Bab 3
Holaaaa, aku update lagi nih. Hehe Alhamdulillah lagi sedikit senggang jadi langsung nulis.
Follow ig @indahmuladiatin
Happy Reading guys! Hope you like this chapter ❤❤❤
🌼🌼🌼
Chika duduk di sofa yang menghadap kaca, gemerlap malam kota Jakarta terlihat indah dipandang dari atas. Kepadatan lampu kendaraan di bawah menambah warna. Suara musik melantun memenuhi ruangan ini. Secangkir teh yang asapnya masih mengepul dengan aroma menenangkan.
Pikirannya masih berkelana entah kemana, apartemen mewah dan sunyi ini semakin memperkuat kesendiriannya. Chika memeluk kakinya sendiri. Rambut panjangnya dia biarkan tergerai bebas.
Satu airmata kembali lolos. Ada perasaan takut dalam hatinya. Takut keluarga Raka menolak. Siapa yang ingin menerima orang yang tidak jelas asal usulnya untuk tinggal di rumah. Meski hanya sekedar menumpang. Ketakutan yang terasa mencekam. Selama ini dirinya selalu ditolak. Ditolak oleh keluarga yang ingin mengangkat anak, ditolak oleh ayah tirinya.
Apa dia tolak saja bantuan Raka, tapi siapa lagi yang mau menolongnya. Raka sudah berbaik hati mengulurkan tangan. Kepalanya menggeleng pelan. Semoga semua ketakutan hanya ada di kepalanya. Bukankah dia sudah sempat bertemu dengan nyonya dari keluarga Rajendra. Seorang wanita cantik dengan senyum lembut keibuan.
Chika menghela napas pajang, matanya mengerjap pelan. Bibir tipisnya mengatup rapat. Jemari itu menyentuh pinggiran cangkir. Merasakan uap hangat mengenai jemarinya. Memberikan rasa nyaman sejenak.
Ponselnya bergetar, nama Ibu Ayu muncul di layar. "Yaa Bu?"
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ibu Ayu.
Chika tersenyum tipis, merasa senang karena ada yang mencemaskannya. "Baik, aku menginap di apartemen temanku."
"Benarkah? Oh Ibu lega, lebih baik begitu. Ayahmu memang tidak waras," gerutu Ibu Ayu dengan berapi-api.
"Apa dia membuat anak-anak takut?" tanya Chika sedikit khawatir karena ayahnya sempat datang ke panti.
"Nak, jangan pikirkan kami. Dia tidak akan berani macam-macam dengan panti ini. Sekarang yang paling terancam adalah kamu, semoga temanmu bisa membantu," jawab suara nan lembut itu, "oh ya apa Ibu mengenal temanmu itu? dia teman sekolahmu?"
Pertanyaan itu membuat Chika terdiam. Dia meringis kecil dan menimbang jawabannya. Raka adalah pria yang cukup terkenal. Ibu Ayu pasti juga mengenal Raka jika dirinya menyebut nama panjang pria itu. Dengan gelar Rajendra yang sudah umum di masyarakat.
"Dia teman sekolah saat SMA," jawab Chika tanpa menyebut nama Raka. Lebih baik begini, nanti jika waktunya tepat dia akan ajak Raka ke panti.
"Baiklah, istirahat yaa. Ini sudah malam," kata ibu.
Chika berdeham pelan, "Yaa selamat malam Ibu. Terima kasih untuk semua, kalau tidak ada Ibu dan orang-orang di panti," ucapannya terhenti karena isak tangisnya, "kalau tidak ada orang-orang baik seperti kalian, entah bagaimana nasib kami."
"Chika," panggilan lirih dari Ibu Ayu. "Kalian semua adalah anugrah yang terindah yang sudah Allah kirim untuk kami jaga. Percayalah sayang, Allah tidak tidur. Kamu akan mendapat kebahagiaanmu," jawab ibu Ayu.
Chika tertawa dalam tangisnya kemudian mengangguk. Getir yang dia rasa, ketakutan yang menggebu seakan hilang karena suara lembut ibu. Baginya, ibu Ayu dan ibu angkatnya adalah pengertian sebenarnya dari malaikat tak bersayap.
Ketika ada sekumpulan orang jahat, percayalah jika akan ada orang yang sangat baik meski hanya ada satu atau dua. Chika harap, dia juga bisa menjadi bagian dari orang-orang baik. Bisa menolong orang banyak, seperti yang Ibu Ayu lakukan.
