23. Pengikut

***

Semakin lama seseorang hidup, semakin banyak bertemu dengan orang baru, semakin sering bertemu dengan pertemuan dan perpisahan, maka semakin faham pula bahwa manusia amat sangat beragam. Sifat, kebiasaan, watak, kepercayaa, prinsip, tradisi, bahkan hal kecil seperti cara pmengupil pun setiap orang punya caranya masing-masing.

Handoko--ayahnya Andrea--sudah terbiasa dengan kontraktor yang ngeyel dan klien yang memiliki keinginan yang tidak masuk akal. Sedikit banyak bisa ia atasi. Namun banyak juga yang tidak bisa ia atasi entah orang itu yangn tidak mau menerima masukan atau tidak senang dengan yang namanya kegagalan. Bahkan ada juga yang pergi karena Handoko tidak bisa menggerakan bawahannya layaknya pasukan jin yang membuat canti prambanan dalam satu malam. Keinginan yang mustahil yang lebih sering pergi. Berteman dengan perbedaan sudah menjadi sahabat bagi Handoko yang.

Bahkan ia terbiasa dengan ancaman pembunuhan sebagai konsekuensi harus menyelesaikan proyek tepat waktu.

Banyak orang yang mengerikan.

Terkadang ia sendiri bingung bagaimana cara ia menyebutnya. Orang? Manusia? Tidak ada manusia biasa yang tega menghabisi nyawa orang lain. Setan? Iblis? bahkan makhluk-makhluk itu tidak menghabisi manusia.

Oke, lupakan terlebih dahulu mengenai kebingungan atas sebutan yang pantas dengan orang yang tega membunuh sesama manusia. Sekarang ia di ikuti. Handoko bukan orang bodoh yang tidak menyadari bahwa dirinya dibuntuti sejak dua hari yang lalu.

Handoko tersenyum pada kasir minimarket yang baru saja menyerahkan struk beserta uang kembalian padanya. Orang berjaket hitam dengan kepala tertutupi tudung jaket dan wajah bermasker hitam itu sedang berpura-pura memilih sesuatu diantara rak aneka makanan ringan. Dia berusaha bersikap seperti biasa dan mengabaikan fakta bahwa dia sedang diikuti. Kemarin ia mengira saat menyadari bahwa orang berjaket itu hanyalah bagian dari serangkaian kebetulan dalam harinya. Akan tetapi setelah hari kedua dan orang itu selalu ada ke manapun tempat yang ia tuju ia menyadari bahwa ia sedang diikuti. Meskipun begitu ia tidak tahu alasannya kali ini diikuti oleh orang tidak dikenal. Ia tidak sedang mengurus projek berbahaya seperti harus membangun perumahan di atas tanah pemakaman yang izinnya sulit ia dapatkan, tidak juga sedang berhubungan dengan area yang sedang terkena sengketa seperti sebelum-sebelumnya. Sudah dipastikan dari sudut manapun bahwa proyek yang sedang dikerjakannya kali ini aman. Amat sangat aman.

Ia berusaha bersikap seolah tidak menyadari. Sambil membuka bungkus sari roti rasa kacang ia mengeluarkan ponsel karena tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari putri semata wayangnya.

Hanya pertanyaan biasa yang tidak biasa di tanyakan Andrea padanya.

'Papa diamana? Baik-baik aja kan?'

Sesaat keningnya berkerut samar atas ketidak biasaan tersebut. Hubungan Handoko dengan keluarganya tidak bisa dibilang dekat tetapi tidak bisa dibilang jauh juga. Keluarga yang hanya mengatakan hal-hal yang perlu untuk dikatakan saja. Keluarga yang saling tertutup untuk masalah perasaan. Bukan karena itu tidak penting, namun hal itu berjalan begitu saja karena kebiasaan. Ia dan istrinya bekerja dan selalu meninggalkan Andrea sendirian di rumah. Selalu pulang malam setelah putrinya tertidur. Andrea tumbuh menjadi gadis yang menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya dan ia serta istrinya pun agak sungkan untuk bertanya apa yang dirasakan Andrea. Itu rumit, mereka bertiga terbiasa berkomukasi seperlunya sejak Andrea masih kecil karena kesibukan.

Bahkan saat ini pun Andrea menyembunyikan hal yang berbahaya darinya.

Sejenak ia berpura-pura membuang bungkus plastik roti ke luar jendela mobilnya. Orang berjaket hitam itu masih mengawasinya. Jaket hitam yang dikenakannya terlalu mencolok sehingga ia tahu dimana keberadaannya.

