15. Dunia Berubah
Hai selamat malam!!
Ada yang nungguin update Mr. D gak?
Happy reading!!:**
***
Dunia berubah, katanya seperti itu. Banyak orang yang mengubah dirinya sehingga sesuai dengan tuntutan zaman. Standar-standar terhadap sesuatu menjadi semakin banyak. Standar kecantikan berupa kulit putih mulus, hidung mancung, mata berbulu mata lentik, dan tubuh tinggi langsing. Standar kelayakan seseorang untuk bekerja di suatu tempat. Dan banyak standar lainnya yang membuat orang-orang menjadi semakin sulit untuk bersyukur.
Katanya jika seseorang tidak sesuai dengan dunia, maka ia akan ditinggalkan. Lihatlah berapa banyak orang yang takut untuk ditinggalkan?
Tidak ada yang mau sendirian.
Tapi Andrea pikir semua itu bukan karena dunia yang berubah. Dunia tidak berubah, dia tetap berjalan sebagaimana mestinya. Berputar pada porosnya, mengatur pergantian siang dan malam supaya dirinya seimbang. Ya, dari dulu sampai dengan sekarang pun dunia tetap sama. Tidak ada bedanya sama sekali.
"Orang-orang yang membuat sistem yang bermasalah." ungkap Andrea.
Dea yang sedang menebalkan bedak dan menimpa lipstik yang sudah pudar dengan lipstik baru menoleh.
"Manusia-manusia tidak sadar membuat standar yang tidak masuk akal." Andrea tersenyum lebar. Dea tampak tidak mengerti bahwa Andrea sedang mengomentari ketakutan Dea jika dia berkeliaran di kampus dengan keadaan wajah lusuh karena make upnya yang luntur.
"Untuk jadi cantik gak harus dandan." Andrea menaik turunkan alisnya. "Tergantung bagaimana orang itu menilai dirinya sendiri. Gue ngerasa diri gue cukup sehingga gue gak perlu untuk menyiksa kulit gue dengan yang kaya begituan." Andrea menunjuk seperangkat make up yang berada di dalam pouch kecil berwarna kuning milik Dea.
"Kalau emang dunia sesimpel itu, Dre." Dea menutup bedaknya dan memasukannya kembali ke dalam pouch. "Sayangnya orang gampang untuk dibenci daripada dicintai. Perbedaan sekecil apapun bisa jadi alasan buat orang lain benci sama diri kita, Dre."
Andrea mengangguk-angguk. Sepertinya semua hal yang orang lain ungkapkan padanya tidak pernah satu jalan dengan isi kepalanya. Selalu saja ada titik-titik dimana Andrea ingin mendebat apa yang orang lain katakan. Ia tidak setuju dengan apa yang Dea ungkapkan.
"Banyak orang yang belum bisa toleran sama perbedaan, Dre. Bahkan saat gue bilang orang gampang untuk dibenci daripada dicintai, lo gak terima dengan pendapat gue." Dea memasukan pouchnya ke dalam tote bag yang dikenakannya. "Isi kepala lo sama gue beda. Lo belum punya toleransi terhadap perbedaan pendapat."
Andrea sama sekali tidak salah jika saat ini dia merasa kesal mendengar komentar Dea tentang dirinya yang belum punya toleransi terhadap perbedaan pendapat. Meskipun dalam hati kecilnya ia menyetujui hal tersebut. Namun, pada sisi hatinya yang lain ia tidak menyetujui hal tersebut. Hatinya yang lain menyangkal komentar tersebut, seperti mengatakan bahwa dirinya tidak sepenuhnya seperti itu, bahwa ia masih bisa setuju terhadap topik lain.
Oke, manusia memang dirancang untuk mendengarkan hal-hal baik. Mendengarkan komentar baik tentang dirinya, tentang seberapa besar kelebihan yang dimilikinya. Tentang seberapa ahli dia pada satu bidang. Andrea gila pujian, tapi sepertinya hal itu bukan hanya dirinya saja. Banyak lagi orang di luar sana yang gila akan pujian yang lebih akut daripada dirinya.
Ada telinga kanan dan telinga kiri. Andrea mungkin sejenak melupakan hal tersebut. Bahwa tidak semua hal yang didengarknya adalah hal baik, terkadang atau bahkan sering ia juga mendengar hal buruk tentangnya. Bahkan komentar yang lebih buruk dari yang Dea katakan. Tentang dirinya yang dituduh lesbian gara-gara penampilannya yang lebih menyerupai seorang laki-laki daripada perempuan. Meskipun mereka tidak tahu bahwa lingkungan dimana Andrea tinggalah yang membentuknya menjadi perempuan yang seperti sekarang, yang lebih suka barang-barang laki-laki. Menilai memang hal yang paling mudah dilakukan, tapi tidak ada yang mau ditilai.
Itu semacam ketimpangan.
"Dre, sedikit banyak benar kalau gue dandan kaya gini karena mengikuti perkembangan zaman. Gue pikir yang lo bilang bahwa banyak sistem yang bermasalah, standar yang tidak masuk akal seperti yang lo bilang itu, gue juga setuju. Tapi, disini gue gak merasa dipaksakan untuk sesuatu. Gue gak merasa gue dipaksa untuk pake make up untuk mempercantik diri, gue gak merasa ditekan oleh standar kecantikan yang menurut lo gak masuk akal. Gue dandan karena gue suka, suka lihat gue seperti ini."
