BAB 7

Holaaa akhirnyaaa bisa update juga. Besok 17 Agustus nih, kalian mau ikut lomba apa gengs? Lomba memendam perasaan? Lomba ngelupain mantan?

Follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys! Hope you like this chapter ❤❤❤

🌼🌼🌼

Sejak pagi Chika sudah berusaha menghindar dari gerombolan Gracia. Benar-benar menghindar meski dia sudah tahu akan menjawab apa kalau nanti diintrogasi. Begini lebih baik, lagipula kalau nanti dia ditanya macam-macam bagaimana. Wulan pun setuju pendapat Chika. Mereka bahkan istirahat di ruangan. Baru keluar saat jam pulang. Itu pun menunggu agak lama. Keduanya berjalan menuju lobby dengan santai.

"Akhirnya," kata Gracia.

Chika mengerjap kaget, sama seperti Wulan. Mereka kira Gracia sudah pulang, biasanya kan selalu pulang cepat. Ternyata Chika memang sudah ditunggu. Niat sekali kan orang ini. Tahu begitu, sekalian saja mengulur waktu sampai malam.

"Ohh hay Gracia," sapa Chika dan Wulan.

Gracia tersenyum manis dan mengulurkan tangannya. "Gue udah duga lo bukan karyawan biasa. Jadi lo sepupu Pak Raka?"

"Hemm iya," jawab Chika cepat. Terpaksa dia menyalami tangan Gracia.

"Bisa kita ngobrol sebentar? gue traktir di cafe deket kantor," tawar Gracia dengan senyum ramah. Entah kalau tahu semua itu bohong, senyumnya akan berubah jadi apa.

Chika meringis kecil, memasang wajah tidak enak. Kepalanya mencoba berpikir cepat untuk menolak tawaran dari Gracia. "Maaf yaa, hari ini aku ada janji untuk bantu Bunda Fian di rumah."

"Oh yaa? Apa nggak bisa ngeluangin waktu sebentar?" wajah Gracia seperti memohon.

"Maaf," jawab Chika lagi. Dia mengangguk singkat dan menarik tangan Wulan. "Pokoknya kalau bisa mending ngelak terus deh."

"Iyaa sih, tapi pasti ujung-ujungnya lo bakal ngobrol sama dia. Tinggal nunggu waktu," jawab Wulan.

Chika meringis kecil, setuju dengan ucapan Wulan. Sepintar-pintarnya menghindar pasti dia juga akan ngobrol dengan Gracia yang dikenal pantang menyerah itu. Oke besok mungkin dia harus hadapi langsung, tapi lebih baik bilang dulu pada Raka agar nanti kalau Gracia bertanya juga pada pria itu, jawabannya akan sama.

Seperti kemarin-kemarin, Chika diantar jemput supir. Itu pilihan kedua, lebih baik daripada harus berangkat dengan Raka. Selain merepotkan pria itu, dia jadi tidak nyaman. Lagipula jarak antara apartemen Raka dan rumah tidak dekat.

Sebenarnya dia pun sudah mengusulkan untuk naik kendaraan umum saja. Toh halte jaraknya lumayan dekat. Tapi langsung ditolak mentah-mentah oleh bunda. Katanya itu terlalu bahaya.

Di rumah, Chika langsung membersihkan diri. Beristirahat sebentar, lalu lanjut membantu masak di dapur. Bunda Fian pun begitu, meski lelah pulang bekerja tapi jarang sekali beliau melewatkan waktu memasak makan malam. Katanya, setidaknya seluruh keluarganya merasakan kasih sayangnya meski dia bekerja.

Benar-benar membuat Chika kagum. Mengingatkannya pada ibu panti dan ibu angkatnya. Perempuan yang lembut hatinya. Ketulusan itu, membuat hatinya menghangat bahkan ketika dirinya merasa beku.

"Mbak tolong panggil Caramel," kata bunda sambil menyusun makan malam.

"Biar Chika aja Bunda," jawab Chika.

Bunda menoleh dan tersenyum. "Oke, makasih sayang."