Jam dinding menunjukan pukul sebelas malam. Chika segera meminum teh yang dia buat dan berbaring di sofa ini. Dia ingin tidur ditemani dengan cahaya bulan sabit dan gemerlap lampu.
🌼🌼🌼
Raka menatap jam tangannya, sudah pukul sembilan pagi. Bodoh, kenapa dia bisa lupa meminta nomer telepon Chika kemarin. Karena terlalu kaget dengan fakta kehidupan berat gadis itu, otaknya jadi tidak bisa berpikir cepat seperti biasa.
Laju mobilnya semakin meningkat, dia pun mampir ke food court untuk membeli sarapan. Jangan-jangan semalam gadis itu tidak makan. Dia sama sekali tidak menyimpan bahan makanan.
Hari libur tidak membuat jalanan sepi. Tetap saja macet di beberapa titik. Menyebalkan bukan. Raka hanya bisa pasrah dan bersabar. Hingga akhirnya tiba di gedung apartemen itu.
Raka mengetuk pintu, sebenarnya dia bisa saja langsung masuk. Tapi bagaimana pun dia harus menjaga privasi Chika. Pintu terbuka, menampilkan seorang gadis yang rambut panjangnya dikuncir kuda dengan rapih dan kemeja biru muda dan rok sepanjang lutut. Senyumnya mengembang tipis.
"Kenapa tidak langsung masuk?" tanya Chika.
Raka berdeham pelan, dan menggelengkan kepala. Dia masuk ke dalam, meletakan plastik berisi makanan itu di meja. "Sarapan dulu, setelah itu kita berangkat."
"Hemm? oke," jawab Chika sambil membuka plastik. Kebetulan sekali semalam dia tidak makan, "terima kasih Kaka."
Chika sadar kalau Raka sedang menatapnya. Dia jadi sedikit salah tingkah, bukan apa-apa, dia hanya tidak terbiasa dekat dengan seorang pria. "Apa penampilanku aneh?"
Raka berdeham, "Sedikit," jawabnya jujur. Terlalu jujur hingga membuat Chika meringis kecil.
"Aku hanya punya sedikit baju, menurutku ini yang paling pantas," jawab Chika.
"Bundaku bisa berpikir kalau kamu ingin melamar pekerjaan di rumahku," jawab Raka untuk mendeskripsikan kakunya penampilan Chika.
Chika meringis kecil, malu sendiri. Dia langsung pergi ke toilet untuk merapihkan penampilannya. Ditatap pantulan dirinya di cermin. Benar juga, dia seperti ingin melamar kerja.
Buru-buru Chika melepas kuncirannya, membiarkan rambutnya tergerai bebas. Kemeja panjangnya dia gulung rapih. Senyumnya mengembang tipis, ini lebih baik. Tetap sopan.
Chika kembali duduk di hadapan Raka yang sibuk dengan ponsel. "Kamu sudah sarapan?"
"Hem," jawab Raka.
Hem, sejak dulu jawaban dari mulut itu selalu singkat. Kalau diingat-ingat dulu dia memanggil Kaka juga karena gemas dengan tingkah cuek pria ini. Mana dia sangka pria ini bisa marah hanya karena panggilan itu. Chika jadi terkekeh mengingat wajah kesal itu.
"Ada apa?" tanya Raka.
Chika menggeleng cepet. "Bukan apa-apa."
🌼🌼🌼
Di mobil, Chika lebih banyak diam. Dia kembali merasa takut. Tangannya yang dingin meremas rok yang dia kenakan. Dahinya mengerut sesekali, memikirkan berbagai kemungkinan.
"Ada apa?" tanya suara berat itu.
Chika menoleh kaget, dia menggelengkan kepala. "Aku takut, keluargamu menolakku."
"Tidak perlu berpikir kamu akan diusir keluar dan diberi uang, itu hanya ada di televisi," jawab Raka dengan santai. "Bundaku bukan orang yang seperti itu."
Meski Raka bicara begitu, tetap saja Chika merasa tidak enak. Dia kembali diam dan memandang jalanan yang dilewati. Motor-motor meliak-liuk dengan lincah. Pedagang kaki lima dengan wajah semangat menjajakan dagangannya.
