BAB 31
Holaa selamat siang? Wkwk update jadi nggak tentu jam. Pagi, siang, malem, tengah malem. Btw aslinya cerita ini mau saya up tengah malem abis nonton piala dunia. Tapi saya ketiduran 😂😂😂
Yowes langsung aja. Follow ig @indahmuladiatin untuk tau update terbaru cerita saya
Happy reading guys! Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini. Dan.. terima kasih untuk MCB yg udah 1 jt kali dibaca ❤️❤️❤️
🌼🌼🌼
Sepanjang minggu yang padat ini, Chika disibukkan dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Tidak apa-apa, lagipula ini lebih baik daripada diam, dan justru membuatnya memikirkan banyak hal. Tentang Raka, tentang Dita yang sampai sekarang belum kembali masuk kerja, tentang siapa pelaku kecelakaan itu.
Pada intinya, semua hal yang ada di kepalanya itu berputar tiada henti, jika dirinya hanya diam. Pasti ini pula yang dirasakan Raka sekarang. Tentu saja bukan, di sini, selain keluarga Arga dan Dita, orang yang paling sedih adalah Raka dan Dewa.
Pesan masuk dari bunda membuat Chika tersenyum. Bunda memintanya untuk datang malam ini, makan malam bersama katanya. "Lan, nanti kamu pulang duluan aja."
"Hem, mau ngedate ya?" bisik Wulan.
Chika mendengus pelan. "Ada acara makan malam di rumah Kaka."
"Oooh berarti pura-pura diem-dieman dong?" ledek Wulan. Pasangan yang aneh. Diberi jalan mudah justru memilih jalan yang susah. "Emang nggak capek yaa?"
"Wulan," tegur Chika. Tentu saja yang ditegur hanya cengar cengir tanpa dosa. Ditambah memasang wajah meledek pula.
Niatan akan melempar kertas pada Wulan batal karena ponsel Chika kembali bergetar. Kali ini panggilan dari nomor tidak dikenal. Keningnya berkerut dalam, beberapa hari ini ada saja panggilan masuk dari orang asing. Makanya dia malas menanggapinya.
"Lagi?" tanya Wulan sambil menatap ponsel Chika.
Chika menghela nafas panjang, kemudian mengangguk. Lagi, diabaikan panggilan masuk itu. Entah, rasanya semenjak kematian Arga yang misterius, dirinya pun merasa bahwa banyak ancaman di sekitarnya. Toh memang dunia ini tidak selalu diisi orang-orang baik bukan.
🌼🌼🌼
"Hari ini kamu kelihatan semangat sekali," komentar Chika melihat wajah cerah Lyza yang terus menahan senyum sejak tadi.
Lyza tertawa dan mengangguk antusias. mereka bertiga sedang ada di mobil milik Raka untuk pergi ke rumah pria ini. Hanya makan malam keluarga seperti biasa. Namun, dalam satu hari, sesuai peraturan, tidak ada yang boleh absen.
Di samping Raka, Lyza masih asik menatap jalanan dari balik kaca. Seperti asik dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Chika yang duduk di belakang hanya memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Lumayan, toh jalanan sedang macet.
"Aku sudah menemukan tempat tinggal Kenneth," kata Lyza.
Raka melirik sekilas dan berdeham pelan. Dirinya yang memang sudah lama tahu hanya bisa diam. Dia tidak ingin bohong pada Lyza tapi juga tidak ingin mengganggu kehidupan yang telah dipilih oleh Kenneth. Setelah tahu kehidupan anak laki-laki itu, dirinya memutuskan untuk menghargai keputusannya. Dan daddy Gavyn pun memintanya untuk tidak memberitahu orang lain.
"Pasti sulit hidup sendiri di luar sana," kata Lyza lagi. Senyumnya mengembang tipis. "Tapi dia Kenneth kan? aku percaya dia selalu bisa hidup dimana pun dia tinggal. Dia adikku, dan aku mempercayai kemampuannya."
"Yaa, kamu tidak perlu khawatir," jawab Raka.
Lyza mendengus dan menganggukkan kepalanya. "Melihat reaksimu, aku tahu selama ini kamu tahu dimana Kenneth. Daddy memberitahumu?"
"Aku tahu, karena anak itu berteman dengan si kembar." Mobil yang Raka kendarai memasuki pekarangan rumah keluarganya. Di depan pintu utama, seorang pria berseragam menyambut mereka.
Kening Lyza berkerut dalam. "Mereka saling kenal?! Apa Kenneth teman satu sekolah mereka?"
Raka menganggukkan kepala. Akan panjang kalau dia harus menceritakan semuanya. "Kunjungi dia, kamu punya banyak waktu untuk mendengar ceritanya."
"Kalau ingin mendengar cerita dari mulutnya sendiri, aku harus mencekik lehernya dulu, mengikat dia di tiang, dan mengacungkan pisau sambil mengancam 'ceritakan semua atau mati' itu pun kalau dia takut," jawab Lyza dengan geli. Mengingat sikap Kenneth yang luar biasa menyebalkan. Susah sekali mengajak adiknya itu duduk, dan ngobrol santai. Yaa, dia sadar, ini semua karena ulahnya sendiri. Karena ucapan yang terdengar sederhana, namun seperti mata pisau tajam yang menghunus tepat pada jantung.
