BAB 6

Assalamualaikum temen-temen!

Holaa semua, apa kabar? gimana puasanya? Masih semangat kan? Hehe aku balik lagi setelah kemarin sibuk di komunitas.

Follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😄

🌼🌼🌼

Masih belum terbiasa diperlakukan seperti sekarang ini, Chika hanya bisa mengikuti semua yang Raka perintahkan. Tadi pagi pria itu sudah berangkat. Katanya bisa sampai lebih dari dua hari. Tergantung urusan di sana sudah beres atau belum.

Chika berusaha mengambil hal positif dari tugas luar Raka. Setidaknya beberapa hari di kantor akan menjadi hari tenangnya. Tidak perlu dibayang-bayangi rasa takut pada Gracia. Atau setidaknya dia bisa menetralkan kembali perasaannya yang mulai kacau.

"Laporan keuangan udah selesai Ka?" tanya mbak Nimas.

Chika mengangguk sambil menyelesaikan sedikit lagi pekerjaanya. Kepalanya mendongak. "Sudah Mbak, biar aku print dulu yaa. Mbak bisa cek ulang, oh iya tadi Mas Pras juga udah jalan ke bank."

Mbak Nimas mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar. "Sipp, kalau gitu aku tinggal dulu yaa? mau minta tanda tangan."

Chika menatap perginya senior yang setia mengajarkan beberapa hal padanya sejak kemarin. Kepalanya menoleh pada Wulan yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Sudah jam istirahat, tapi sepertinya pekerjaan teman barunya ini masih banyak.

"Ada yang bisa dibantu Lan?" tanya Chika.

Wulan menoleh dan terkekeh kecil. Kepalanya menggeleng, "nggak perlu Chik." Biasanya masalah yang paling utama dari pekerjaan ini adalah kurang konsentrasi hingga salah memasukan angka dan ujungnya harus menghitung ulang. Seperti Wulan kali ini.

"Ehh iya, Chik gue nitip makanan yaa. Lo nggak apa-apa kan istirahat sendiri?" tanya Wulan.

Chika menganggukan kepala. "Sipp, mau pesen apa?"

"Apa aja yang lo makan deh, thanks yaa." Wulan tersenyum dan melambaikan tangan sebelum kembali fokus pada layar kotak di depannya.

Chika berjalan sendirian, sesekali dia menyapa karyawan lain dengan senyum. Dia belum kenal dengan orang-orang di divisi lain. Kecuali gerombolan Gracia yang memang sudah dijelaskan secara detail oleh Wulan dan Dita.

Sebenarnya makan sendirian sangat membosankan, Dita juga tidak ada di kantor karena memang ikut Raka ke Singapore. Tadi pagi sempat mampir ke kantor untuk mengambil beberapa dokumen di ruangan Raka. Apa nanti dia bawa saja makanannya dan makan di ruangan.

Di kantin suasana sudah ramai, Chika segera mencari stand makanan yang antriannya tidak terlalu panjang. Toh di sini makanannya rata-rata enak. Kali ini menu yang dipilih adalah nasi goreng. Masakan sederhana tapi enaknya tidak kalah dengan masakan sulit lainnya.

Di samping stand nasi goreng ada stand untuk para vegetarian, atau untuk orang-orang yang sedang program diet. Ada Gracia di sana, sedang berdiri menjulang. Tampilannya hari ini terlihat cantik seperti hari-hari biasanya. Pandangan mata kecokelatan itu jatuh pada Chika yang sedang asik menunggu sambil menatap ponsel.

"Karyawan baru yaa?" tanya Gracia.

Chika mendongak, matanya sedikit membulat. "Oh iya Mbak."

Gracia menatap Chika dari atas hingga bawah. Memperhatikan penampilan perempuan dengan make up tipis itu. Dia tahu sekali pakaian yang terlihat sederhana itu mahal harganya. "Masuk divisi mana?"

"Ohh saya di divisi finance," jawab Chika masih dengan ekspresi bingung karena tiba-tiba diajak bicara.