Mereka tiba di kawasan elit yang setiap rumah memiliki gaya berbeda. Jarak antara rumah cukup jauh. Chika membulatkan mulutnya. Menatap ke jendela, memandang takjub setiap rumah dengan ciri khas tersendiri. Ada yang nuansa eropa klasik, ada yang memiliki halaman sangat luas serba hijau, ada yang desain kontemporer yang cantik, sampai akhirnya mereka tiba di rumah besar gaya modern dengan berbagai perpaduan.
"Ini rumahmu?" gumam Chika tidak percaya.
Raka mengerutkan kening. "Ya."
Mereka masuk ke dalam dan Raka mengajak Chika turun dari mobil. Demi apapun, Chika tidak pernah bermimpi akan tinggal di rumah sebagus ini. Menghayal pun tidak berani. Harusnya dia tidak kaget, mengingat Rajendra adalah nama yang berjajar di deretan orang-orang terkaya di negara ini.
"Masuklah dulu, aku ingin menelepon seseorang," kata Raka.
Chika ingin mencegah Raka pergi, tapi pria itu sudah berbalik menjauh. Dia makin takut dan berdiri di depan pintu dengan wajah bingung. Harus mengetuk atau pencet bel. Helaan nafasnya memberat.
"Rileks Chika," gumamnya untuk menenangkan diri sendiri.
Ragu Chika menekan bel dekat pintu, dia menunggu pintu terbuka. Raka kembali dan menepuk pelan bahunya. "Apa? aku salah ya?" bisiknya.
Pintu besar itu terbuka, seorang gadis yang kira-kira masih SMA dengan rambut panjang dan wajah cantik terlihat kaget.
"Abang!!" teriaknya dengan semangat.
Raka tersenyum tipis dan mengusap kepala gadis itu. Percayalah, Chika tidak pernah melihat ekspresi sehangat itu pada Raka. "Dia adikku."
Chika membulatkan mulutnya, pantas mirip. Meski sangat berbeda sikapnya. Senyumnya mengembang. "Hay, Aku Chika temannya Kaka."
"Kaka?" tanyanya dengan wajah bingung yang lucu. Apa di keluarga ini semuanya berwajah cantik dan tampan. Seingatnya dulu, wajah ibunya Raka juga sangat cantik.
Chika terkekeh kecil, "Aku panggil dia Kaka dari dulu."
"Ooo, Aku Caramel," jawabnya dengan semangat. "Bunda, ada temennya Abang nih dateng," teriaknya, "ayoo Kak duduk sini sama Kara," ajaknya sembari menarik tangan Chika. Hal yang tidak diduga oleh Chika, bahwa dia akan sangat diterima.
"Temen Abang apa temen kamu?" tanya suara lembut itu.
Chika menoleh, dia tersenyum menatap wajah wanita itu. Masih sama cantik dan keibuan. Dia langsung menghampiri wanita itu. "Siang Tante, masih ingat Chika?"
Tante Fian melebarkan matanya, senyumnya langsung mengembang, tanpa diduga Chika langsung dipeluk. "Chika! ya ampun sayang, terakhir ketemu pas kelulusan SMA Raka yaa?"
Chika tersenyum dan menganggukan kepala. Ternyata dia masih diingat. "Iya Tante."
"Ketemu sama Raka dimana?" tanya Tante Fian dengan antusias.
Chika terdiam, dia melirik Raka. Meminta pendapat harus bagaimana. "Ehh emm, di-"
"Bunda, Raka ingin bicara serius dengan Bunda dan Chika. Raka tunggu di kamar," ucap pria itu sembari berlalu melewati semuanya.
Caramel ternganga, dia menatap Fian dengan pandangan bertanya. "Chika naik ke atas dulu yaa, Tante nyusul nanti," ucap Tante Fian.
Chika kecil dan mengangguk dan meninggalkan Fian dengan Caramel. Dia menaiki tangga, tersenyum pada beberapa pekerja yang menatapnya dengan penasaran. Sambutan tadi sangat baik, tapi setelah mereka tahu kehidupan kacaunya ini, apa dirinya masih diterima dengan hangat.
Langkahnya terhenti di anak tangga teratas. Menatap ke seluruh ruangan lantai dua. Ada beberapa kamar. Dia tidak tahu yang mana kamar Raka. Lagipula, ini kan pertama kalinya dia masuk ke rumah ini.
