🍪3| Disappointed
Pernah sekali, saat Dahyun baru naik ke kelas lima, ia menolak cookies buatan ibunya. Gadis itu bahkan hanya mau makan sedikit saat sarapan, begitupun ketika jam makan siang, ia menolak saat Jungkook mengajaknya ke cafeteria.
Merasa aneh dengan perubahan sikap Dahyun, Jungkook lantas mengurungkan niatnya untuk pergi. Menopang wajahnya dengan kedua tangan seraya menatap Dahyun yang tengah termenung itu dengan mata bulatnya.
"Hey, Dub-ttungie. Tumben kau menolak makanan? Ada apa?" tanyanya seraya mencondongkan tubuhnya supaya lebih dekat dengan Dahyun. Sementara Dahyun langsung meliriknya kesal, tanpa bicara, gadis itu langsung beringsut dan duduk di bangku lain yang kosong. Saat itu hanya ada mereka berdua di kelas karena siswa yang lain lebih memilih untuk makan di cafeteria.
"Ya, kau tak mendengarku, ttung?!" Jungkook kembali mendekati Dahyun, membuat gadis itu mendengus kesal dan kembali menghindarinya. Lelaki itu berdecak, lantas menarik rambut Dahyun yang dikucir ekor kuda hingga membuat gadis itu kesakitan.
"Ahh! ... aww! sakit!" Dahyun meringis.
Jungkook malah tertawa. Ia melepaskan cengkramannya pada rambut Dahyun, namun seketika raut wajahnya berubah menjadi khawatir saat melihat gadis itu menangis.
"Ya, kenapa kau menangis? Apa aku menariknya terlalu keras?" Jungkook terlihat sangat panik.
Tentu saja, walaupun mengganggu Dahyun adalah hobinya, tapi ia paling tidak tahan jika melihat Dahyun menangis. Saat melihat Dahyun diganggu oleh lelaki lain saja, Jungkook pasti menjadi orang pertama yang akan melindungi Dahyun. Melihat Dahyun menangis hebat karena ulahnya ini, tentu membuat dirinya merasa sangat bersalah.
"Hikss ... sakit!" Dahyun masih sesegukan, namun bukannya memegangi kepalanya, gadis itu malah memegangi pipi sebelah kirinya.
"Ya, kau ... sakit gigi? Itu sebabnya kau tidak mau makan dan terus diam sejak tadi?" terka Jungkook saat menyadari kalau sebelah pipi Dahyun memang agak membengkak. Tangisan Dahyun sudah mulai mereda dengan bibirnya yang mengerucut, ia mengangguk, membuat Jungkook menghela napas seraya tersenyum lega.
"Kupikir kau menangis karena aku menarik rambutmu terlalu keras."
"Ya! ... akkhh!" Dahyun kembali meringis saat merasakan giginya kembali berdenyut ngilu.
Jungkook terkekeh, lantas mensejajarkan wajahnya dengan Dahyun.
"Hey, mau kuberi tahu cara menyembuhkannya? Dulu aku sering sekali sakit gigi tapi saat ibu melakukannya untukku, gigiku tak lagi sakit."
Dahyun masih bergeming dan tak merespon apapun membuat Jungkook menghela napas. "Mau ku sembuhkan atau tidak? Kau tidak perlu menjawab, cukup mengangguk atau menggeleng saja."
Dahyun terlihat berpikir lalu tak lama kemudian, ia mengangguk. Jungkook tersenyum. "Tapi kau harus janji ya, tak akan mengatakan rahasia ini pada siapapun, oke?"
Dahyun kembali mengangguk namun tanpa diduga, Jungkook malah mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan kilat dibibir Dahyun.
"Masih sakit? Ahh sepertinya cara ini tak berhasil. Aku akan pergi ke ruang guru untuk meminta izin pulang. Hari ini kita ke dokter gigi ya, ttungie?"
Tanpa menunggu jawaban Dahyun, Jungkook menepuk pucuk rambut Dahyun beberapa kali sebelum berlari menuju ruang guru. Sementara Dahyun masih mematung. Rasa sakit di giginya masih terasa, namun jantungnya yang berdebar cepat lebih mendominasi. Rasa panas menjalar di wajahnya membuat kedua pipinya bersemu.
Jungkook telah menciumnya. Lelaki itu telah merebut ciuman pertamanya.