Gracia tersenyum tipis dan menganggukan kepala. Tangannya mengibaskan rambut panjang yang digerai bebas. "Saya Gracia, divisi marketing. Pasti udah pernah dengar nama saya kan?"

"Emm iya," jawab Chika dengan senyum canggung. Dia segera maju saat seorang sudah selesai dengan pesanannya. Dia pun menyebutkan pesanan untuknya sendiri dan Wulan. "Maaf Mbak Gracia, saya duluan."

"Oke silahkan," jawab Gracia.

Chika buru-buru mencari tempat duduk terjauh dari stand itu. Menunggu pesanannya jadi. Rasanya tidak nyaman ngobrol dengan Gracia. Mungkin hanya karena berita-berita kemarin yang agak menyeramkan.

Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat Gracia juga sudah kembali duduk dengan gerombolannya. Bicara sambil tertawa tapi tetap terlihat anggun. Sebenarnya sih wajahnya kelihatan baik, apa benar kalau Gracia bisa semenyebalkan itu.

Setelah pesanannya sudah selesai, Chika langsung kembali ke ruangannya. Berjalan cepat dengan kepala tertunduk. Di dekat lift, dia hampir saja menabrak orang lain. Itu Arga, calon suami Dita dan satu orang lagi yang entah namanya siapa.

"Nah ini dia," kata Arga dengan senyum lebar. "Ini Chika, dan bisa gue pastiin dia adalah Chika yang Tante Fian sebut."

Pria di samping Arga tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya. "Sadewa, kamu bisa memanggilku Dewa.

Uluran tangan itu hanya ditatap oleh Chika. Bergantian dia menatap dua orang yang menghalangi jalannya ini. Sambil menelan saliva, dia melirik sekitar. Memastikan bahwa tidak ada yang menyaksikan peristiwa ini. Arga itu sahabat Raka, sangat tidak wajar kalau dirinya yang hanya karyawan baru, bisa ngobrol akrab dengan sahabat calon pemimpin perusahaan ini.

"Bisa kita bicara di luar?" bisik Chika.

🌼🌼🌼

Alunan musik terdengar lembut mengiringi pengunjung cafe yang berada cukup dekat dengan perusahaan. Chika diajak oleh dua pria yang hanya dia kenal namanya. Agak menyeramkan, tapi mereka sahabat Raka. Jadi tidak mungkin kan dua orang ini macam-macam. Lagi pula ini tempat yang cukup aman, karena berada di luar kantor.

"Kenapa kemarin kamu bilang tidak kenal Raka?" tanya Arga.

Chika meringis kecil dan berdeham. "Maaf, aku takut identitasku terbongkar. Kata Wulan di sana ada Gracia, dia pacar Raka, aku takut dia salah paham."

"Gracia?" tanya Dewa sambil bertopang dagu. "Gue belum pernah dengar kalau Raka punya pacar di kantor."

Arga menjentikan jarinya dan tersenyum lebar. "Dia yang selalu mengganggu Raka, gue pernah dengar dari Dita."

Chika jadi menonton pembicaraan dua pria di depannya ini. Tidak terlalu mengerti dengan apa yang dibicarakan. Sesekali dia melirik jam tangan, takut jam istirahat sudah habis. Di luar, langit pun makin gelap. Sebentar lagi mungkin hujan akan turun.

"Seharusnya kamu yang ada di posisi Gracia, disegani para karyawan. Kamu bahkan sudah mendapat restu Tante Fian,"kata Arga.

Chika mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepala. "Kalian pasti salah paham, aku dan Kaka cuma teman. Dia membantuku dalam beberapa hal, dan untuk sementara ini aku tinggal di rumahnya." Matanya menatap kedua orang itu dengan serius. "Soal rahasia tentangku yang kenal dengan Kaka dan keluarganya, tolong rahasiakan dari siapa pun, termasuk Dita. Aku tidak ingin para karyawan menganggap aku diistimewakan, aku ingin bekerja seperti yang lainnya."

