BAB 8

Selamat petang 😄😄😄

Indah balik dengan kusah si dingin Raka. Dan Chika gadis yang mengundang kesedihan :')

Jangan lupa vote dan coment untuk dukung cerita ini! Follow instagram @indahmuladiatin untuk pemberitahuan update dan info-info lainnya

Happy reading guys! Semoga kalian bisa sekalian nostalgia sama cerita tbwafs dan nadw ✌✌

🌼🌼🌼

"Kak Chika sakit?" tanya Caramel dengan wajah khawatir.

Chika tertawa kecil dan menggelengkan kepala. Mencoba menenangkan si bungsu ini. Meski terkesan kekanakan dan ceroboh, tapi Caramel adalah yang paling peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Kadang memang terlihat egois dan manja, tapi caranya mengatasi masalah bisa dijadikan contoh. Itu penjelasan dari bunda tentang si bungsu.

"Pasti gara-gara Bang Raka ya? Kakak dikasih kerjaan banyak tanpa istirahat? disuruh kerja rodi terus nggak dikasih makan?" Caramel menyipit curiga.

"Memangnya wajah Abang seperti penjajah?" tanya Raka yang baru saja datang dengan nampan berisi makanan untuk Chika.

Caramel mengangguk dengan polosnya. Kemudian menoleh lagi pada Chika. "Iya kan Kak? mukanya Bang Raka itu sadis-sadis gimana gitu."

Kalau soal itu, Chika setuju. Meski tahu kalau Raka itu baik, tetap saja dia tidak bisa menampik fakta itu. Bagaimanapun dia sudah terkena omelan pria ini berkali-kali. Bahkan hanya karena menanyakan tentang kehidupan Raka saat di apartemen.

Bayangkan, dipelototi saja sudah seram, apalagi terkena amukan. Rasanya ingin punya kekuatan untuk menerobos tanah saking takutnya. Chika buru-buru menggelengkan kepala, pikiran aneh macam apa itu.

"Makan," kata Raka.

"Nah kan bener! astaga Abang bener-bener nyeremin!" omel Caramel dengan heboh. Bahkan jarinya menunjuk-nunjuk Raka. "Kalau orang nggak tau, Abang bisa dikira lagi ngasih makan ke korban yang Abang culik tau!

"Kamu ini," balas Raka sambil menjauhkan jari Caramel. "Ayo anak kecil kita keluar, jangan ganggu Kak Chika."

"Kara bukan anak kecil ya Bang, udah remaja," balas Caramel yang sudah digiring keluar kamar.

Chika cuma bisa tertawa melihat interaksi antara Raka dan Caramel. Betapa jauh perbedaan dua saudara itu. Raka yang auranya serba gelap dan Caramel yang memiliki aura cerah dan menenangkan. Raka yang sangat tenang seperti air di danau, sedangkan Caramel seperti arus sungai yang deras.

Hanya satu persamaan dua orang itu, mata mereka sama-sama cokelat terang yang sangat indah. Mirip sekali dengan mata bunda Fian. Berbeda dengan si kembar yang matanya meniru om Karel. Hitam lekat yang juga sama mempesonanya. Kalau dipikir-pikir, seluruh keluarga Rajendra pesonanya memang sangat kuat.

Chika memakan makanannya, tampak tidak berselera. "Uhh pahit." Inilah yang paling tidak dia suka dari sakit, makan apapun rasanya pahit. Sedangkan perut harus tetap terisi agar tidak semakin lemah.

Buru-buru dia habiskan semua makanannya tanpa memikirkan rasa. Sudah bagus ada makanan yang bisa dimakan. Tidak boleh banyak mengeluh.

Tubuhnya sekarang sudah lebih baik. Kepalanya juga tidak terlalu pusing. Tadi di kantor pun sudah mendapatkan perawatan di klinik. Sayangnya, selama dua hari ini Chika tidak boleh masuk. Padahal dia harus membantu Caramel menyiapkan pesta kejutan untuk bunda Fian.

"Sayang?" panggil suara lembut itu.

Chika menoleh ke arah pintu kamar yang saat ini menjadi kamarnya, tentu untuk sementara. Di sana ada bunda dengan pakaian kasualnya. Terlihat sangat pas untuk bunda meski umurnya sudah tidak muda lagi.

"Yaa Bunda?" jawab Chika.