Kejadian itu kembali teringat oleh Dahyun membuat pipi gadis itu kini semakin memanas. Dahyun terdiam, mengutuk dirinya sendiri yang masih dapat mengingat momen itu dengan jelas walaupun sudah lama sekali. Saat kesadarannya telah kembali, gadis itu semakin gugup ketika melihat Jungkook yang masih tak menjauhkan wajahnya. Ditambah dengan smirk-nya yang membuat Dahyun semakin ingin melarikan diri dari sini.
Jungkook mengamati raut wajah Dahyun yang kian bersemu merah dengan senyum jahilnya.
"Ck, saat ini kau pasti mengingat ciuman pertama kita, ya?" terkanya tepat sasaran.
"Mwo?! Ciuman pertama—mmpphh." Pekikan seorang wanita di luar membuat Jungkook langsung mengalihkan pandangan ke sumber suara. Berbarengan dengan itu, para pegawai—yang sepertinya sejak tadi mengintip mereka lewat jendela—langsung buru-buru membubarkan diri.
Jungkook mendengkus sebal, lantas menjauhkan tubuhnya dari Dahyun seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku. "Ahh ... sial, di perusahaan ini ada banyak orang yang menyebalkan."
Maniknya kembali mengamati Dahyun yang kini berusaha menetralkan kembali raut wajahnya. "Hey, apa sebaiknya kita pergi ke atap? Mereka tidak mungkin mengikuti kita sampai sejauh itu, kan?" tawarnya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Dahyun.
"Mr. Hwang, sudah cukup untuk hari ini, pekerjaanku masih banyak! La ... lagipula siapa yang mau berduaan denganmu?" ujarnya dengan terburu-buru.
Dahyun lantas meraih gagang pintu, dan melesat cepat keluar dari ruangan ini.
Sementara Jungkook malah terkekeh kecil melihatnya. Ternyata tidak ada yang banyak berubah dari Dahyun, semuanya masih terlihat sama. Terkecuali sikapnya yang menjadi dingin, berat badannya yang turun drastis dan wajahnya yang semakin cantik.
"Ck, Shin Dahyun. Kenapa sulit sekali untuk membencimu?"
Jungkook memantulkan bola tenis pada dinding, menangkapnya lalu melemparkannya lagi. Sementara tubuhnya bersandar pada sofa panjang, kepalanya ditumpu dengan sebelah tangannya. Siaran televisi yang dinyalakannya sama sekali tak dipedulikannya. Pikirannya saat ini justru malah tertuju pada Dahyun.
Kenapa?
Kenapa aku terus memikirkannya?
Apa ... aku masih menyukainya?
"Akkhh!" Jungkook berteriak saat bola tenis itu memantul ke wajahnya. Lelaki itu meringis saat merasakan darah yang mulai merembes keluar dari hidungnya. Buru-buru ia pergi ke wastafel untuk membersihkan darahnya, lantas menyumpal lubang hidung sebelah kirinya dengan tisu untuk menghentikan pendarahan.
Jungkook berdecak, ia kembali menjatuhkan tubuhnya pada sofa itu seraya menghela napas panjang. "Sudah sepuluh tahun berlalu ya? Waktu cepat sekali berlalu."
Tangannya terulur untuk meraih sekotak cookies yang tinggal tersisa beberapa potong lalu memakannya satu per satu. Entah sejak kapan, ia mulai menyukai makanan manis ini. Namun ia tak pernah merasakan cookies yang seenak buatan Dahyun belasan tahun silam, tepatnya saat ia akan pindah ke Jerman.
"Kalau kau merindukanku, makan cookies itu, maka aku pun akan terus mengingatmu di sini."
Jungkook kembali menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Andai saja saat sampai di Jerman dulu, ponselnya tidak hilang, apa keadaannya akan berbeda dari sekarang?
Ponselnya bergetar, menampilkan sebuah nama yang mengundang dengusan lelah darinya. "Oh wae?" sahutnya setelah panggilan itu tersambung.
"Ck, seharusnya kau menyapa dulu dengan baik saat ada yang meneleponmu," protes Wonwoo di ujung telepon, nada kesalnya kentara sekali.
"Ada apa? Aku sangat lelah."
"Ya, gadis yang waktu itu kau cari ada di sini," ujar Wonwoo membuat kernyitan tipis muncul di dahi Jungkook.
"Gadis yang mana?"
"Gadis yang kau tanyakan itu, Shin Dahyun. Ia sedang bersama temannya disini."