Chika terkekeh dan menganggukan kepala sebelum pergi ke kamar Caramel di lantai atas. Si bungsu rumah ini, yang selalu membuat suasana rumah menjadi pecah, ramai dan tidak membosankan. Dia sendiri senang kalau berinteraksi dengan Caramel yang selalu ceria.

"Kara, ini Kak Chika," panggil Chika dari pintu kamar Caramel yang terbuka.

"Hemm masuk Kak," jawab Caramel.

Chika mengurungkan niatnya untuk langsung mengajak Caramel turun saat melihat wajah sedih itu. Kakinya melangkah mendekat. Matanya ikut memandang langit malam yang dihiasi bintang.

"Kakak pernah suka sama orang tapi dikhianatin?" tanya Caramel.

Chika tersenyum tipis, jatuh cinta maksudnya, dia bahkan tidak pernah memikirkannya. Kepalanya menggeleng pelan. "Bagi Kakak yang terpenting itu bertahan hidup. Kakak nggak mikir yang lain dulu sementara ini." Bertahan untuk tetap hidup diantara banyaknya tekanan adalah perjuangan yang melelahkan. Mana mungkin dia memikirkan hal lain.

Kening Caramel berkerut dalam. "Terus Bang Raka?"

"Kaka hanya teman. Dia banyak bantu Kakak," jawab Chika dengan santai. "Kalau kamu dikhianati, anggap aja seperti enggak semua yang datang ke hati akan bertahan, bisa aja cuma singgah sebentar lalu pergi. Yang sejatinya akan bertahan itu satu, si pemilik. Jika bukan dia berarti pemilik sebenarnya belum datang," ucap Chika santai.

Caramel tersenyum, decakan kagum keluar dari bibirnya. "Wah keren Kak, Kara suka kata-kata Kakak."

"Perjalanan kamu masih panjang, masih ada hal-hal lain yang pantas kamu pikirkan," kata Chika sambil menepuk-nepuk bahu Caramel.

"Kak malem minggu besok ikut aku sama yang lain buat kejutan untuk Bunda yaa?" ajak Caramel semangat.

Chika mengangguk dengan antusias. "Pasti Kakak bantu!"

Mereka berdua turun untuk makan malam. Di meja makan juga sudah ada om Karel dan si kembar. Rafan yang sudah rapih, karena memang bekerja sebagai DJ. Pastinya hanya karena hobi, tidak mungkin karena uangnya.

"Emm masakan Bunda emang paling juara!" kata Caramel semangat.

Om Karel tersenyum dan mengambil potongan ayam lalu meletakannya di piring Caramel. "Kalau begitu makan yang banyak, Ayah lebih suka pipi itu bulat."

"Oh tenang Yah, enggak usah disuruh. Semua Kara abisin," jawab Caramel.

Arkan mendengus pelan dan meminum susu cokelat yang ada di gelas merah kesayangan Caramel. Wajahnya santai, tidak peduli mata melotot dramatis dari Caramel. "Hemm enaknya."

"Huaaa Bundaaaaa! susu cokelatnyaaa.." teriak Caramel.

Dan jadilah keributan di meja makan. Chika cuma bisa tertawa geli. Menikmati hangatnya suasana keluarga. Keributan-keributan karena masalah yang konyol. Hal yang baru dia rasakan di sini.

🌼🌼🌼

Chika memandang langit yang makin pekat. Cahaya bulan seolah ditarik oleh awan. Suasana bertambah sunyi, jarum jam pun terus berputar. Sudah hampir pukul satu, tapi dia tetap tidak bisa memejamkan mata.

Entahlah, ucapan Caramel seolah mengganggu pikirannya. Pernahkah dirinya menyukai seseorang. Selama bertahun-tahun dalam hidupnya, tidak ada pria yang bisa dia percaya. Ayah angkat yang luar biasa membencinya. Ayah kandung yang bahkan dia tidak tahu wujudnya seperti apa.