Sadewa dan Arga terdiam, dan saling melempar pandangan, kemudian tersenyum hangat pada Chika. Mereka mengangguk setuju, karena itu adalah hak Chika, tapi yang pasti jika itu perempuan lain, mungkin mereka akan dengan senang hati mengumumkan kedekatannya dengan Raka. Sedikit-sedikit mereka mulai mengerti, kenapa Raka memiliki perhatian khusus pada gadis ini.

Chika segera kembali ke ruangan setelah pamit pada Sadewa dan Arga. "Wulan, ini makanannya ayo makan bareng."

"Loh lo nggak makan di kantin?" tanya Wulan.

"Nggak, di sana ramai," jawab Chika santai.

Wulan mengangguk mengerti dan tertawa riang, senang karena tidak harus makan sendirian. Keduanya duduk di sofa dekat jendela. Menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi dan mobil yang berlalu lalang di jalanan. Biasanya para staf  memang sering makan di sini, apalagi saat banyak kerjaan. Delivery order adalah pilihan utama.

Chika menghentikan aktifitas makannya saat ponsel miliknya berdering. Nama bunda ada di sana. Matanya melirik Wulan yang masih asik makan. Sepertinya tidak masalah, toh dia tidak akan menyebutkan nama.

"Yaa Bunda," sapanya setelah menggeser layar.

"Chika sayang, kamu sedang istirahat kan?" tanya bunda.

Chika tersenyum mendengar jawaban riang itu. "Iya Bunda. Ada apa?"

"Sudah makan? jangan sampai telat makan yaa."

"Iya Bunda, Chika sudah makan."

"Nah baguslah, yang banyak," kekeh Bunda.

Chika terkekeh kecil dan menganggukan kepalanya. "Iya, terima kasih Bunda."

"Kenapa ada terima kasih? kamu kan sudah Bunda anggap seperti anak sendiri, wajar kalau Bunda mengingatkan makan. Sayang, kalau ada masalah selama bekerja, kabari saja Bunda. Oke?"

"Siap Bunda," kata Chika dengan senyum riang. Dia letakan kembali ponselnya setelah sambungannya terputus.

"Bunda lo?" tanya Wulan.

Chika mengerjapkan mata dan mengangguk.

"Wahh kapan-kapan ajak gue main ke rumah lo dong. Mau kenal sama Bunda lo," kata Wulan.

"Hemm? ohh i-iya," jawab Chika kaget. Jadi terbayang bagaimana ekspresi sahabat barunya ini saat tahu yang dirinya panggil bunda itu siapa.

🌼🌼🌼

Setelah empat hari kehidupan Chika selama di kantor aman-aman saja, akhirnya hari ini kembali dia harus merasa waspada karena Raka sudah pulang. Om Karel dan Bunda pun sudah kembali di kantor.

Pagi ini saat Chika ingin membantu menyiapkan sarapan, bunda Fian meminta tolong padanya untuk membangunkan Raka yang memang tidur di rumah ini. Chika meringis kecil, langkahnya makin ragu saat melihat pintu kamar Raka yang tertutup. Harusnya tadi dia minta tolong pada Caramel saja.

Di depan kamar Raka, Chika hanya diam dan menghitung. "Ketuk, jangan, ketuk, jangan." Kepalanya menggeleng pelan, masa bodo kalau nanti kena damprat.

"Kaka," panggil Chika sambil mengetuk pintu kamar Raka. Tidak ada jawaban dari dalam. "Kaka bangun, ini sudah jam tujuh." Tetap tidak ada jawaban.

Chika membuka pintu itu sedikit, takut kalau sebenarnya Raka tidak ada di kamar. Di ranjang besar itu, Raka masih tertidur nyenyak. Tubuhnya ditutupi selimut. Dari pintu suaranya berbisik. "Ssssttt Kaka.."

Raka hanya bergumam pelan, masih dengan mata tertutup. Mungkin kelelahan karena yang dia tahu om Karel dan Raka tiba di rumah pukul dua pagi. Biasanya Raka juga tidak akan langsung tidur. Pasti ada saja pekerjaan yang harus diurus.