Bunda berjalan mendekat, aura kelembutan memang sangat terasa. Meski menjadi seorang istri dari pengusaha kaya, tidak ada kesombongan sama sekali di wajah itu. Tidak pernah dia lihat ada sorot mata merendahkan. Bahkan saat bertemu dengan dirinya yang bukan siapa-siapa dan tidak jelas asal usulnya.

"Sudah minum obat?" tanya bunda.

"Belum," kata Chika dengan ringisan kecil. "Tapi akan Chika minum sekarang."

"Bagus, setelah itu kamu harus langsung tidur. Oke?"

"Siap Bunda." Chika mengacungkan jempolnya. Tawa bunda menyambut tingkahnya ini. "Selamat malam Bunda."

Bunda mengusap kepala Chika. "Selamat malam, tidurlah. Lupakan semua masalahmu, mimpi indah dan tinggalkan semua mimpi buruk."

Perkataan itu membuat Chika tersenyum dan menganggukan kepala. Bunda tidak akan tahu, bahkan ketika matanya terpejam segala hal buruk tidak pernah pergi. Mimpi buruk akan segera menyapa. Membuatnya sesak dan tidak tahan. Entah kapan terakhir kalinya dia bisa tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi-mimpi buruknya.

🌼🌼🌼

Raka menatap langit dari balkon kamarnya. Hari ini dia menginap di rumah karena tadi mengantar Chika pulang. Gadis itu sakit dan memaksakan diri untuk tetap bekerja hingga akhirnya tumbang.

Kamar di samping tampak gelap, mungkin Chika pun sudah terlelap karena ini sudah lewat tengah malam. Baguslah, gadis itu harus beristirahat. Setidaknya tidur adalah salah satu cara ampuh untuk meninggalkan masalah sejenak.

Suara pintu terdengar di samping. Raka menoleh ke arah kamar Chika. Gadis itu keluar dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur. Dengan mata setengah terpejam Chika berjalan ke dekat pembatas balkon dan merentangkan tangan lebar-lebar.

"Kenapa kamu bangun?" tanya Raka.

"Astaga!" cicit Chika dengan wajah terkejut. "Kaka?" matanya mengerjap beberapa kali sebelum kembali menatap Raka. Apa gadis ini pikir baru saja melihat hantu.

"Masuk ke kamarmu, di luar dingin," jawab Raka.

"Kamu menginap? oh maksudku kenapa kamu belum tidur? ini tengah malam. Apa kamu duduk semalaman di sana?" tanya Chika yang tampak bingung dengan Raka. Jelas saja, gelap-gelap dan Raka hanya duduk diam di sana.

Raka diam tidak menjawab, dia justru berbaring di lantai balkon. Menatap langit seperti sebelum ada Chika yang menganggu. Dia suka suasana ini. Tenang, sunyi, dan ada hamparan bintang yang indah untuk sekedar ditatap.

"Wah langitnya indah," gumam Chika.

Iya benar, Raka setuju. Kalau Caramel tahu cuaca hari ini baik dan bintang terlihat, maka adiknya itu akan marah karena tidak ada yang membangunkannya. Caramel itu suka sekali pada bintang, seperti namanya.

Raka sendiri menyukai bintang karena benda langit ini berkaitan erat dengan nama wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya. Stella namanya. Nama yang cantik sesuai dengan paras dan kepribadiannya.

Wanita itu sudah pergi ke tempat terindah. Meninggalkan sejuta kenangan pada orang-orang yang menyayanginya. Dulu, ketika dia masih belum terlalu paham apa itu meninggal dunia, dia pikir suatu saat akan bertemu lagi dengan mommynya.

"Ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Chika.

"Hemm," jawab Raka. "Apa kamu masih demam?"

"Aku udah merasa baikan." Chika mendekat karena mereka terpisah oleh balkon. "Apa yang kamu pikirkan?"

Raka mendengus samar. "Apa itu penting?"

"Hemm aku cuma penasaran."

Mereka kembali terdiam. Sama-sama menikmati malam. Semilir angin rasanya makin dingin. Chika menggigil merasa tidak kuat. Tapi rasanya dia masih ingin di sini. Menemani pria yang bahkan tidak mau membuka suara.

"Kaka?"

"Hemm?" meski hanya dehaman, Chika dapat mendengar nada lembut itu. Tidak seperti biasa, terdengar ketus dan tidak sabaran.

"Cuma memanggil," jawab Chika yang sepertinya tidak takut kena damprat lagi.

Raka tersenyum dan langsung bangkit. Sudah terlalu lama dia menahan Chika di sini. Dia tidak perlu melihat langsung untuk tahu Chika sedang kedingin karena beberapa kali dia mendengar gadis ini menggesekan kedua tangannya.