Kalimat yang sangat ia sesalkan. Hingga membuatnya merasa menjadi manusia paling bodoh, tolol, dan egois. Menyedihkan.
Lyza menghela nafas panjang. Sudahlah. Lupakan yang sudah lalu. "Chika, ayo turun. Kita sudah sampai."
Di tempatnya, Chika hanya mengubah posisinya tanpa membuka mata.
"Astaga." Lyza tertawa pelan.
"Masuklah dulu, biar aku yang membangunkannya," ucap Raka.
"Emm, oke. Aku tunggu di dalam."
🌼🌼🌼
Raka menepuk punggung tangan Chika sambil memanggil nama gadis itu. Merasa terganggu, gadis itu bergumam pelan dan matanya perlahan terbuka. Mata itu mengerjap beberapa kali, hingga bulu mata panjangnya tergerak, sangat cantik.
"Sudah sampai ya," gumam Chika. Diregangkan tangannya. "Maaf, aku ketiduran."
"Hm." Raka keluar dari mobil lebih dulu karena mereka sudah sepakat untuk tidak menunjukkan kedekatan apapun. Di dalam rumah, beberapa pekerja sedang sibuk berlalu lalang.
"Nah ini dia," sambut bunda. Senyum itu mengembang cerah. "Cepat bersih-bersih. Opa dan Oma sudah menunggu di meja makan."
Raka mengerutkan keningnya, biasanya mereka semua yang akan datang ke rumah utama keluarga Rajendra. Jarang sekali makan malam diadakan di rumah ini. Di belakangnya, Chika menyusul masih dengan mata setengah terpejam.
"Chika, kamu baru bangun?" tanya bunda.
Gadis ini meringis kecil dan menganggukkan kepala. Jarinya menyisir rambut yang berantalam karena tertidur tadi. "Ketiduran di mobil."
Bunda tertawa geli dan merangkul bahu Chika. "Yaampun, yaudah. Mandi sana! Kamar kamu masih sama loh, Bunda masih berharap kamu balik ke rumah."
"Emm Bunda." Chika memeluk bunda. "Aku kan bisa menginap di sini sesekali. Yaudah aku mandi dulu yaa."
Raka dan Chika menaiki tangga untuk pergi ke kamar masing-masing. "Bagaimana kabar Dita?"
"Baik." Chika memperhatikan wajah Raka. Astaga, dirinya rindu berlama-lama memperhatikan wajah tampan itu. Sejak meninggalnya Arga, Raka seperti sibuk dengan dunianya sendiri.
"Are you okay?" tanya Chika pelan.
Raka tetap menatap lurus ke depan. "Tidak, sampai aku menemukan fakta dari kecelakaan itu."
"Apa udah ada titik terang?" Chika menatap dengan serius.
Rahang Raka mengeras, wajah itu terlihat emosi. Setelah sibuk menyelidiki kejadian itu, faktanya tidak jauh dari prediksinya. Herdian kembali terlibat. Namun, kali ini dia yakin, pria tua itu tidak bekerja sendiri. Karena saat ini sedang di penjara. Siapa orang yang ada di balik Herdian. Itu yang paling penting sekarang.
"Bang Raka, Kak Chika!" panggil Caramel. "Yaampun, aku udah nunggu tau!"
Raka menatap lurus pada lutut Caramel yang memar. "Jatuh di mana?"
"Ehh? Oh ini, itu em Kara nggak sengaja jatuh di deket kamar Bunda." Caramel meringis kecil. Buru-buru dia gandeng tangan Raka. "Udah Bang, ini nggak sakit, tenang aja."
"Kara, Abang sudah bilang berkali-kali-,"
"Kamu harus lebih hati-hati," lanjut Caramel menirukan gaya Raka. "Yaa yaa Kara tau, tenang aja. Adiknya Abang yang satu ini kan otot kawat tulang besi."
Chika tertawa geli dan mengacak gemas rbut Caramel. "Aku mandi dulu yaa, dan kamu Kara, jangan ganggu Abangmu." Didekatkan kepalanya pada telinga Caramel. "Dia sedang dalam mood yang buruk."
Mulut Caramel membulat. Kepalanya langsung mengangguk cepat. Dalam mood baik saja abangnya bisa menyebalkan apalagi moodnya buruk. "Hati-hati Kak, nanti diterkam."
"Hush!" Chika dan Caramel cekikikan melihat wajah kesal Raka.
🌼🌼🌼
Raka sudah rapi dengan kaus hitam dan celana jeans selutut. Wajahnya terlihat lebih segar sekarang. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, pria itu membuka pintu kaca di balkon kamarnya. Membiarkan udara malam masuk.
"Bang," panggil suara Caramel dari luar kamarnya.
"Hm."
Caramel membuka pintu kamar Raka. Kepala anak itu muncul dengan cengiran menggemaskan. "Kara boleh masuk?"
"Memangnya ada yang bisa melarangmu?" tanya Raka dengan senyum geli.