Jungkook ingat sekarang. Awal pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah bukan di perusahaan itu, justru saat di toko Wonwoo. Jungkook pernah melihat Dahyun terdiam cukup lama di depan toko Wonwoo saat ia tengah memakan cookies di sana. Pantas saja ia merasa tak asing saat melihatnya lagi ketika di perusahaan.
Alih-alih bersemangat, Jungkook justru kembali menghela napas, "Ck, aku sudah tak peduli. Memangnya apa yang ia lakukan di sana?"
"Katanya tidak peduli, tapi kau menanyakan keadaannya sekarang?"
"Haissh—kalau kau tidak mau memberitahu ya sudah."
"Eii ... tunggu! Tunggu! Pesanan cookies-mu sudah jadi, kau harus segera mengambilnya sekarang karena aku akan segera tutup sebentar lagi."
"Kau tidak bisa langsung mengantarnya ke sini?"
"Tidak, aku sangat sibuk hari ini. Kau harus datang ya, kalau tidak aku akan membuangnya."
Wonwoo langsung mematikan panggilannya membuat Jungkook mengerang kesal. Lelaki itu memandang langit-langit dengan tatapan menerawang. Kembali bertanya-tanya, apakah selama ini hanya dirinya yang berusaha mencari keberadaan Dahyun atau justru gadis itu juga melakukan hal yang sama?
Tapi kenapa sikapnya kini sangat berbeda? Apa ada suatu hal yang telah terjadi saat ia masih di Jerman?
Jungkook menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya ke belakang. Lelaki itu lalu beranjak dari sofa, berjalan menuju kamar mandi seraya mencengkram rambutnya dengan kuat.
"Astaga Hwang Jungkook, berhenti memikirkannya terus. Dia sama sekali tak mempedulikanmu, kau harus sadar, Hwang! Dahyun yang sekarang tidak sama dengan yang dulu."
"Ani, maksudku, kami baru saja bertemu setelah belasan tahun berpisah tapi lelaki itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal apapun. Jungkook sialan itu terus mengungkit masa lalu tapi ia sama sekali tidak merasa bersalah padahal aku sudah ... Hah, sial. Seharusnya aku menurut saat kau mengajakku minum tadi, bukannya berakhir di tempat ini."
Dahyun terus mengoceh, tingkahnya seperti orang yang tengah mabuk padahal ia sejak tadi hanya minum susu cokelat dan cookies. Kue manis itu justru sudah menjadi korbannya sejak tadi hingga hancur menjadi bubuk. Chaeyoung benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya itu.
"Kenapa kau tidak jelaskan saja soal surat itu? Siapa tahu suratmu tidak benar-benar sampai ke Jerman," ujar Chaeyoung. "Lagipula, sekarang sudah era digital. Kau bisa mengiriminya email atau pesan."
"Ya, itu memang benar tapi kami sudah berjanji dan dia tidak menepatinya! Dia benar-benar tidak bisa dihubungi. Surat, pesan, panggilan hingga email, semuanya tidak mendapatkan balasan," balas Dahyun tidak mau kalah.
Chaeyoung menatapnya datar. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di dada. "Lalu, sekarang kau mau apa?"
Dahyun mengernyit tidak mengerti. "Mwo?"
"Sekarang lelaki dari Jerman itu sudah kembali. Dia bahkan selalu mengganggumu setiap saat tapi kenapa kau tidak mencoba untuk menanyakan padanya soal surat itu?"
Dahyun terdiam. Perkataan Chaeyoung seolah menamparnya dan bertepatan dengan itu, seseorang datang memasuki cafe itu.
"Wonwoo-ya mana cooki—" Perkataan Jungkook menggantung ketika maniknya bertemu dengan netra gelap milik Dahyun. Keduanya sempat terdiam untuk beberapa saat sampai Dahyun pura-pura mengalihkan pandangannya pada ponselnya. Chaeyoung yang melihatnya hanya tersenyum tipis, lantas memberi sinyal pada Dahyun kalau ia akan pergi dari sana.
"Y-ya! Im Chaeyoung!" Alih-alih berhenti, Chaeyoung malah melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. Gadis itu membungkuk sekilas saat berpapasan dengan Jungkook sebelum akhirnya keluar dari cafe.
Dahyun berdecak kesal. Tolong ingatkan dia untuk memberi pelajaran pada sahabat menyebalkannya itu. Sementara Jungkook tersenyum miring, lelaki itu lantas mengambil tempat duduk di bangku yang sama dengan Dahyun.
