🍪34| Medicine
Play: Maybe -
Ost her private life
“Kookie-ya, cha?”
Dahyun mendongak, menatap ke arah Jungkook yang telah memejamkan matanya. Gadis itu tidak bisa tidur, karena terus merasa tidak nyaman berada sedekat ini dengan Jungkook yang dalam keadaan topless. Lebih dari itu, ia juga tidak bisa mengontrol debaran dan tangannya yang gatal ingin menjamah tubuh telanjangnya. Astaga Shin Dahyun, sadarlah. Pikiranmu kotor sekali.
“Hmm … wae?” Jungkook menyahut dengan suaranya yang rendah, membuat Dahyun semakin mengumpat dalam hati. Gadis itu benar-benar tidak bisa keluar dari kungkungan lengan kekarnya yang memeluk tubuhnya erat. “Ini … bisakah kau berhenti memelukku? Ini agak tidak nyaman.”
Manik Jungkook menyipit, melirik ke arah Dahyun yang masih merapatkan kedua tangannya di depan dada supaya tubuh mereka tidak benar-benar menempel. Lelaki itu berdecak, lantas meraih kedua tangan Dahyun untuk dilingkarkan ke pinggangnya sehingga mereka benar-benar berpelukan. “Kau harus memelukku dengan benar. Bagaimana? Sekarang sudah lebih baik?”
Dahyun yang tenggelam di dada bidang Jungkook hanya bisa terdiam dengan pipi yang sudah sangat merah. “Eoh, iya.”
Jungkook tersenyum, kembali memejamkan matanya seraya membelai rambut Dahyun dengan lembut. “Sudah, tidurlah. Besok kau harus kerja lagi, kan.”
“Hmm … geunde, Kookie-ya.”
Jungkook menahan kekesalannya karena Dahyun terus bicara, padahal ia sudah sangat mengantuk. “Iya, apa?”
“Emm … apa kau tidak penasaran kenapa aku … bersikap seperti itu saat di toko Wonwoo tadi?” tanya Dahyun agak ragu. Jungkook langsung membuka matanya, ia kembali mengingat saat Dahyun langsung murung dan terlihat ketakutan saat mendengar perkataan Wonwoo, “Sebenarnya … aku penasaran. Sangat penasaran. Tapi untuk apa aku bertanya kalau kau tidak akan menjawabnya?”
Dahyun mematung. Perkataan Jungkook terasa sangat menusuk hatinya, “Y-ya … aku mau menjawab bagaimana kalau kau tidak bertanya?”
Jungkook menghela napas pelan, ia lantas melonggarkan pelukannya lalu menunduk untuk melihat wajah Dahyun. “Baiklah, kenapa kau bersikap seperti itu?”
Dahyun mengalihkan pandangannya dari manik Jungkook. Ia ingin menarik tangannya dan melepaskan pelukan, tapi Jungkook langsung menahannya seraya menatapnya dalam. “Apa ini ada hubungannya dengan hal itu? tentang kau yang ‘seorang pembunuh’?” terka Jungkook, membuat Dahyun langsung otomatis menatapnya kaget sementara maniknya sudah kembali berkaca-kaca.
Lidah Dahyun mendadak kelu, tenggorokannya terasa tercekat ketika ingatan mengerikan itu kembali terlintas di benaknya. “Ya ... Eh ani, bukan seperti itu. A-aku tidak pernah—“
“Tatap aku.” Jungkook mengangkat dagu Dahyun supaya mau menatap ke arahnya. “Tatap dan jawab aku Shin Dahyun. Mau sampai kapan kau bersembunyi dibalik topeng? Jangan takut, apapun yang terjadi padamu dulu, aku akan mencoba untuk menerimanya. Kau bisa mempercayaiku, hm?”
Air mata yang sejak tadi ditahan iu mulai mengalir perlahan ke pipinya. Dahyun memejamkan matanya erat seraya menahan sesak yang sudah sejak tadi ia tahan, rasanya ia ingin meledak sekarang tapi lidahnya terlalu kelu dan egonya terlalu kuat untuk di lawan.