Adik tersayangnya itu justru tertawa dan masuk ke dalam kamar. Duduk bersila di ranjang. Jika sudah begini, dirinya tahu kalau Caramel ingin bicara, dan itu bukan basa-basi seperti biasa.
"Ada apa?" tanya Raka.
Caramel menggelengkan kepalanya. "Harusnya Kara yang nanya kan? Abang baik-baik aja?"
Gerakan tangan Raka terhenti. Dia terdiam cukup lama. "Hm."
"Bang," panggil Caramel pelan. "Kara ikut sedih soal Bang Arga. Dia udah kayak Abang Kara juga."
Raka menghela nafas panjang, dihampiri Caramel yang masih terus memandangnya. Lembut, diusap puncak kepala adiknya ini. "Terima kasih."
"Emm." Caramel merentangkan tangannya lebar-lebar. "Mau peluk nggak?"
"Dasar," keluh Raka sambil memeluk Caramel.
"Abang boleh sedih, Abang boleh nangis. Nangis kan bukan berarti lemah. Abang nggak perlu ngehadapin semuanya sendiri." Caramel melepaskan pelukannya. "Ada Kara, Bang. Ada Bunda sama Ayah. Ada Bang Rafan sama Bang Arkan juga meskipun mereka sih nggak beres kalau ngehibur."
"Abang cuma masih kaget," jawab Raka dengan senyum getir.
Caramel menggenggam erat tangan Raka. Dirinya mengerti, setiap duka akan sulit diterima oleh semua orang. "Kara yakin, Abang pasti bisa hadapin semua. Lagi pula-,"
Ucapan Caramel terhenti sejenak. Wajah manis itu berubah menjadi lebih serius. "Abang harus ungkap siapa pelaku di balik kecelakaan itu."
"Kamu tahu darimana?" tanya Raka.
"Ayah nggak akan diem aja, Bang. Orang itu hampir membunuh Abang. Bang Raka yakin Ayah bakal diam?" tanya Caramel dengan alis terangkat. Seolah itu hal yang biasa baginya. "Prinsip musuh lo, musuh gue juga. Siapapun orang itu, Kara nggak akan lepasin dia. Enak aja dia berani bikin Abang kecelakaan!"
"Setuju!" sela Arkan yang asal masuk ke dalam kamar. Disusul Rafan yang berjalan di belakangnya.
"Dia berani main-main sama Bang Raka. Nantang tuh namanya!" Arkan mulai berapi-api.
Rafan menyandarkan tubuhnya pada nakas di samping tempat tidur Raka. "Kali ini aku setuju sama mereka Bang, kita nggak bisa diem aja."
Raka menahan senyumnya. Hal-hal seperti ini memang bukan hal baru untuk mereka. Memiliki ayah seorang Karel Gibran Rajendra membuat mereka harus belajar menghadapi banyak musuh bahkan sejak kecil. Bahkan ayah sendiri yang mengajarkan beladiri dan berbagai strategi bertahan dan melawan.
Ditangkup wajah bulat Caramel. Gemas sekali rasanya kalau anak ini bicara berapi-api begini. Tidak ada takutnya, semua orang selalu khawatir, tapi lihat saja anak ini, meski perempuan, tapi nyalinya sangat besar. Bahkan menghadapi banyak preman pun bukan apa-apa untuk adiknya.
"Dengar Abang." Raka menatap serius wajah Caramel. "Jangan menempatkan diri kamu-,"
"Abang!" keluh Caramel.
"Kara!" potong Raka, kali ini lebih tegas. "Tolong, kali ini jangan ikut campur." Dia tidak ingin adik-adiknya ikut dalam masalahnya. Tidak bisa, dia tidak mau lagi ada yang celaka.
"Bang Raka yakin?" tanya Rafan. Si paling rasional di antara adik-adiknya yang lain. "Bang, kita bukan anak kecil lagi. Kalau buat ikut campur masalah ini, kita yakin bisa."
"Bang Raka inget perjanjian kita kan?" tanya Arkan dengan mata menyipit. Tidak terima kalau disuruh diam saja. Perjanjian soal saling membantu saat satu orang dalam masalah memang sudah lama mereka buat.
"Kalian percaya Abang?" tanya Raka singkat.
Caramel, Rafan dan Arkan saling melempar pandangan. Kompak, ketiganya menganggukkan kepalanya. Tentu saja percaya.
Raka menghela nafas panjang dan tersenyum tipis. "Kalau begitu kalian hanya perlu duduk dan lihat."
"Huh, tapi apa serunya kalau cuma nonton? Tenaga Kara kan jadi percuma," keluh Caramel.
Anak ini, batinnya. Kalau soal baku hantam selalu ingin cepat-cepat ikut campur. Coba saja kalau disuruh membaca pelajaran fisika, pasti akan kabur seribu langkah tanpa banyak bicara.
Rafan mengatur nafasnya, yaa mau bagaimana lagi kalau abangnya sudah bicara untuk tidak perlu ikut campur. "Yaudah, kita bantu doa aja."
"Hm."
