BAB 29

Holaa gengs, yapp akhirnya bisa nulis lagi. Dan mohon maaf karna updatenya lama-lama terus karna yaa begitulah. Sudah ambil waktu untuk nulisnya.

Mumpum hujan, kita update yok! Biar feelnya lebih kerasa, ekhm. Pokoknya baca aja.

Follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 ceritaku

Jangan lupa vote& komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini.

🌼🌼🌼

Perjanjian yang Chika buat semalam membuat Raka resah. Namun, semua itu harus disetujui olehnya. Menyebalkan sekali. Bukan hanya soal perjanjian itu, tapi juga karena alasannya yang tidak jelas.

Chika tidak ingin kalau bunda dan keluarga yang lain tahu soal hubungan mereka. Memang sampai saat ini hubungan mereka tidak jelas. Berpacaran, tidak juga. Raka sendiri tidak tahu menahu soal komitmen pacaran itu seperti apa. Baginya, Chika adalah calon istrinya, bukan sandiwara seperti yang dianggap oleh bunda.

Jadilah Raka hanya bisa menjawab seadanya jika bunda sudah mulai bertanya. Meski begitu, dirinya masih berusaha membujuk Chika untuk bicara pada bunda. Sayangnya Chika tetap kekeh. Ditanya alasannya pun, gadis itu hanya menjawab belum siap.

Beberapa hari terakhir, diam-diam Raka sering mengunjungi Chika. Seperti hari ini, dirinya membantu gadis ini untuk memasak. Bukan masakan yang rumit, jadi Raka bisa membantu meski sedikit.

Malam nanti teman-temannya akan berkumpul di rumah ini. Katanya syukuran tempat baru. Yaa Raka tidak bisa banyak komentar soal itu karena Dita sudah mengatur semuanya.

"Kaka, menurutmu lebih baik yang ini atau ini?" tanya Chika sambil mengulurkan dua buah apel.

"Terserah," jawab Raka yang masih sibuk memotong sayuran.

Chika yang menerima tanggapan itu, hanya bisa cemberut kesal. Komentar yang sangat tidak membantu. "Harusnya aku bawa Wulan ke sini."

Raka hanya mendengus pelan dan lagi-lagi melanjutkan pekerjaan memasaknya. Menanggapi Chika tidak akan ada habisnya. Bayangkan saja, sudah satu jam, dan gadis ini hanya sibuk memilih-milih bahan.

"Astaga! Kenapa susah sekali sih," keluh Chika sambil membaca kembali resep baru yang ingin dia coba.

"Buat apa yang kamu bisa," komentar Raka seadanya.

"Tapi kan aku mau buat ini," jawab Chika tetap kekeh. Dihampiri Raka yang sejak tadi tidak beranjak dari pekerjaannya. Ditatap wajah pria itu yang terlihat sangat serius. "Kaka."

"Hm," jawab Raka tanpa menoleh.

"Kaka," panggil Chika ulang sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Raka.

Raka menghela nafas panjang dan menoleh. "Apa?" jawaban ketus itu membuat Chika terkekeh geli. Kemana perginya pria malam itu bicara sangat manis. Sekarang mode dingin dan super menyebalkannya kembali.

"Kamu bisa buat ini kan?" tanya Chika sambil mengulurkan ponselnya. Resep masakan yang tadi dia ingin buat sepertinya agak susah. Dia bahkan belum pernah lihat bentuk asli dari makanan itu.

"Buat saja sendiri, kamu yang ingin makanan itu," balas Raka.

Benar kan, responnya pasti seperti biasa, menyebalkan. "Aku minta tolong," pinta Chika baik-baik dengan mata penuh harap. Diambil pisau yang ada di tangan Raka. "Biar aku yang buat masakan lainnya."

"Menyusahkan." Meski begitu, Raka tetap mengerjakannya. Membuat dessert memang asing untuknya, tapi selama ada panduan, sepertinya itu tidak terlalu sulit.

Beberapa jam keduanya berkutat dalam dapur hingga Arga, Dita, Dewa dan Fala datang. Keempat orang itu langsung antusias melihat makanan yang tersaji di meja makan. Arga apalagi, orang ini langsung duduk dan mencomot makanan tanpa ditawari.

"Emm enak-enak," komentar Arga.