Melihat tidak ada tanda-tanda Raka akan membuka mata hanya dengan bisikan, Chika memberanikan diri untuk masuk. "Kaka bangun," katanya sambil berjongkok di dekat nakas. Wajah pria ini tampak tenang sekali dalam tidur. Tidak ada ekspresi dingin seperti biasanya. Aura menyeramkan pun seperti hilang.

Chika tersenyum dan bertopang dagu, menyaksikan wajah yang tidak pernah setenang ini sebelumnya. Andai saat membuka mata wajah itu juga bisa setenang ini. Lagi, jantungnya berdetak cepat. Kali ini rasanya semakin tidak karuan, lebih dari sebelumnya. Dia menyentuh dadanya sendiri, merasakan debaran itu. Ada apa dengannya, apa dia memiliki penyakit.

"Kaka," panggil Chika.

Raka membuka matanya, tampak terganggu dengan suara Chika. Bola mata berwarna cokelat itu tampak jernih. Keseluruhan wajah Raka memang mirip ayahnya tapi mata ini seperti mata bunda Fian. Oh iya sifatnya pun mengikuti sang ayah.

"Pagi," kata Chika dengan cengirannya. "Kaka, ini sudah hampir jam tujuh. Kamu ingin tetap tidur?"

Raka mengerutkan keningnya dan memijat kening. "Jam tujuh?" gumamnya. Lima detik lengang, hingga tiba-tiba pria ini terbangun dengan mata melebar. "Astaga! kenapa tidak ada yang membangunkanku?!" Dengan gerakan ekstra cepat Raka langsung pergi mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

Mulut Chika terbuka, tidak tahu ingin mengatakan apa. Dia hanya menyaksikan Raka yang sudah hilang di balik pintu kamar mandi. Bibirnya mengerucut, tidak ada yang membangunkan. Lalu apa yang dirinya lakukan tadi. Mengasah pisau, menghitung kecepatan pergerakan cicak yang merayap di dinding.

Kepalanya menggeleng pelan, setidaknya dia jadi melihat sisi normal Raka. Di bawah, bunda Fian sudah memanggil berkali-kali. "Kaka, cepat mandinya!"

"Hem," balas Raka.

🌼🌼🌼

Siangnya di kantor, Chika dan Wulan sedang asik membicarakan acara makan-makan nanti malam. Acara rutin bulanan di divisi ini. Chika antusias sekali karena sudah lama dia tidak bisa berkumpul dengan santai.

"Oh iya Dita ikut?" tanya Chika.

Wulan menepuk kening dan segera mengeluarkan ponselnya. "Lupa ngabarin tuh anak, biasanya dia ikut terus soalnya kalau lagi nggak ada kerjaan dia juga mainnya ke sini." Langsung saja dia hubungi Dita yang pastinya sudah akan istirahat sekarang.

"Dit mampir ke tempat gue dulu yaa, ke kantin bareng," kata Wulan.

Sebentar lagi memang jam istirahat, dan sejak tadi pekerjaan mereka sudah selesai. Makanya bisa bersantai bersama dan membicarakan acara nanti malam. Di samping Chika, ada Edgar yang baru masuk setelah cuti beberapa hari.

"Chik, nanti malem lo pulangnya sama siapa?" tanya Edgar.

Chika mengerutkan keningnya. "Hemm, naik bus mungkin. Di tempatku ada halte yang lumayan deket."

"Ohh kalau bareng gue aja mau? sekalian berangkatnya sama gue juga nggak apa-apa," kata Edgar.

Wulan memukul paha Edgar. "Enak aja, si Chika bareng gue sama Dita nanti. Yaa kan?"

"Hehe iya," jawab Chika.

Edgar cemberut kesal dan mengabaikan Wulan yang memang selalu menjadi partnernya dalam bertengkar. "Tapi baliknya bareng gue yaa?"

"Emm Ok-" ucapan Chika terpotong dengan dehaman di belakangnya.

Semua menoleh dengan kompak, dan wajah-wajah itu tampak kaget melihat atasannya datang kemari. Jarang sekali. Raka berdiri menjulang, ditemani Dita. Reflek semua berdiri termasuk Chika, mereka menundukan kepala dan menyapa Raka.