Raka lah yang membuatnya percaya. Membuatnya mengenal dunia yang dipenuhi orang-orang baik. Iya Raka saat ini menjadi orang yang paling bisa dia percayai. Tapi memikirkan tentang Raka, membuat jantungnya kembali berdetak lebih cepat. "Sadar Chika," gumamnya sendiri. Matanya terpejam lama. Meredakan seluruh emosi yang tiba-tiba memuncak. Dia jatuh terduduk, berbaring di lantai dan akhirnya tertidur.

🌼🌼🌼

"Kamu kenapa tidur di balkon sayang?" tanya bunda.

Chika meringis kecil dan mengusap hidungnya yang memerah karena sejak tadi bersin-bersin. Angin malam membuatnya flu. "Maaf Bunda, semalam Chika ketiduran."

"Yaudah, hari ini kamu istirahat aja di rumah. Oke?" kata Bunda dengan wajah khawatir.

"Chika nggak apa-apa Bunda. Hari ini ada kerjaan banyak, janji nanti jam istirahat Chika berobat di klinik," minta Chika sambil menggenggam tangan bunda.

Bunda menghela napas dan mengusap kepala Chika. "Kamu ini, yaa sudah berangkat sama-sama aja hari ini."

Kali ini Chika tidak bisa menolak. Toh kabar kalau dirinya punya hubungan kerabat dengan Raka sudah tersebar. Mungkin tidak akan jadi masalah besar. Kalau nanti dirinya jadi bahan perbincangan ya sudah biarkan saja. Lagipula selama ini dia sering jadi bahan gunjingan orang lain. Itu bukan hal baru baginya.

"Ingat yaa nanti ke klinik kalau ngerasa enggak enak," kata bunda sebelum Chika keluar dari lift menuju ruangannya.

Chika tersenyum tipis dan menganggukan kepala. "Iya Bunda. Chika ke ruangan yaa Bunda, Om."

Bunda mengusap kepala Chika dan melambaikan tangan sebelum lift kembali tertutup. Wajah bunda tampak masih cemas. "Kamu tahu? Anak itu banyak berubah dari yang terakhir kali aku ingat."

"Ada banyak hal yang harus dia lewati Fi."

Bunda tersenyum sedih. "Kuharap Raka bisa membantunya, aku sadar kalau dia menyimpan banyak luka."

🌼🌼🌼

Chika mengurut keningnya sendiri. Pandangannya seperti memburam karena sakit kepala. Kepalanya menggeleng pelan, mencoba untuk kembali fokus pada layar di depannya. Teh hangat yang tadi dia buat cukup membantu.

"Lo istirahat aja deh Chik," kata Wulan.

"Hemm? Thanks Lan, tapi aku nggak apa-apa. Cuma agak pusing," jawab Chika dengan santai.

Hachimm. Bersin untuk ke sekian kalinya. Chika berdecak pelan dan mengambil tissu untuk mengusap hidungnya. Oke mungkin lebih baik cuci muka dulu agar lebih segar. Baru saja akan berdiri, mbak Nimas datang sambil meletakan map di meja Chika. "Tolong ke ruangan Pak Raka untuk minta tanda tangan yaa," kata mbak Nimas.

Chika mengerutkan keningnya. Biasanya kan itu bukan tugasnya. Dia tersenyum kecil dan mengangguk. "Oke Mbak, aku jalan yaa."

Dia pergi ke ruangan Raka dengan wajah bingung. Apa sekarang tugas minta tanda tangan dilimpahkan padanya. Kalau sampai iya bisa gawat. Semalam baru saja dia berniat untuk menghindari Raka sebisanya.

"Loh ngapain Chik?" tanya Dita yang mejanya ada di luar ruangan Raka.

"Mau minta tanda tangan Pak Raka," jawab Chika.

Dita mengerutkan keningnya. "Tumben lo yang disuruh. Yaa udah, masuk aja."

"Sipp," kata Chika sebelum mengetuk pintu besar itu dan masuk ke ruangan milik Raka. Ruangan sementara karena nanti Raka akan menempati ruangan om Karel.

"Permisi Pak, ini laporan yang-" ucapannya terhenti karena tangan Raka terangkat.