Pandangannya jatuh pada kamar dengan pintu hitam tanpa hiasan apapun. Entah, dia yakin itu kamar Raka. Dia hanya berdiri di depan pintu sampai tante Fian datang dengan senyum yang masih sama menenangkannya.
"Ayo masuk," ajak tante Fian.
"Jadi kamu ingin bicara apa?" tanya tante Fian dengan wajah penasaran.
Raka menghela nafasnya. "Chika akan tinggal di sini mulai hari ini, biar dia tidur di kamar Raka, Raka akan pindah di kamar tamu."
"Maksudnya? kalian ingin tinggal bersama sebelum menikah? kalian harus menikah dulu sebelum tinggal satu atap," ucap tante Fian dengan heboh.
Chika mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti maksud ucapan itu. Dia menoleh pada Raka yang wajahnya masih datar. Mungkin pria itu mengerti maksud ibunya.
"Pikiran Bunda salah," ucap Raka. Tangannya menepuk bahu Chika. Mata tajamnya menatap Chika dengan serius. "Ceritakan saja pada Bunda, dia tidak akan menceritakan pada orang lain," ucap Raka sebelum pergi keluar dari kamarnya.
Chika menghela napas, dia berusaha untuk tersenyum. "Tante, Chika minta maaf karena merepotkan, tapi Chika butuh bantuan Raka sekarang."
Cerita itu mengalir, dimulai sejak kehidupannya di panti, lalu diadopsi, dan hingga ayahnya ingin menjualnya. Menjadikan dirinya sebagai wanita penghibur.
"Orang itu benar-benar keterlaluan! dia ingin menjual kamu padahal biar bagaimanapun kamu itu anaknya meskipun kamu hanya diadopsi," geram tante Fian. Matanya tampak sangat emosi.
Chika tersenyum, lirih dia kerkata, "Karena itu Chika butuh tumpangan sementara, hanya sampai Ayah berhenti cari Chika."
Kepalanya diusap lembut, senyum tante Fian mengembang, benar-benar menenangkan. Seperti ibu Ayu dan ibu angkatnya. "Tentu sayang, Chika bisa tinggal di sini. Kara pasti seneng punya kakak perempuan di rumah."
Mata Chika berkaca-kaca, lagi dia menemukan malaikat tanpa sayap. Raka, betapa beruntung hidup pria itu karena memiliki ibu sebaik tante Fian. Reflek, dia langsung memeluk wanita itu. "Terima kasih banyak Tante."
🌼🌼🌼
Raka kembali ke kamarnya, langkahnya terhenti di dekat tiga adiknya yang sedang mengintip di ambang pintu. Senyumnya mengembang geli, dia bersedekap dan berdeham pelan sampai tiga kepala itu refleks menoleh kaget.
Ketiganya meringis kecil dan menegakan punggung. Raka mendengus pelan dan menggelengkan kepala. Ada saja tingkah tiga adiknya ini. "Sedang apa kalian?"
"Mau liat calon istri Abang dong," jawab Arkan.
Raka mengerutkan keningnya. "Jangan ngawur, sudah sana main saja!"
"Emangnya kita anak kecil?" protes Caramel, bibirnya mengerucut. "Bang kapan Kara bisa main sama Kak Chika?"
"Nanti, sekarang pergi dulu. Kak Chika harus istirahat," jawab Raka.
Ketiganya mengangguk dan pergi dengan berbisik-bisik. "Tuhh kan apa gue bilang, liat kan perhatiannya Bang Raka sama Kak Chika?" tanya Caramel.
Raka menggelengkan kepala mendengar bisikan-bisikan itu. Wajar semua kaget, ini pertama kalinya dia membawa teman perempuan. Biasanya yang datang hanya dua sohibnya.
Di kamarnya, Chika sedang ngobrol dengan bunda. Gadis itu terlihat sangat nyaman, sangat berbeda ketika sedang bicara dengan dirinya. Yaa bunda memang selalu bisa menjadi pendengar yang baik.
"Nah itu Raka," kata bunda. "Yaa sudah, Tante ke bawah yaa?"
Chika menganggukan kepalanya. "Terima kasih."
"Ck jangan sungkan, mulai sekarang Chika juga anak Tante," jawab bunda. "Kalau perlu jangan panggil Tante, panggil Bunda saja."