"Maaf Pak Raka, kami bersantai sebelum waktunya," kata mbak Nimas.

Raka menghela napas panjang. "Pekerjaan kalian sudah selesai?"

"Sudah Pak, kami tinggal menunggu pegawai yang sedang mengurus Giro," lapor mbak Nimas dengan wajah ramah.

Raka menganggukan kepala dan menoleh pada Chika dengan pandangan tajam. "Chika."

Chika mendongakan kepala takut, tangannya bahkan sudah dingin. Kenapa sampai kemari. Gawat kalau Raka bicara yang tidak-tidak. "I-iya Pak."

"Kemari," kata Raka.

Ragu, Chika melangkah mendekat dan meringis kecil. Dengan mata, dia berusaha memberikan kode keras agar Raka tidak bicara apa-apa. Tapi sepertinya pria ini tidak peduli dengan kodenya.

Raka mengeluarkan ponsel disakunya dan memberikannya pada Chika. "Kamu meninggalkan ponselmu di rumah."

Jedarrr. Ucapan Raka  seolah menjelaskan semua, bukan hanya tentang mereka yang saling mengenal. Chika takut-takut menatap ke sekitar, menonton ekspresi kaget teman-teman barunya. Senyumnya mengembang terpaksa. "Oh emm terima kasih Pak."

"Menyusahkan," kata Raka sebelum pergi begitu saja.

Chika menepuk keningnya sendiri, merutuki salah satu sikapnya yang menyebalkan. Pelupa. Dia berdeham untuk sedikit membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering kerontang. "Hem hem. Emm Wulan, ayo kita ke kantin."

Wulan mengerjapkan mata. "Hah?"

Dita yang tadi datang dengan Raka juga tidak kalah kagetnya. Buru-buru dia menyeret Chika dan Wulan ke kantin agar tidak ada banyak pertanyaan dari yang lain. Atau lebih tepatnya dia tidak sabar ingin bertanya pada Chika.

"Jadi apa yang Arga bilang kemarin itu bener?" tanya Dita setelah mereka memilih tempat duduk di kantin.

Wulan masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa selama beberapa hari ini dia pernah kelepasan menjelek-jelekan nama bosnya di depan Chika. Kalau sampai iya, tamat riwayatnya.

Chika mengusap tengkuknya sendiri menganggukan kepala kemudian menggeleng pelan. "Ada benarnya, aku tinggal di rumah keluarga Rajendra, tapi kalian jangan pikir macam-macam. Aku temannya Kaka, kami udah temenan lama."

"Bukan tunangan?" tanya Dita dengan mata menyipit curiga.

Wulan mengangguk panik. "Lo kenapa nggak bilang kalau lo kenal sama bos sih Chika?! gue kan jadi nggak enak."

"Aku takut kalian segan," jawab Chika dengan ekspresi menyesal. Baru saja dia senang mempunyai teman-teman. Dia tidak mau kalau Dita dan Wulan menjauh.

Dita tersenyum dan menepuk punggung tangan Chika. "Oke gue paham, mungkin lo nggak jujur karena beberapa alesan. Terus gimana sekarang? Gracia nggak bakal diem kalau tau lo deket sama Raka."

"Nah itu juga yang menyeramkan, kalau sampai dia tahu aku takut jadi bulan-bulanan gengnya." Chika mencoba memelankan suaranya.

Wulan menyuruh dua temannya itu mendekat untuk berbisik-bisik. Takut ada mata-mata di dekat sini. Maklum, penggemar Gracia itu bucin sejati. Bisa bahaya kalau mendengar nama sang pujaan hati disebut-sebut.

"Kalau yang lain tanya, bilang aja lo saudara Pak Raka. Gue jamin lo aman dari si Gracia," kata Wulan.

Chika mengerjapkan mata dan tersenyum sambil menganggukan kepala. Itu juga ide yang sempat dia pikirkan. Kalau begitu kan dia juga tidak bohong. Toh dirinya dan Raka sama-sama keturunan Nabi Adam dan Hawa.

