BAB 4
Hola semuaaa
Mohon maaf karena lama nggak up. Aku udah balik dinas jadi nggak sempet nulis. Kalau ditanya kapan up aku pun maunya up terus. Sayangnya menulis pun butuh waktu yg panjang dan tenang.
Terima kasih yang udah setia nunggu cerita-ceritaku 😘
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys 😄😄 hope you like this chapter 😉
🌼🌼🌼
Chika membantu menyiapkan sarapan di dapur. Sejak pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu Meri di dapur. Asisten rumah tangga ini menerima kehadirannya dengan senang hati. Berbeda dengan beberapa pekerja yang diam-diam menatapnya dengan pandangan penasaran.
"Non Chika bisa masak?"
"Mbak Meri, jangan panggil aku Non. Di sini aku hanya tamu, bukan majikan," jawab Chika yang kurang nyaman dengan panggilan itu.
"Hehe saya itu jadi ingat awal pertama Nyonya Fian datang ke rumah ini," kekeh Meri.
Chika mengerutkan keningnya, dia mencuci tangan dan melepas perlak yang tadi digunakan saat mencuci piring. "Kenapa?"
"Ramahnya Non ini mirip Nyonya, bisa berbaur dengan kami," kata Meri sambil menerawang pada masa-masa itu, "waktu itu Nyonya Fian berhasil buat Tuan Karel berubah. Non tau Den Raka sikapnya gimana? yaa itu Tuan Karel, tapi kalau dengan Nyonya Fian, sikapnya berubah."
Chika tersenyum, dia jadi tertarik dengan cerita itu. Dia membantu Meri memotong wortel. "Apa Om Karel sedingin itu?"
"Ck jangan ditanya Non, Nyonya aja sering gemes. Apalagi pas tau anak pertamanya ngikut sifat ayahnya, Nyonya uring-uringan," kekeh Meri sambil menggelengkan kepala. "Nyonya Fian itu ceria, banyak bicara. Nyonya Fian, Non Caramel sama Den Arkan yang bikin rumah ini ramai. Bayangin kalau semua orang di sini sikapnya kayak Tuan sama Den Raka? Den Rafan si masih bisa diajak bercanda tapi lebih banyak diem juga."
Chika tertawa, membayangkan bagaimana bahagianya keluarga ini. Kehangatan yang bahkan dapat dilihat dari luar. Tentang bagaimana keluarga ini saling menyayangi. Keluarga, yang dia tahu orang-orang di panti adalah keluarganya. Ibu angkatnya adalah keluarganya.
"Saya senang Den Raka berteman sama Non Chika," ucap Meri.
"Hem?"
Meri tersenyum hangat, tangannya menepuk pelan tangan Chika. "Saya yakin Non orang baik."
Chika terdiam, oh bagaimana di rumah ini dipenuhi dengan orang-orang yang baik. Dia hanya tersenyum dan mengangguk sebagai balasan. Raka, pria itu sudah membawanya ke tempat seindah ini. Bukan karena tempat megahnya, tapi karena tempat ini memperkenalkannya dengan orang-orang yang sangat baik. Setelah sekian lama dia berurusan dengan orang seperti ayah angkatnya.
Meja makan ramai dengan suara Caramel dan bunda. Chika terkekeh geli dan merapihkan makanan di meja makan. Dia melirik Raka yang baru menuruni tangga. Pria itu tampak benar-benar tampan dengan kemeja hitam yang masih tergulung hingga siku. Tidak berubah, selalu bisa menjadi pusat perhatian.
"Hemm, Bang Raka emang ganteng Kak," bisik Caramel.
Chika mengerjapkan mata, dia menoleh pada Caramel dengan wajah memerah. "Emm? k-kamu mau minum apa?"
Caramel tertawa geli dan menguncir rambut panjangnya. "Duduk samping Kara Kak, biar Mbak yang kerja aja yang nyiapin minuman Kara."