Chika terkekeh geli dan menyusun dessert buatan Raka di meja itu. "Maaf yaa rumahnya kecil. Jangan kapok main ke rumah ini."

"Dimana Raka?" tanya Dewa.

Chika menunjuk dapur, "sibuk membantuku."

Arga tersedak, dan Dewa menahan tawa. Raka si tidak peduli apa-apa mau membantu. Hebat sekali. Kemajuan pesat. Harus segera diabadikan, jadilah Dewa dan Arga langsung menyusul ke dapur menggoda si dingin itu.

"Lihat, ini tuan muda Rajendra yang sedang belajar menjadi suami siap, tanggap, dan serba bisa," komentar Arga.

Raka kembali mendengus kesal, dilempar lap pada wajah meledek itu. Dibandingkan mendengar komentar tidak berguna, dua orang ini harus membantunya. "Cepat bantu!"

🌼🌼🌼

Raka merebahkan tubuhnya pada sofa panjang ruang tamu rumah ini. Masih di tempat tinggal Chika, sejak satu jam setelah para sahabatnya pergi, dirinya memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum pulang.

Chika sendiri sudah kabur entah kemana. Katanya ingin membeli makanan ringan tapi belum kembali juga. Biarkan saja, toh ada orang-orang yang mengawasi gadis itu.

Rasanya belum lama dirinya tertidur, suara Chika yang memanggilnya membuat dia terbangun. Gadis itu tersenyum tipis dan duduk di sofa seberang tempatnya merebahkan diri. Raka mengubah posisi tidurnya agar bisa menatap gadis itu lama-lama.

"Apa?" tanya Chika sambil meraba wajahnya sendiri. "Apa ada noda di pipiku?"

Raka menggelengkan kepalanya. Sudah lah. Dia tidak bisa lama-lama di sini. Dilihat jam tangannya. Sudah malam, tidak enak jika pulang terlalu larut. "Aku harus pulang sekarang."

"Emm, salam untuk Bunda dan Kara."

Seulas senyum terukir di bibir Raka. Bukan senyum tipis yang ramah, tapi senyum menjengkelkan. Alis tebalnya terangkat, "yakin? Aku boleh menyampaikannya pada Bunda?"

"Astaga, aku lupa," kekeh Chika. Diantar Raka keluar rumah. "Jangan bicara macam-macam ya pada Bunda!"

"Harusnya kamu mengingatkan dirimu sendiri," balas Raka cuek. "Cepat masuk, kunci pintu, langsung tidur."

"Yaa ya Tuan Muda Rajendra," balas Chika, malas. Dasar bapak-bapak satu ini. Memangnya dia anak kecil hingga soal seperti itu saja harus diingatkan. Didorong pelan punggung tegap itu. "Pulang sana! Nanti Bunda khawatir."

"Em, kabari aku kalau kamu butuh bantuan," pesan Raka sambil mengusap puncak kepala Chika. Dia segera masuk ke dalam mobil.

Dan Chika yang mengerti Raka tidak akan pergi sebelum dirinya masuk langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sebelum menutup pintu, dilambaikan tangannya pada pria itu, senyumnya mengembang manis. "Take care."

🌼🌼🌼

Hari pernikahan Dita dan Arga semakin dekat, dan itu artinya Chika pun semakin sibuk ikut membantu persiapan. Karena pernikahan itu dilaksanakan di daerah puncak Bogor dengan tema outdoor jadi makin banyak lah yang harus dipersiapkan.

Semoga saja cuaca mendukung acara sejoli ini. Kalau tidak, Chika sudah membayangkan bagaimana kacaunya. Belum lagi Arga ini lanjut membuat party kecil untuk orang-orang terdekat di pantai Bali nanti setelah acara resmi.

Yaa Chika memang sudah menganggap enteng orang-orang ini. Ternyata dirinya memang sekarang sudah ada di lingkungan dimana uang rasanya sangat mudah untuk didapat. Atau jangan-jangan uang hanya tinggal dipetik dari pohonnya.

Semua sudah direncanakan dengan baik. Tiga hari sebelum hari pernikahan, Chika, Wulan, dan Fala akan menemani Dita untuk berangkat lebih dulu ke Bogor. Sedangkan Arga akan berangkat dengan Raka dan Dewa malam sebelum hari pernikahan. Keluarga Arga sendiri akan berangkat lebih dulu.

