21. Telpon Tengah Malam
Hai, masih ada yang nungguin kan?
Btw, gimana kabarnya hari ini?
Selamat membaca
***
Memang menjadi sebuah ironi saat orang yang dikasihani justru mengecewakan dengan berbuat buruk, tidak sesuai dengan penampilannya. Ternyata beginilah rasanya dikecewakan atas penilaian sendiri yang didasari oleh menilai penampilan. Pantas saja ada pepatah mengatakan Don't judge book by the cover, penampilan sering kali menipu. Penampilan tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai sesuatu.
"Padahal tadi gue udah mau nyeret bapak itu keluar dari kantor polisi karena perbuatannya keterlaluan." ujar Andrea sesaat mereka sampai di depan pagar rumah Andrea.
"Pertemua pertama gak bisa dijadikan bahan untuk menilai. penampilan juga." Zayyan tersenyum. "Jangan percaya penampilan luar. Sebaik apapun dia terlihat di luar, lo harus tetap waspada."
"Itu alasan lo gak percaya sama gue meskipun kita udah sering bareng?"
Tanpa ragu sama sekali atau mungkin tidak memikirkan terlebih dahulu akan kemungkinan orang yang mendengarnya kecewa, Zayyan mengangguk.
"Dan lo pun jangan percaya sama gue." katanya penuh peringatan.
Dia tidak mau orang lain kecewa karenanya?
"Banyak yang lo gak tahu tentang gue." lanjut Zayyan.
Andrea diam, apakah ia harus menjawab iya atau mengangguk sementara sekarang ia sudah percaya pada Zayyan. Kepercayaan tidak bisa hilang begitu saja kecuali dikecewakan.
"Apapun itu, siapapun itu, jangan percaya." ujar Zayyan.
"Sebaik apapun?"
"Ya."
"Apa selama ini lo hidup tanpa kepercayaan?"
"Itu yang buat gue masih berdiri di sini dan menemukan Meri."
"Pasti sulit sekali hidup tanpa ada yang bisa dipercaya."
"Awalnya." jawabnya lalu tersenyum.
Zayyan sudah pamit beberapa detik yang lalu namun Andrea masih berdiri di depan pagar rumahnya. Pria itu bilang hidup tanpa rasa percaya pada apapun dan siapapun. Apakah ada yang benar-benar hidup seperti itu? Tidak ada yang dipercaya bukankah artinya seseorang hidup sendirian?
Tidak ada yang tahan sendirian. Tidak ada yang berani hidup sendirian. Meskipun dunia memang kejam, dengan tidak menanamkan rasa percaya pada orang lain bukankah itu sama saja dengan membuat diri sendiri lebih menderita.
Jangan percaya sama gue.
Itu yang Zayyan katakan padanya dengan penuh peringatan seolah percaya padanya akan menjadi kesaalahan besar baginya. Andrea menghela napas. "Gimana Za, gue kayanya udah percaya sama lo."
Tapi selama ini, selama ia dan Zayyan bersaha mencari jawaban atas siapa orang misterius yang dia sebut dengan Mr. D karena orang itu selalu meninggalkan kalung berbandul huruf D di mayat yang jatuh dari gedung.
Keberadaan Mr. D membuat Andrea merasa ngeri. Setelah ia menerima paket misterius berlumur darah dan surat peringatan itu membuat ia merasa tidak aman dan mau tak mau bergantung pada orang lain. Zayyan. Orang yang tahu bahwa ada orang yang disebut dengan Mr. D.
Saat ia masuk rumah, lampu rumah sudah dimatikan. Pintu kamar orang tuanya juga sudah di tutup. Namun, andrea berdiri di kamar orang tuanya. Ia tidak tahu apa yang lebih penting sekarang, apakah menemukan Mr. D dan membuat kematian Dea tidak sia-sia atau berhenti demi keselamatan kedua orang yang sedang tidur di dalam kamar.
Di tengah kebingungannya, ayahnya yang entah dari mana itu menepuk pundaknya. "Lagi ngapain, Dre?"
Andrea mengerjap.
"Ayah dari mana?"
Ayah menunjukan ponselnya. "Habis angkat telepon."
"Orang gak sopan mana yang telpon orang malem-malem."