"Bang," panggil Caramel lagi. "Abang beruntung punya sahabat kayak Bang Arga. Dan Bang Arga beruntung punya sahabat kayak Abang."
Caramel lagi-lagi tersenyum. "Abang udah berusaha yang terbaik untuk Bang Arga, jadi.." lagi, digenggam tangan abangnya ini. "Jangan pernah ngerasa kalau Abang nggak ngelakuin apapun untuk Bang Arga. Ini bukan salah Abang. Dan sekarang ini, yang terpenting adalah keadilan untuk Bang Arga. Untuk keluarga Bang Arga, untuk Kak Dita."
"Hm." Raka mengecup puncak kepala Caramel. "Terima kasih."
🌼🌼🌼
Di meja makan, Chika duduk dengan gelisah karena ada Opa dan Oma di sini. Masalahnya adalah, Lyza juga ada di sini. Astaga, kalau sampai Oma membahas soal pertunangannya dengan Raka, bagaimana dengan Lyza nanti.
Suasana canggung ini belum usai karena si biang kerok di meja makan, alias Caramel dan Arkan belum juga turun. Entah dua orang itu kemana. Rafan pun ikut telat. Bahkan Raka juga begitu. Apa para Rajendra itu sedang berkumpul sekarang. Dan meninggalkannya di sini. Di meja makan dengan suasana canggung ini.
Chika merengut kesal dan menundukkan kepalanya. Semoga tidak ada yang membahas soal pertunangan. Semoga ada banyak bahasan penting lainnya.
"Kemana sih anak-anak itu," omel bunda sambil meletakkan beberapa piring buah.
"Biarkan saja, Fi. Mereka memang harus bersiap." Opa membenarkan letak duduknya. "Ada jawaban yang harus disiapkan untuk Opanya nanti."
Bunda meringis kecil. Yaa kalau itu sih mungkin benar. Keempat anaknya memang tidak bisa berkutik kalau sudah ditanyai macam-macam oleh Opa. Caramel yang seperti itu pun akan menjadi anak kucing nan polos kalau sudah di depan Opanya.
Bunda duduk di kursi yang ada di samping Oma. "Papa dan Mama sudah check up kan bulan ini?"
"Kamu tenang aja, Fi. Mama baik ko, Papa juga hanya gula darahnya agak tinggi. Biasa itu, faktor usia." Oma tersenyum cerah sambil mengusap punggung tangan bunda.
"Syukurlah," kata bunda.
"Oh ya Chika." Oma menoleh pada Chika.
Chika yang disapa hanya ketar-ketir sendiri. "Yaa Oma?"
"Akhir-akhir ini Raka pasti sibuk. Waktu kalian jadi terbatas kan? Tolong maklumi yaa, temani dia juga," ucap Oma.
Mata Chika mengerjap. "Ya Oma."
Bunda berdeham pelan dan mengalihkan pembicaraan tentang hal lain. "Ma, maaf yaa karena nggak berhasil ajak Kara ke rumah, Mama sama Papa jadi harus datang kemari."
Oma hanya tertawa sedangkan Opa mendengus pelan.
"Sekarang dimana anak itu? Apa sekarang sulit sekali menyuruhnya duduk diam di samping Opanya?" tanya Opa.
"Ini Opa! Arkan berhasil bawa dia!" Lapor Arkan sambil membopong paksa Caramel yang merengek minta diturunkan.
"Aish anak-anak ini!" Keluh Oma, gemas.
Caramel yang sudah di turunkan masih cemberut kesal. Dia duduk di samping Opanya. "Opa! Bang Arkan nakal."
"Kamu memang harus ditarik paksa," jawab Opa sambil mengusap puncak kepala cucu perempuan satu-satunya ini. "Jadi, kenapa kamu tidak datang ke rumah?"
"Ehh emm hehe." Caramel menunjukkan cengirannya. "Maaf yaa Opa, duh jadwal ulangan lagi padet banget. Yaampun, bisa-bisanya begitu, iya kan?"
"Bohong! Dia lagi asik pacaran." Arkan si pengkhianat buka suara.
Kali ini Chika tidak bisa menahan tawanya melihat wajah kesal Caramel. Mata bulat itu melotot kesal pada Arkan. Astaga, duo ini memang tidak ada habisnya.
"Hm. Pacar ya," gumam Opa. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Sementara Raka dan Rafan yang baru bergabung pun merasa ada ketegangan di meja makan ini.
"Pacar." Opa masih sibuk bergumam.
Caramel tertawa garing. "Cuma-,"
"Siapa anak itu?!" potong Opa, lebih tegas.
"Dia anak baik-baik! Beneran deh, kalau Opa ketemu dia, Opa pasti juga suka sama dia, dia baik banget," jawab Caramel buru-buru. Keningnya mulai berkeringat.
"Baik?" Arkan menggelengkan kepala sambil tertawa geli.
Caramel melempar pandangan sinis, sebelum kembali fokus pada kakeknya yang masig menunggu penjelasan itu. "Opa, dia itu baik banget. Dia murid teladan loh, disiplin, terus rajin. Yaampun, dia nggak pernah bolos. Dia bahkan ikut ekskul pecinta alam! Suka nanem pohon, baik kan? Terus emm terus dia juga ikut paskibra! Jadi disiplin, terus dia juga ikut pramuka."
