan Dea, dan juga fakta bahwa Pak Dino kemungkinan punya hubungan dengan Dea. Tak ada yang luput ia beritahukan kepada pria itu.
Baik, jika Zayyan seperti itu. Kalau memang bekerja sendiri memang cara pria itu. Maka Andrea pun akan melakukan hal yang sama. Ia pernah mendengar bahwa jawaban selalu ada di TKP.
Ia akan mencoba menerobos ke TKP. Ia ingat ruang dosen punya jendela belakang, sedikit terhalang oleh lemari dan letaknya berada di atas. Beruntung tubuhnya tak bisa dibilang besar. Andrea bisa melewati celah antara jendela dan lemari itu.
Yang harus ia lakukan pertama kali adalah memastikan penjagaan di depan ruang dosen. Tim Forensik sudah pergi sejak beberapa saat yang lalu. Setahunya TKP akan dibiarkan bersih tanpa ada siapapun yang masuk setelah tim forensik selesai dengan pekerjaannya.
Penjagaannya tak terlalu ketat. Dua polisi muda berdiri di depan police line. Menunjukan muka masam kepada mahasiswa/mahasiswi yang entah kenapa masih saja banyak yang berkerumun penasaran. Untungnya pintu ruang dosen tertutup. Mungkin tidak akan ada yang tahu jika ada orang yang masuk melalui jendela belakang.
Setelah memantapkan keberaniannya Andrea pun berjalan memutar hingga ia sampai tepat di belakang ruang dosen. Jendela yang letaknya cukup tinggi membuat Andrea harus memindahkan sebuah pot tanaman yang terbuat dari batu. Cukup berat dan butuh waktu lama untuk ia menggotong dan menempatkannya tepat di bawah jendela.
Tekad memang mengalahkan semuanya. Tubuh Andrea yang tak berotot bisa memindahkannya.
Tinggi pot tanaman itu memang pas untuk dijadikan pijakan. Ia bisa melihat dengan jelas penampakan TKP. Meja-meja berbaris. Tumpukan tugas mahasiswi di beberapa meja. Lemari tempat menyimpan buku dan arsip-asrsip penting. Selain sebuah tali yang dibiarkan menggantung pada sebuah kipas angin semuanya tampak normal dan rapi. Pak Dino dibunuh dengan cara digantung di kipas angin itu.
Andrea tak bisa mengatakan bahwa Pak Dino bunuh diri seperti anggapan banyak orang. Bella sudah membocorkan rencana pembunuhan Pak Dino. Andrea dan Zayyan mencoba menghalanginya namun ternyata mereka lebih pintar dan tak kenal tempat. Membuat usahanya dan Zayyan untuk tak membiarkan Pak Dino pulang ke apartemennya tak membuahkan hasil sama sekali. Pak Dino tetap dibunuh sesuai dengan rencana.
Apa Bella senang dengan hal ini?
Apakah mereka senang sudah menghilangkan satu nyawa dan membuat kegemparan?
"Pasti ada yang Pak Dino tinggalkan." gumamnya.
Dengan bantuan gunting dari tasnya ia mencongkel jendela itu. Mencoba membukanya dari luar. Tak tahu apakah akan berhasil atau malah ketahuan. Ia hanya mencobanya. Setidaknya ia harus memastikan apakah ada sesuatu yang ditinggalkan Pak Dino di dalam sana.
Jendela itu ternyata tidak dikunci dari dalam. Dari luar saja terlihat rapat. Namun ternyata kelihatan seperti itu karena debu tebal karena tak pernah dibuka tutup. Debu terbang begitu jendela terbuka sehingga Andrea harus menahan diri agar tidak terbatuk.
"Fokus." Andrea membulatkan kembali tekadnya.
Tubuhnya baru setengah jalan masuk ke dalam ketika seseorang menarik kausnya. Dengan panik Andrea menoleh.
"Turun, Dre." bisik Zayyan penuh penekanan.
"Gue harus tahu apa yang ada di dalam sana. Pak Dino pasti ninggalin sesuatu."
Zayyan menggeleng.
"Kenapa?"
"Kalaupun ada, polisi dan tim forensik pasti udah menemukannya duluan."
"Bisa jadi ada yang mereka lewatkan."
Zayyan menggeleng lagi.