"Yang jelas orang aneh." jawab Ayah lalu meletakan tangannya di bahu Andrea dan mendorongnya menuju dapur.
"Orang aneh siapa?"
"Ayah juga gak tahu, dia cuma diam saat ayah tanya siapa."
"Ayah gak kenal sama orang yang telepon ayah malem-malem itu?"
Laki-laki paruh baya itu hanya berdeham. Saat itulah Andrea menghentikan langkahnya dan menghadap ayahnya. "Kok bisa ayah terima telepon malem-malem dari orang yang gak dikenal?"
"Takutnya penting."
"Tapi kan itu nomor asing." protes Andrea. Ia tiba-tiba ia teringat Mr.D yang belum diketahui siapa dan dimana itu. Apalagi setelah ia menerima kiriman misterius dari orang itu. Kekhawatirannya menjadi berkali-kali lipat.
"Gimana kalau yang telepon ayah malem-malem itu orang jahat. Kenapa sih ayah segegabah itu?"
Laki-laki yang sewaktu kecil selalu menggendongnya kemana-mana itu tertawa. "Gapapa, yang penting kan ayah masih ada disini, sama kamu."
"Kalau itu orang yang berbahaya gimana, Yah?"
"Udah ah. Jangan khawatir berlebihan. Gak jelas banget."
"Aku bukan khawatir berlebihan."
Karena ia memiliki alasan yang begitu jelas untuk mengkhawatirkan ayahnya hanya karena sebuah panggilan dari nomor asing yang memiliki banyak kemungkinan itu, bisa jadi orang yang menelpon itu memencet nomor yang salah, bisa jadi juga itu kenalan ayah tapi memakai nomor baru dan entah karena signal atau apa menjadi tak ada feedback suara ke ponsel ayahnya. Namun, Andrea tidak bisa menampik juga bahwa orang yang menelpon ayahnya adalah Mr. D yang sebelumnya memberikan paket ancaman padanya.
Andrea takut sekali jika orang itu memang benar-benar Mr. D.
"Bikin Indomie aja yuk."
Sepertinya jika mengatakan alasannya khawatir adalah keberadaan seorang yang Zayyan sebut Mr. D ayahnya tidak akan mengerti. Ayah adalah orang yang ia tahu selalu menganggap bahwa semua orang itu baik dan tidak berbahaya. Dengan kata lain selalu menerima apapun yang dilakukan orang lain padanya. Terlepas apakah itu baik atau buruk.
***
Andrea belum bisa sama sekali mengatakan pada orang lain bahwa Mr. D pernah mengirimkan paket berisi ancaman untuk tidak mencari tahu tentangnya bahkan pada Zayyan sekalipun. Rasa khawatir yang amat besar membuatnya tidak bisa membuka mulut. Itu berkaitan dengan keselamatan ayah dan ibunya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang orang misterius yang ia dan Zayyan panggil Mr. D. Andrea khawatir jika ia mengatakan hal tersebut membuat keadaan semakin kacau. Orang tuanya akan benar-benar berada dalam bahaya.
Orang itu seolah menjadi bayangan. Sebisa mungkin ingin dihindari akan tetapi karena cahaya dia terus mengikuti, tak bisa pergi sama sekali. Hal seperti itu yang paling menakutkan. Sesuatu yang seolah tidak ada tapi sebenarnya ada dan terus mengikuti.
Terlepas dari rasa khawatirnya akan keselamatan ayah dan ibunya ia juga berhasrat sekali untuk mengetahui siapa Mr. D. Apa yang dilakukannya pada Dea dan apa motifnya.
Sekali lagi memikirkan saat ia melihat tubuh Dea yang tak bernyawa dikelilingi banyak orang setelah sebelumnya di caci maki, dihindari, dihina, bahkan dikucilkan membuat kepalanya pusing sekali. Bingung menentukan antara dua. Berhenti mencari tahu atau terus mencari tahu dan membuat keadilan untuk kematian sahabatnya.
Apa yang lebih penting sekarang?