Chika menganggukan kepala dan duduk di samping Caramel. Pandangannya bertemu dengan tuan besar rumah ini. Pria yang memang mirip dengan Raka, yang dia temui semalam. Senyumnya mengembang tipis, dibalas dengan anggukan.
Sarapan pagi di meja makan dengan keluarga. Chika sama sekali tidak berani membayangkannya. Dia tertawa senang, asik bicara dengan Caramel dan bunda. Sesekali dia juga bertanya pada si kembar yang sama ramahnya.
"Chika, kalau boleh tahu kamu sempat kuliah?" tanya bunda.
"Iya aku kuliah, kebetulan setelah lulus SMA aku ambil beberapa pekerjaan jadi bisa untuk biaya kuliah," jawab Chika.
"Ohh menarik, Bunda juga begitu dulu. Tapi bukan pekerjaan berat," jawab bunda.
"Kak Chika kerja apa?" tanya Caramel.
Chika menyalipkan rambutnya ke belakang telinga. "Hmm banyak salah satunya kerja di restoran dekat kampus Kakak kalau udah selesai kuliah, bayarannya lumayan."
"Wah hebat," gumam Caramel. Dia mengacungkan dua jempolnya. "Kakak hebat, Kara yang cuma sekolah aja udah ngeluh capek terus."
"Nah makanya, kamu itu harus rajin belajar," kata bunda.
Om Karel tersenyum tipis. "Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di kantor."
Tawaran itu membuat mata Chika berbinar senang. Dia tersenyum lebar. "Boleh Om?"
"Yaa boleh dong Chika sayang, Bunda udah bicara sama Om Karel. Kamu bisa bertemu teman baru di sana," kata bunda.
Om Karel mengangguk. "Kamu bisa mulai bekerja kapanpun kamu siap."
Chika menoleh pada Raka yang sibuk memakan roti sambil membaca tabnya. Dia tersenyum, ada banyak ucapan terima kasih yang ingin dia sampaikan pada pria ini. Matanya mengerjap saat Raka mendongak hingga pandangan mereka bertemu.
"Terima kasih," ucapnya tanpa suara.
Raka hanya mengernyit sekilas kemudian kembali sibuk dengan tabnya. Tidak berusaha membalas ucapan Chika. Bahkan tersenyum pun tidak. Membuat Chika meringis kecil, pantas bunda Fian uring-uringan karena sikap anaknya begitu.
Chika mengikuti Raka keluar rumah hingga mereka tiba di dekat mobil.
"Apa?" tanya Raka yang jengah diikuti.
Chika terkekeh geli. Dia mengulurkan tangannya. "Terima kasih, aku janji akan jadi karyawan yang baik dan rajin!"
Raka mendengus pelan dan menerima uluran tangan itu. "Hem."
"Emm Kaka-" panggil Chika.
"Astaga apa lagi?" tanya Raka kesal.
Chika meringis kecil, dia menunjuk ke atas. Tepat di kamar Raka. "Apa aku harus tidur di kamarmu? apa ada kamar lain? kamarmu suram, ak-" ucapannya terhenti karena Raka sudah masuk ke mobil dan meninggalkan dia begitu saja. "Aku takut tidur di kamarmu," lanjutnya pelan.
Sebenarnya dia bukan hanya takut karena nuansa kamar itu yang suram. Dia takut salah membuka lemari. Astaga, itu kamar seorang pria dewasa. Chika takut menemukan hal yang tidak semestinya. Pipinya bersemu merah, kepalanya menggeleng pelan. Apa yang dia pikirkan.
Biar nanti malam dia bicarakan lagi dengan Raka dan bunda. Dia tidak masalah untuk mendapatkan kamar yang kecil. Asal tidak di kamar Raka.
🌼🌼🌼
Raka menyesap espresso yang aromanya membuat tenang. Akhirnya dia bisa duduk dengan tenang dan mengerjakan pekerjaannya. Senin pagi, ditemani setumpuk laporan.