🌼🌼🌼

"Chik gue pernah jelek-jelekin Pak Raka depan lo nggak sih?" tanya Wulan untuk ke sekian kalinya

Chika memutar bola matanya. "Aishh, kamu ini kenapa sih? kan tadi udah dijawab. Lagian kalau kamu sama Dita jelek-jelekin Kaka, aku juga nggak akan ngadu. Kita nggak sedekat itu."

"Hem masaaa?" tanya Wulan yang senyumnya penuh dengan ledekan.

"Suer!" jawab Chika sungguh-sungguh.

Mereka saat ini sedang menunggu Dita di loby karena sudah lewat jam pulang. Tadi saat kembali ke ruangan kerja setelah istirahat, seperti dugaan sebelumnya, Chika dikerumuni para orang-orang penasaran. Dan jawaban yang sudah direncanakan di kantin pun sebagai pemecahnya.

"Eh kayaknya Edgar suka sama lo deh Chik," ucap Wulan.

Chika tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Mana mungkin? di sini banyak yang cantik, aku nggak ada apa-apanya sama mereka."

"Yaa ampun Chika, lo itu cantik tau. Tapi lo nya aja yang nggak mau make up, ehh lagian lo begini aja udah cantik apalagi make up yaa?" tanya Wulan sambil terkekeh.

"Oh yaa? menurutku wajahku biasa aja," jawab Chika.

Wulan tersenyum dan menepuk bahu Chika. Sohib barunya ini merendah bukan karena ingin dipuji seperti yang lain. Dia tahu, mata itu jujur saat mengatakan bahwa dirinya biasa saja. "Lo tahu? butuh biaya yang mahal untuk beberapa perempuan yang mau jadi cantik. Tapi lo nggak, jadi lo beruntung. Nihh yaa contohnya si Gracia, mungkin dari ujung rambut sampai ujung kaki perawatannya dia lebih mahal daripada harga motor bebek gue di rumah."

Chika tertawa, geli juga membayangkan uang sebanyak itu hanya untuk perawatan. Jangankan untuk ke salon, untuk makan saja dulu dia harus bekerja keras. Mencari pekerjaan tambahan, tidur tidak teratur, mencari hutangan pada teman kalau sangat kepepet.

"Woy!" panggil Dita sambil berjalan cepat. "Ayo kita ke rumah gue dulu. Nanti kita berangkat dari sana."

"Arga ikut?" tanya Wulan.

Dita mengibaskan tangannya. "Ganggu nanti."

Chika ikut di mobil Dita. Katanya tempat makan itu memang tidak jauh dari rumah Dita. Jadi sekalian saja. Wulan juga sudah sering ke sana. Bahkan sering menginap kalau sedang ingin cerita.

Rumah Dita lumayan besar. Halamannya tampak segar karena tanaman hijau dan beberapa bunga. Mungkin ibunya Dita itu pecinta tanaman. Seperti di rumah Raka, di sini pun dia diterima dengan baik. Tante Zola, ibunya Dita tampak cantik dengan pakaian rumahan.

"Lo sama si Arga kan udah mau nikah, masa lo diemin aja sih pas Arga godain tuh cewek-cewek?" tanya Wulan saat mereka bersantai di kamar Dita.

"Hemm emangnya kapan kalian menikah?" tanya Chika.

Dita menghela napas panjang dan menganggukan kepala. "Gue emang begini, tapi cuek bukan berarti nggak cinta kan? gue cuma berusaha kasih kepercayaan untuk dia. Masalah nanti dia main-main atau gimana yaa itu urusannya, berarti dia bukan laki-laki yang baik buat gue."

"Yaa tapi kan nggak begitu juga Ta, harus waspada sama gerombolan si Gracia," kata Wulan. "Iya nggak Chik?"

Chika menganggukan kepala. "Iya sih, tapi Dita ada benernya juga Lan. Nggak semua perempuan itu tipe pengekang sama cemburuan. Kadang cinta butuh kedewasaan."