Kemudian teringat pada ayahnya yang keluar kamar demi menerima telepon dari orang asing dan tidak berbicara sama sekali di telepon. Ia berkali-kali mencoba untuk berfikir positif bahwa orang yang menelpon itu memang kenal dengan ayahnya dan sedang sariawan saat sedang menelpon sehingga dia tidak berbicara. Semoga saja memang sariawan. Meskipun tak bisa dipungkiri rasa khawatirnya lebih daripada itu. Mengenai opininya tentang penelpon sariawan itu semata-mata hanya untuk menenangkan dirinya sendiri dari rasa khawatir yang berlebihan.
"Ayah nanti kemana aja?" tanya Andrea pada ayahnya yang sedang membaca koran pagi di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi instan yang diseduh oleh ibu.
Ayah menjawab dari balik koran. "Kerja."
Andrea yang sedang berkutat dengan tali sepatu menoleh. "Gak kerja keluar kan?" tanyanya sambil memperhatikan wajah ayahnya baik-baik.
"Kayanya nanti ada tugas keluar deh." jawabnya tanpa melihat wajah Andrea yang berubah amat sangat khawatir.
"Sama siapa? Gak sendiri kan?"
"Berdua sama Om Endru. Kenapa sih?"
"Syukurlah." Ia mengelus dada karena merasa lega oleh jawaban dari ayahnya.
"Kenapa sih, Dre?" tanya ayah. Dia mulai menyadari kekhawatiran yang berlebihan dari anaknya. "Kamu masih takut dengan yang nelpon ayah semalam?"
"Siapa juga yang gak bakal khawatir, Ayah." Andrea memutar bola mata, ia jadi berpikir bagaimana jika ayahnya tahu bahwa dia memang sedang berada dalam bahaya. "Mama juga alau tahu bakal khawatir tahu ayah nerima telepon dari orang gak dikenal dan orang itu hanya diam saat ayah angkat teleponnya."
Ayah malah tertawa. "Udah deh, gak usah berlebihan."
"Aku gak berlebihan, Ayah." bantah Andrea. Seandainya ia bisa mengatakan pada ayahnya tentang Mr. D, apakah ayahnya masih bisa tertawa seperti itu?
Ayah menyeruput kopi terakhirnya, melipat koran pagi kemudian duduk di samping Andrea. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman hangat. Tangan besar yang saat kecil selalu dia gigiti karena teksturnya yang kasar itu menyentuh puncak kepalanya, mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Andrea bisa merasakan arti dari sentuhan tersebut. Ayahnya seperti mengatakan padanya untuk tidak khawatir karena dia akan baik-baik saja.
"Hati-hati di jalannya, jangan keseringan main sampai malam." ujar Ayah.
Semoga saja memang ayahnya akan baik-baik saja. Semoga Mr. D tidak benar-benar dengan ancamannya.
"Justru ayah yang harusnya khawatir sama kamu karena kamu sering pulang malem akhir-akhir ini."
"Ada banyak sesuatu di kampus." jawab Andrea sekenanya. Padahal di kampus pun ia tidak bisa fokus sama sekali. Mr. D benar-benar membuat rutinitasnya kacau.
"Udah sana berangkat." kata Ayah. "Hati-hati di jalan."
Andrea mengangguk, mengambil tangan ayahnya dan menciumnya. "Andrea pamit."
Laki-laki yang tidak terasa sudah beruban itu mengangguk kemudian mengatakan hati-hati lagi padanya.
Andrea sudah berada di kampus sejak dua jam yang lalu dan entah kenapa ia tidak bisa berhenti memikirkan ayahnya. Rasa khawatirnya masuk akal. Namun, saat ini ia harus fokus. Ia sedang berada di kelas dan Zayyan duduk di sampingnya. Ia tidak mau dosen menangkapnya sedang tidak fokus, bisa-bisa ia ditembak dengan pertanyaan. Itu mengerikan. Ia ingin harinya berjalan dengan normal tanpa menjadi pusat perhatian karena tidak bisa menjawab pertanyaan. Sudah cukup kemarin, kemarinnya lagi, dan hari-hari sebelumnya.
Ia menghela napas namun justru itu yang membuat Zayyan memperhatikannya.
"Ada sesuatu yang lagi lo pikirin?" tanyanya. Jika hal ini terjadi di saat yang lain ia akan memuji Zayyan karena instingnya yang tajam. Namun, saat ini ia merutuki hal tersebut dan menginginkan pria ini tidak menyadarinya sama sekali.
