BAB 30

Hola selamat malam, apa kabar semuanya?

Yapp selama beberapa menit kedepan, selamat tenggelam dalam cerita MCB. Tapi, jangan terlalu lama tenggelam. Ingat besok senin! 😂

Follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 cerita saya

Happy reading. Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini 🤗

🌼🌼🌼

Ruangan luas ini terasa sempit, menyekik Raka hinga rasanya, untuk mengambil nafas saja terasa berat. Semua yang ada dihadapannya terlalu tidak nyata.

"Keluarga pasien atas nama Bapak Arga?"

"Yaa," jawab Raka.

Mereka mendengarkan penjelasan dokter tentang hasil ct scan kepala Arga dengan detail, dan rencana operasi yang akan dilakukan. Kondisi Arga yang semakin menurun membuat emosi Raka kembali memuncak.

"Kita harus ambil keputusan cepat, dia harus segera di operasi sebelum terlambat."

Tidak butuh waktu lama, operasi itu segera dilakukan. Lampu hijau masih menyala, tanda bahwa operasi masih berlangsung. Di luar, semua hanya bisa menunggu dengan pasrah. Berdoa agar operasi ini lancar. Hanya itu. Hingga beberapa jam kemudian sekelompok orang keluar, satu dokter menghampiri mereka.

Diberikan selembar kertas yang menunjukkan garis lurus, tanpa gelombang. "Maaf, tapi kondisi pasien terus mengalami penurunan selama tindakan, kami juga sudah berusaha melaksanakan semua upaya penyelamatan."

Raka melangkah, mendekat pada dokter itu.
"Tolong selamatkan dia, Dokter. Besok hari pernikahannya, tolong selamatkan dia. Apapun  caranya, tolong dia, tolong dia semampu Anda."

Dokter itu, tersenyum tipis dan mencengkram erat bahu Raka.

Tidak ada lagi kalimat yang dapat Raka dengar. Telinganya seperti berdengung. Tubuhnya terhuyung hingga menabrak dinding di belakangnya.

"Argaaaa!" isak ibu dari sahabatnya ini. Sambil dipeluk erat oleh suaminya, wanita itu terduduk rapuh. Lidahnya terasa kelu meski hanya untuk memanggil nama putranya.

Dewa menundukkan kepalanya, apa yang harus dia jelaskan pada Dita nanti, apa yang bisa dia katakan pada gadis itu. Bagaimana mereka menghadapi semua nantinya. Raka sendiri hanya bisa terduduk di lantai dingin itu dengan pandangan kosong. Cukup lama, hingga lengang dan hening itu pecah oleh suara brankar yang akan membawa Arga.

Usai memberikan kesempatan pada keluarga, Raka dan Dewa juga diizinkan untuk masuk sebentar. Kondisi Arga saat ini sudah bersih tanpa alat apapun menempel pada tubuhnya.
Tidak ada senyum cerah dan kerlingan jahil lagi. Tidak ada komentar-komentar tidak berguna lagi. Tidak ada tawa yang mewarnai persahabatan mereka selama bertahun-tahun lagi.

Kekosongan itu semakin nyata. Menyalakan kembali emosi kedua orang ini. Kehilangan sahabat secepat ini, dengan cara seperti ini, tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sebelum wajah itu ditutup oleh kain penutup, Dewa mendekat, dan menahannya.

"Sebentar," kata Dewa.

Dewa mencoba tersenyum, di usap kepala sahabatnya itu, lagi dan lagi. "Kita akan jaga Dita. Gue janji, enggak akan ada orang yang boleh ngedeketin dia kalau dia bukan orang baik. Dia akan dapat laki-laki yang jauh lebih baik." Gemetar suara Dewa seperti menggema. "Kita akan temani Dita untuk lewatin semuanya. Lo cuma perlu nonton dari atas."

Raka merangkul bahu Dewa. Itu benar, mereka akan membantu Dita untuk berusaha melewati masa duka ini bersama. Karena duka ini bukan hanya milik Dita seorang.

Setelah berdiskusi cukup panjang, pada akhirnya sudah diputuskan kalau Arga akan kembali dibawa ke Jakarta. Masalahnya adalah keluarga besar belum diberi tahu soal ini. Apalagi Dita, gadis itu saat ini masih menunggu tanpa tahu kalau calon suaminya susah tidak ada.