"Aku ingin tidur," jawab Raka.

"Ohh oke."

Raka menatap Chika, dengan intens. Wajah polos tanpa make up yang sudah sering dia lihat. Bahkan dia pun sudah melihat wajah kacau gadis ini. Dengan gaun putih gading yang lusuh. Berlari tidak tentu arah.

"Apa?"

"Jangan membuatku khawatir," jawab Raka. Singkat padat dan tidak bisa diartikan oleh Chika.

🌼🌼🌼

Satu minggu ini semua disibukan dengan acara persiapan kejutan untuk bunda. Yaa akan ada pesta ulangtahun pernikahan antar bunda Fian dan om Karel. Segala konsep sudah disiapkan.

Chika membantu tante Putri dan tante Rain untuk menyiapkan semuanya. Dua orang itu adalah sahabat dekat bunda Fian. Sesekali Chika juga bertemu di rumah saat akhir pekan. Hari ini pun Chika mengurus dekorasi dengan orang-orang yang sudah dipercaya untuk menata ruangan secantik mungkin.

"Aku yakin Fian pasti kaget," kekeh tante Rain.

"Pastilah itu, mudah-mudahan bos bisa sedikit berakting," kata tante Putri.

Chika meringis kecil. Agak ragu dengan kemampuan akting om Karel. Apa iya mampu mengingat kepribadiannya tidak jauh dari Raka. Kalau soal itu, biar Caramel yang mengurusnya.

Karena acara ini, anak itu jadi sering ke kantor. Tidak banyak yang mengenal Caramel di kantor ini, kecuali karyawan yang memang sudah lama karena saat kecil Caramel sering diajak datang dengan si kembar. Setelah sudah asik dengan kegiatan sekolah, anak itu tidak suka diajak kemari, dia pun sering mengenakan samaran seperti memakai topi dan kacamata hitam.

Seperti siang ini, setelah pulang sekolah Caramel langsung pergi ke kantor. Kali ini tanpa topi dan kacamata. Anak itu berjalan dengan santai dengan earphone terselip di telinga. Karena terus melihat ponsel, jadilah Caramel menabrak orang lain sampai jatuh terduduk.

"Aww," ringis Caramel. "Maaf yaa Mbak, saya nggak sengaja."

"Ihhh!!!" teriak perempuan yang ditabrak Caramel. "Maaf kamu bilang? lihat saya jatuh!"

"Yaa saya juga tau kalau Mbak jatoh," jawab Caramel dengan wajah kesal. "Makanya saya tadi minta maaf sama Mbak, toh Mbak juga tadi lagi main hp."

"Nyalahin saya? kamu ini siapa sih? anak sekolah itu nggak seharusnya main di perusahaan ini. Ini bukan taman bermain! pergi sana!"

Caramel membulatkan mulutnya. Agak kaget karena baru kali ini dia diusir diperusahaan milik ayahnya sendiri. Yaa oke lah dia memang jarang kemari, tapi siapa perempuan sombong di depannya ini. Gayanya pongah sekali seolah perusahaan ini miliknya.

"Astaga hpku," rengek perempuan itu. "Menyebalkan, apa satpam disini sudah tidak becus kerja sampai mengizinkan orang sembarangan masuk! akan kulaporkan pada Raka."

Lagi-lagi Caramel hanya bisa melongo. Gila, apa itu pacar abangnya. Kenapa bisa menyebut Raka tanpa tambahan pak atau bos. Kalau memang itu pacar Raka, maka sudah pasti selera abangnya itu abnormal. Bahkan lebih parah daripada Arkan yang menurutnya sudah parah banget.

🌼🌼🌼

Chika hanya bisa menyaksikan Caramel yang terus marah-marah di depan ruangan Raka. Kali ini dia menemani anak itu karena tadi Caramel datang ke ruangannya dengan wajah kesal.

Dita berusaha menenangkan Caramel agar moodnya tidak buruk. Maklum saja, Caramel hanya remaja belasan tahun yang emosinya masih meledak-ledak. "Sabar yaa, nanti biar Kakak yang cari tau siapa yang buat Kara marah."

"Kalau pun dia ngelakuin itu sama orang lain, Kara juga bakal tetep marah. Sombong banget sih itu orang! memangnya perusahaan ini punya neneknya. Berasa jadi penguasa."

Chika meringis kecil dan merangkul bahu Caramel. "Tenang oke? sekarang kan kita harus fokus ke acara nanti malem."