Sepagian ini dia hanya berkutat dengan dokumen. Mempelajari beberapa hasil produksi dan membaca materi rapat yang akan mulai dia pimpin untuk menggantikan peran ayahnya. Kepalanya mendongak saat pintu diketuk.
Sekretarisnya masuk dengan membawa map. "Maaf Pak, ini dari Ibu Fian. Katanya pelajari untuk persiapan besok."
Raka mengecek map itu, dia menganggukan kepala. "Terima kasih, Dita jika Dewa dan Arga datang bilang pada mereka untuk tunggu di bawah."
"Baik Pak," jawab Dita. Sekretaris yang ibunya rekomendasikan langsung. Raka nyaman bekerja dengan gadis itu. Pekerjaannya bagus, dan yang pasti penampilannya sopan. Dan yang terpenting lagi, Dita adalah calon istri Arga. Jadi dia tidak perlu khawatir.
Raka keluar setelah jam istirahat tiba, dia sudah ada janji dengan dua sohibnya itu.
"Sadewa dan Arga sudah datang," kata Dita.
"Kamu ikut ke bawah?" tanya Raka.
Dita mengibaskan tangan. "Kalian pasti akan membahas masalah membosankan."
Raka mendengus pelan dan langsung pergi menyusul ke kantin kantor. Sadewa adalah penerus perusahaan bank yang ada di kantor dekat ini, dan Arga bekerja di rumah sakit bukan bagian medis pastinya. Jadi mereka sering berkumpul saat jam istirahat.
"Iya Mona, cantik body pun bagus," kekeh Arga.
"Ck gue menolak macem-macem, baru baikan sama Fala," jawab Dewa.
Raka bergabung dengan dua orang yang sedang sibuk bicara ini. Dia tahu pasti obrolan macam apa ini. Sudah tidak heran lagi, masalah perempuan. Padahal dua orang ini sudah punya pasangan. Untung Fala termasuk wanita yang sabar, dan Dita adalah wanita yang cukup cuek sampai membuat Arga gemas sendiri.
"Nah untuk Raka aja," kekeh Arga.
"Weits Men, Mona balik ke Indonesia," kata Dewa.
Raka mengerutkan keningnya. "Mona?"
"Mona yang pernah lo tolak," jawab Dewa. Dia membenarkan posisi duduknya dan mulai mempromosikan Mona. Siapa tahu sohibnya ini berminat untuk melepas masa lajang. Toh Mona adalah gadis cantik dan pintar. "Bidadari Men."
"Cantik bukan berarti bidadari," jawab Raka.
Dewa hanya bisa geleng-geleng kepala dan pasrah. Susah mencari wanita sesuai dengan kriteria Raka. Mereka tidak tahu harus yang bagaimana, semua ditolak. Mulai dari yang satu pekerjaan, dokter, dan model.
Ketiganya mulai membicarakan rencana dari perusahaan Rajendra, perusahaan milik keluarga Dewa dan rumah sakit tempat Arga bekerja untuk mendirikan panti asuhan. Rencana lama mereka yang akhirnya akan terealisasikan. Hanya tinggal menunggu beberapa hal.
"Kita butuh orang yang bisa kelola ini setidaknya sampai proyek pembangunannya selesai," kata Dewa.
Raka mengangguk setuju. Harus yang bisa dipercaya dan bisa mengurus semuanya. "Nanti gue urus." Dia menoleh saat namanya dipanggil.
Bunda tersenyum dan menghampiri meja tempat Raka berkumpul. "Kalian pasti sedang diskusi pendirian panti asuhan ya?"
"Iya Tante, biar cepat mulai," jawab Dewa.
Bunda terkekeh dan merangkul tangan Raka. "Gimana kalau kamu minta bantuan Chika? Dia pasti tahu banyak tentang pengelolaan panti asuhan."