Ditambah semua persiapan acara sudah selesai. Undangan telah disebar, para tamu akan datang sore untuk resepsi, jadi sebelum para tamu jauh itu berangkat, kabar meninggalnya Arga harus segera disebarkan.

"Gue langsung ikut ambulans ke Jakarta aja," kata Dewa.

Raka menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Jadi dirinya yang bertugas untuk memberi kabar ini. Dia jugalah yang harus menyampaikan kabar duka pada Dita.

"Sorry, gue bener-bener nggak tau harus bilang apa sama Dita," ucap Dewa dengan kepala tertunduk.

Yaa dia juga mengerti soal itu. Bahkan sampai saat ini, tidak ada kalimat yang bisa dia pikirkan untuk menghadapi Dita. "Sudah hampir pagi, kita harus cepat."

🌼🌼🌼

Dita menatap gelisah keluar jendela kamarnya. Jauh di antara gelapnya malam ini, matanya yang berat tidak bisa terpejam. Arga ini kenapa tidak mengabari lagi sih. Pesan terakhir hanya saat akan berangkat.

Apa perjalanan semacet itu, kalau begini, dia lebih suka pesta di Jakarta saja, tidak perlu susah seperti ini. Besok acara akad akan dilaksanakan jam delapan, dan sampai sekarang Arga belum tiba.

Tok tok. Dita menoleh, dirinya tersenyum dan langsung berlari membuka pintu. Senyum itu menghilang karena itu bukan Arga, yaa memang tidak ada suara mobil datang sih. Di hadapannya, Chika, Fala dan Wulan datang.

"Raka sama Dewa belum bisa dihubungin?" tanya Dita yang semakin khawatir.

Chika menggelengkan kepalanya. "Nomor Kaka nggak aktif."

"Dewa juga belum balas chat ku, aku telepon pun nggak diangkat. Mungkin mereka lagi tidur," jawab Fala. Diusap bahu Dita untuk menenangkan. "Yaudah, kita tunggu aja yaa. Sebentar lagi mungkin sampai."

Kali ini mereka menunggu bersama di ruang tamu villa ini. Keluarga Dita masih tertidur pulas. Wajar saja, ini masih jam tiga pagi. Dan sampai sekarang pun, Arga belum datang. Dita berusaha mengalihkan diri dari segala pemikiran buruk, tidak ingin itu menjadi doa nantinya.

Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menciptakan suara di antara hening di sekitarnya. Lagi, dia berusaha menghubungi Arga, namun ponsel pria itu tetap tidak aktif. Mungkin baterainya habis. Iya kan.

"Dita," panggil Chika pelan.

Dita yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, mengabaikan panggilan itu. Nafasnya semakin cepat. Ada apa ini.

"Dita!" panggil Chika lebih keras.

"Hah, iya?" tanya Dita kaget. Matanya mengerjap beberapa kali. "Maaf, gue kurang fokus. Tadi lo bilang apa?"

Senyum Chika mengembang. "Aku buatin susu yaa? Kamu semalaman belum makan apapun."

"Emm, enggak usah. Gue bikin sendiri aja deh, kalau duduk diem aja gue justru makin kepikiran." Dita segera bangkit dan pergi ke dapur. Perutnya juga sudah mulai sakit karena lapar.

Di tempatnya, Chika menatap gusar sahabatnya itu. Dia juga sama khawatirnya sekarang. Tidak biasanya Raka sulit dihubungi. Kalau pun akan terlambat sampai, pria itu pasti mengabarinya.

"Fala, kamu juga belum dapat kabar dari Dewa?" tanya Chika pelan, agar Dita tidak mendengarnya.

Fala menggelengkan kepala. "Aku ngerasa ada yang enggak beres, Dewa juga nggak membalas pesanku, satu pun."

Suara mesin mobil terdengar, Chika dan Fala saling pandang dengan senyum lega. Keduanya langsung berlari keluar rumah, sedangkan Wulan sudah tertidur dengan nyenyak di sofa. Senyum keduanya menghilang melihat kondisi Raka yang kacau. Wajah itu dihiasi beberapa luka, tangannya terpasang gips.