Kali ini Rafan yang menyolong start untuk makan lebih dulu langsung tersedak. Arkan membuka mulutnya, takjub.
"Wah, sepertinya dia sangat keren," komentar Lyza.
Caramel berdeham dan menganggukkan kepalanya. "Dia keren banget! Makanya Kara suka!"
"Pramuka?" tanya Rafan.
"Paskibra?!" tanya Arkan juga.
Rafan dan Arkan saling melempar pandangan. "Pecinta alam?" lanjut keduanya berbarengan.
Caramel yang terlihat makin gugup justru menjadi hiburan bagi orang-orang yang di sini. "Dia juga nggak ngerokok, dia ikut gerakan anti rokok!"
"Woy yang lo omongin si Bara bukan sih?" Arkan sudah gatal ingin bicara.
"Siapa lagi?" tanya Caramel kesal.
"Ini anak sehat kan?" tanya Arkan. "Lo salah Bara kali, dia anak geng motor-,"
"Yaakkkk!" teriak Caramel memotong ucapan abangnya yang satu ini. Dasar tidak peka. "Bohong Opa! Dia bahkan nggak tega buat nginjek semut."
"Oh ya?" Opa yang jelas pura-pura percaya langsung memasang wajah serius. "Siapa namanya? Dimana alamatnya? Siapa nama orangtuanya?"
"Hah?" Caramel mengerjapkan matanya. "Na-namanya Bara," jawab suara itu pelan. Kepalanya tertunduk. "Dia bener-bener baik, Opa."
Opa mengatur nafasnya, agar tidak emosi. "Mulai besok, akan ada orang-orang yang mengawasimu."
"Jangan!" cegah Caramel. Ditangkupkan tangannya di depan dada. "Kara nggak mau, Opa Kara janji akan jaga diri. Kara nggak bohong, dia bener-bener baik."
"Tidak perlu khawatir, Pa. Jika dia tidak baik, aku sendiri yang akan menyingkirkannya."Kali ini Om Karel sendiri yang turun tangan membantu putrinya yang terpojok.
"Dia anak baik, aku sendiri sudah memastikannya," susul Raka.
Kali ini Rafan dan Arkan ikut menyetujuinya. Arkan sudah menghentikan kejahilannya. "Opa tenang aja, Arkan kan nggak pernah jauh-jauh dari bocah ini. Kalau sampai ada yang macam-macam, Arkan yang akan maju duluan."
🌼🌼🌼
Chika menikmati minumannya, sebagian kakinya dicelupkan ke dalam kolam renang. Malam yang damai, dan penuh dengan kehangatan. Setidaknya, dirinya bisa merasa tenang di tengah banyaknya kekhawatiran.
"Angin malam tidak baik," kata Raka. Pria ini duduk di sampingnya.
"Dan tidak terlalu buruk juga," balas Chika tanpa menoleh. Satu sudut bibirnya terangkat. "Aku selalu merasa setiap sudut rumah ini tempat terhangat setelah panti."
Raka mendengus pelan. "Herdian terlibat dalam kasus ini."
"Pak Herdian?" tanya Chika kaget. Bagaimana bisa, orang itu dipenjara sekarang.
"Hm." Raka mendongak, mata cokelatnya menatap langit malam ini. "Dengan kata lain, target malam itu adalah aku."
"Kaka.."
"Malam itu." Ucapannya terhenti. "Orang itu mungkin mengira aku yang duduk di depan, karena sebelumnya memang aku yang akan masuk ke tempat itu."
"Kaka, kamu-,"
Raka menoleh padanya, tidak ada airmata di sana. "Karena korban sebenarnya belum mati, kabar baiknya, tersangka utama akan kembali beraksi."
"Maksudmu?" tanya Chika.
"Sampai aku mengungkap kasus ini, tolong jaga dirimu." Tangan Raka mengusap jemari Chika. "Kita tidak bisa sering-sering bersama."
"Lagi?!" tanya Chika. Meski sebenarnya mereka juga jarang sekali bersama, tapi kalau Raka bicara begini itu berarti waktu mereka akan lebih sedikit lagi. Lagipula kenapa banyak sekali orang yang ingin membuat Raka celaka. Apa dunia bisnis seseram ini.
"Kita bisa langsung lapor masalah ini kan?" tanya Chika mencoba mencari solusi yang lebih aman.
"Dia tidak akan buka suara meski kurobek mulutnya," jawab Raka santai sembari merapihkan anak rambut Chika. Mereka harus bekerja sama untuk hal ini.
"Oke," jawab Chika dengan airmata tertahan. Dia mengerti beban Raka saat ini. Dan kalau menjaga jarak sebentar untuk membantu pria ini agar lebih leluasa dalam bergerak, dirinya tentu saja tidak bisa menolak. Karena baginya, Arga sudah menjadi sahabatnya.
"Hati-hati, Kaka."
"Hm." Raka menarik Chika ke dalam pelukannya. "Tolong bantu Dita, sekarang ini dia membutuhkan sahabat-sahabatnya."