"Tapi Kak," rengek Caramel.

"Udah," jawab Chika.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Raka kembali ke ruangannya. Pria itu baru saja mengikuti rapat. Dita yang seharusnya ikut pun jadi batal karena ditugasi untuk menunggu Caramel.

"Abang.." panggil Caramel sambil berhambur ke pelukan Raka. "Bang, masa tadi Kara ketemu sama nenek sihir? dia pacar Abang yaa?"

"Pacar?" tanya Chika dan Dita bersamaan. Keduanya melempar pandangan bingung. Jangan-jangan yang dimaksud Caramel adalah Gracia. Dari penggambaran sifat sih iya. Tapi Chika rasa kemarin sifat Gracia tidak seburuk itu. Apa jangan-jangan ada makhluk sejenis Gracia yang menjadi penggemar berat Raka.

"Apa maksudmu?" tanya Raka.

Caramel cemberut kesal dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Tadi Kara nggak sengaja nabrak orang, yaa Kara minta maaf dong, ehh dianya ngegas. Terus bawa-bawa nama Abang pula!"

Dapat Chika lihat kerutan samar di kening Raka. Mungkin pria itu juga bingung. Karena sepertinya memang Raka tidak punya hubungan apa-apa dengan Gracia. Oh tidak tahu juga sih, dia kan belum pernah bertanya langsung. Kesimpulan itu dia dapat hanya berdasarkan penglihatannya.

Raka menghela napas panjang dan tangannya mengusap kepala Caramel. "Ya sudah nanti biar Abang urus, kita ke ruang Ayah sekarang. Sekalian tunggu Rafan dan Arkan di sana."

"Bang Rafan sama Bang Arkan lagi otw sih Bang. Tapi Kara laper, ini kan jam istirahat, ke kantin dulu yaa Bang??" pinta anak itu.

Raka tersenyum tipis dan mengangguk setuju. Chika tahu, senyum itu tidak akan diberikan oleh Raka pada orang-orang lain. Karena selama ini yang dia lihat, perempuan yang mendapat senyum itu hanya bunda dan Caramel. Iya, dua perempuan yang sangat berharga untuk pria itu.

"Ayo Kak Chika Kak Dita," ajak Caramel.

Chika buru-buru menggelengkan kepala. "Kakak masih harus ngurus pekerjaan, kalian duluan aja."

"Yapp sama," jawab Dita.

Raka mengangguk dan langsung merangkul bahu Caramel. "Jangan telat makan, kamu bahkan baru saja sembuh."

"Siap Pak," jawab Chika dengan cengirannya.

"Uuuu perhatiannya," ledek Caramel.

"Haha biar kita jadi penonton," kekeh Dita.

🌼🌼🌼

Raka mengajak Caramel makan di kantin kantor. Seingatnya dulu mereka sering main. Bunda selalu mengajak mereka makan di sini dan dulu Caramel akan dengan semangat memesan bento favoritnya. Seperti sekarang, adiknya ini masih suka sekali dengan makanan itu.

"Makan pelan-pelan," kata Raka.

"Siap Bang." Caramel melahap bento dalam sekali suap. "Bang, di sini nggak ada yang naksir Kak Chika? Kara yakin sih pasti banyak yang naksir. Kak Chika cantik begitu."

"Mana Abang tahu? kamu pikir kerjaan Abang di sini mengawasi Kak Chika?" Raka menjawab dengan pandangan geli. Kalau dipikir-pikir benar juga. Sepertinya ada satu orang yang menyukai gadis itu. Saat dia ikut makan dengan team Chika, bisa dia lihat tatapan dari satu orang yang selalu berusaha mengajak Chika bicara.

"Ahh ini yang buat Abang bisa kalah langkah! Abang emang payah." Caramel geleng-geleng kepala dengan ekspresi miris.

Rasanya ingin sekali menjitak kepala Caramel. Adiknya ini tidak akan berhenti menggoda. Sejak Chika datang ke rumahnya, Caramel dan bunda adalah orang yang paling getol mengoporinya.

"Pak Raka," panggil seseorang yang membuat obrolan Raka dan Caramel berhenti.

"Loh Mbak galak yang tadi!" kata Caramel.

Gracia melebarkan matanya. "Oh apa maksud kamu?"

Caramel langsung membisikan sesuatu pada Raka. Tentu tentang masalah tadi. Jadi yang dimaksud adiknya ini adalah Gracia. Yaa tidak heran, dia pun sempat mendengar selenting kabar tentang gadis ini. Gosip tentang dirinya yang berpacaran dengan Gracia. Siapa lagi yang menyebarkan kalau bukan orang itu sendiri.