"Kalau lo tipe apa?" tanya Dita.

Chika mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala. "Nggak tau, aku belum pernah pacaran."

"Demi apa?!!" tanya Wulan kaget.

"Aku serius, hidupku agak rumit jadi aku nggak sempet untuk mikir hal yang nggak terlalu penting," jawab Chika dengan santai.

Wulan dan Dita saling melempar tatapan bingung. Mereka memang belum sepenuhnya mengenal Chika. Tapi dari mata itu, mereka sedikit bisa membaca tentang luka yang tersembunyi. Entah seberat apa luka itu, semenyayat apakah lukanya.

"Kalau sama Pak Raka, lo udah lama banget kenal?" tanya Wulan.

"Hemm, dari kita masih TK. Kebetulan pas SMA kita satu sekolah. Tapi kalian pasti tau kan sikapnya Kaka itu gimana, jadi aku nggak terlalu deket sama dia," jawab Chika jujur.

Dita bertopang dagu, mulai tertarik. "Lama yaa? bisa bayangin sih itu anak dingin dari lahir."

Wulan tertawa geli dan ngeri. Sama halnya dengan Chika. Apa mungkin sejak lahir sudah begitu. Kalau iya, menyeramkan juga. Dingin level kronis.

"Gue aja ragu pas direkomendasiin jadi sekretarisnya Raka. Padahal gue termasuk kenal lah ya sama itu orang, Arga sering ajak gue nongkrong sama sahabat-sahabatnya," kata Dita.

"Jelas aja lo ragu," jawab Wulan. Ketiganya kembali tertawa. Ternyata ini pandangan orang-orang pada Raka.

🌼🌼🌼

Chika merapihkan rambut panjangnya. Sengaja dia cepol asal agar tidak risih saat makan nanti. Semua sudah berkumpul di restoran. Di samping kanannya ada Wulan dan di kiri ada Dita. Di hadapannya Edgar duduk sambil bertopang dagu dan tersenyum manis.

Pesanan tiba beberapa menit kemudian. Langsung saja masing-masing mengambil sesuai dengan pesanan. Sesekali Edgar bertanya hal tidak penting pada Chika dan dibalas seadanya dengan wajah ramah. Menurut Chika, Edgar hanya iseng saja padanya.

Makam malam yang ditemani candaan dan obrolan ringan. Hingga semua aktivitas terhenti karena Arga datang. Menghampiri Dita dan langsung duduk di samping perempuan itu.

"Ngapain sih nyusul?" tanya Dita.

Arga cemberut kesal. "Kangen yang, astaga jutek banget sih."

"Yang yang peyang! udah ah sana pulang!" usir Dita risih.

"Ampun, nasib amat punya calon istri begini. Chika mau nggak sama Arga yang tampan ini?" tanya Arga memelas.

Chika tertawa geli dan geleng-geleng kepala. Pandangannya melebar saat Raka juga datang. Pria itu terlihat santai dengan kaus hitam. Benar-benar tampan. Oh oke, kapan Raka terlihat tidak tampan.

"Ohh iya Chik, gue ajak Raka ke sini," kata Arga.

Wulan buru-buru berdiri dari tempat duduknya. "Silahkan Pak duduk di sini."

Raka mengangguk singkat. "Terima kasih."

Masih dengan pandangan takjub, Chika menatap Raka yang duduk di sampingnya. Dia ingin bertanya kenapa pria ini ikut kemari, tapi di sini sedang banyak orang. Sementara dia merasa tidak karuan, Raka justru duduk dengan santai dan melihat buku menu.

"Senang Bapak bisa bergabung dengan kami," kara mbak Nimas.

Raka tersenyum tipis dan mengangguk. "Apa setiap divisi mengadakan acara bulanan seperti divisi finance?"

"Yaa Pak, yang saya tahu begitu. Bu Fian dan Mbak Putri yang mengusulkan itu, katanya untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar karyawan. Kalau kita nyaman, semangat kerja pun makin meningkat katanya," jawab mbak Nimas.