"Iya, aku pasti temenin Dita." Chika menghirup dalam-dalam aroma parfum Raka.
"Wow." Satu kata itu langsung membuat Raka dan Chika melepaskan pelukan dan menjaga jarak.
"Hm, kayaknya aku harus masuk," kata Rafan santai sambil mengangkat bahunya.
"Rafan." Raka memanggil dengan tenang, meski agak kaget. Sebenarnya itu bagus, justru dia berharap bunda yang muncul agar tidak perlu susah payah sandiwara ini itu. Sayangnya ini Rafan.
Rafan mengangkat kedua tangannya. "Anggep aja aku nggak liat apa-apa, silakan dilanjut."
🌼🌼🌼
Lagi, panggilan masuk asing. Chika menatap ragu ponselnya. "Chika?" sapa suara seorang di seberang sana.
Suara berat itu tentu sangat dia kenal. Suara yang khas, sangat nyaman mendengarnya, Aksa. Kenapa pria ini menghubunginya dengan nomor asing. "Aksa, ada apa?"
Nafas berkejaran di seberang sana membuat Chika agak khawatir. "Kamu kenapa Aksa? Ada masalah?"
"Aku tidak punya banyak waktu, ada beberapa hal yang harus kamu tau," balas Aksara cepat. "Shit! siang ini tunggu di halaman samping kantormu."
"Maksudmu?"
Tut. Tut. Tut. Sambungan sudah terputus kembali. Chika mengerutkan keningnya. Ditatap sekitar, rekan-rekannya masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Masih dua jam sebelum jam istirahat.
"Kenapa?" tanya Wulan.
Chika menggelengkan kepala, bukannya tidak ingin cerita. Dirinya pun masih bingung dengan maksud Aksa barusan. Pria itu sering muncul dan menghilang begitu saja. Dan kali ini, sepertinya Aksa sedang ada dalam masalah.
"Eh lo mau kemana?" tanya Wulan melihat Chika yang buru-buru pergi setelah jam istirahat.
"Aku harus keluar sebentar," balas Chika sebelum berlari. Tiba di halaman samping kantor ini, taman lengang. Tentu saja, siapa yang tertarik berpanas-panas ria sementara kantin di kantor ini sangat nyaman.
Chika menoleh ke kanan dan diri, tidak ada Aksa di sini. Namun, tidak lama dari itu, seorang laki-laki dengan topi hitam melemparkan kertas melalui sela pagar. Tanpa menoleh sama sekali, dan jelas orang itu bukan Aksa.
Ragu, Chika mendekat pada pagar untuk mengambil kertas itu. Awas saja kalau ini hanya sampah. Dibuka gulungan kertas itu. Keningnya berkerut dalam. Jl. Harmony. Hanya itu yang tertulis di kertas ini, dia tahu tempat ini, tempat yang tidak jauh dari klub malam tempatnya dulu dijual.
Chika menoleh pada orang yang tadi melemparkan kertas itu. Sudah tidak ada. Buru-buru dia berlari keluar dari kantor dan mencarinya di sekitar sana, sayangnya, meski sudah berlari jauh orang itu tetap tidak ditemukan. Lagi, ditatap kertas itu. Apa maksudnya. Kenapa Aksa mengirimkan ini.
🌼🌼🌼
Apa maksud Aksa, kenapa pria itu sangat misterius. Chika menggigit ujung ibujari tangannya. Memikirkan maksud dari kertas di tangannya ini. Kebetulan kah tempat ini dekat dengan klub itu. Atau Aksa pun tahu di klub itu dirinya pernah hampir dijual.
Kening Chika semakin berkerut. Apa dia pernah tidak sengaja bercerita. Kepalanya buru-buru menggeleng, tidak pernah. Ini bukan hal yang mudah diceritakan pada orang asing.
Ting. Notifikasi, email masuk dari username yang tak dikenal. Astaga, sekarang apalagi. Kenapa semua serba aneh hari ini. Chika membuka email itu. Makin keriting saja keningnya membaca email aneh ini.
Bulan bersinar terang, bulat sempurna.
Bell berdering penanda pergantian.
Nyanyian dari mobil es krim bersenandung tanpa henti.
Chika mengerjapkan mata, puisi kah, kenapa aneh sekali. Diamati lama-lama layar komputernya. "Aishhh! Aku nggak ngerti!"
"Apa sih?" tanya Wulan penasaran sambil membaca kalimat itu. "Apa nih? Puisi? Tapi kenapa bawa-bawa mobil es krim yaa, nggak elit amat."
"Iya kan?" Chika bertopang dagu, makin yakin ini bukan puisi. Pertama, Aksa tiba-tiba menelepon. Memintanya untuk pergi ke halaman samping kantor. Lalu ada orang yang mengirim nama jalan itu. Dan terakhir email ini.
"Jalan Harmony," gumam Chika.
"Bulan bulat? Lusa, kan?" tanya Wulan.
