11. Yang Tak Bisa Dilupakan



***

Tinggal berapa persen orang yang bisa dipercaya di dunia ini? Dunia ini sudah busuk. Setiap orang setidaknya pernah melakukan satu kebohongan besar di dalam hidupnya. Setiap orang memiliki akhir yang berbeda-beda untuk kebohongan yang dilakukannya. Akhir itu seperti sebuah jalan setapak yang bercabang, satu jalan membawamu pada kebahagiaan tetapi penuh dengan ketakutan dan satu jalan membawamu pada sebuah akhir dari sebuah hubungan.

Dan Fardhan pernah mengalami hal kedua. Karena kebohongan yang dilakukannya ia berjalan menuju pada akhir. Di bawah remang-remang lampu di kontrakannya yang hanya satu petak yang menyatu dengan pantry, ia duduk di sofa hitam lebar. Tidak ada benda lain di ruangan itu selain kursi yang saat ini ia gunakan untuk rebahan. Bekas minuman kalengan berserakan di kaki kursi, mulai dari yang berwarna merah, biru, hijau, sampai bekas minuman pereda panas dalam.

Fardhan mungkin bukan orang jujur, setidaknya setiap hari ia mengatakan kebohongan. Atau bahkan mungkin setiap detiknya ia berbohong pada diri sendiri. Kebohongan itu selalu larut setiap harinya seperti ia minum air, ia merasakan saat minuman itu larut ke kerongkongannya namun setelah itu terlupakan lalu merasa haus lagi, ia berbohong lagi. Namun, ada satu kebohongan yang membuatnya merasa bahwa apa yang ditelannya itu tidak sampai ke lambungnya. Seperti menyangkut di kerongkongan. Yang membuat kerongkongannya terasa semakin sakit...sakit...dan semakin sakit setiap kali mengingatnya.

"Dea." Gumamnya. Senyumnya menyungging tipis.

Layar ponsel yang menyala, yang membuat wajahnya bercahaya menunjukan gambar seorang gadis bergaun moka dengan aksen brukat hampir di setiap bagiannya, kecuali bagian bawah gaun yang dijahit dari kain satin dengan warna yang senada. Gadis yang rambutnya disanggul sedang berdiri di panggung besar, pada sebuah acara amal yang diadakan salah satu stasiun televisi. Senyumnya masih saja sama, membuat Fardhan tenang baik dilihat langsung secara tidak langsung.

Ibu jari tangan kanan laki-laki 35 tahun itu mengusap cincin yang tersemat di jari manis tangan kirinya. Masih ada meskipun sudah tujuh tahun berlalu. Alasan kenapa kebohongan yang dilakukannya setiap hari semakin terasa menyiksa. Benar-benar hampa dan sepi rasanya.

"Masih belum bisa move on?" tahu-tahu lampu di kontrakan satu petaknya menyala. Glen yang memang sering menginap di kontrakan Fardhan datang membawa sekantung kresek besar makanan dan minuman. Tak lupa tas jinjing besar di tangan satunya.

Glen berjalan menuju pantry dan mengeluarkan semua belanjaannya termasuk tas jinjing besar itu.

"Bro, gue udah kaya emak yang lagi mengunjungi anaknya yang merantau di negeri jauh ya?" tanya Glen lalu tertawa sendiri karena perumpamaan itu.

Fardhan hanya tersenyum tipis sambil menegakan tubuhnya.

Setelah setelah mengeluarkan belanjaannya Glen mengeluarkan kompor portable khas anak-anak gunung. Memasangkan gas mini pada pinggirannya. Mencoba menyalakannya sebentar lalu mematikannya lagi.

"Kenapa gak beli kompor sih?" Glen berkacak pinggang. "Udah tahu butuh."

"Elo yang butuh ya." Potong Fardhan.

"Lo juga butuh, Bro." Glen mengambil pisau dan menunjuk Fardhan dengan benda tajam tersebut. "Jangan pura-pura gak butuh kompor, bro. Sama kaya cinta, jangan pura-pura gak butuh hanya karena lo belum bisa melupakan mantan tunangan lo yang gak jelas siapa itu ya."

"Tunggu-tunggu." Fardhan berdiri berjalan menghampir Glen. Mengambil sebuah apel yang tergeletak di samping mie instan yang akan Glen masak. "Yang biasa masak di kontrakan gue padahal tahu gue gak pernah masak siapa?"

Alis Glen terangkat.

"Itu udah jadi alasan kan kenapa gue gak beli kompor."

Glen berdecak. "Bilang aja lo pelit, gak mau gue make kompor lo. Dasar om-om kapitaslis."

Fardhan tertawa lalu menggigit apel tanpa mencucinya terlebih dahulu. Hal itu membuat Glen yang sangat mencintai kehiegenisan meraung.

"Jorong banget! Cuci dulu! Lo gak tahu ada berapa banyak bakteri, ada berapa racun yang disebabkan pestisida dan bahan kimia lain di satu butir apel? Lo mau mati cepat?"

"Sayangnya seberapa banyak pun gue makan apel tanpa dicuci bahkan seberapa banyak cara pun gue mencoba menghilangkan nyawa, gue gak mati cepet."

Suasana mendadak sendu setelah Fardhan mengucapkan hal itu. Glen tahu apa yang menimpa partnernya itu meskipun tidak tahu secara detail. Namun, ia tahu seberapa banyak usaha Fardhan menabrakan dirinya ke trotoar, tiang listrik, bahkan menabrakan diri di jalan tol. Namun, semua itu tidak membuat nyawa Fardhan menghilang.

"Gue emang gak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara lo dan tunangan gak jelas lo itu. Tapi, gue harap lo bisa pelan-pelan merelakan apa yang terjadi, tanpa penyesalan, apalagi usaha untuk menghilangkan nyawa sendiri. Gue gak minta lo lupain apa yang udah terjadi di masa lalu, cukup lo relakan. Itu cukup. Lapangkan hati lo, Bro."

"Sayangnya usaha gue untuk merelakan selalu berakhir dengan keinginan bunuh diri gue semakin besar."

Setelah itu Glen pun diam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top