"Chika?" tanya Arga.
Dewa dan Arga saling melempar pandangan. Mereka tahu nama itu pernah Raka sebut, tapi baru tahu kalau sohibnya ini sudah memperkenalkan gadis itu ke ibunya. Dewa mengangkat alisnya dengan pandangan bertanya.
"Oh ya sayang, sekalian ajak Chika ke mall. Temani dia cari pakaian untuk kerja besok, Bunda harus temani Ayahmu nanti," kata bunda.
Arga membuka mulutnya. "Tante udah ketemu sama Chika?"
"Loh Raka belum cerita kalau dia ajak Chika tinggal di rumah?" tanya bunda dengan wajah polos.
Raka hanya menggelengkan kepala, bertopang dagu sambil memijat keningnya sendiri. Ucapan bunda benar-benar ambigu sampai dua sohibnya ini menatapnya dengan tatapan jahil. Sudahlah pasrah saja, bunda memang begitu.
"Bunda, Ayah pasti menunggu di ruangan," kata Raka.
"Ohh iya astaga Bunda lupa, yaa sudah lanjutkan obrolan kalian. Dadaa anak-anak," kata bunda dengan cengiran tanpa dosa. Meninggalkan anaknya yang akan mendapat wawancara dadakan.
Dewa menyandarkan tubuhnya pada kursi, alisnya terangkat. "Jadi Tuan Raka, bisa jelaskan kenapa Chika yang katanya bukan siapa-siapa bisa tinggal di rumah Rajendra."
"Pantas Mona ditolak, jadi penasaran wajah Chika gimana. Apa dia sangat cantik?" tanya Arga.
"Pasti," jawab Dewa, "besok mulai kerja di kantor ini? Ga besok kita cari Chika."
"Setuju!" jawab Arga semangat. "Hey sekarang juga boleh, kita ikut ke rumah Raka."
Dewa tersenyum miring dan bersedekap. "Jangan hari ini, biarkan sohib kita ini pergi dengan Chika. Sepertinya sudah langsung dapat dukungan."
Raka mengabaikan ledekan-ledekan itu. Dia makan dengan cepat dan langsung kembali ke ruangannya. Di depan lift ada Gracia yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Perempuan ini selalu membuat Raka risih karena tingkah lakunya yang berlebihan.
"Bapak abis dari kantin?" tanya Gracia saat mereka berdua sudah berada di dalam lift.
Raka berdeham, dia membenarkan jam tangannya, menunggu dan langsung keluar lift setelah tiba di lantai yang dia tuju. Menyebalkan sekali, tidak dimana pun dia pasti menemukan perempuan seperti Gracia. Bisakah dia tenang tanpa gangguan.
Di ruangannya dia kembali mengerjakan sisa pekerjaannya. Sampai pukul empat sore, dia meraih jasnya dan keluar ruangan untuk pulang. Mampir sebentar untuk menjemput Caramel, setelah itu baru antar Chika ke mall.
🌼🌼🌼
Chika melihat beberapa pakaian yang dijual di toko ini. Dia benar-benar tidak berminat meski terlihat bagus. Ini terlalu mahal, dia bisa mencari di toko yang lebih murah nanti setelah mendapatkan gaji.
Tadi Raka langsung mengajaknya berbelanja, katanya ini perintah bunda dan jika ingin menolak langsung saja bilang pada bunda. Jelas dia tidak berani membantah lagi. Raka langsung tahu jawaban apa yang membuatnya tidak bisa melawan.
"Apa kamu akan menatapnya seharian?" tanya Raka.
Chika menoleh kaget, hanya bisa meringis kecil dan kembali pura-pura memilih. Sebenarnya dia sedang berpikir bagaimana mengajak Raka ke toko yang lebih murah saja. Sayang sekali uang sebanyak ini hanya untuk pakaian.