"Benar, kalau begitu silahkan nikmati makanan kalian. Malam ini biar saya yang membayar," jawab Raka.

Semua tampak antusias sekali, mendapatkan rezeki dadakan. Mbak Nimas langsung menanggapinya. "Apa tidak merepotkan Pak?"

"Anggap saja itu ucapan terima kasih saya atas dedikasi kalian untuk perusahaan. Pesan apapun, jangan sungkan," jawab Raka dengan ramah.

"Wahh terima kasih Pak," jawab semua kompak.

Pesanan ditambah, menu makanan untuk menemani obrolan yang makin seru. Mereka jadi sedikit santai setelah tahu bahwa Raka tidak seseram kelihatannya. Justru sebaliknya, sangat mengayomi para karyawan seperti sang ayah.

"Chika ini saudara dekat atau jauh yaa Pak?" tanya Edgar.

Raka mengerutkan keningnya, dia menoleh pada Chika yang sedang kelihatan gugup. "Saudara?" tanya Raka.

Chika menoleh dengan alis terangkat lagi-lagi berusaha memberikan kode keras. "Iya kan? kita saudara?"

"Hem," jawab Raka seadanya sebelum meminum minumannya.

"Sepupu yaa Pak atau apa?" tanya yang lain.

Raka menghela napas panjang. "Entah, mungkin sekarang dia adalah nenek saya."

Jokes atau apapun itu, yang mendengar ucapan Raka hanya bisa mengerjapkan mata karena bingung. Dikatakan bercanda, wajah itu terlalu datar. Dikatakan serius juga tidak mungkin. Sampai suara tawa Chika terdengar.

"Hahaha, dia lucu kan? Kaka itu kadang suka bercanda," kata Chika sambil menepuk-nepuk bahu Raka. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ini murni karena rasa gugupnya.

Edgar dan lainnya yang awalnya hanya diam jadi ikut tertawa. "Ternyata Bapak juga humoris."

Raka cuek saja menanggapi tawa di sekitarnya. Di sampingnya, Chika pun tertawa. Saat pandangannya bertemu, Chika hanya meringis kecil kemudian kembali mengalihkan pandangan.

"Kaka, kenapa kamu ikut?" tanya Chika saat dia sudah di mobil dengan Raka.

Raka fokus mengemudikan mobil keluar dari parkiran. "Kalau kamu lupa, Ayah angkatmu masih berkeliaran diluar."

Chika terdiam mendengar jawaban itu. Lagi-lagi dia terbuai dengan kehidupan nyaman yang baru saja dia dapatkan. Bagaimana dia bisa lupa kalau ada ayah tiri yang masih mencarinya. Kenapa dia bisa setenang itu, padahal Raka masih memikirkannya.

"Maaf, aku terlalu senang punya teman baru," kata Chika pelan.

"Setidaknya kabari dulu, Bunda menyuruhku untuk menjaga kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa, apa tanggung jawabku?" tanya Raka.

Chika menganggukan kepala. "Oke, aku janji akan laporan terus. Emm tapi Kaka, soal saudara yang tadi, maaf yaa."

"Hem, aku akan menganggapmu sebagai nenekku," kata Raka.

"Kenapa nenek? Kaka aku serius. Bilang aku sepupumu. Oke?" kata Chika.

Raka menggelengkan kepala. "Sepupuku tidak ada yang cerewet sepertimu."

Chika membuka mulutnya, ingin membalas ledekan itu. Tapi dia hanya diam dan cemberut kesal. Memilih untuk diam dan melihat ke jalanan saja. Sejak kecil Raka selalu mengatainya cerewet. Padahal intensitas bicaranya sekarang dan dulu sudah jauh berkurang. "Apa wajahku setua itu sampai harus dianggap nenek," gumamnya sendiri.

Raka hanya memutar bola mata dan tetap fokus pada jalanan di depannya. Biarkan saja, toh memang sejak dulu Chika kalau ngambek tidak pernah lama.

🌼🌼🌼

See you in the next chapter 😘😘😘

Chika

Raka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top