Chika melangkah pelan menghampiri pria itu. Dengan hati-hati, diusap rahang itu. "Kaka, ada apa?"

Tidak ada kata yang keluar dari bibir Raka. Pria ini langsung memeluk erat Chika. Dan bisa Chika rasakan, orang yang tampak selalu kuat ini sedang menangis. Meski lirih, Chika mendengar tangis sesak itu. Diusap punggung tegap itu.

Fala ikut mendekat. "Raka, ini ada apa?"

Raka mengatur nafasnya dan melepaskan pelukannya pada Chika. Matanya sudah memerah. "Dimana Dita?"

Fala menunjuk ke belakang. "Di dapur." Meski rasa penasarannya tidak terjawab, dirinya menahan untuk tidak bertanya lagi. Sepertinya masalah ini memang genting, melihat kondisi Raka seperti ini.

"Aku harus bicara dengan Dita," ucap Raka sebelum masuk ke dalam rumah itu. Dengan tertatih, dihampiri Dita yang baru saja keluar dari dapur.

"Raka? Kamu kenapa?" tanya Dita kaget.

Raka mencoba untuk tersenyum, dihampiri gadis itu, lalu dituntunnya untuk duduk di sofa. Dia berlutut di hadapan Dita yang masih menatapnya dengan raut penasaran, ada ketakutan juga di sana. Sebaik apapun kalimat yang akan disusun, itu tetap akan menghancurkan gadis ini.

Digenggam kedua tangan yang dingin itu. Bersahabat dengan Arga membuatnya juga bersahabat dengan Dita bertahun-tahun. Berat sekali rasanya menyampaikannya. Kabar duka yang hadir pada hari yang harusnya menjadi hari paling membahagiakan untuk Dita.

"Kita harus kembali ke Jakarta," ucap Raka, pelan.

Dita mengerutkan keningnya. "Ke Jakarta? Raka, kamu bercanda? hari ini hari pernikahanku dengan Arga. Tinggal beberapa jam lagi, dan kamu menyuruhku kembali ke Jakarta?!"

Raka tetap diam, membiarkan Dita bicara.

"Apa ada masalah?" tanya Dita pelan. "Kenapa kamu datang sendiri? Mana Arga? Dewa mana? Kalian harusnya datang bersama kan?"

Dengan kepala tertunduk, genggaman tangan Raka menguat pada Dita. "Dewa sedang mengantar Arga kembali ke Jakarta."

Airmata Dita menetes, dilepaskan genggaman tangan itu. "Raka, Arga baik-baik aja kan?"

"Dia pergi, ke tempat yang lebih indah dari tempat mana pun," jawab Raka pelan dengan kepala tertunduk.

Dalam situasi biasa, itu adalah kalimat yang mudah dicerna, namun, ini jelas bukan situasi biasa untuk Dita. Dirinya harus berpikir keras, atau lebih tepatnya, dirinya tidak ingin menyimpulkan apapun. Dita terdiam cukup lama sebelum mendengus geli, lelucon macam apa ini. Tidak lucu sama sekali. Matanya memanas, nafasnya terasa benar-benar sesak. Entah, ada berapa pisau yang menghunus jantungnya hingga sesakit ini.

Chika, Fala dan Wulan yang mendengar hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis. Apalagi di hadapan Dita sekarang ini.

"Oh astaga," kekeh Dita disela isaknya. Dirinya berusaha untuk berdiri. Dengan langkah limbung ditapaki lantai itu. "Aku lupa belum membalas pesannya tadi. Dia pasti kesal kan?

"Dita," panggil Chika.

Dita menoleh, kepalanya menggeleng pelan. "Ini enggak benar, Chika. Beberapa jam lalu dia baru mengirim pesan. Dia pasti cuma kesal."

"Keterlaluan," omel Dita. "Awas nanti, dia selalu keterlaluan dalam bercanda. Huh, sebentar lagi perias datang, aku harus bersiap."