"Emm Kaka-"
"Coba ini," kata Raka sambil memberikan pakaian.
Chika mengerjapkan mata. "Oh oke." Dia mencoba pakaian yang Raka pilih. Memang sangat cantik dan dia pun suka. Setelah dipakai, rasanya semakin cantik saja setelan formal itu. Sangat pas dengan tubuhnya.
Senyumnya mengembang tipis, pakaian bagus tidak akan mengubah status anak tidak jelas yang sudah dia dapatkan sejak kecil. Ini terlalu berlebihan untuknya. Chika keluar dari ruang ganti dan berdiri di depan Raka.
"Kaka, ini terlalu kecil. Kita cari di toko lain yaa?" kata Chika.
Raka mengamati sekilas dan langsung menoleh pada karyawan toko ini yang tampak bingung karena menurut mereka itu sangat pas. "Carikan beberapa setel yang ukurannya sama dengan itu."
"Baik Tuan."
Di mobil Chika masih belum bisa bicara apa-apa. Bagian belakang, sudah penuh dengan belanjaan. Sedangkan si empunya uang masih tenang sambil fokus menyetir. Tidak peduli disampingnya ada orang yang masih memikirkan berapa banyak uang yang dikeluarkan hanya untuk pakaian.
Tiba di rumah Raka pun tidak bicara, hanya membantu Chika membawa belanjaan. Hingga para pekerja mengambil alih semuanya. "Ayahku ingin bicara dengan kita."
"Ohh? hmm oke." Hanya itu respons yang bisa Chika berikan.
Maksud dari bicara malam ini ternyata adalah mengumumkan kepindahan Raka ke apartemen. Chika jelas menjadi orang yang paling merasa tidak enak. Karenanya, Raka sampai harus pindah.
Bunda mengerti wajah sedih itu, ditepuk pelan bahu Chika. "Raka memang harus belajar mandiri sayang, terlepas dari kamu datang ke rumah ini atau tidak. Apartemen yang dia beli memang untuknya tinggal sendiri."
"Tapi-" Chika menoleh pada Raka.
Melihat airmata itu, bunda langsung menggenggam tangan Chika. "Percaya sama Bunda. Dia pasti bisa hidup sendiri. Toh kalau dia ingin bertemu dengan adik-adiknya dia tinggal pulang."
Senyum lembut itu menenangkan hati Chika. Meski tidak membuat rasa bersalahnya hilang. Sampai diskusi selesai pun dia hanya bisa menundukan kepala.
Raka langsung mengemasi pakaiannya. Dibantu bunda dan Chika yang masih memasang wajah sedih. "Bunda, katakan padanya, aku hanya pindah ke apartemen. Bukan menghadapi perang di perbatasan negara berkonflik."
Bunda tertawa pelan tapi geli. Mengerti jika Raka jengah ditangisi begitu. Anaknya ini memang selalu begitu. "Kamu dengar kan Chika? dia pasti senang bisa bebas bekerja tanpa gangguan."
Satu koper yang berukuran cukup besar sudah terisi pakaian. Chika masih duduk di sofa, menunggu Raka selesai membereskan barang-barang. Bunda sudah keluar sejak tadi.
"Kaka, kamu ya-" ucapan Chika terhenti saat Raka menoleh dengan pandangan kesal. Oke ini memang sudah lebih dari lima kali bertanya pertanyaan yang sama. Belum saja dia mendapat lemparan benda-benda.
"Bi Peni sudah menyiapkan kamar untukmu. Pergilah ke kamarmu," kata Raka yang kembali sibuk mengurus koper.
Chika mengangguk dan bangkit dari sofa kamar Raka. Di ambang pintu, dia kembali berbalik, sekali lagi ingin bertanya. "Tapi Kaka, kamu yakin ingin pin- ehh emm oke aku tidur. Dada Kaka." Dia langsung berjalan cepat menuju kamarnya melihat wajah Raka yang sepertinya akan marah.