Mata Chika membulat. "Boleh?"
"Tentu."
"Kalau kamu mau," jawab bunda.
Raka tersenyum tipis, dia bersandar di pintu. Menyaksikan dua orang itu, dia senang bunda bisa menerima Chika. Bisa akrab dengan Chika.
"Mau," jawab Chika. Dia segera mengusa airmatanya yang menetes. "Terima kasih Bunda."
Bunda keluar dari kamar Raka, saat melihat putranya, satu matanya mengedip depan wajah meledek. Raka mendengus geli, dasar. Sejak dulu bunda adalah orang yang paling ekspresif hingga menurun pada Caramel.
"Bundamu baik," gumam Chika.
Raka mengangguk, dia setuju dengan itu. Ibunya adalah wanita terbaik. "Begitulah, semangatnya kadang terlalu berlebihan. Jangan pikirkan ide-ide anehnya."
Chika terkekeh kecil, "Aku justru senang, seperti punya teman baru." Kali ini senyumnya lebih ringan. Matanya menatap Raka yang ada di hadapannya. "Terima kasih, aku tidak tahu harus membalas dengan apa."
"Sudahlah," jawab Raka dengan santai.
"Kenapa kamu mau menolongku sampai sejauh ini?" tanya Chika.
Raka menautkan jemarinya. Menghela napas panjang. "Karena kamu membutuhkan bantuan." Yaa hanya sesimpel itu. Dia pikir semua hanya karena dia tidak bisa melihat perempuan disakiti.
"Istirahatlah," kata Raka sebelum keluar dari kamar.
Malam ini setelah ayahnya pulang, Raka langsung diajak bicara di kamar kedua orangtuanya. Bunda pasti sudah menceritakan semua. Dia duduk di hadapan dua orangtuanya. Seperti sedang disidang.
Raka menumpukan tangannya pada kedua lutut. Dia menceritakan pertemuannya dengan Chika. Hanya pada intinya. Serta alasan kenapa dia ingin menolong gadis itu. Termasuk kekhawatirannya dengan pikiran Chika tentang mengakhiri hidupnya.
"Kamu yakin akan membantunya? ini masalah yang serius, belum lagi dia tinggal di rumah ini, akan banyak pendapat tetangga yang mungkin tidak enak di dengar," ucap ayahnya. Pria yang menurunkan sikap dingin.
Raka tersenyum tipis, "Aku sudah pikirkan semua, kalau memang harus biar aku pindah untuk sementara waktu."
"Kalau begitu Ayah akan coba bantu, semoga masalahnya bisa cepat selesai," ucap ayah sembari menepuk bahu Raka. "Ayah yakin, alasanmu membantunya sangat kuat. Dia pasti berharga untukmu."
Raka terdiam cukup lama, bagaimana ayahnya bisa menyimpulkan hal itu. Dia hanya tersenyum sekilas sebelum pamit keluar dari kamar kedua orang tuanya. Jujur, ucapan barusan mengganggu pikirannya. Benarkah niatnya menolong Chika murni karena kasihan.
Langkahnya terhenti saat mendengar obrolan Chika dengan Caramel di balkon. Suara adiknya tampak sangat bersemangat. Selalu seperti itu.
"Kara seneng banget Kak punya Kakak perempuan," kekeh Caramel. "Nanti kita bisa belanja bareng, curhat-curhat bareng, terus ngobrolin model baju terbaru! Ya ampun Kak!!! Kara beneran seneng!"
Chika tertawa dan Raka terdiam. Sejak bertemu kemarin, dia tidak melihat gadis itu tertawa seringan itu. Matanya bersinar dibawah cahaya bulan. Bulu mata panjangnya terlihat indah saat berkedip. Serta lesung pipi yang menambah kesan manis pada gadis itu.
Raka bukannya tidak pernah melihat gadis cantik. Sudah banyak gadis yang dia lihat, mulai dari tingkat kecantikan yang tinggi hingga cantik yang dibuat dari berbagai operasi. Tapi kali ini, ada aura yang membuatnya nyaman. Meski sering kesal karena gadis itu masih saja memanggilnya Kaka. Nama yang menurutnya konyol jika gadis itu yang menyebutnya.
🌼🌼🌼
Nahh silahkan follow akun IG Raka dan Chika
@rakaelrajendra
@chika.oce
Chika?
Raka 😶😶😶
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top