Salah juga ia tidak pandai berakting untuk menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya.
"Enggak."
"Gue yakin ada sesuatu." ujar Zayyan masih dengan tatapan menyelidik yang membuat Andrea gemetar takut Zayyan bisa mengulik bahwa ia khawatir pada ayahnya setelah mendapat paket berdarah dan panggilan telepon semalam.
Andrea menarik sebelah ujung bibirnya. "Hanya masalah keluarga." tukasnya tak sepenuhnya berbohong.
"Orang tua lo lagi berantem?"
Memang, jika menjawab masalah keluarga opini orang akan langsung pada orang tua yang bertengkar. Jadi, Andrea pun mengangguk. Membiarkan Zayyan merasa benar.
Dia lalu menepuk pundak Andrea beberapa kali untuk menenangkan. "Orang tua berantem hal yang biasa. Yang gak biasa itu mereka yang terus baik-baik aja sampai sekarang."
"Lo bener." ucapnya. "Justru gue harus lebih khawatir kalau orang tua gue gak pernah berantem."
"Dan ngomong-ngomong." Zayyan kembali memfokuskan pandangannya ke depan. "Apa cowo misterius yang ngasih catatan itu ada di sini?
Syukurlah pria ini tertipu.
Gadis ini pura-pura menjatuhkan bolpoint supaya ia bisa melihat orang-orang yang ada di sisi kanannya. Tujuannya mengikuti mata kuliah ini hanyalah demi mencari pria misterius itu. Masih ingat pria berkemeja kotak-kotak yang memberikan menjatuhkan catatan kecil di mejanya. Siapapun itu selain baju dan postur laki-laki itu, ia tidak punya petunjuk lain. Laki-laki itu memakai kemeja kotak-kotak coklat dengan tinggi badan sekitar 165, lebih pendek 5 cm daripada Zayyan. Tubuhnya sedikit berisi, bobotnya mungkin 78 kg atau mungkin bisa lebih. Rambutnya hitam sampai kerah kemejanya.
Andrea mencoba memperhatikan satu persatu pria yang ada di kelas ini, ada lima pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak. Empat dari pria berkemeja kotak-kotak itu bertubuh kurus. Sementara yang satu lagi dengan postur yang lebih berisi Andrea kenal. Namanya Rama. Jelas laki-laki pada hari itu bukan Rama. Tidak mungkin ia tidak mengenal Rama, meskipun ia tidak terlalu akrab dengan Rama.
Oke, mencari tahu dari orang yang memakai kemeja kotak-kotak sepertinya tidak efektif. Pria itu mungkin tidak memakai kemeja kotak-kotak seperti hati itu. Lalu dia mencari tahu dari 10 pria lain yang ada di kelas ini dengan mengecualikan Zayyan. Tiga dari 10 pria itu bertubuh berisi, Dani, Ridwan, sementara satu lagi ia tidak ketahui namanya, satu lagi kurang populer dengan model anak yang suka menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan.
"Za." Andrea mencondongkan tubuhnya ke arah Zayyan. "Kita bisa mulai dari Dani, Ridwan, dan cowok perpus yang duduk di depan itu." ujar Andrea sambil menunjuk satu persatu tempat duduk cowo yang ia maksud.
Zayyan menoleh. "Yakin antara mereka bertiga?"
"Kita harus cari tahu dulu."
"Oke."
***
Hayo main tebak tebakan lagi yu
Sejauh ini gimana? Makin belibet kah? Makin gak jelas kah? Makin bikin pusing? Atau makin gimana nih?
Aku lagi berusaha konsisten lagi nulis nih, udah beberapa bulan ini agak males buat nulis setelah kehilangan Julian, laptop yg menemani aku dari zaman cara ngetik aku masih kentang nyampe bisa ngetik 10 jari, terus di lanjut dengan beli keyboard wireless yang mati huruf B, V, dan . (titik)
Doain aku supaya bisa konsisten dan lebih rajin update lagi yaaa
Makasih udah baca Mr. D sampai sekarang
Sending hug
Iis Tazkiati N
100820
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top