"Huh kenapa wajahnya seram sekali sih, aku kan cuma bertanya," keluhnya sambil mengelus dada.
Di kamar yang sudah disiapkan, Chika langsung berbaring di ranjang. Memandang langit kamar. Suasana yang tenang. Kamar ini mungkin sama luasnya dengan kamar Raka. Cat putih tulang yang indah, setidaknya tidak bernuansa hitam putih yang mencekam.
Hal yang masih dia pikirkan adalah bagaimana nanti jika Raka tinggal sendiri di apartemen. Apa pria itu bisa memasak. Bisa membereskan rumah. Bisa menyuci piring. Raka sudah biasa dilayani di rumah ini.
"Apa aku tanya lagi?" gumam Chika. Kepalanya menggeleng. Takut kalau harus kembali ke kamar Raka. Tadi saja kabur. "Oh aku harus bagaimana." Tubuhnya bergulung ke kanan dan kiri sampai akhirnya tertidur karena lelah berpikir.
🌼🌼🌼
"Sampai bertemu di kantor sayang," kata bunda pada Chika sebelum masuk ke mobil.
Chika menganggukan kepala dan memeluk bunda. Merasakan usapan tangan lembut di kepalanya. Ketenangan seperti mengalir kembali. "Hati-hati Bunda, Om Karel."
Om Karel tersenyum tipis dan mengangguk sebelum mengajak bunda masuk ke dalam mobil. Chika berangkat dengan Raka, mereka akan mengantar Caramel ke sekolah dulu. Sebenarnya Caramel bisa berangkat dengan Rafan dan Arkan, tapi katanya anak itu takut dijahili lagi.
Caramel berlari dari dalam rumah. Tangan kanannya membawa roti tawar, dan tangan kirinya membawa kotak susu cokelat. "Ayoo Bang, hari ini Kara piket."
"Non Kara.." panggil Mbak Meri sambil ikut berlari menyusul. "Aduh Non ini tasnya ketinggalan!"
Caramel mengerjapkan mata, menoleh ke belakang dan kemudian tertawa. "Oh iya, hehe dikirain udah dibawa." Chika tertawa, Raka yang sudah biasa hanya bisa menggelengkan kepala.
Penyelamat suasana di mobil ini adalah Caramel. Chika jadi punya teman ngobrol dan tidak tertidur selama perjalanan. Mereka tiba di sekolah yang Chika tahu termasuk ke dalam golongan sekolah elit. Sekolah yang besar dan lihat saja kendaraan bawaan para murid di sekolah itu.
"Yaudah Bang Raka, Kak Chika. Kara masuk dulu yaa," kata Caramel.
"Jangan jajan sembarangan, jangan lari-lari," kata Raka.
Caramel cemberut kesal. "Iya-iya, Kara kan bukan anak TK Abang."
Chika meringis kecil, dia menurunkan jendelanya dan melambaikan tangan pada Caramel. Kalau peringatan jangan lari-lari dia pun setuju. Meski baru sebentar tinggal di rumah Raka, dia sudah tahu kalau Caramel itu ceroboh dan sering mendapatkan luka.
Suasana di dalam mobil setelah itu jelas sepi. Chika hanya menatap ke arah luar jendela. Sesekali merapihkan rambut panjangnya yang hari ini dia kuncir rapih. Pakaian yang kemarin Raka beli juga membuat penampilannya semakin baik.
"Oh iya, Kaka apa kamu bisa masak?" tanya Chika.
Raka melirik sekilas dan kembali fokus menyetir. "Tidak."
"Kalau mencuci piring? membereskan rumah? Cuci baju?" tanya Chika lagi.
Raka menghela napas panjang. "Apa inti pertanyaanmu?"