"Aigoo Dub-ttungie, kupikir kau sudah tidak akan datang ke tempat makanan manis seperti ini lagi," ujar Jungkook dengan ceria, lalu menjentikan jarinya saat mengingat sesuatu. "Oh iya, kau pasti datang kemari karena gagal diet, ya?"
"Mwo?"
"Arrasseo, sudah kuduga kalau kau itu pasti sangat tersiksa jika tidak makan banyak. Kau seharusnya memberitahuku kalau ingin ke sini."
Brak!
Dahyun tiba-tiba saja menggebrak meja hingga menimbulkan suara yang cukup keras, membuat Jungkook tersentak.
"Kau jangan bersikap sok akrab padaku, Mr. Hwang. Memangnya siapa kau? Teman masa kecilku?"
Giliran Jungkook yang saat ini mengernyit bingung. "Mwo? Kau—"
"Jungkook yang kutunggu itu sudah mati. Jadi kau ... kumohon untuk berhenti memanggilku gendut karena aku sudah tidak gendut lagi dan kau tak berhak memanggilku seperti itu, kau bukan orang yang kutunggu."
Dahyun langsung bangkit dari duduknya, lantas beranjak pergi dari sana. Namun langkahnya kembali terhenti saat Jungkook menahan tangannya.
"Ya, apa maksudmu mengatakan itu tadi? Ini aku, Hwang Jungkook! Bukannya kau yang menghilang? Selama ini aku berusaha menemukanmu tapi hasilnya selalu nihil."
Dahyun melepaskan cengkraman tangan Jungkook pada lengannya dengan menghempaskannya kasar. "Selama ini aku selalu di sini. Bukan aku yang menghilang, justru kau! Katanya kau akan menghubungiku? Cih, kau bahkan tidak membaca emailku, tidak mengangkat panggilanku dan tidak membalas satu pun surat yang kukirimkan."
"Mwo? Kau pasti berbohong! Aku tidak pernah—"
"Jungkook-ah, kau baru dat—oh, sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat ya." Wonwoo menggaruk tengkuk lehernya canggung sembari membalikan tubuhnya kembali ke dapur saat melihat Jungkook yang kini telah mengungkung tubuh Dahyun di dinding.
"Ayo katakan yang sebenarnya. Perkataanmu tadi bohong, kan? Aku tidak pernah menerima satu pun surat darimu," ujar Jungkook lagi.
Manik Dahyun memanas. Hatinya terasa sakit saat mendapati Jungkook tidak mempercayainya. Bertahun-tahun ia telah mengirimkan semua surat itu, berharap mendapatkan balasan darinya namun Jungkook malah menuduhnya berbohong.
"Kau ... tidak percaya padaku?" tanya Dahyun seraya menatap Jungkook dalam. Penuh kekecewaan.
"Belasan tahun aku mencarimu dan saat kita bertemu, aku mendapati dirimu yang telah banyak berubah. Rasanya aku seperti melihat orang asing. Mana bisa aku langsung percaya? Shin Dahyun, kau sudah berubah—"
PLAK!
Jungkook langsung menyentuh pipinya yang baru saja ditampar dengan keras oleh Dahyun. Rahang Jungkook mengeras, lelaki itu menoleh ke arah Dahyun tapi ia mendadak terdiam ketika melihat manik gadis itu yang telah memerah dan berkaca-kaca.
"Aku membencimu! Aku sama sekali tidak mengenalmu yang sekarang. Kau yang berubah, Hwang Jungkook. Karena Kookie-ku tidak pernah meragukan ucapanku, apalagi menuduhku berbohong," desis Dahyun tajam.
Jungkook terdiam seribu bahasa.
"Ah ... satu lagi," ujar Dahyun. Gadis yang telah sampai di ambang pintu itu kembali berbalik ke arah Jungkook. "Saat di kantor, sebaiknya kita bersikap sesuai seperti partner kerja yang profesional. Perkenalan kita saat di perusahaan itu adalah kali pertama kita bertemu jadi kau ... jangan bersikap sok akrab denganku lagi," lanjutnya tajam.
Setelah mengatakan itu, Dahyun langsung pergi. Gadis itu membekap mulutnya menahan tangis sementara Jungkook masih mematung di tempatnya. Ada banyak hal yang ada di pikirannya saat ini namun perkataan Dahyun tadi sukses menamparnya. Rasa sakitnya melebihi rasa sakit di pipinya.
Jadi ... selama ini Dahyun juga menunggunya?
Translate :
Mwo = Apa
Arrasseo = Aku mengerti/baiklah
Ani = Tidak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top