Raka mendongak, mata tajamnya menatap Chika. "Tunggu di sana sebentar, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

"Oh oke Pak," jawab Chika kaku. Dia duduk di sofa sambil menikmati ruangan yang cukup luas ini. Dia belum pernah masuk. Ternyata ruangannya sangat nyaman. Hachim, bersin lagi.

Decakan kesal Raka membuat Chika menoleh kaget. "Tahan bersinmu! itu mengganggu!" omelnya setelah beberapa kali Chika bersin.

"Oh maaf Pak, kalau gitu tanda tangan sebentar," kata Chika karena takut kena damprat lagi.

Raka menyipitkan matanya. "Saya masih sibuk."

Kalau ini di rumah, rasanya dia ingin marah-marah saja. Apa susahnya tanda tangan sebentar. Katanya dirinya menganggu. Kadang Raka ini bisa sangat menyebalkan.

Chika berusaha untuk menahan bersinnya. Bukan hanya itu, dia juga berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Percayalah, kena omelan dari Raka itu menyebalkan. "Hachim," akhirnya tidak bisa ditahan. "Aishhh Kaka! bersinnya tidak bisa ditahan!"

Raka menahan senyum gelinya. "Bodoh."

"Apa?" tanya Chika.

Raka bangkit dari kursinya dan menghampiri Chika. "Apa nilai pelajaranmu dulu buruk sampai tidak tahu kalau angin malam itu tidak baik."

"Hah?" tanya Chika masih bingung saat Raka duduk di sampingnya. Raka tahu kalau dia tidur di luar. Mungkin bunda memberitahu pria ini. "Aku ketiduran."

Raka mendekatkan wajahnya, membuat Chika reflek mundur. "Ma-mau apa?" tanya Chika takut.

Tangan Raka menyentuh kening Chika. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya balik Raka. Dia hanya memeriksa suhu tubuh Chika. "Demam."

Chika segera menyingkirkan tangan itu dan memeriksanya sendiri. "Cuma sedikit, aku sudah minum obat tadi."

"Bagus, kalau begitu lebih baik kamu istirahat," jawab Raka sebelum kembali ke mejanya. Dia masih punya banyak pekerjaan dan semua harus selesai hari ini.

Chika menghampiri meja Raka. "Tanda tangan dulu."

"Aku akan tanda tangan nanti, sekarang kamu bisa istirahat di ruangan ini," jawab Raka tanpa menoleh sedikit pun.

"Tapi aku masih punya banyak pekerjaan," jawab Chika. "Kaka kamu harus tanda tangan sekarang, aku kan juga sibuk!"

"Sejak kapan ada karyawan yang memberi perintah pada bosnya," jawab Raka masih dengan pandangan yang tidak teralihkan dari dokumen. Tidak dia tanggapi segala ocehan Chika sampai akhirnya gadis itu menyerah dan duduk dengan tenang.

Karena sihu tubuh Chika yang lumayan tinggi. Matanya pun ikut terasa panas. Ditambah ruangan ini sangat tenang. Lama kelamaan mata Chika memberat dan benar-benat tertidur. Napasnya perlahan mulai teratur. Kali ini dia harap tidurnya bisa sedikit nyenyak.

🌼🌼🌼

"Chamomile tea," kata Raka sebelum menutup teleponnya. Dia baru saja menghubungi Dita untuk meminta bagian OB menyiapkan minuman untuk Chika. Dia tidak pernah bisa mengerti pemikiran gadis ini. Terlebih saat mendengar cerita bunda kalau Chika tidur di balkon. Tanpa selimut dan dilantai tanpa alas apapun.

Badan seringkih itu, terkena angin malam yang lama pula. Hebatnya lagi, tetap bisa tidur. Raka mendengus kesal dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya.

Sebentar lagi akan ada acara ulang tahun pernikan bunda dan ayah. Semua sedang sibuk menyiapkan pesta kejutan untuk bunda. Teman-teman ayah dan bunda yang memberi ide itu. Konyol sekali, mengingat ayah bahkan tidak bisa bersikap romantis.

Kadang dia bingung kenapa semua harus dibuat susah. Apa bedanya perayaan besar ditambah kejutan dengan perayaan biasa saja. Lagi-lagi pikiran simpelnya tidak akan diterima.