"Jangan ganggu rencana gue. Lo aja suka melakukan apapun tanpa ngasih tahu gue. Jadi jangan ganggu gue."
"Kalau lo melakukan ini karena takut dituduh bunuh Pak Dino, jangan khawatir." katanya.
Andrea menatapnya tajam. Ia memang takut akan hal itu. Selain ingin tahu apakah ada sesuatu yang Pak Dino tinggalkan untuk bisa dijadikan petunjuk. Ia juga ingin mencari sesuatu yang sekiranya bisa membebaskannya dari kemungkinan di tuduh sebagai pembunuh Pak Dino. Bukti bahwa ia dan Zayyan mencuri kunci ruang dosen untuk mengunci Pak Dino di dalam akan menjadi bukti yang sangat memberatkan. Andrea menyadari hal itu.
Zayyan menunjukan sebuah hardisk dari balik saku jaketnya. Andrea yang tak tahu bahwa di hardisk tersebutlah tersimpan rekaman CCTV seluruh gedung selama 7 hari ke belakang malah menepis tangan Zayyan dari kausnya.
"Jangan ganggu gue."
Pria itu berdecak. Kadang sulit sekali bekerja sama dengan gadis seperti Andrea. Selalu bertindak tanpa rencana. Dan terkesan serampangan. Padahal sebelumnya ia meminta gadis ini untuk menunggu selama ia mencuri rekaman CCTV dan menghapusnya.
"Gue udah dapet rekaman CCTV semalem." ujar Zayyan. "Kalau lo khawatir karena itu, lo sekarang harus merasa lega."
"Maksud lo?"
"Gue beruntung karena polisi belum ngambil rekaman CCTV-nya. Lagi pula pembunuh itu gak bakal ninggalin bukti gitu aja di TKP."
Kemudian Andrea menurut, turun dari sana dan mengikuti Zayyan pergi ke sebuah tempat yang cukup tenang di luar kampus. Mereka tak pergi ke cafe tempat mereka biasa bertemu. Zayyan membawanya ke sebuah lingkungan yang tak Andrea kenali. Sebuah kompleks perumahan elit. Setahunya orang-orang yang tinggal disini sekelas pejabat, pengusaha, dan pekerja sukses bergaji puluhan juta sebulan.
"Kita kemana?" tanya Andrea sambil menatap takjub pada barisan rumah-rumah yang lebih mirip seperti kumpulan istana ini. Mulutnya menganga dan tak peduli di cap kampungan oleh Zayyan dan supir taxi yang mengantar mereka.
"Ke rumah gue." jawab Zayyan singkat.
Andrea menoleh. "Rumah lo di belakang kompleks ini?"
Maaf, bukan Andrea tak percaya ketika Zayyan bilang akan pergi ke rumahnya yang kemungkinan ada di kompleks ini. Ia terlalu tak percaya dengan melihat penampilan pria ini sehari-hari.
"Disini pak."
Barulah saat Zayyan membuka jendela dan berbicara kepada satpam yang berjaga di gerbang sebuah rumah mewah mau tak mau Andrea percaya.
"Rumah gue disini." jawab Zayyan saat taxi yang mereka naiki masuk ke halaman luas rumah setelah gerbang otomatis itu dibukakan oleh security.
Penampilan dan rumah yang berdiri megah di hadapannya benar-benar mematahkan segala anggapan Andrea terhadap Zayyan. Dan kalau dipikir-pikir lagi, Dea Haryanti sebelumnya bukan orang biasa-biasa saja. Dia artis terkenal yang sering melanglang buana di televisi, radio, dan acara-acara musik besar. Bahkan dulu ia ingat wajah Dea Haryanti pernah muncul di acara resmi kepresidenan.
"Ini semua peninggalan kakak lo?" Andrea masih tak percaya.
"Sebelum gue dan Dea Haryanti sodaraan, papa gue emang udah kaya."
Andrea hanya manggut-manggut. Mengikuti langkah kaki pria itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah besar ini terasa dingin dan sepi. "Gue tinggal sendiri. Mama di Amerika sejak 2 tahun yang lalu." jelas Zayyan tanpa diminta.
Andrea memang tak gampang mempercayai sesuatu. Namun, langkah kaki tak ragu pria ini saat melangkah di atas lantai marmer ini mengalahkan segalanya. Zayyan memang tinggal disini. Ditambah lagi dengan foto keluarga berukuran besar digantung di dinding. Foto Zayyan, Dea Haryanti, laki-laki yang mirip sekali dengan Zayyan, dan seorang wanita paruh baya menjadi buktinya.
