24. Pelacakan Dimulai
***
Bagaimana cara orang untuk menghadapi rasa takut untuk membebaskan diri dari rasa takut itu? Andrea sudah berusaha untuk menghadapinya. Berusaha mengabaikan peringatan dari paket berdarah itu. Namun nyatanya tak semudah itu. Ia mencoba membebaskan diri dengan melupakan bahwa ia pernah menerima paket itu namun nyatanya malah semakin membuatnya ingat. Ia mencoba untuk menghadapinya dengan cara mengakui bahwa ia memang menerima paket itu dan apa, ia malah semakin merasa cemas. Ketakutan itu seperti lubang hitam dalam dirinya, menelan apapapun. Keberanian, kepercayaan diri, kebebasan, kemapuannya berpikir. Ia ingin lenyap.
Dia menatap air di kolam renang kampusnya. Tanpa sadar kakinya membawa dia ke kolam renang indoor ini. Beberapa anggota klub renang yang sedang latihan meneriakinya dari sisi kolam renang yang lain supaya ia menjauh dari kolam. Andrea hanya menatap sejenak namun tak mendengar apapun. Kakinya tak bergerak sama sekali. Ia tertekan. Andrea menatap ke sekeliling, ia selalu merasa ada orang yang mengikutinya, merasa diawasi. Entah hanya merasa atau memang dia sedang diawasi. Tapi ia tidak pernah menemukan orang mencurigakan di sekitarnya sehingga ia putus asa sendiri. Apakah ayah dan ibunya baik-baik saja sekarang.
Menatap air yang bergerak tenang di bawah kakinya membuatnya berpikir. Apa yang diinginkan Mr. D? Dia tidak ingin Andrea mencarinya. Andrea adalah ancaman untuknya. Mr. D mengawasinya entah dimana dan entah dengan cara apa. Anggota klub renang masih meneriakinya, mungkin menyuruhnya menjauh dari air karena mereka hendak memulai latihan. Tujuh pria berdiri di atas kolam renang, siap untuk meluncur sedang menatap Andrea dengan tatapan malas. Seorang pria berbaju renang hitam yang sebenarnya hanya sebuah celana pendek dan penutup kepala hitam berjalan ke arahnya. Ia tahu siapa. Itu Ridwan, teman sekelas yang ia curigai adalah pemilik tulisan pada kertas itu.
Ia muak, muak dengan rasa takut, kecemasan dan rasa bersalah yang dirasakannya.
"An..."
Andrea tak sempat mendengar Ridwan menyelesaikan memanggil namanya karena selanjutnya dia memutar tubuh dan menjatuhkan tubuhnya ke kolam setinggi 5 meter itu. Tubuhnya tenggelam semakin dalam. Cahaya putih yang dilihatnya semakin lama semakin telihat gelap, tubuhnya semakin dekat ke dasar kolam dan ia pun memejamkan mata. Ia harap terbebas dari semua yang dirasakannya.
Namun beberapa saat kemudian ia teringat wajah Dea, senyum gadis itu ketika memenangkan perlombaan tari, senyumnya yang mengembang kala Andrea memanggil namanya, tangisan terakhir yang dilihatnya, hingga tubuh Dea dengan kolam darah di sekelilingnya muncul di kepalanya dalam sekejap. Ia sadar tujuannya mencari tahu siapa Mr. D bersama Zayyan. Janjinya pada Dea untuk melindunginya ketika semua orang mencaci makinya karena dia hamil. Laki-laki yang menghamili Dea yang ternyata bukan Ferdi.
Punggungnya menyentuh dasar kolam. Selanjutnya matanya terbuka. Hanya sedikit cahaya yang dilihatnya. Itu adalah satu-satunya hal yang menunjukan dimana permukaan air. Dia lalu bergerak mencoba mendorong tubuhnya ke permukaan. Namun kakinya tiba-tiba kram. Udara semakin menipis. Dadanya berdetak sangat cepat sekali sehingga bisa di dengarnya. Lehernya seperti tercekik. Dia mencoba mengerahkan sisa kekuatannya. Akan tetapi tak membuat tubuhnya bergerak sama sekali, tak membuatnya terdorong ke permukaan.