Dita jatuh terduduk, tangannya gemetar. Ingin menjerit sekencang-kencangnya. Namun, tidak ada suara yang bisa keluar lagi dari mulutnya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Menangis sambil terus menepis semua fakta yang baru saja dia dengar. Mencoba untuk bangun dari mimpi buruk ini, namun, semakin mencoba untuk bangun, dirinya semakin sadar, bahwa ini bukan mimpi.

Saat ini, semua hanya bisa membiarkan Dita menghadapi dukanya. Raka menghampiri gadis ini, memeluknya erat-erat. Diusap kepala Dita. Membiarkan gadis ini menangis sepuasnya. Hingga tubuh itu semakin lemas, dan tangis itu menghilang.

"Dita," panggil Raka pelan, sambil menepuk pipinya.

Suara ribut itu membangunkan orang-orang yang tertidur lelap. Orangtua Dita langsung menghampiri putrinya yang jatuh pingsan. "Ada apa ini?"

Fala yang masih memiliki tenaga untuk bicara, di antara yang lain, langsung maju. Menjelaskan secara singkat kabar yang Raka bawa barusan. Kabar yang langsung membuat semuanya kaget.

🌼🌼🌼

Dita masih meringkuk di ranjangnya. Diam, membiarkan airmatanya terus mengalir tanpa henti. Sejak pagi, dirinya tidak ingin beranjak pergi. Dia harus menunggu Arga datang. Kalau dia pergi, siapa yang akan menyambut pria itu.

"Dita," panggil Chika dari luar kamar. Semua sudah siap untuk kembali ke Jakarta. Chika menahan tangisnya sebelum kembali bicara. "Dita, ibunya Arga mau bicara sebentar. Bisa tolong terima panggilannya?"

Mata Dita hanya mengerjap, ditatap ponselnya yang sejak tadi tidak henti menerima panggilan. Tidak ada nama Arga di antara banyaknya panggilan itu. Dita kembali memejamkan matanya rapat-rapat.

"Dita," panggil ibu dari pria yang dia cintai itu.

Dita semakin terisak. "Maa, Dita masih nunggu di sini. Arga datang kan?"

"Dita, sayang. Kamu ke rumah yaa, Arga sudah sampai di rumah."

"Maa, tapi Arga bilang mau datang ke sini. Ini hari pernikahan kami, Ma," lirih Dita.

Tangis di seberang terdengar pilu. Dan rasa sakit itu semakin menyerang Dita. "Maafkan Arga yaa, maaf karena dia tidak bisa menepati janjinya. Ma-," "Maaf, kalau selama dia sama Dita, dia sering buat Dita kesal. Maafin semua kesalahannya."

Dita menjatuhkan ponselnya dan kembali menangis histeris. "Aaaaa!!" Kepalanya menggeleng, "Arga, tolong, jangan tinggalin aku."

🌼🌼🌼

Di sofa ini, Chika duduk di samping Raka. Tangannya masih menggenggam erat tangan pria itu. Mereka masih menunggu Dita untuk keluar dari kamar. Keluarga besar Dita sudah kembali lebih dulu, orangtua gadis itu pun dengan terpaksa pulang ke Jakarta untuk membantu keluarga Arga.

Chika mengusap bahu Raka. "Kamu udah makan?"

Raka menggelengkan kepala. Jangankan memikirkan untuk makan. "Fala, ada kabar dari Dewa?"

"Keluarga Dita udah sampai di sana." Fala menghela nafas berat. "Raka kita juga harus cepat ke sana. Sebelum Arga dimandikan, setidaknya, Dita bisa lihat dia."

Raka menganggukkan kepalanya, dia kembali berusaha mengajak Dita bicara. Diketuk pintu kamar itu. "Dita, aku tahu kamu sedih. Tapi sekarang, kita harus kembali ke Jakarta, ini kesempatan terakhir untuk kamu melihat Arga."

Tidak ada jawaban dari dalam, hanya isak tangis gadis itu yang terdengar samar. Namun, tidak lama dari itu, Dita keluar dengan dress hitam sepanjang lutut, dress yang dia pilih sendiri, sampai Arga saat itu bercanda dress ini lebih cocok untuk waktu berkabung, dibandingkan untuk jalan-jalan saat bulan madu.

"Good girl." Raka mengusap puncak kepala Dita. "Kita berangkat sekarang."