Pagi ini Chika berangkat ke kantor seperti biasa, beberapa orang menyapanya dengan ramah. Karena meski gosip belm mereda, namun statusnya masih tunangan dari Raka. Tidak akan ada yang berani mengusiknya secara langsung. Kalau berani, orang itu berarti sudah bosan kerja.

Di sampingnya, Wulan masih asik menggulirkan layar ponselnya. Mencari destinasi wisata yang dekat dengan hotel tempat mereka menginap selama acara pernikahan Dita. "Wah banyak nih, asik kayaknya malem abis resepsi kita langsung kabur ke cafe ini."

"Yaa ya, terserah kamu. Aku ikut," balas Chika, malas. Dirinya masih bertopang dagu sambil mengerjakan pekerjaannya.

"Chik, nanti nitip laporan ke ruangannya Pak Raka yaa," kata Mbak Nimas.

"Oke Mbak."

"Uhuk, makan siang sama Pak Bos lagi nih?" bisik Wulan. "Kayaknya makin ke sini, makin ke sana lo."

"Sssttt berisik!" tegur Chika. "Awas yaa kalau kamu ngomong yang enggak-enggak."

"Hihi santai dong," kekeh Wulan. "Wajah panik lo udah kayak nahan boker, tau!"

Tuk. Wajah Wulan terkena lemparan kotak pena. Bukannya kesal, Wulan justru semakin tertawa puas. Menyenangkan sekali menggoda Chika yang akan selalu panik kalau sudah membahas soal Raka. Katanya takut kalau sampai orangtua Raka tahu. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah itu bagus.

Chika langsung bangkit dari kursinya dan membawa berkas yang tadi mbak Nimas berikan. "Aku ke ruangan Bos dulu yaa."

"Duh yang nggak sabar ketemu Ayang, semua kerjaan diberesin secepat kilat. Eh jangan-jangan kilat aja kalah," ledek Wulan tidak kapok. Yaa kalau mau membuat Wulan kapok jangan lempar dengan kotak, lempar saja dengan parang.

🌼🌼🌼

Di depan ruangan Raka, Lyza duduk tenang, terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya seperti Dita yang siap siaga di tempatnya membereskan pekerjaan sebaik mungkin. Chika berdeham pelan hingga Lyza menoleh.
Gadis itu tersenyum tipis.

"Kaka ada?" tanya Chika.

"Yaa dia di ruangannya sejak tadi, ada apa?"

Chika mengangkat berkas yang ada di tangannya. "Titipan Mbak Nimas. Boleh aku masuk? Atau kamu aja yang sampaikan? Nanti aku ambil setelah jam istirahat."

"Silakan, tapi kamu harus siap dengan wajah masamnya," kekeh Lyza. "Dia sedang kesal karena laporan produksi bulan ini agak berantakan."

Chika ikut tertawa geli, dirinya mengetuk pintu kayu itu sebelum masuk ke dalam ruangan milik si dingin. Di singgasananya, pria itu tampak serius menatap berkas-berkas tanpa ambil pusing dengan kehadirannya. Yah dia juga tidak berharap penyambutan yang hangat.

"Selamat siang," sapa Chika. "Titipan Mbak Nimas."

"Hm."

"Aku letakkan di sini ya?" tanya Chika.

"Hm." Raka mengambil dokumen lain dan lanjut membacanya.

Tuk tuk. Chika mengetuk meja kerja itu. "Aku bicara dengan manusia kan?"

"Letakkan saja, akan aku tandatangani nanti."

"Hampir jam istirahat, pekerjaanmu masih banyak yaa?" tanya Chika basa-basi. Dirinya ingin makan siang dengan Raka, tapi kalau makan siang bersama, Lyza akan curiga. Lagipula Raka pasti akan makan dengan Lyza juga hari ini.

"Lumayan."

"Kaka," panggil Chika.

"Ya," balas Raka tanpa menoleh.

Chika menghela nafas panjang, pasrah. Raka memang sangat sibuk. "Yaudah, aku istirahat duluan. Jangan lupa makan siang."

Raka meletakkan dokumen itu. Dilihat jam tangannya. "Tunggu di mobil, setengah jam lagi pekerjaanku selesai."

"Emm?"

"Kita makan di luar."

Senyum Chika mengembang. "Kamu nggak makan sama Lyza?"