Dia menyesali keputusannya untuk menghilang. Dalam hati dia meminta maaf sebesar-besarnya pada Dea. Karena pergi hari itu, karena menyuruhnya mati hari itu, dan karena ia mati sebelum sempat menemukan siapa Mr. D. Ia mengingat wajah kedua orang tuanya. Air matanya keluar bercampur dengan air kolam. Andrea sangat menyayangi mereka berdua.
Ditengah situasi pikirannya mengucapkan kalimat-kalimat terakhir untuk orang-orang yang ia temui dalam hidupnya sebuah tangan merengkuh pinggangnya, wajah yang tadi menghampirinya ia lihat. Ridwan mendongak menatap ke permukaan air, tangan kanan dan kakinya bergerak mendorong tubuh mereka berdua ke permukaan. Hingga kemudian mereka muncul di permukaan.
Andrea menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang tadi hampir kosong. Ridwan membawanya ke tepi. Anggota klub renang beserta pelatihnya berdiri panik di pinggir kolam membantu Ridwan menaikan tubuh Andrea ke pinggir kolam.
"Kamu gapapa?" hanya pertanyaan yang diucapkan pelatih yang ia dengar terakhir sebelum ia kehilangan kesadarannya.
Di tengah kegelapan yang menghampirinya, perlahan ia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya. Ia bisa mengenali suara khawatir itu. Zayyan.
Sesaat kemudian kegelapan itu lenyap, kelopak matanya terbuka perlahan dan mendapati Zayyan membungkuk di di sampingnya. Wajah Zayyan berada di atas wajahnya. Keningnya berkerut karena khawatir.
"Dre." Zayyan mengibas-ngibaskan tangan di atas wajaha Andrea untuk memastikan kesadarannya.
"Dre." Pria itu terlihat semakin khawatir kala tak mendapat respon apapun darinya. Ia butuh waktu untuk menyesuaikan diri setelah ketidak sadarannya itu.
Zayyan berlari ke luar ruangan, beberapa saat kemudian kembali bersama perawat kampus yang baru ia tahu namanya. Intan.
"Andrea, kedipkan mata kamu kalau dengar suara saya ya." ujar Intan.
Andrea berkedip. Inderanya masih berfungsi dengan baik. Hanya saja ia masih kelelahan setelah hampir kehabisan udara karena pikiran kelam sesaat yang dirasakannya. Pikiran untuk menghilang.
"Andrea sepertinya masih lelah." Intan berbicara pada Zayyan.
Pria itu menatap Andrea lalu mengangguk. Intan pun pergi setelah mengatakan bahwa Andrea baik-baik saja. Zayyan duduk di tepi ranjang dan menatapnya. Pria itu hanya duduk menatapnya tanpa mengatakan apapun. Zayyan pernah bilang bahwa dia tidak bisa berteman dengan orang lain sebelum bertemu dengannya. Dia bilang tidak bisa mempercayai siapapun. Berteman dengan orang artinya harus percaya dan siap untuk dikecewakan.
Tidak ada yang mau dikecewakan memang.
"Aku sebenernya gak ngerti kenapa kamu mau berhenti setelah semua yang kita temukan. Kamu benar, kalau aja waktu itu aku gak menerobos ruang interogasi, kalau aku gak bilang kalau Dea dibunuh, kamu gak akan terlibat. Andrea, kamu bisa berhenti kalau kamu mau."
"Enggak, Za." Andrea berbicara dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering sekali. "Air."
Zayyan menurut, mengambilkan air untuknya. Juga membantu Andrea menyusun bantal di belakang pungungnya untuk di jadikan sandaran.
Setelah meneguk setengah gelas air itu Andrea pun mengatakan alasan kenapa dia bersikap seperti tadi.
"Mr. D kirim paket ke rumahku." ujarnya. Untuk pertama kali mengatakannya.
"Paket?"
"Ya, paket." jawab Andrea. "Isinya burung mati dan kertas penuh darah. Dia nyuruh aku buat gak nyari dia. Alasan aku juga sebelumnya pengen berhenti."
"Kenapa gak bilang, Dre."
"Takut." Andrea menelan ludah. "Dan gak tahu harus bilang kaya gimana."
Zayyan menghela napas.
"Beberapa hari yang lalu ada orang gak dikenal telpon ayah gue tengah malem. Dan hari ini ayah whatsapp gue dan tanya sesuatu yang aneh. Dia gak biasanya dia nanya gue dimana, Za. Terjadi sesuatu sama ayah."