Helaan napas keluar dari mulutnya. Bukan karena harinya buruk karena harus terlibat dengan orang tak dikenal yang saat ini mengikutinya. Lebih daripada itu, ia merasa khawatir. Khawatir pada Andrea dan kotak besar yang disembunyikan putrinya di bawah ranjangnya.

Ya. Handoko menyembunyikan fakta bahwa ia melihat kotak berlumur darah berisi ancaman untuk tidak mencari seorang yang disebut dengan Mr. D itu.

'Papa di dekat kantor. Baik-baik aja kok, ini lagi ngemil roti. Kamu dimana?'

Mungkin putrinya di ujung sana juga akan merasa heran dengan komunikasi mereka yang mendadak aneh ini. Biarlah seperti itu.

Tak lama kemudian Andrea membalas kembali pesannya bahwa dia sedang di kampus.

Handoko hanya membaca pesan tersebut karena setelahnya ia membuka aplikasi pelacak untuk memastikan keberadaan putrinya. Dia benar-benar berada di kampus.

Andrea mungkin sadar bahwa ia bisa saja berada dalam bahaya.

Siapa Mr. D itu?

Apakah orang itu berbahaya sehingga Andrea bersikap tak biasa?

Handoko menjulurkan tangannya ke luar jendela, bertingkah seolah sedang membetulkan letak kaca spion mobilnya. Orang itu masih berada di sana.

'Hallo.' sahutan itu terdengar setelah nada sambung kelima.

"Masih ingat saya?" tanya Handoko.

'Ya.' orang di ujung sana menyahut dengan cepat. 'Gimana bisa saya melupakan anda.' ujarnya. Kekehan terdengar dari ujung sana. Kaku namun ia tahu orang di ujung sana berusaha keras untuk terdengar bersahabat.

Handoko tahu, orang di ujung sana tidak senang mendapat telepon darinya.

"Anda bilang, anda polisi?"

'Hm... ya.'

"Kamu punya utang dengan saya." ujar Handoko.

Orang di seberang sana terdiam beberapa saat sebelum menyahut dengan suara yang lebih serius. 'Sampai sekarang saya belum tahu bisa melunasinya dengan apa.'

"Bisakah anda membalas utang itu sekarang?"

Handoko tidak pernah suka membahas tentang hutang-piutang. Mengatakan tentang piutang yang dimiliki orang lain kepadanya seperti ia membongkar aib paling memalukan orang tersebut. Dan saat ia membicarakan tentang utang yang dimilikinya terasa seperti ia mengumbar-ngumbar aibnya sendiri. Utang-piutang baginya bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dibahas di berbagai tempat dan waktu. Dan jika bisa ia ingin terbebas dari ikatan utang-piutang tersebut.

'Apa yang bisa saya lakukan untuk anda agar utang tersebut tidak membebani lagi?'

"Saya sedang diikuti."

***

Andrea dan Zayyan berhasil mengumpulkan tugas itu ke meja dosen tepat waktu. Segera setelah itu mereka pulang dari kampus tak peduli dengan mata kuliah selanjutnya. Hari masih siang. Terik matahari terasa amat sangat menyengat. Akhir-akhir ini suhu di kota meningkat. Hari ini meningkat 2 derajat dari kemarin. Apa yang membuat dunia semakin panas? Apakah cuaca yang semakin panas mempengaruhi kejahatan di bumi ini? Terkadang ia mempertanyakan hal tersebut.

"Za." Andrea menopang dagu sambil mengarahkan tatapan keluar jendela yang suhunya sangat beda jauh dengan tempat mereka duduk saat ini.

Zayyan yang sedang susah payah mencari tulisan tangan yang sama dengan tulisan yang ada pada kertas peringatan itu. Ia rasa terlalu kasar jika ia menyebutnya bersusah payah. Zayyan sedang berusah keras sampai-sampai tidak mendengan panggilannya. Andrea mengulanginya dan pria itu hanya menoleh sebentar.

"Aku khawatir." Karena Zayyan tidak menyahut sama sekali, ia pun memutuskan untuk mengatakannya saja. Tentang kotak berlumur darah, orang tak dikenal yang menelpon papanya.

Sebelumnya selalu ada saat-saat dimana ia merasa tidak perlu untuk mengatakan pada Zayyan mengenai kotak berlumur darah itu pada Zayyan. Tapi juga ada saat dimana ia begitu takut untuk menyimpan hal itu sendirian. Andrea ingin meyakini bahwa dirinya akan baik-baik saja menyimpannya sendirian. Sekarang ia merasa amat sangat takut dan ingin mengakhiri semua ini. Lebih-lebih setelah membaca pesan dari ayahnya yang tidak biasa. Dan juga aplikasi pelacak yang ia temukan terinstal di ponselnya. Mungkin ayahnya yang menginstall nya.