Raka mendengus pelan, jemarinya bertaut di atas meja. Gadis ini memang suka sekali memancingnya. "Jangan menantangku."

"Siapa yang menantangmu?"

"Kamu ingin kita keluar dari sini bersama? Aku tidak masalah soal itu," ucap Raka dengan santai.

Chika mengerucutkan bibirnya, Raka ini memang tidak bisa diajak bercanda. Bisa-bisa pria ini merealisasikan ucapannya ini kalau dia tidak pergi sekarang. "Oke aku keluar sekarang. Aku tunggu di bawah."

🌼🌼🌼

Sebenarnya, Chika juga tidak ingin begini. Hubungannya dengan Raka sudah membaik, namun dirinya tidak bisa menampilkannya pada keluarga Raka sendiri. Bukan tanpa alasan yang kuat, tentu saja.

Entahlah, rasanya dia hanya belum siap. Banyak yang harus dipikirkan. Soal perasaan Lyza pada Raka, soal bunda yang pasti saat ini juga bimbang karena sudah mengetahui soal perasaan Lyza pada putra pertamanya itu. Sebenarnya kalau pun bunda tahu soal ini, pasti bunda tidak akan keberatan. Iya kan. Pasti begitu kan.

Ini lah yang membuat Chika malas memikirkannya. Dia jadi uring-uringan sendiri. Padahal ini keputusannya. Raka pun tidak banyak protes. Pria itu mau menuruti keinginannya begitu saja.

Usai makan siang bersama, Chika langsung kembali ke kantor, sedangkan Raka pergi ke kantor cabang. Katanya Lyza sudah jalan duluan ke sana. Tidak boleh berpikir yang tidak-tidak, tidak boleh cemburu karena Raka dan Lyza hanya bersama untuk bekerja.

Getar ponsel memecahkan lamunan Chika. Pesan masuk dari Aksa. Keningnya mengerut dalam. Sejak berbaikan dengan Raka, dirinya sudah tidak berhubungan lagi dengan Aksa. Dibuka pesan itu.

Aku sedang main di dekat kantormu. Kamu sibuk?

Astaga, Aksa ini benar-benar. Padahal gosip-gosip soal pria itu belum lama hilang. Kalau sampai orang lain melihat lalu lapor pada Raka, bisa gawat nantinya. Chika segera menelepon Aksa.

"Hey, kamu di kantor?"

"Aksaaa.." panggil Chika dengan nada kesal. "Kenapa kamu ke kantor? Cepat pergi darisana!"

Kekehan terdengar di seberang. "Aku cuma mampir sebentar. Lama nggak ngobrol sama kamu."

Chika mengatur nafas untuk mengurangi rasa kesalnya. "Ada apa? Apa ada hal penting?"

"Apa sekarang kalau ingin ngobrol, harus ada hal yang penting? Sesulit itu kah untuk ngobrol dengan calon istri bos pemilik perusahaan Rajendra?"

Pertanyaan itu membuat Chika terdiam. "Maaf, aku cuma nggak mau kalau sampai kita dapat masalah lagi."

"Chika," panggil Aksa, lembut. "Maaf karena aku semua jadi kacau."

"No, itu bukan salah kamu." Chika buru-buru mengoreksi. "Itu cuma ulah orang-orang yang mau menjatuhkan aku sama kamu."

"Hm, yaudah. Aku punya titipan kado untuk pernikahan Dita, kalau kamu sibuk, aku bisa titipkan ini ke security."

"Emm, aku sebentar lagi sampai kantor. Kamu bisa tunggu sebentar, kalau kamu mau," ucap Chika pelan. Dia jadi merasa tidak enak, padahal Aksa sudah baik padanya.

"Oke. Aku tunggu."

🌼🌼🌼

Di warung pinggir jalan dekat kantor, Aksa duduk sambil menyeruput es teh pesanannya. Saat melihat Chika turun dari mobil, pria itu langsung berdiri dan mengangkat tangannya. Masih dengan senyum hangat seperti biasa.

Pria tampan ini mengenakan kaus hitam dan topi dengan warna senada. Kulit putihnya kemerahan karena panasnya sinar matahari. "Ada tugas luar kantor?"

"Emm nggak, tadi abis makan siang," jawab Chika sambil mengulurkan tangannya. "Mana kadonya?"