“Mi-mian … hiks! A-aku tidak bisa … aku—“
Jungkook kembali membenamkan wajah Dahyun di dadanya, membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukannya. “Gwenchana, aku tahu rasanya sangat sulit untuk membuka kenangan buruk. Aku sangat tahu, makanya aku tidak bertanya tadi. Sudah … jangan menangis, aku masih bisa menunggu.”
Tangis Dahyun semakin pecah. Ia meremas bahu Jungkook sebagai pelampiasan akan rasa sakit yang terus menghujam benaknya. Mendengar perkataan Jungkook barusan malah membuatnya semakin membenci dirinya sendiri. Lelaki ini terlalu baik untuk “seorang pembunuh” sepertinya.
“Wae?” tenggorokannya terasa tercekik saat ia mencoba kembali membuka suara, “Kenapa kau sangat baik padaku? kau membuatku semakin merasa bersalah … hiks! Nappen!”
Aniya, aku tidak sebaik itu, karena aku juga tidak bisa berterus terang padamu. “Ssst … sudah. Aku melakukan ini karena sayang padamu. Aku tidak ingin kau semakin membenci dirimu sendiri hanya karena terikat masa lalu. Aku yakin kau tidak bersalah, kau hanya belum tahu kebenarannya karena selama ini selalu ‘melarikan diri’. Aku tidak tahu, hubungan apa yang terjadi antara kau dan Wonwoo atau dengan pacarnya, tapi menurutku, ada baiknya jika kau membicarakan masalah itu dengan dewasa.
“Selama ini kau pasti sangat tersiksa karena kau selalu dihantui rasa takut yang belum pasti. Tak apa kalau kau masih belum menceritakannya padaku, aku hanya ingin kau mulai memberanikan diri untuk menghadapinya karena masalah tidak akan kunjung selesai kalau kau tidak mau menghadapinya, arrachi?”
Jungkook mengusap rambut Dahyun sayang lalu memberikan kecupan di pucuk kepalanya saat Dahyun mengangguk dengan tangisnya yang sudah mereda. “Sudah jangan menangis lagi, sebaiknya kau segera tidur supaya matamu tidak membengkak besok.”
Dahyun mengangguk lagi, ia mendongak menatap Jungkook lalu memberikan kecupan kilat di bibirnya. “Gumawo.” Dahyun sempat tersenyum dengan mata sembabnya sebelum kembali menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang lelaki, sementara Jungkook tersenyum gemas dan kembali mengecup kening Dahyun sebagai balasan.
“Jaljayo,” bisik Jungkook rendah sebelum menyusul Dahyun ke alam mimpinya. Malam itu, keduanya melewati malam di musim dingin dengan pelukan hangat yang melebihi kehangatan sang purnama.
Paginya, Dahyun sudah tak mendapati keberadaan Jungkook di ranjangnya. Ia sempat menggeliat pelan sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dahyun tak ambil pusing, ia yakin kalau saat ini Jungkook pasti tengah berada di gym pribadinya.
Sementara Jungkook saat ini tengah meregangkan kakinya yang terasa kaku. Kaki kirinya yang berdarah kemarin telah ia balut dengan perban. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya seiring dengan rasa ngilu yang semakin menjadi saat ia memijat kakinya. Bukan hanya itu, lututnya juga terasa seperti lepas dari sendinya saat ia mencoba untuk bangkit berdiri. Beberapa bagian di betis kirinya bahkan sudah membengkak.
“Ahhhh … sshhh … aw!” Lagi-lagi Jungkook tidak bisa menahan jeritannya. Ia mengatur volume pada pengeras suaranya menjadi full, mencoba menyamarkan suara rintihannya dengan suara musik yang keras di dalam gym itu.