Sekarang ia benar-benar takut berurusan dengan orang yang disebut dengan Mr. D itu.

"Aku ingin berhenti."

"Berhenti? Tentang?"

"Dea. Mr. D. Dan semua yang berhubungan dengannya?"

"Apa maksudnya?" Zayyan benar-benar mendongak, teralihkan sepenuhnya. Sebelumnya Andrea pernah mengatakan hal yang sama, tentang berhenti, tentang kenapa mereka harus menemukan Mr. D. Tentang mendapatkan keadilan untuk Dea sahabatnya dan Dea kakaknya Zayyan, tentang mencari tahu alasan Mr. D membunuh dua dea itu.

Andrea menunduk, menelusuri pinggiran gelas tinggi es kopinya karena tidak ingin melihat wajah Zayyan. Ia harus mempersiapkan diri tentang bagaimana cara ia memberi tahu tentang paket misterius berlumur darah itu. Apa yang harus dikatakannya jika Zayyan bertanya kenapa ia menyembunyikan hal tersebut darinya selama ini. Betapa ia takut dan bingung sekarang.

"Kamu gak takut nyari tahu tentang Mr. D?" tanya Andrea. Betapa sulit saat ini untuknya menatap wajah pria ini.

"Kemana Andrea si tomboy yang berani itu?"

"Aku bukan pemberani."

"Jangan mengalihkan. Kita sudah mencapai tahap ini, Dre. Meri, pengirim catatan ini, Pak Dino, Ferdi... satu persatu mulai terlihat. Kita hanya butuh mencari kunci yang tepat untuk membukanya satu-persatu. Dan lihat." Zayyan mendorong catatan dari orang misterius di kelas. "Seseorang ngasih ini supaya kita bisa menemukan Mr. D, Dre."

"Enggak." Andrea mendongak. "Dia gak mau kita mencari orang itu."

"Dia tahu siapa Mr. D, Dre. Kita harus cari tahu dari orang yang ngasih kertas ini sama kamu."

"Justru dia tahu seberbahaya apa Mr. D itu dan memperingatkan kita untuk tidak mencarinya."

"Kenapa kamu tiba-tiba kaya gini? Dulu kamu yang minta-minta sama aku untuk nyari Mr. D sama-sama. Kita sekarang lagi nyocokin tulisan tangan ini dengan orang yang masuk kelas itu. Setelah itu kita cari orang ini, kita bisa cari petunjuk tentang Mr. D darinya."

"Gimana kalau kita gak menemukan orang yang nulis ini?" Andrea menunjuk catatan tersebut. Ia harus mulai darimana untuk bilang pada Zayyan bahwa keluarganya terancam.

"Orang ini akan ketemu."

"Gimana kalau gak ketemu?" Andrea mengulangi pertanyaannya. Ia bingung harus berbicara darimana tentang paket berlumur darah itu.

"Kita akan menemukannya."

"Kalau ternyata catatan ini bukan ditulis orang yang ada di kelas itu?"

Zayyan memundurkan tubuhnya. Kerutan di keningnya sangat dalam. "Kamu sebenarnya kenapa?"

"Kenapa kita harus mencari Mr. D?"

"Karena  dia bunuh Dea sahabat kamu dan juga kakak tiri aku."

Sisi jahat dalam dirinya berkata bahwa ia dan Dea tidak punya hubungan darah. Keluarganya pun tidak peduli dengan kematian Dea. Pikiran seperti apakah ia harus menemukan orang yang membunuh orang yang bukan keluarganya dan membahayakan keluarganya muncul. Dalam kebingungan serta rasa takutnya saat ini membuat pikiran itu serasa benar.

"Kenapa aku harus peduli, Za?" Andrea berteriak. Air mata jatuh dari matanya. Ia takut dan juga marah. "Kenapa aku harus peduli pada menemukan pembunuh orang yang bukan keluarga gue?"

"Dre."

Pria itu memanggil namanya lirih. Saat ini Andrea tidak mau menebak apa yang dipikirkan Zayyan.

"Silakan lanjutkan sendiri." Andrea mengambil tasnya. "Semoga kamu menemukan orang itu."

Setelah itu ia pergi meninggalkan Zayyan dengan rasa heran yang amat sangat besar. Sesaat ia merasa marah atas keputusan sepihak Andrea yang tiba-tiba. Menghentikan semua ini? Apa yang telah mereka mulai dan mendapatkan kemajuan yang cukup besar.