Mata Chika semakin menyipit, bulan bersinar terang, benar, lusa waktunya bentuk bulan bulat sempurna. Lalu apa hubungannya dengan mobil es krim. Astaga, kalau Raka di sini pasti pria itu akan dengan mudah memecahkannya.
Chika mencoba berpikir keras, mengabaikan Wulan yang ikut bingung di sampingnya. "Mobil es krim, mobil es krim yaa. Hmm." Matanya mengerjap beberapa kali, hingga berbinar senang. Yaa dia mulai mengerti, jalan harmony, mobil es krim. Di sana ada taman dimana mobil es krim selalu ada sampai malam. Selanjutnya, bell berdering penanda pergantian. Jika lurus terus sampai ke jalan besar, di sana ada pom bensin yang setiap pergantian jaga maka bell nya akan terdengar hingga taman.
Brak. Chika mengerti sekarang. Aksa memintanya datang ke taman itu, lusa malam. Astaga, kenapa tidak langsung saja sih. Apa pria ini ingin membuatnya kesal.
"Kenapa sih?" Wulan makin penasaran.
Chika menarik Wulan dan berbisik pelan, menjelaskan aktivitasnya sejak tadi. Sahabatnya itu terlihat agak kaget. "Serius lo? kita harus cerita sama Pak Raka nggak sih?"
"Astaga Wulan, Kaka nggak akan setuju," balas Chika. "Aku harus datang, firasatku nggak baik."
"Justru itu Chika!" keluh Wulan.
Ting. Notifikasi pesan masuk dari Dita. Chika terdiam membacanya. Aksa juga berusaha menghubungi Dita. Apa yang pria ini ingin sampaikan.
"Aku harus ke sana." Chika sudah mengambil keputusan. Matanya mengerjap pelan. "Siapa tau ini ada hubungannya sama Arga, kan?"
"Arga?" Wulan menggelengkan kepala, tegas. "Nggak, kita harus lapor Pak Raka. Lo tau kan keadaan lagi genting-gentingnya. Ini udah nggak bisa disebut main-main lagi, udah ada satu nyawa!"
Chika mengatupkan bibirnya. "Yaa aku paham, tapi Lan.." dirinya memelankan suara. "Kita nggak bisa diem aja."
"Oke, gini yaa. Gimana kalau Aksa ngehubungin lo sama Dita cuma untuk ngucapin belasungkawa meninggalnya Arga?" tanya Wulan dengan alis terangkat.
"Kalau begitu, seenggaknya aku harus datang untuk memastikan sendiri dia baik-baik aja," jawab Chika. "Dia nggak mungkin begini tanpa alasan, Lan." Saat ini Aksa sedang ada dalam masalah.
Paham kalau Chika tidak bisa dicegah, Wulan pun hanya bisa menghela nafas panjang. Mau bagaimana lagi. "Oke, kita pergi."
"Kita?" ulang Chika.
"Yaa kita, lo nggak kepikiran untuk pergi sendiri kan?" Wulan memicingkan matanya. "Pokoknya gue ikut! Lusa gue jemput lo."
"Kamu nggak keberatan?" tanya Chika ragu.
"Mau gimana lagi?" Wulan mengeluh kesal. "Pokoknya apapun itu, kita hadepin bareng-bareng. Gue harap yang kita temuin emang cuma Aksa. Atau seenggaknya gue lebih mending ketemu sama jurit deh daripada ketemu manusia-manusia jahat."
"Huhuuu Wulan! Kamu terbaik!"
🌼🌼🌼
Meski malam ini cuaca tidak terlalu bagus, namun, itu bukan hal yang mematahkan niatan Chika untuk pergi ke taman tempat yang Aksa maksud. Chika menghembuskan nafas panjang. Jantungnya terasa bergemuruh tidak jelas.
Ada banyak ketakutan yang menyerangnya. Dimulai dari tempat taman yang tidak jauh dari klub malam itu, bayangan tentang pelaku dari kasus meninggalnya Arga, serta apa yang terjadi pada Aksa.
Chika menguncir rambutnya, ditutupi kepalanya dengan topi hitam milik Raka. Melihat penampilannya di kaca membuatnya meringis kecil. Sepertinya dia sudah cocok untuk jadi mafia-mafia karena kostum serba hitamnya. Sepertinya ini justru terlihat mencolok.
"Chikaa!" panggil Wulan.
Akhirnya anak itu datang. Chika buru-buru menyambar tas kecilnya. "Ayo, kita naik angkot aja ke sana."
"Eh enak aja! Gue udah keren begini lo ajak naik angkot!" Omel Wulan.
"Loh terus mau naik apa?" Chika bertolak pinggang. "Nggak usah aneh-aneh yaa."
"Nggak aneh tuh." Wulan menarik tangan Chika. "Nih, gue pinjem sepeda adek gue. Selain keren, dia ramah lingkungan."
"Aishhh, sampai di sana kita udah pingsan duluan dong, Lan!" Omel Chika. Salah sekali memang mengajak Wulan ini.
"Gue udah duga kalau Wulan pasti nggak akan beres," sanggah Dita.
Chika dan Wulan menoleh. Keduanya tersenyum sumringah dan langsung memeluk Dita. "Dita! Yaampun, aku seneng banget kamu dateng."