"Ada apa?" tanya Raka.

"Ohh tidak Pak, saya rasa kalian sedang ada obrolan penting. Maaf saya mengganggu," kata Gracia buru-buru.

Raka menahan senyum. Kemudian tangannya merangkul Caramel. "Dia adik saya, Caramel Starla Rajendra. Maaf tadi dia menabrakmu."

"N-nona Caramel?" cicit Gracia. Kepalanya menunduk hormat. "Maaf karena ucapan saya tadi, saya tidak bermaksud."

Caramel memutar bola matanya. "Sama siapa pun itu, Mbak nggak berhak bicara begitu. Masa sopan santun Mbak kalah sama saya yang masih sekolah?"

Telak, wajah Gracia langsung pucat pasi. Tidak perlu menjadi ahli pembaca wajah untuk tahu kali ini gadis itu ketakutan. Buru-buru Gracia pamit keluar dan berjalan cepat.

"Abang nggak pacaran sama dia kan?" tanya Caramel curiga.

"Mana mungkin?" jawab Raka.

Rafan dan Arkan datang setengah jam kemudian. Si kembar itu memang punya kesibukan masing-masing. Mungkin sebelum kemari, mereka menyelesaikan beberapa hal dulu.

"Udah pada makan ya?" tanya Arkan.

"Udah Bang, lo makan aja dulu. Pesen bento yaa Bang!" kata Caramel semangat.

Arkan mendengus kesal. "Bilang aja mau minta!"

"Hehe tau aja."

Meski sudah habis satu porsi. Caramel ikut memakan bento milik Arkan dan Rafan. Tidak ada protes dari dua orang itu. Raka hanya tersenyum melihat tingkah tiga adiknya ini. Jadi ingat masa dulu saat mereka sering berkumpul hanya untuk makan di luar.

Beberapa orang memperhatian meja itu. Tempat dimana anak-anak Rajendra berkumpul. Auranya memang begitu kuat. Hingga sulit menahan diri untuk melirik ke arah sana. Empat orang yang menyandang nama Rajendra.

Raka mengajak ketiga adiknya untuk datang ke ruangan ayah. Hari ini bunda sengaja dibiarkan tidak masuk kantor karena ayah bilang akan tugas di luar. Sudah jadi kebiasaan kalau sedang tugas luar, yang bertugas mendampingi ayah adalah tante Yuki.

"Ayah," panggil Caramel sambil berlari ke pelukan ayah. Masih seperti saat masih kecil padahal sudah berseragam SMA.

"Sudah makan?" tanya ayah.

"Udah dong, perut Kara udah penuh."

"Yaa iya lah, lo makan punya gue hampir setengahnya!" protes Arkan.

"Punya Abang juga kamu makan," tambah Rafan.

Demi menjaga situasi kondusif di ruangan ini, ayah langsung mengajak semua untuk berdiskusi. Satu hal yang menjadi favorit mereka sejak kecil. Berdiskusi, mencoba memecahkan masalah yang menjadi topik pembicaraan.

"Kara punya ide!" Caramel mengacungkan tangan. Buru-buru anak itu mengeluarkan kertas puisi. "Ini puisi bisa Ayah baca untuk Bunda. Ini nyontek karya Kahlil Gibran loh."

"Cih bangga," celetuk Arkan.

Ayah membaca dengan saksama. Raka tahu pandangan ngeri itu. Dia jadi penasaran apa isi puisi itu sampai wajah ayah seperti ingin tenggelam saja. Kalau ini dari Caramel, sudah bisa ditebak bagaimana isi puisinya.

"Nah Ayah kan nggak pernah romantis, kalau gini pasti Bunda bakal seneng banget," kekeh Caramel.

Raka membaca puisi itu. Benar-benar bukan tipe ayahnya. "Apa harus begini?"

Rafan tersenyum geli. Melihat saja dia sudah yakin ayah tidak akan mau membacakannya meski dipaksa sekalipun. Arkan bahkan merinding membayangkan ayah membacakan itu.

"Sayang, Ayah akan lakukan dengan cara Ayah sendiri," tolak ayah dengan halus.

Caramel menahan senyumnya, dia juga tahu kalau ayah tidak akan mau membaca ini. "Yah nggak ada salahnya usaha, hehe Kara nggak paksa Ayah kok."