🌼🌼🌼

Rumah besar milik keluarga Arga telah ramai dikunjungi para pelayat, mereka yang harusnya menjadi salah satu tamu dalam acara pernikahan. Bendera kuning telah berkibar, karangan bunga dukacita silih berganti datang. Di luar rumah, beberapa wartawan juga datang untuk mencari berita.

Dita memakai kacamata hitamnya, saat turun dari mobil, beberapa kamera mengarah padanya. Namun, dirinya mengabaikan itu, dengan langkah cepat nyaris berlari, dia memasuki rumah ini. Rumah yang sudah sering dia kunjungi beberapa tahun kebelakang.

Ruangan yang biasanya terisi banyak barang itu telah disulap. Hingga luasnya seperti bertambah. Sayangnya bukan itu pusat perhatian Dita saat ini. Di sana, terbaring seorang yang sangat dia tunggu.

Orang-orang memberikannya ruang untuk Dita menemui Arga. Tubuh itu ditutup kain, wajahnya yang lebam tertutupi kain agak transparan. Dita membekap mulutnya sendiri. Dia terduduk di samping Arga.

Menatap nanar seorang yang terbaring ini. Arga kah, apa benar ini si menyebalkan itu. Dibuka kain putih itu, untuk melihat lebih jelas lagi. Wajah lebam-lebam itu tampak pucat. Matanya terpejam rapat, tampak damai, seperti Arga nya yang sering tertidur saat menunggunya di loby kantor untuk pulang bersama.

Dita tersenyum tipis, jemarinya mengusap kening Arga. "Aku nunggu kamu, semalaman. Makanan yang kamu pesan juga udah aku siapin."

"Arga, lihat, kukuku cantikkan? Kemarin, seharian aku sibuk perawatan," lirih Dita. "Kamu bilang, setelah menikah kita bisa liburan ke Jerman, kamu kangen nenekmu. Iya kan?"

"Arga," suara Dita semakin hilang. "Arga, kasih tau aku, aku harus gimana sekarang?" Ucapannya terbata-bata karena isak. Sesak. Hanya itu definisi kata yang dapat menggambarkannya.

Dita kembali jatuh pingsan. Raka dan Dewa segera membantu mengangkat gadis itu. Memindahkannya ke kamar Arga untuk istirahat. Sementara itu, semua proses harus segera dilanjutkan.

🌼🌼🌼

Chika mengompres kening Dita, sahabatnya ini, meski matanya masih tertutup, airmatanya tetap tidak bisa terhenti. Lirih, suara Dita memanggil terus nama Arga. Menyaksikannya membuat Chika ikut merasa kesedihan yang mendalam.

Meski belum lama mengenal Arga, yang dia tahu pasti adalah, pria itu sangat baik, teman yang baik, sahabat yang baik, dan pasangan yang baik. Karena itu, pasti sulit sekali untuk Dita menerima kepergian Arga yang sangat mendadak ini. Yaa siapa yang siap dengan sebuah perpisahan.

"Dita, kamu harus kuat," ucap Chika. "Sebentar lagi Arga akan dimakamkan. Kamu enggak mau lihat dia untuk yang terakhir kalinya?"

Tidak ada jawaban dari Dita. Gadis itu tetap menangis dalam tidurnya. Pilu. Seolah berusaha untuk tidak bangun, karena takut menghadapi bahwa semua bukan mimpi buruknya.

Chika terisak pelan dan menggenggam erat tangan Dita. "Kamu pasti bisa melewati semuanya, Ta. Kamu kuat, dan karena itu, Arga selalu bangga padamu."

"Chika," lirih Dita.

Senyum Chika mengembang. "Kita antar Arga ya?"

Dita memejamkan mata, berusaha untuk duduk, tangisnya kembali, hingga pelukan dari Chika kembali menguatkannya. "Arga benar-benar pergi?"

"Emm," jawab Chika sambil mengusap punggung Dita. "Dia pergi, dengan bahagia juga sedih."

"Kenapa?" tanya Dita pelan.

"Dia bahagia, karena begitu dicintai oleh perempuan yang juga sangat dia cintai," jawab Chika. "Dia sedih, karena harus pergi meninggalkan kamu dan keluarganya. Sedih karena melihat kita semua bersedih. Sedih karena selama ini, dia selalu melihat perempuan yang dia cintai itu tersenyum, sekarang senyumnya hilang."