"Jadi mau ngapain lo ngajak gue ke istana lo?" Andrea menjatuhkan pantatnya di sofa, sementara pria itu duduk santai di kursi gaming, di depan dua layar cekung yang mati.
"Buat rencana." jawab Zayyan singkat.
Andrea menumpuk kakinya, menatap Zayyan dengan tatapan meremehkan. "Bukannya lo lebih suka melakukan apapun sendirian ya? Lo gak pernah melibatkan gue dalam apapun rencana lo."
Zayyan hanya menatapnya datar dengan tatapan malas. Dia seperti jengah menghadapi sikap anak kecil yang sedang merajuk.
"Buat apa lo ajak gue buat membuat rencana kalau pada akhirnya lo nyuruh gue duduk buat nunggu hasil lagi? Lo gak butuh gue sama sekali buat menemukan mereka."
Zayyan mengembuskan napas. "Soal tadi maaf." katanya. "Maaf katanya gue minta lo nunggu sementara gue pergi buat ngambil rekaman CCTV semalem."
"Tanpa lo gue pun bisa buat rencana." Andrea mencoba mengambil alih keadaan. Membuat dirinya sebagai korban dan Zayyan adalah orang jahatnya.
"Rencana yang lo maksud bukan masuk ke ruang dosen lewat jendela belakang kaya tadi?" pria itu terkekeh. Namun saat melihat tatapan tajam Andrea yang tak terima rencananya di olok-olok seketika menahan lengkungan bibirnya.
"Itu bukan rencana yang bagus, Dre." ucap Zayyan. "Itu beresiko banget. Nanti lo bukan cuma bakal ditanya kenapa berkeliaran di depan ruang dosen, tapi bakal dicurigai mau merusak TKP."
Gadis itu mengarahkan tatapannya ke arah lain. Tak mau menatap Zayyan sama sekali. Dia tak mau mengaku kalah. Apa yang Zayyan katakan sangat benar.
"Sekarang kita bisa tenang karena CCTV ini udah ada sma gue." ujar Zayyan.
Andrea memutar bola mata. Menghela napas lalu bertanya dengan tatapan yang masih tak terarah pada Zayyan. "Lalu apa rencananya? Bilang apapun semuanya sama gue, apapun itu. Jangan buat gue diam dan nunggu hasilnya lagi. Gue mau terlihat dalam apapun rencana lo."
"Oke." ucap Zayyan menyetujui.
"Pertama, kita harus cari tahu hubungan Dea dan Pak Dino."
***
"Kamu..." Wanita paruh baya yang baru saja turun dari taxi menatap bingung Andrea yang berdiri di depan pagar rumahnya. "Siapa?"
"Saya Andrea tante." jawab Andrea tak lupa senyum ramahnya.
"Andrea." Wanita paruh baya yang merupakan tante dari Dea masih tak mengenalinya. Padahal dulu ia beberapa kali bulak-balik main.
"Temennya Dea." jelas Andrea.
Barulah setelah mengatakan hal itu, wajah wanita ini menjadi cerah.
"Ya ampun Andrea." Wanita itu seketika berhambur ke memeluknya. "Sudah berapa lama kamu gak mampir kesini."
"Udah lama banget, tante."
"Kamu tumen mampir?"
Andrea tersenyum. "Lagi kangen sama Dea, boleh aku lihat kamarnya Dea tante?"
***
hai hai....
Udah lama sekali gak update Mr. D
Lega sekali akhirnya bisa update ini jugaaaa
Nantikan kelanjutannya yaa
Dan harap bersabar, karena jujur bagi aku nulis Mr. D ini sulit banget. Aku berusaha untuk buat part nya agar nyambung sama part sebelumnya nyampe harus baca ulang lagi dari awal. Resiko kelamaan diendapin sih.
Selain itu, buat cerita ini sulit bgt karena aku harus mendobrak sisi melankolis aku. Jujur, imajinasi aku penuh sama cerita-cerita romantis, cerita-cerita melodrama gitu. Jadi sebisa mungkin aku menjaga agar cerita ini gak ada plot hole atau ketidaknyambungannya
Iis Tazkiati N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top