Usai diskusi singkat ini, Raka langsung mengantar Caramel pergi ke ruangan Chika. Di dalam lift, Caramel masih membahas rencana malam nanti. "Padahal kan lucu kalau Ayah baca puisinya."

"Itu mengerikan," jawab Raka.

"So sweet Abang! bukan ngeri. Selera romantis Ayah sama Abang emang paling payah."

Di ruangan Chika, semua sedang sibuk bekerja. Bahkan gadis itu pun juga sudah tenggelam dalam beberapa tumpuk dokumen. Mata indahnya dibingkai oleh kacamata.

"Selamat siang Pak Raka," sapa beberapa karyawan.

Raka menganggukan kepala. "Maaf saya menganggu kalian."

"Ohh tidak Pak, ini Nona Caramel bukan? tumben sekali ke kantor?" tanya mbak Nimas.

Caramel tersenyum ramah dan menyalami perempuan itu. "Iyaa lagi ada urusan sama Ayah."

"Ohh acara nanti malam yaa?"

"Hehe iya," jawab Caramel. Dia pun langsung menghampiri Chika yang sepertinya tidak sadar dengan kedatangannya. "Kak Chika."

"Kamu di sini dulu, nanti Abang kemari lagi kalau sudah jam pulang." Raka menepuk pelan bahu Chika. "Aku titip Kara."

"Sipp," jawab Chika.

🌼🌼🌼

Chika membuatkan Caramel susu cokelat dan mengajak anak itu duduk di sofa. Untung pekerjaannya untuk hari ini sudah selesai. Sengaja tadi dia ngebut bahkan sampai belum sempat makan.

"Gimana tadi?" tanya Chika.

"Lancar, pokoknya nanti Kakak bilang sama Bunda kalau mau ada acara sama Bang Raka. Terus biar Bunda bareng sama Kara berangkatnya, nanti Kara bilang deh mau ajak Bunda ke acaranya si Umbel." Caramel menceritakan rencananya untuk malam nanti.

"Puisi yang kamu ceritakan kemarin?" tanya Chika.

Caramel tertawa dan mengibaskan tangannya. Itu kan cuma iseng. Dia pun tahu ayah tidak akan membacanya. "Nggak, kata Bang Raka itu mengerikan. Aduh emang susah sih kalau berurusan Bang Raka yang kaku begitu."

Ucapan itu membuat Chika tertawa. Iya kan, bahkan bunda dan Caramel sudah menyerah terhadap sikap Raka yang satu itu. "Kaka itu memang begitu, dari kecil aja udah judes."

"Nahh iya kan??" tanya Caramel. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak kebayang pas nanti ngelamar perempuan. Pasti jatohnya kayak ngancem." Caramel melotot sambil mengacungkan tangan. "Kamu harus menikah denganku, kalau nggak akan kuculik kamu! mau kuculik?" ekspresinya kembali seperti biasa. "Hii ngeri kan Kak?"

Chika melongo sebentar kemudian tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. Konyol sih tapi mungkin juga begitu. Intinya apa yang Caramel bilang tadi cukup masuk akal mengingat Raka yang sifatnya begitu.

Caramel juga ikut tertawa. Kadang khayalannya jadi luar biasa. "Inget kan pas kemarin Bang Raka ke kamar buat bawain makanan ke Kakak? sipir penjara pun kalah serem sama wajah Abang."

Tawa keduanya semakin kencang. Tidak peduli dengan pandangan bingung orang-orang. Andai mereka tahu, objek tawa mereka adalah calon penerus perusahaan Rajendra.

Chika rasa sudah lama dia tidak tertawa selepas ini. Kekonyolan Caramel, kata-kata polos itu membuatnya jadi tertawa. Andai dulu saat kecil dia memiliki partner seperti Caramel dalam membully Raka. Dulu Raka itu sudah seperti anti Chika. Dia ingat betul kalau Raka lebih suka menghindar karena selalu digoda olehnya.

Jam pulang kantor, Raka kembali ke ruangan tempat Chika bekerja. Mereka langsung pulang dan akan mulai menjalankan rencana yang sudah dibuat. Chika akan pura-pura datang ke pesta dengan Raka.

"Sore Bundaa," sapa Caramel.

"Kamu kenapa pulang sore banget sih?" protes bunda.

"Yaa kan bantu Umbel dulu Nda. Tadi Bang Raka sama Kak Chika juga jemput ke rumah Umbel."

"Ohh iya nanti malem yaa acaranya?" tanya bunda.