Dita berusaha mengatur nafasnya dan menghentikan tangis. Kepalanya mengangguk. Siap tidak siap. Dirinya harus menghadapi semuanya.

🌼🌼🌼

Tempat pemakaman itu telah siap, tempat peristirahatan untuk Arga telah terlihat. Sejauh mata memandang, Dita hanya bisa terduduk, di samping ibu dari pria yang sangat dia cintai ini. Saling menggenggam untuk saling menyalurkan kekuatan yang mungkin setengahnya saja tidak ada.

Raka, Dewa, dan dua orang lainnya masuk ke dalam galian tanah itu, menerima tubuh Arga yang telah tertutup kain putih bersih. Keduanya menahan diri untuk tetap bisa berdiri tegak. Setidaknya sampai bisa mengantarkan sahabat terbaik mereka, hingga akhir.

Kali ini, Dita kembali menangis. Saat setiap papan itu mulai menutupi tubuh Arga. Diusap setiap tetes airmatanya. Semakin jelas sudah kehilangan itu.

🌼🌼🌼

Raka langsung kembali ke apartemennya setelah prosesi pemakaman Arga selesai. Di sampingnya, Chika lebih banyak diam, memberikan kesempatan untuk Raka menghadapi kesedihannya. Meski sejak tadi Raka dan Dewa terlihat tegar, dirinya tahu, kalau saat ini mungkin Raka termasuk orang yang paling sedih. Kedua orang itu menjadi saksi saat-saat terakhir Arga.

"Kamu belum makan apapun, kita pesan makanan yaa?" tanya Chika pelan.

"Aku ingin istirahat sebentar," jawab Raka pelan sebelum berdiri dan melangkah gontai menuju kamarnya.

Chika hanya bisa menghela nafas panjang. Menyaksikan bahu yang selalu tegap itu terasa rapuh. Baiklah. Biarkan Raka istirahat sebentar.

Hingga malam, Chika bertahan di apartemen ini. Dia sudah menyiapkan makan malam untuk Raka. Bukan masakan yang sulit, namun rasanya juga tidak terlalu buruk.

Diketuk kamar kayu itu. "Kaka, aku udah siapin makan malam di meja. Ada susu cokelat juga. Nanti habis makan, kamu langsung istirahat yaa? Aku pulang yaa."

Tidak ada jawaban dari Raka, namun Chika tetap melanjutkan ucapannya. "Kaka, aku paham perasaan kamu sekarang. Tapi kamu bisa hadapin kesedihan kamu sama aku, kamu nggak sendiri, Kaka."

Cukup lama, hingga pintu itu terbuka. Wajah Raka terlihat sangat lelah. Kesedihan di mata yang biasanya datar itu, membuat Chika ikut berkaca-kaca. Diusap rahang Raka, "aku di sini."

Raka menundukkan kepalanya, membuka pertahanan terakhirnya di hadapan Chika. Airmata Raka menetes, memikirkan semua hal yang terjadi hari ini begitu cepat. Kekosongan itu terasa seperti meremukkannya.

Dalam beberapa fase hidupnya, Dewa dan Arga adalah sahabat yang hampir selalu ada di dalamnya. Saling mendukung, membantu satu sama lain. Bahkan di kasusnya kemarin, jika tidak ada di berisik dan pembuat onar bernama Arga itu, dirinya tidak tahu akan bagaimana jadinya.

Chika tersenyum dan memeluk Raka. "Kamu tahu? Salah satu hal paling beruntung dalam hidup adalah kita bisa menemukan sahabat yang baik, kamu mendapatkannya Kaka. Sekarang salah satu dari sahabat baikmu pergi, sangat wajar kalau kamu sedih."

"Aku tidak bisa melakukan apapun," ucap Raka pelan.

Chika menggelengkan kepalanya. "Aku yakin, kamu udah berusaha sebisamu, kita semua nggak pernah mau hal ini menimpa Arga, Kaka."

Pada akhirnya, Chika menginap di apartemen ini. Raka merebahkan kepalanya di pangkuan Chika. Semalaman. Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga jatuh tertidur.