"Kamu yakin ingin tinggal sendiri? bagaimana kalau kamu ingin makan? apa nanti kamu akan bawa satu pelayan?" Chika menatap penasaran menunggu Raka menjawab semua pertanyaannya. Biar dia bisa sedikit lega.
Bukannya menjawab, Raka justu mempercepat laju mobilnya. Tidak ada jawaban hingga mereka tiba di kantor. Membuat Chika makin gemas dan terus melontarkan pertanyaan yang sama.
"Kaka ini kantormu? besarnya. Aku pernah lihat di tv. Nanti dilantai berapa aku akan bekerja?" tanya Chika melupakan pertanyaan-pertanyaan yang diabaikan tadi. Matanya menatap ke atas gedung. Berdecak kagum. Perusahaan yang menjadi impian banyak orang.
Di lobi beberapa orang menatap penasaran ke arah keduanya. Ini pertama kali Raka datang dengan seorang perempuan. Chika sadar sudah menarik perhatian orang-orang di sini. Dia berusaha tersenyum ramah dan sesekali menundukan kepala untuk menyapa.
"Kaka?" bisik Chika.
Raka menoleh, tumben gadis ini tidak bicara berisik seperti tadi. Dilihat wajah Chika yang gugup. Keningnya berkerut. "Ada apa?"
Chika meringis kecil. "Aku harus ke lantai berapa? kamu duluan saja."
"Bunda menyuruhku untuk mengantarmu langsung," jawab Raka.
"Emm aku ingin ke toilet." Chika melirik sekitar. Dia takut akan ada gosip baru di perusahaan ini. Selain itu dia juga tidak mau punya musuh. Penggemar Raka di sini pasti banyak.
"Lantai sepuluh. Temui Tante Putri dia teman Bunda," kata Raka sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Chika yang bisa bernapas lega. Dia pun buru-buru ke toilet. Memeriksa penampilannya.
Astaga, benar-benar. Bahkan sejak dulu tidak berubah. Raka masih dikelilingi pandangan takjub dari para perempuan. Masih dia ingat saat kelulusan SMA, Raka menjadi orang yang paling banyak menerima hadiah. Bunga, boneka, gelas, bantal. Entah bernasib seperti apa barang-barang itu. Dia yang hanya bertanya saja selalu kena damprat dulu.
Tiga orang perempuan masuk ke dalam toilet dengan obrolan yang sepertinya sangat seru sampai ketiganya nampak antusias. Chika sedikit menyingkir dan menatap pantulan dirinya di kaca.
"Gimana sama Pak Raka?"
"Yaa begitu lah," jawab di perempuan dengan rambut panjang bergelombang. Wajahnya tampak cantik, tinggi menjulang. Dan make up yang sangat bagus.
"Gue lihat lo kemarin ngobrol sama Pak Raka. Emm udah sedeket apa nih? Main rahasia-rahasiaan yaa lo."
Perempuan itu tersenyum lebar dan merapihkan poninya. "Ya kita emang sering ngobrol. Lo bisa artiin sendiri lah yaa, dia kan nggak suka ngobrol sama orang lain."
Chika membulatkan mulutnya dan mengangguk-ngangguk. Dia segera pergi dari toilet dan pergi menuju lift. "Oh itu pacar Kaka." Kepalanya mengangguk takzim. Untung tadi dia memilih jalan terpisah dengan Raka. Kalau tidak, pasti dia benar-benar dapat musuh baru.
🌼🌼🌼
See you in the next chapter 😍😍😍
Terima kasih untuk readers yang kemarin ngasih info ke aku kalau ternyata tbwafs dicopy tanpa izin sama platform novelme.
Dimohon untuk teman-teman yang lain kalau menemukan ceritaku di tempat lain. Tolong infoin aku. Sakittt hati ekee cyinnn seriuss 😂😂😂 nulis sampe rela begadang. Nulis sambil sibuk skripsi. Ehh yg copy enak bener. Jahat bener.
Ini Raka lagi anter Chika
Chika
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top