Chika menoleh pada Raka dan anggukan dari Raka adalah tanda untuk memulai sandiwaranya. "Emm Bunda, malam nanti Raka mau ajak Chika datang ke pesta tempat teman Raka."

Bunda menoleh dan tersenyum senang. "Oh yaa? bagus dong. Kamu memang harus refresh, jangan pikirkan kerjaan terus. Oh nanti biar Bunda yang bantu kamu siap-siap yaa? jam berapa acaranya?"

"Setelah maghrib kami berangkat," jawab Raka.

Bunda tampak antusia sekali. Bahkan langsung menghampiri Chika. "Kalau begitu ayo kita pilih gaun untuk kamu. Nah Caramel mandi dulu sana!"

"Siap Bunda."

Chika diajak masuk ke ruangan khusus koleksi pakaian milik bunda. Ruangan yang besar. Terdiri dari lemari-lemari besar yang sudah pasti isinya sangat banyak dan harganya pun sangat mahal. Benar-benar luar biasa.

"Kita pilih gaun yang cocok untuk kamu," kata bunda. "Sepertinya Bunda ada beberapa gaun yang masih baru. Tunggu di sini yaa?"

Chika duduk sambil memandang kagum keseluruhan ruangan. Ini belum rumah inti keluarga Rajendra yang dihuni oleh kakek dan nenek Raka. Jangan-jangan rumah intinya juga punya kebun binatang pribadi.

Bunda datang dengan beberapa pekerja yang membawa gaun. Kumpulan gaun itu sangat indah, elegan, modis, dan super mahal pastinya. Chika meringis kecil, tidak, dia takut merusak gaun-gaun cantik itu.

"Hemm kalau yang biasa?" tanya Chika.

Bunda tersenyum dan mengusap kepala Chika. "Percayalah, dulu Bunda juga begitu. Risih sekali memakai gaun secantik ini, belum lagi harganya. Bunda ini hanya orang biasa."

"Ini pasti mahal Bunda, Chika takut kalau nanti tidak sengaja merusak gaunnya. Rasanya, Chika juga tidak pantas memakai itu." Kepalanya tertunduk.

Kali ini bunda berdiri di hadapan Chika. Tangan lembut itu menyentuh kedua bahunya. "Chika dengar Bunda. Semua orang pantas memakai gaun itu, termasuk Chika. Coba lihat wajah Chika." Bunda mengajaknya berdiri di depan cermin.

"Ada gadis cantik disana, ada ketulusan yang Bunda lihat dari mata itu."

Chika menatap pantulan dirinya sendiri. Dia tidak pernah berpikir bahwa dirinya cantik. Kadang dia justru kasihan melihat dirinya. Seorang gadis yang dibuang. Gadis yang mengenakan pakaian yang bagus hanya ketika akan dijual oleh ayahnya sendiri. Buru-buru dia memalingkan wajah.

"Apa yang Chika takutkan?" tanya bunda pelan.

"Bukan apa-apa," lirih Chika. Bodoh, harusnya dia tidak cengeng. Saat ini dia dalam misi membuat kejutan untuk bunda. "Kalau ada pakaian yang biasa, Chika mau itu."

Bunda tersenyum tipis dan menganggukan kepala. "Baiklah, tapi hari ini mau nggak Chika buat Bunda senang?"

Tentu Chika menganggukan kepala tanpa berpikir.

"Pakai gaun yang Bunda pilih. Oke?" Bunda langsung mengambil satu gaun dari tangan salah satu pekerja di rumah ini. Gaun yang sangat cantik. Berwarna merah muda tanpa lengan. Gaun itu tampak sangat anggun. Simpel dan cantik sekali.

"Ini coba pakai sekarang, sepertinya pas," kata bunda.

Benar kata bunda, saat mencoba, gaun itu pas sekali di tubuhnya. Bahkan Chika merasa kagum saat melihat kaca. Lagi-lagi dia akui, pakaian cantik akan mengubah seseorang.

"Gimana sayang?? Pas?" tanya bunda dari luar.

Chika langsung keluar untuk minta pendapat bunda. Decak kagum langsung menyambutnya. "Mulai sekarang, gaun ini jadi milikmu cantik." Bunda mengacungkan jempolnya.

🌼🌼🌼

Setelah mandi sore, Chika langsung dibantu untuk bersiap-siap. Di kamarnya sudah ada gaun yang tadi bunda pilih. Ditambah stiletto yang juga sama cantiknya. Tapi sangat tinggi untuknya.

Bunda tampak serius mendandaninya. Sesekali beliau memberikan instruksi untuk mendongak atau memejamkan mata. Chika tidak tahu kalau bunda juga jago dalam hal make up.