🌼🌼🌼

Pagi ini, setelah satu minggu kepergian Arga, langit masih terasa kelabu, masa berkabung untuk orang-orang yang ditinggalkan. Namun, aktivitas kembali merenggut Raka dalam kesibukan. Menyembunyikan perasaannya yang masih tidak menentu.

Chika membereskan berkas laporan yang akan diserahkan pada mbak Nimas. "Lan, hari ini mampir ke tempat Dita, mau?"

"Boleh," jawab Wulan di sela kegiatan asik menyeruput jus mangga. "Gue juga kangen sama dia."

"Yaudah, sebelum ke sana kita beliin apa yaa? Ada ide nggak?" Chika antusias ingin menghampiri Dita yang masih mengurung diri di rumah.

Kali ini Wulan terdiam, dia juga tidak tahu. Apa yang bisa membuat Dita setidaknya sedikit terhibur. Ini bukan masalah soal unmood biasa. Dia yang sudah lama mengenal Dita pun, tidak bisa membantu apapun selain mendukung dan mendoakan yang terbaik.

"Gue juga nggak tau," jawab Wulan pelan.

"Yaudah, nanti kita mampir ke toko kue aja. Sekalian beli buket bunga." Chika tersenyum tipis dan mengusap bahu Wulan. "Ayo, kita harus senyum dong, jangan sedih di hadapan Dita."

Sebelum jam istirahat, Chika mengunjungi ruangan Raka. Seperti biasa, dirinya menyapa Lyza yang sepertinya masa kerja sebagai sekretaris Raka akan diperpanjang sampai Dita benar-benar siap bekerja. Kali ini Lyza terlihat tidak terlalu sibuk.

"Lyza?" panggil Chika untuk kedua kalinya karena Lyza tidak menjawab.

"Eh, yaa?" tanya Lyza yang terlihat kaget.

"Yaampun, kamu bengong? Lagi ada masalah?" Chika mengusap punggung tangan Lyza, khawatir.

Lyza tersenyum kecut. "Bukan apa-apa. Ada berkas lagi untuknya?"

"Yaa." Chika meletakkan berkas itu di meja Lyza. "Kaka, dia masih seperti kemarin?"

"Begitulah," jawab Lyza sedih. Dia juga khawatir melihat Raka yang bekerja seperti itu. Namun, kali ini tidak ada yang mempu menahannya. Raka membutuhkan pelarian atas kesedihannya.

Mungkin bukan Raka saja yang seperti itu. Dewa yang biasanya datang untuk main ke kantor ini pun tidak muncul. Dan kabar dari Fala, kondisi Dewa saat ini tidak kalau kacaunya dengan Raka.

"Boleh aku masuk?" tanya Chika.

"Tentu saja, kalau bisa, bujuk dia untuk istirahat, Chika. Aku khawatir."

🌼🌼🌼

Ruangan luas ini menjadi ruang pelampiasan untuk Raka selama berhari-hari. Tumpukan berkas pekerjaan menjadi saksi bahwa si empunya memang sedang berusaha keras menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya. Menyibukkan diri hingga melupakan hal lainnya.

"Kaka," panggil Chika pelan.

Raka hanya berdeham, dan melanjutkan pekerjaanya. Karena tidak ada suara lagi dari Chika, barulah dia mendongak. Di hadapannya, Chika sudah duduk manis sambil bertopang dagu.

"Sudah jam istirahat, makan lah."

Chika menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu bisa kenyang hanya dengan bekerja, aku juga bisa kenyang cuma karena melihat kamu bekerja seharian."

"Jangan bodoh," tanggap Raka. "Cepat istirahat, aku masih banyak pekerjaan."

"Kamu ingin mengunjungi Arga?" tanya Chika hati-hati.

Gerakah tangan Raka terhenti. Seulas senyum sinis terukir di bibirnya. Tidak. Dia belum siap untuk kembali ke tempat itu. Tidak sampai dirinya tahu penyebab pasti kecelakaan itu.

"Aku tidak punya waktu," jawab Raka.