Ia menghela napas. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya.

Andrea bereaksi berlebihan saat menyebutkan keluarga. Zayyan harus mencari tahu masalah apa yang sedang menerpa keluarga Andrea. Sesegera mungkin ia membereskan barang-barangnya ke dalam tas tak lupa juga mengambil ponsel Andrea yang ketinggalan.

***

Fardhan sedang termenung di mejanya. Jam makan siang sudah selesai dan selama itu ia tidak meninggalkan mejanya sama sekali.

"Aku mengenal seseorang yang aneh." malam itu setelah Dea mengisi acara di salah satu stasiun televisi mereka bertemu di tempat biasa. Di apartemen sederhana milik Fardhan yang ia cicil dengan menyisihkan sepertiga dari gaji pokoknya.

Fardhan yang sedang menyiapkan piring untuk mereka makan bersama mendongak sebentar. "Aneh seperti apa?" tanyanya lalu kembali memnyiapkan meja.

"Aku dan dia baru bertemu dua kali tapi dia sudah bilang hal yang keterlaluan."

"Dia bilang apa?"

"Dia bilang gak suka dengan namaku dan nyuruh aku ganti nama."

"Kenapa begitu?"

Dea yang masih mengenakan gaun hitam panjang lengkap dengan make up tebal mengangkat bahu. "Mana mau aku tanya kenapa." Dea terlihat emosi. "Nama itu warisan pertama yang diberikan orang tua kita, Dhan. Siapa dia nyuruh aku ganti nama gitu aja?"

Fardhan menghela napas kela teringat pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Dea di apartemen kecilnya dulu. Segelas kopi mendarat di atas mejanya. Ia mendongak dan menemukan Glen yang tengah nyengir.

"Galau karena cewek?" tanyanya asal disertai senyuman penuh ejekan. Glen memang selalu mengira bahwa ia tidak bisa berhubungan dengan perempuan sebaik dia.

"Tapi kayanya gak mungkin." senyum mengejek itu berubah menjadi tawa kencang. "Memangnya kamu sudah bisaa move on dari pacar hayalan kamu itu?"

Kedengarannya memang mustahil saat mendengar bahwa orang biasa seperti Fardhan yang dulu harus bersusah payah demi masuk Akpol pernah berpacaran dengan almarhumah penyanyi terkenal Dea Padang Bulan. Mereka tidak tinggal di lingkungan yang sama, keluarganya dan Dea tidak saling mengenal, tidak pernah sekolah di tempa yang sama, tidak punya teman yang bisa menghubungkan mereka berdua juga. Ya, Fardhan dan Dea tidak punya koneksi sama sekali hingga bisa saling mengenal.

Kebetulan dimana ia bertemu Dea di jalan karena dia menabrak pembatas jalan karena saat itu belum mahir menyetir tidak bisa Glen percayai. Katanya seperti sinetron bertemu belahan hati di jalan raya pada kondisi yang tidak menguntungkan. Saat itu Fardhan masih polisi patroli biasa dan karena keberuntungannya mengungkap seorang pendagang manusia membuatnya di promosikan menjadi seorang detektif. Sulit dipercaya memang, orang biasa sepertinya bertemu dengan seorang penyanyi terkenal di jalan kemudian saling suka kemudian menjalin hubungan rahasia.

Sulit dipercaya. Namun, itulah keadaannya.

"Kasihan sekali Dea, disukai fansnya sampai berhalusinasi pernah jadi pacarnya seperti ini." Glen geleng-geleng kepala.

Fardhan hanya memutar bola mata, memilih untuk tidak menanggapi ejekan Glen yang mau bagaimanapun caranya menjelaskan dia tidak akan percaya bahwa ia dan Dea dulu pernah punya hubungan yang dekat bahkan lebih daripada itu.

"Glen." Fardhan tercenung. Teringat sesuatu dari perkataan Ferdi pada Andrea malam itu setelah alibi tentang keberradaan pria itu berhasil dibuktikan.

"Kita melewatkan mencari tahu sesuatu."

"Melewatkan apa?"

"Kamu ingat apa yang dikatakan Ferdi pada Andrea?"

Glen mengerjap.

"Kalau Ferdi pergi karena sakit hati setelah tahu bahwa Dea hamil?"