Raka menghentikan pekerjaannya saat mendengar Chika bergumam dalam tidur. Keningnya berkerut dalam, memperhatikan gadis itu. Raut sedih dan takut yang tampak jelas, bahkan dalam tidur pun gadis ini masih menderita. Tidak bisa dibayangkan bagaimana malam yang selalu di lewati Chika seorang diri, tanpa punya seseorang untuk sekedar menceritakan keluh kesahnya.

Perlahan Raka mendekati gadis manis yang matanya terpejam itu. Jemarinya mengusap kerutan di wajah yang saat ini mengeluarkan keringat dingin.

"Jangan buang aku Ayah, jangan siksa aku lagi," gumam Chika.

Raka berdeham pelan. "Tidak akan ada yang menyiksamu, itu janjiku." Tekatnya sudah bulat untuk menyelesaikan masalah Chika, tentu saja tanpa persetujuan dari gadis ini. Meski diberi penderitaan oleh ayah tirinya yang kejam itu, tapi tetap saja Chika sangat menyayangi pria itu. Karena itulah sampai saat ini pria itu masih bisa berkeliaran dengan bebas. Bagi Raka menyingkirkan orang itu sangatlah mudah, apalagi hanya memasukannya ke dalam penjara. Dia bahkan tidak perlu turun tangan langsung.

"Pak Raka," panggil Dita bersamaan masuknya dia dengan nampan berisi secangkir chamomile tea sesuai dengan permintaan Raka. Hal yang aneh mengingat pria ini pecinta kopi sejati dan pembenci teh. "Loh Chika tidur?"

"Hem, demamnya makin tinggi. Aku akan antar dia ke klinik," jawab Raka.

"Perlu kupanggil OB?"

Raka menggelengkan kepala. "Biar aku saja." Tangannya mengusap pipi Chika, lembut. Perlakuan yang pastinya membuat Dita kaget dan kagum. Wah ini Raka si dingin yang terkenal tak berperasaan. Kata lembut sangat amat tidak identik pada pria penerus perusahaan Rajendra ini.

Chika terbangun kaget, matanya melebar dengan ekspresi takut.

"Tenang, ini aku." Raka menepuk-nepuk bahu Chika.

Chika menutup wajah dan buru-buru mengusap matanya yang basah karena air mata. Mungkin karena mimpi buruk yang bahkan tidak bisa dia ingat. "Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya.

"Minum ini," kata Raka yang nadanya lebih terdengar seperti perintah.

Teh itu langsung diterima Chika tanpa banyak bicara. Aroma yang asing, rasa hangat langsung mengalir di tenggorokannya. Teh ini agak aneh, dia tidak pernah merasakan ini.

"Chamomile tea," jawab Raka melihat wajah bingung Chika.

"Oh." Chika meletakan cangkir itu di meja. "Loh ada Dita? sejak kapan?"

Dita tersenyum dan menghampiri dua orang yang sejak tadi seperti melupakan keberadaannya. Yaa tidak apa-apa, mengingat dia sudah biasa bekerja dengan Raka yang super duper cuek dan membosankan. "Ada yang perlu dibantu lagi?"

"Hemm?" Chika buru-buru menggelengkan kepala dengan senyum tipis.

Dita balas tersenyum dan menganggukan kepala. Dia jadi ingat cerita Chika dari Arga. "Baiklah, saya akan kembali bekerja Tuan dan Nona Rajendra." Matanya mengerling jahil sebelum meninggalkan pasangan itu.

🌼🌼🌼

Nona Rajendra, benar-benar Chika ingin protes dengan panggilan itu. Oke nanti saja setelah jam istirahat. Kali ini dia harus segera pergi dari ruangan besar milik Raka yang sangat riskan membuat jantungnya berdetak cepat. Yaa tentu bukan karena ruangannya tapi karena si empunya.

"Oh tanda tangan, pekerjaan Bapak sudah selesai kan? silahkan tanda tangan sekarang," kata Chika.

"Kita ke klinik sekarang," jawab Raka sambil berdiri.