Andrea pulang mendekati pukul 9 malam. Sudah pasti ayah dan ibunya yang sehari-hari amat sangat sibuk itu sudah pulang. Karena sesibuk apapun mereka, mereka selalu pulang jam 8 tepat. Entah, kenapa dua orang yang amat sangat sibuk itu masih sempat untuk pulang. Ia sesekali ingin bertanya apa yang mereka cari dengan pulang ke rumah sementara subuh buta, disaat matahari belum muncul pun mereka sudah berangkat kembali.
Andrea bukan anak broken home, ia tidak merasa dirinya broken home. Baginya rumahnya terasa sama saja, ada atau tidak ada orang tuanya. Ia amat sangat toleran terhadap kesibukan keduanya. Memang pernah waktu itu ia pernah merajuk karena tidak suka dengan kesibukan ayah dan ibunya. Tapi itu dulu, saat ia masih SMP, saat ia puber. Bukankah anak-anak yang sedang puber pernah mengalami masa-masa dimana dia merasa dunia amat sangat kejam padanya? Haus perhatian yang lebih padahal perhatian yang selama ini didapatkannya itu cukup.
"Tadi ada paket buat kamu." kata ibu. Dia meneguk jus alpukat yang baru saja dibuatnya di dapur itu. Penampilan penuh wibawa ibunya sudah berganti menjadi seperti ibu rumah tangga biasa berdaster longgar bunga-bunga.
"Itu..." Ibu menunjuk ke depan. "Kotak besar yang di ruang tamu itu buat kamu."
"Paket?" Andrea sendiri heran paket untuknya itu seperti apa. Selama masa hidupnya ia belum pernah membeli barang-barang online. Ia selalu berusaha mencari barang yang dibutuhkannya ke store langsung.
Tadi saat masuk rumah ia memang melihat kotak yang berukuran cukup besar di ruang tamu. Kotak yang mencolok namun tidak ia hiraukan sama sekali. Tidak sekalipun terpikirkan olehnya bahwa itu adalah paket untuknya.
"Kamu beli apa gede banget gitu?"
Andrea mengangkat bahu. "Gak tahu."
"Eh?" Ibu tampak kehernanan.
"Aku gak beli apa-apa, Bu."
"Ya terus."
"Atau salah alamat?"
"Gak mungkin. Orang alamatnya jelas-jelas kesini dan untuk kamu."
"Atau ayah yang beli sesuatu."
"Ayah?" laki-laki pertengahan 50 tahunan itu muncul dari dalam kamar. Mengenakan kaus longgar dan bersarung.
"Ayah beli sesuatu?" tanya Andrea.
Sama seperti ibunya, ayahnya juga tampak bingung.
"Bukan bom kan?" tanya ibu panik.
Sepetinya ibu terlalu banyak menonton acara polisi 88 di youtube. Pikirannya sudah terkontaminasi oleh hal-hal berbau kriminal sehingga lebih banyak khawatir pada sesuatu yang sesungguhnya tidak jelas. Kejahatan memang ada, ada di sekitar. Tapi, untuk teror? Andrea kurang yakin dengan alasan yang dibuat untuk orang jahat itu mengirim teror bom ke rumahnya. Andrea bukan aktivis suatu gerakan, begitu juga dengan ayah dan ibunya.
"Bagaimana kalau kita buka sama-sama?" Ayah menatap Andrea dan ibu secara bergantian. Pendapatnya langsung disambut dengan persetujuan dari ibu dengan penuh antusias. Dia juga mengajuakn syarat bahwa membuka paket terebut harus di luar rumah.
Bersama dengan Ibu, ayah membawa paket mencurigakan tersebut ke luar rumah. Sementara Andrea berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Jujur, ia juga takut bahwa paket itu sesuatu yang membahayakan. Namun, ia lebih takut untuk menyentuhnya.
Paket tersebut diselimuti oleh bubble wrap hitam. Cukup tebal membuat ayah sedikit kesulitan membukanya. Ibu dengan sigap mengambil gunting dari rumah dan menyerahkannya pada ayah. Bubble wrap yang menyelimuti tidak hanya satu lapis. Ada sekitar 3 lapis. Perlahan isian dalam bubble wrap itu terlihat sebuah kotak berwarna coklat. Ayah sudah selesai membuka salah satu sisi, ia membalik paket tersebut sehingga sisi yang sudah terbebas dari bubble wrap terlihat ke arah Andrea.
"D." gumam Andrea.
Entah kenapa ia menjadi amat sangat sensitif terhadap huruf tersebut.
Tapi tunggu, ia merasa janggal dengan tulisan D pada kotak tersebut. Warna merah yang...
Andrea menyentuh huruf tersebut dan mencium baunya.
Amis.
Apa itu ditulis dengan darah?
***
Hayoooo
Paket apakah itu?
Salam hangat
Iis Tazkiati N
220220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top