"Yaa ya, gue kasian aja kalau lo harus hadapin kegilaan Wulan sendiri." Dita terkekeh geli.
"Sialan lo," jawab Wulan dengan mata melotot.
Senyum Dita mengembang. "Jadi, kita kemana?"
"Kamu tau darimana kita mau pergi?" tanya Chika.
"Dari Wulan." Dita menepuk bahu Chika. "Gue juga penasaran sama pesan aneh Aksa. Lo bilang mungkin ini ada hubungannya sama kecelakaan Arga kan? Jadi ayo kita coba. Tapi Chika, Wulan juga benar. Sekarang ini kita harus super hati-hati. Ingat, kita nggak benar-benar kenal sama Aksa."
"Yapp, terakhir kali bahkan kita dibuat kaget. Dia ternyata anak dari pemilik perusahaan pesaing." Wulan menggelengkan kepalanya. "Jangan-jangan masih banyak rahasia lagi."
Chika menganggukkan kepalanya. Kedua sahabatnya memang benar. Meski yakin kalau Aksa adalah orang baik, tapi dirinya memang tidak benar-benar mengenal siapa pria itu sebenarnya.
"Ok, kita berangkat sekarang!" Dita memberi intruksi.
"Sepeda gue gimana?" Wulan mengangkat tangan.
"Buang!" kekeh Dita.
🌼🌼🌼
Ketiga orang ini tiba di taman tepat jam sembilan malam. Mobil sengaja diparkirkan agak jauh dan mereka memilih berjalan kaki. Taman ini tampak agak lengang. Penjual es krim juga sudah mulai membereskan lapaknya.
Chika melangkah lebih dulu, memperhatikan sekitar. Sayangnya tidak ada yang aneh. Beberapa orang berlalu lalang di jalanan depan taman.
"Dia belum datang," kata Dita.
"Hmm, setengah jam lagi mungkin." Chika mengatur nafasnya. "Kita tunggu di sini."
Dita mengambil tiga masker dari tasnya. "Pakai, kalau nanti bukan Aksa yang datang. Seenggaknya orang itu nggak akan ngenalin kita."
Sudah hampir satu jam mereka menunggu di sini. Mobil penjual es krim pun sudah pergi sejak setengah jam lalu. Jalanan semakin sepi. Lampu taman yang tidak terlalu terang menemani ketiga perempuan yang duduk di kursi kayu ini.
"Belum dateng juga," gumam Wulan. Plak. Ditepuk keras tangannya karena sejak tadi nyamuk seperti sedang berpesta pora menghisap darahnya.
Chika dan Dita saling melempar pandangan. "Gimana?" tanya Dita.
"Hmm, tigapuluh menit lagi. Oke?" pinta Chika.
Dita menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Oke. Tiga puluh menit lagi. Setelah itu mereka harus pergi. Sebelum menjadi santapan lezat para nyamuk di taman ini.
Tidak sampai tigapuluh menit. Chika menunjuk jalan di seberang. "Aksa."
"Akhirnya!" keluh Dita yang sudah kesal menunggu.
Di seberang jalan, Aksa mengenakan jaket abu-abu gelap, kepalanya tertutup hoodie. Namun dengan mata tajam dan alis tebal itu, tidak sulit untuk mengenalinya. Ditambah postur tubuh yang tinggi dan tegap.
Ciiiittt. Brak. Mobil hitam yang melintas langsung menabrak Aksa yang akan menyeberang jalan. Chika, Dita dan Wulan melebarkan mata. Melihat tubuh Aksa terlempar agak jauh. Chika masih terperengah di tempatnya.
Pria itu terbaring di jalanan, tampak kesakitan namun kembali bangun.
"Aksaa!!!" teriak Chika. Saat ingin berlari menghampiri, Dita menahannya. "Dita! Lepas!"
Aksa sudah kembali terduduk, keningnya meneteskan darah segar. Pria ini menggelengkan kepala, berusaha memberi isyarat agar jangan mendekat. Dan untungnya Dita mengerti.
"Kita harus lari!" perintah Dita. "Sekarang!" Dita menarik tangan Chika dan Wulan untuk berlari dari sisi taman lainnya. Meninggalkan Aksa yang masih terduduk di tengah jalanan dengan luka yang mungkin parah.
Chika berlari sambil menoleh ke belakang, melihat kondisi pria itu. "Dita, orang-orang itu menyeret Aksa!!" Ucapnya histeris. Melihat orang yang menabrak Aksa membawa pria itu masuk ke dalam mobil dengan paksa.
"Chika, kita nggak punya pilihan lain. Kita harus buru-buru pergi dari sini!" Dita mempercepat larinya. Dan untunglah kali ini Chika dan Wulan tidak banyak bertanya dan ikut berlari kembali ke mobil milik Dita.
Malam ini, bukannya mendapat kejelasan dari Aksa. Mereka justru mendapatkan pemandangan yang mengerikan. Dan setidaknya, dalam beberapa hari kedepan, mereka yakin tidak akan bisa tidur dengan tenang.
🌼🌼🌼
See you soon ❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top