Pada akhirnya, ia kembali mengambil obat yang sempat ia simpan semalam. “Ini obat berdosis tinggi, jangan terlalu sering untuk meminumnya karena ini juga akan berefek pada perkembangan bakteri di kakimu. Infeksinya sepertinya sudah mulai menyebar hingga ke lututmu.” Suara Chanyeol tiba-tiba saja terdengar dalam benaknya, membuat ia menghela napas kesal. Masa bodoh! Ia tidak boleh terlihat mengenaskan seperti ini di depan Dahyun.
Jungkook langsung menegak obat itu dua sekaligus. Hari ini ia akan mengantar Dahyun ke kantor, dan tentu ia perlu membereskan sesuatu juga di sana terkait dengan keberangkatannya ke Jerman besok. Napasnya langsung memburu begitu obat itu berhasil ia telan, berangsur-angsur rasa nyeri itu menghilang.
Jungkook meluruskan kakinya selama beberapa menit sampai rasa nyeri itu benar-benar menghilang, baru kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Ia harus segera bersiap supaya Dahyun tidak masuk ke dalam gym ini dan menaruh curiga padanya.
Tak lama kemudian, keduanya sarapan bersama. Seperti biasa, Dahyun akan menyiapkan makanannya sementara Jungkook yang menyiapkan minumnya. Kegiatan ini entah sudah sejak kapan menjadi rutinitas mereka di saat sedang bersama seperti ini.
“Kookie-ya, hari ini kau akan ke kantor, kan?”
Jungkook yang tengah memakan makanannya mengangguk, lalu menelan makanannya saat menyahut, “Iya, aku akan menyapa sekaligus berpamitan pada mereka. Oh ya, aku sudah mengirimkan naskahku pada Donghwa hyung semalam.”
“Jinjja? Kau sudah menyelesaikannya?”
Jungkook menggeleng, “Ani, ajig. Aku belum memutuskan ending-nya. Apakah akan happy atau sad. Menurutmu, lebih baik yang mana? Happy atau sad?” tanya lelaki itu.
“Tentu saja happy.” Dahyun menjawab sekenanya. Ia menempelkan gagang sumpit pada dagunya sembari berpikir. “Tapi sepertinya lebih bagus kalau endingnya bahagia, tapi agak mengharukan. Kau mengerti maksudku, kan? Jadi kau harus membuat ending yang bisa menyentuh hati pembaca dan membuat mereka terkesan dengan karyamu.”
“Emm … ending yang menyentuh ya. Aku agak kurang yakin bisa membuat yang seperti itu.” Jungkook melirik piring Dahyun yang telah kosong. “Mau tambah lagi? Atau sudah?” tanyanya.
“Sudah, aku sudah kenyang.”
“Ini.” Jungkook meletakan secangkir cokelat panas di hadapan Dahyun lalu mengambil piring gadis itu. “Biar aku saja yang cuci piring. Sebagai gantinya, tolong bawakan tasku di kamar ya,” titahnya.
“Arasseo, Kookie.”
Dahyun segera pergi menuju kamar Jungkook. Ia sempat tersenyum tipis saat melihat jejeran baju yang telah di kemas rapi di dalam koper Jungkook. “Mwoya, sejak kapan ia mengemas semua ini.” Gadis itu kemudian beralih mengambil tas hitam Jungkook namun sebuah botol plastik transparan tiba-tiba jatuh dari sana. Dahyun segera mengambilnya namun ia langsung terdiam dengan alis menukik bingung.
“Obat? Obat apa ini?”
Belum sempat Dahyun membaca nama obat itu, suara Jungkook terdengar, “Dubu-ya, ayo kita berangkat!”
“Ahh iya! Tunggu sebentar!” Dahyun langsung memasukan obat itu ke dalam tas Jungkook lalu buru-buru menghampiri Jungkok yang sudah menunggu di ambang pintu.
Translate:
Cha = Sudah tidur?
Mian = Maaf
Nappeun = Jahat
Arrasseo, Arrachi = Baiklah, Mengerti?
Gwenchana = Baik-baik saja, tidak apa-apa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top