"Kamu ingin tema bold atau natural?" tanya bunda.

"Natural," jawab Chika. Dia tidak berani membayangkan wajahnya dengan make up tebal. Memang bagus sih untuk beberapa orang. Tapi tidak untuk dirinya yang bahkan untuk menggunakan blush on tiap hari saja tidak.

Setengah jam bagi bunda untuk merapihkan riasan wajah Chika. Kini gadis yang biasanya terlihat pucat menjadi seorang gadis dengan wajah segar. Pipinya merona dengan bibir dipoles lipstik berwarna pink yang sama naturalnya.

"Terakhir rambut," kata bunda. "Sebentar sayang." Beberapa orang membantu bunda saat menata rambut Chika. "Selama ini Bunda itu mau mendandani orang, tapi kamu tahu kan Caramel itu bagaimana? pusing sekali membuat anak itu diam. Kalau pun mau harus Bunda ikat dulu."

Chika tersenyum geli, yaa Caramel ini memang agak tomboy. Siapa yang menyangka anak itu pemegang sabuk hitam karate. Jadi jangankan menyenggol, menyolek saja bisa kena bogem mentahnya.

"Nah sudah selesai."

🌼🌼🌼

Raka membenarkan kerah kemejanya. Malam ini dia hanya mengenakan kemeja putih ditutupi tuxedo hitam tanpa dasi. Sejak tadi pun dia sudah selesai bersiap hanya tinggal menunggu Chika yang entah kenapa sejak tadi ditahan bunda di kamar. Bahkan dia tidak diizinkan masuk tadi.

"Nggak sabar mau lihat Kak Chika ya Bang?" ledek Caramel.

Raka hanya mendengus kesal dan melirik jamnya. Sudah jam setengah tujuh. Sebenarnya apa yang dilakukan para perempuan setiap hendak pergi. Kenapa lama sekali.

"Taraaa," kata bunda.

Caramel langsung berdiri. Wajahnya tampak takjub. Mulutnya terbuka. "Wahh ini beneran Kak Chika?"

Raka mengerutkan kening dan ikut menoleh. Dia tertegun melihat perempuan dengan gaun berwarna merah muda yang menuruni tangga dengan wajah merona. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan rasa kagumnya pada perempuan itu.

Bukan norak, Raka sering melihat wanita cantik. Tapi untuk kali ini dia benar-benar terpesona. Baginya Chika adalah perempuan tercantik yang pernah dia lihat. Tentu setelah bunda dan Caramel.

"Hemm Bang, jangan lupa kedip," bisik Caramel.

Raka langsung mengerjapkan mata dan melempar tatapan kesal pada Caramel yang sedang cekikikan. Dasar adiknya ini. "Ayo, ini sudah jam setengah tujuh."

"Hey tunggu dulu!" kata bunda. "Tidak ada komentar dengan hasil make up Bunda Tuan muda Rajendra?"

Raka mendengus pelan dan memutar bolamatanya. "Cantik."

"Hahaha pasti lah, Kak Chika harus tau Bang Raka bahkan nggak kedip," kekeh Caramel. Dasar pengkhianat.

"Ck ayo!" Raka berjalan lebih dulu tapi terhenti karena lengannya dipukul bunda.

"Tidak sopan, gandeng tangannya. Bunda kan sudah membuatnya seperti putri," keluh bunda.

Raka menghela napas dengan sabar dan mengulurkan tangannya pada Chika yang sejak tadi diam dan sesekali menahan tawa. Selalu begini, dihadapan perempuan ini, dia selalu tidak bisa terlihat dingin karena ulah bunda dan Caramel. Bahkan sejak dulu karena bunda yang selalu memarahinya di depan Chika.

Dengan wajah ragu, Chika merangkuk tangan Raka. Beberapa detik mereka saling bertatapan sebelum akhirnya Chika memilih untuk menundukan kepala. Ada sesuatu yang tidak bisa Raka deskripsikan. Rasa senang, juga sedih melihat gadis ini.

Tanpa sadar tangannya menggenggam tangan Chika. Seolah ingin mengatakan bahwa tidak akan ada yang bisa menganggu gadis ini. Karena dirinya sendiri lah yang akan menjaga Chika.

"Ayo kita berangkat."

🌼🌼🌼

See you in the next chapter 😗😗😗

Ini lumayan panjang loh sampai 4 rb kata lebih 😂😂

Dress Chika

Rambut Chika

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top