***
Mereka berdua bertemu beberapa tahun silam dan tak pernah berikirim kabar setelah pertemuan terakhir. Namun. bagaimana bisa mereka berdua masih memiliki sesuatu yang disebut dengan keakraban. Seperti dua orang sahabat yang bertemu kembali setelah bertahun berlalu. Laki-laki di hadapannya lebih tua 12 tahun dari Fardhan, namun usia seperti tak memiliki arti bagi mereka berdua.
"Saya di ikuti." Masih sama seperti dulu Handoko berbicara langsung ke inti tanpa ada basa-basi sama sekali.
Handoko menyerahkan ponselnya agar Fardhan dapat melihat foto penguntit yang berhasil Handoko ambil tanpa menimbulkan kecurigaan.
Fardhan mengamati foto tersebut. Lalu mendongak kembali menatap Handoko karena pria itu menjelaskan bagaimana kejadian ketika di diikuti.
"Sudah dua hari. Orang itu terus terlihat di sekitar saya. Orang itu selalu ada di manapun saya berada. Dan saya gak tahu alasan dia membuntuti karena saya tidak sedang mengerjakan sesuatu yang berbahaya."
"Bisa kamu kirimkan foto itu ke saya?"
Handoko mengangguk. Tak lama pesan gambar masuk ke ponselnya. Segera Fardhan menyimpannya dan mengamatinya kembali.
"Aku ingin tahu kemana saja kamu dari seminggu terakhir."
Handoko terilhat tidak yakin. "Saya kurang mengingat kemana saya pergi. Seminggu terakhir saya mengunjungi banyak tempat. 4 hari lalu saya juga pergi ke Palembang."
"Gapapa." Fardhan menyiapkan buku catatannya. "Katakan saja kemana anda pergi seminggu terakhir.
"Kenapa harus seminggu terakhir?" dari pertanyaannya Handoko seperti mengkhawatirkan sesuatu. Seolah jika ia mengatakan kemana saja dia pergi seminggu terakhir akan mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya orang lain ketahui.
"Anda seperti mengkhawatirkan sesuatu?" Fardhan sama sekali tidak berusaha mengorek privasi orang lain.
"Aku mengunjungi seseorang yang tidak seharusnya saya temui."
Fardhan hanya mengangkat alis.
"Seseorang yang dibenci istri saya."
Fardhan mengerti apa yang dimaksudnya. Handoko tidak perlu mengatakan secara jelas bahwa seminggu terakhir ini dia mengunjungi seseorang yang tidak seharusnya dia temui. Seseorang yang dibenci istrinya. Seorang selingkuhan lama.
"Dimanapun dia aku gak akan bilang hal tersebut ke istri anda." ujar Fardhan berusaha meyakinkan bahwa rahasianya akan aman bersamanya.
Bahwa Fardhan tidak punya urusan dengan rumah tangga orang lain dan tidak tertarik sama sekali untuk menghancurkan keluarga orang. Dia hanya seorang detektif yang menginginkan jawaban jujur dari Handoko supaya ia bisa mencari tahu tentang si penguntit berbaju serba hitam. Yang fotonya masih terlihat karena ponselnya masih menyala.
Handoko sempat terlihat ragu selama beberapa detik sampai kemudian dia mengatakan satu persatu tempat yang di kunjunginya terakhir kali beserta perkiraan waktu kapan Handoko kesana. Fardhan merinci hal tersebut di buku catatannya.
"Selain itu, boleh saya minta bantuan untuk mencari tahu nomor ini." Handoko menunjukan deretan panggilan masuk di ponselnya. Selain kontak bernama yang menjadi perhatian adalah kontak tak bernama.
Fardhan mencatat nomor tersebut juga pada buku catatannya dan membulatinya denga bolpoint.
"Baik, akan saya cari tahu." Fardhan tersenyum. Buku catatannya dia tutup. Dimasukan kembali ke saku dalam jaketnya.
"Karena aku harus mengerjakan sesuatu yang lain..." Fardhan bangkit dari duduknya. Handoko juga mengikutinya. "Aku harus pamit."
Handoko mengangguk lalu mengulurkan tangan.
Fardhan menjabat tangan tersebut dan berkata, "akan saya kabari secepatnya."
"Terimakasih banyak."
***
Sending hug
Iis Tazkiati N
181020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top