Chika mengusap tangan Raka yang masih terpasang gips. "Oke, nanti kalau kamu sudah siap, aku bisa menemani kamu, kapan pun." Meski Raka tidak mengungkapkannya, meski jawaban itu ketus, namun dia tahu pasti alasan Raka tidak ingin pergi ke makam Arga. Karena dulu dirinya pun pernah melewati itu.

"Kata Bunda beberapa hari ini kamu enggak pulang ke rumah," ucap Chika.

"Aku tidur di apartemen," balas Raka. "Ada beberapa hal yang harus kubereskan."

"Soal apa?" Chika mengerutkan kening. Penasaran.

"Kecelakaan kami kemarin." Raka mengatur nafasnya. Dirinya berusaha untuk mencari tahu soal itu dengan Dewa selama dua hari terakhir. Karena malam saat kecelakaan itu dirinya dan Dewa sedang tidur, mereka tidak tahu seluruh kejadian yang sebenarnya terjadi.

"Kemungkinan besar kejadian itu bukan kecelakaan biasa," jelas Raka. Jeep itu hampir menabrak mobil yang mereka tumpangi sebelum kecelakaan itu benar-benar terjadi. Itu aneh sekali, melihat mobil lainnya aman-aman saja dari sentuhan pengendara yang katanya mabuk itu.

"Maksud kamu?" tanya Chika kaget.

Raka menggelengkan kepalanya. Untuk saat ini dirinya hanya bisa menjelaskan sampai di tahap itu. Karena semuanya belum jelas. Dia tidak ingin berspekulasi apapun. Namun, siapapun pelakunya, orang itu akan mendapatkan balasan setimpal. Nyawa harus dibayar nyawa.

Di hadapan Raka, Chika hanya bisa menggenggam tangan pria ini yang terkepal keras. Yaa siapapun orang itu, sepertinya mereka salah memilih Raka sebagai lawan. Karena Raka tidak pernah main-main dalam menyelesaikan masalah.

🌼🌼🌼

"Ditaa!" panggil Wulan sambil berlari memeluk Dita yang duduk di pinggir kolam renang.

Gadis itu terlihat lebih kurus, dengan kantung mata yang terlihat jelas. Meski begitu, senyumnya tetap mengembang, menyambut kedatangan Chika dan Wulan. "Baru pada balik kantor?"

"Iya, kangen mampir ke rumah kamu," jawab Chika.

Lagi-lagi Dita tersenyum, bibirnya tampak pucat. "Thanks yaa, maaf bikin semua orang khawatir."

"Emmm apa sih?" tanya Wulan sambil kembali memeluk sahabatnya. "Kantor sepi, lo tau nggak sih? Gue gibah sama Chika doang. Mana ini anak juga lagi sibuk backstreet sama Pak Bos. Haduh, pusing!"

"Yaa makanya, lo juga cari pasangan," balas Dita dengan kekehan geli. Dia menghela nafas panjang dan mendongak, membiarkan wajahnya terkena hangatnya sinar matahari.

"Ternyata, kalau nggak ada Arga tuh gini yaa rasanya," kekeh Dita. Tawa yang terdengar getir. "Bertahun-tahun ada dia, ternyata sesepu ini yaa."

"Taa." Chika mengusap pelan bahu Dita.

Dita tertawa sambil terisak pelan. "Gue bukan nggak ikhlas Chika. Cuma ini emang berat, berat banget. Gue nggak tau harus gimana."

Kali ini Chika dan Wulan ikut terisak bersama Dita.

Usai kembali bisa mengatur nafasnya, Dita mengusap airmata. Ada banyak sekali rencana yang telah dirinya susun dengan Arga. Dan semua itu hancur dalam semalam. Membuatnya yang tidak siap menjadi jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Gue harus kuat kan? Buat Arga, gue harus hadapin semuanya kan?" tanya Dita menahan isaknya lagi. "Gue harus ikhlasin dia kan?"

Chika menganggukkan kepalanya. Diusap kepala Dita. "Kamu harus kuat, kita harus kuat. Untuk Arga." Dan jika memang ucapan Raka benar, maka mereka harus tetap berdiri tegak, untuk mencari keadilan atas kematian Arga.

Apalagi Dita. Dita harus mendapatkan jawaban atas banyak pertanyaannya.

🌼🌼🌼

See you soon ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top