Fardhan menunggu Glen sadar apa yang mereka lewatkan. Sesaat kemudian mata Glen melebar. Kenapa mereka bisa melewatkan hal itu? Bahwa Ferdi menghilang setelah tahu Dea dihamili oleh orang lain. Mereka melupakan kemungkinan ada orang lain yang dekat dengan Dea selain Ferdi, Andrea, dan keluarganya yang saat ini tak peduli sama sekali tentang kematian Dea. Laki-laki itu. Laki-laki yang menghamili Dea.

"Kita belum mencari tahu siapa orang itu." ujar Glen.

"Ayo." Fardhan bangkit dari kursinya dan menyambar jaket serta kunci mobil. "Saatnya bekerja."

Glen pun menghabiskan kopinya dalam sekali teguk meskipun kemudian dia menyesal karena melupakan suhu kopi yang masih panas. Ia menjulurkan lidahnya yang terasa terbakar. Meletakan gelas kosong begitu saja di meja Fardhan lalu menyambar tas dan jaketnya dari atas meja kerjanya.

"Kenapa belum pergi?" Glen berbalik kembali ketika menyadari Fardhan yang sudah lebih dulu mengambil jaket dan kunci mobil masih berdiri di tempatnya. Sedang menatap ponselnya yang berdering.

"Pegilah lebih dulu." ujarnya singkat.

Sejenak Glen bertanya-tanya hal apakah yang membuat Fardhan terlihat bingung dan juga serius. Siapakah yang menelponnya sehingga membuatnya seperti itu. Terjadi lagi, Glen terlalu ingin tahu tentang urusan orang lain sehinggga ia pun memukul kepalanya sendiri.

"Bukan urusan kamu, Glen." katanya lalu berjalan melewati pintu otomatis.

Fardhan menatap layar ponselnya selama beberapa saat. Orang itu, sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berhubungan dengan orang ini. Sekitar 6 tahun yang lalu. Bahkan ia lupa masih menyimpan nomornya.

"Hallo."

'Masih ingat dengan saya?"

"Ya." bahkan mendengar suara pertama yang terdengar dari speaker ponselnya saja sudah membuat Fardhan mengingat seluruh wajah laki-laki yang entah berada dimana ini. "Bagaimana bisa saya melupakan anda."

Selain tidak bisa melupakan Andrea, ia juga tidak bisa melupakan laki-laki yang sedang menelponnya ini. Ketika kamu tidak bisa melupakan seseorang ada dua kemungkinan, karena dia pernah melukaimu atau dia pernah memberikan arti padamu. Dan laki-laki ini adalah keduanya. Seorang yang pernah melukainya sekaligus seorang yang memberikan arti padanya. Sesuatu yang tidak diharapkannya dari orang yang menyakitinya.

'Anda bilang, anda polisi?'

"Hm... Ya." keningnya berkerut waspada. Curiga dengan pertanyaan tiba-tiba mengenai pekerjaannya.

'Kamu punya utang dengan saya.'

Semakin curiga dan waspada. "Sampai sekarang saya belum tahu bisa melunasinya dengan apa."

'Bisakah anda melunasinya sekarang?'

"Apa yang bisa saya lakukan untuk anda agar utang tersebut tidak membebani lagi?"

Dari suaranya sepertinya sedang terjadi sesuatu padanya. Meskipun ia sempat membencinya namun ia tahu bahwa laki-laki ini bukan tipe orang yang suka menagih utang kepada orang lain. Apalagi menagih utang budi. Utang yang paling berat di dunia ini. Yang membuat Fardhan terkadang terbangun karena teringat utang budi yang belum bisa ia bayar itu.

'Saya sedang diikuti.'

Ternyata memang benar, sedang terjadi sesuatu padanya.

"Bisa kita bertemu?" tanya Fardhan.

'Saya tidak yakin bisa bertemu dimana.' Suaranya pelan dan waswas. 'Dia masih mengikuti saya.'

"Apakah anda sedang terlibat proyek yang berbahaya?" Meskipun kedengarannya seperti lancang karena ingin tahu pekerjaan orang lain, tapi ia rasa ia harus tahu. "Maaf, tapi saya harus tahu."

'Hm... tidak. Saya rasa tidak.'

"Apa terjadi sesuatu yang lain?"

'Ini berhubungan dengan putri saya.'

"Putri anda?"

'I...iya. Dia mungkin berhubungan dengan orang berbahaya. Saya tidak ingin khawatir. Tapi...'

"Apakah kita bisa bertemu, Tuan Handoko?"

'Saya tidak yakin.' dia terdengar ragu. 'Saya tidak tahu harus melarikan diri dari pengawasaannya seperti apa.'

"Ikuti arahan saya..."

***

Sending hug

Iis Tazkiati N
041020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top