Chika ikut berdiri tapi tiba-tiba semua menjadi buram. Perlahan cahaya mulai redup, bukan, cahaya tetap sama tapi matanya yang terpejam. Tubuhnya lemas dan brukk. Dia hanya bisa mendengar suara Raka yang memanggilnya tanpa bisa membuka mata.

Lagi-lagi kantor digemparkan oleh pemandangan Raka membopong Chika dengan wajah khawatir. Belum reda berita tentang Chika ternyata sepupu dari penerus perusahaan ini. Sekarang sudah ditambah lagi.

Keberadaan Raka seperti matahari, selalu menjadi pusat dari orang-orang di sekitarnya. Pria itu seolah memiliki magnet yang kuat. Hanya dari tatapannya yang tajam, semua bisa merasa segan. Tak heran, semua berita yang menyangkut Raka sudah pasti heboh.

Raka sendiri cuek-cuek saja dengan pandangan orang lain terhadap dirinya. Baginya yang terpenting adalah membuat perusahaan ini tetap jaya, tetap menjadi tempat yang bisa memberikan lahan pekerjaan bagi orang lain, dan dirinya dapat memperjuangkan nasib seluruh karyawan yang bekerja di naungan perusahaan Rajendra entah di Jakarta, atau kota lain atau bahkan di negara lain.

"Sayang, Chika kenapa?" tanya bunda yang jelas saja mendengar kehebohan orang lain.

"Demamnya tinggi, dia pingsan di ruanganku."

"Astaga," kata bunda dengan wajah khawatir. Saat ini Chika sedang ditangani. Jadilah bunda menunggu di luar dengan Raka.

Setelah menunggu cukup lama akhirnya dokter itu keluar dari ruangannya. "Nona Chika sudah sadar, tapi membutuhkan istirahat." Dokter itu tersenyum dan menganggukan kepala sebelum pamit pergi.

Raka masuk ke ruangan dengan bunda untuk melihat kondisi Chika. Gadis itu tampak lebih pucat, dengan selang infus di tangan sebelah kanan. Meski kondisinya begitu, senyumnya masih mengembang.

"Maaf Bunda, Chika buat Bunda khawatir," katanya pelan.

Bunda tersenyum sedih dan memeluk Chika. "Kamu ini, lain kali ikuti kata Bunda."

Tangis Chika pecah saat itu juga. Entah kenapa dia menjadi sangat cengeng. Tapi kali ini dia ingin menangis di pelukan bunda. Seperti dulu saat dia menangis di pelukan ibu angkatnya.

"Jangan memaksakan diri sayang, sekarang kamu punya Bunda. Kalau kamu ingin menangis, Bunda siap menjadi orang pertama yang akan peluk kamu. Chika anggap Bunda sebagai Ibu sendiri kan?"

"Terima kasih Bunda," isak Chika.

🌼🌼🌼

"Maaf," kata Chika pada Raka setelah bunda kembali ke ruangannya.

Raka sejak tadi hanya duduk diam memperhatikan kerapuhan gadis ini. Merasakan betapa sakit yang selama ini selalu Chika pendam sendirian. "Istirahat lah, nanti aku kemari."

Chika menahan tangan Raka. Tangan itu dingin, berbeda dengan tangannya yang hangat. "Terima kasih banyak Kaka, aku bisa merasakan punya keluarga yang lengkap. Terima kasih karena kamu, mimpiku terwujud." Keluarga, satu kata yang terdengar sederhana. Tapi menjadi satu impian besar untuk beberapa orang.

"Aku hanya membantu semampuku," jawab Raka.

"Kamu pria yang baik, kuharap kamu mendapatkan semua yang kamu inginkan." Chika menghela napas panjang. "Aku akan jadi seseorang yang selalu ada dipihakmu. Kamu bisa percaya kata-kataku."

Raka terdiam lama, mengamati detail wajah gadis di depannya. Tidak ada kebohongan, dia melihat tatapan yang tulus dari kedua mata indah itu. Dia hanya mengangguk singkat. "Tidurlah."

🌼🌼🌼

See you in the next chapter ❤❤❤

Chika

Raka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top