Aksa terkekeh pelan dan mengulurkannya. "Takut calon suamimu marah ya?"

"Bukan itu, Aksa," keluh Chika. "Aku cuma takut berita-berita itu muncul lagi."

Aksara menganggukkan kepalanya, paham. Dia menatap ke arah belakang gadis di hadapannya ini. Beberapa penjaga yang selalu bersama Chika. "Nggak pergi sama Raka?"

"Emm? tadi iya, tapi dia lanjut ke tempat lain." Chika mengeluarkan ponselnya. "Dita udah cuti lama, kamu udah hubungin dia?"

"Belum, bisa kamu kirim nomornya?"

"Oke." Chika sibuk dengan ponselnya sebentar. "Yaudah, aku bisa masuk sekarang?"

"Salam untuk Dita dan Wulan. Maaf aku enggak bisa datang," ucap Aksa. "Kamu tau kan, aku masih lari dari ayahku."

Chika tersenyum prihatin. "Nanti malam aku sama Wulan kumpul di rumah Dita. Kalau kamu mau langsung ngucapin ke dia, kamu bisa datang nanti."

"Oke," jawab Aksa. "Boleh aku jemput kamu?"

"Yaa, nanti aku kirim alamat baruku. See you," ucap Chika sebelum berbalik kembali ke mobil yang tadi ditumpanginya.

Sampai di ruangannya, Chika menceritakan pertemuannya dengan Aksa pada Wulan. Termasuk undangannya untuk datang di acara malam ini. Wulan yang mendengar hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Nekat lo," keluh Wulan. "Kalau sampai Bos tau lo dateng sama dia, gimana?"

Chika meringis kecil dan menggelengkan kepala. Dia tidak berpikir sejauh itu. Lagipula dia hanya kasihan pada Aksa. "Aksa kan datang untuk ngucapin selamat ke Dita. Bukan untuk aku, jadi itu bukan masalah kan?"

"Bukan masalah?!" tanya Wulan sambil melotot kesal. "Yaa sebenernya nggak masalah, cuma sekarang ini lo baru akur sama si Bos, terus menurut pandangan gue, si Bos enggak suka sama si Aksa, terus lo dateng berdua sama Aksa. Syukur kalau Bos enggak tau, kalau tau? gue yakin seratus persen, lo bakal ditarik balik ke rumahnya. Izin tinggal sendiri lo bakal dicabut."

Chika mengerjap beberapa kali, mulutnya membulat. "Begitu ya?"

"Emm mungkin, kan?" tanya Wulan.

"Aisshh! Kalau gitu, Kaka enggak boleh tau! Lagian dia kan hari ini sibuk," balas Chika. Ditangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah memelas. "Wulan, bantu aku yaa, please!"

Wulan menyipitkan mata, curiga. Ada hawa yang tidak enak. "Apa?"

"Kamu ke kost ku yaa? Kita nanti berangkat ke rumah Dita bertiga."

"Nah kan, bener nggak enak. Jadi tumbal lagi deh gue." Wulan bersedekap. "Dia naik apa? Mobil? Kalau iya sih oke. Kalau motor? Gue mau ditaroh dimana? Digeret pakai kardus di belakang?"

"Yaa enggak lah. Nanti kalau dia pakai motor, kita naik taksi. Gampang kan?" tanya Chika dengan alis terangkat.

"Duh, iya deh. Daripada lo nanti berantem lagi sama si Bos. Masa iya seharian gue harus liat wajah lo asem banget kayak ketek."

"Huhuuu! Kamu emang terbaik, Lan!!" Chika langsung memeluk sahabatnya ini. "Makasih, nanti aku traktir bakso yaa dua porsi deh!"

🌼🌼🌼

Malam ini Wulan membantu Chika bersiap karena memang mereka akan menginap di rumah Dita dan paginya akan langsung berangkat ke Bogor. Hal yang paling ditunggu oleh Wulan karena tidak sabar ingin rehat sejenak dari pekerjaan kantor.

Suara ketuk pintu membuat keduanya menoleh. Wulan langsung menghampiri pintu."Udah siap kan? Ayo deh, kita langsung berangkat aja."

"Oh hey, Lan," sapa Aksa setelah pintu terbuka.

"Haii! Yaampun Aksa, udah lama nggak ketemu. Berita kemarin kacau banget yaa," kata Wulan.

"Yaa, maaf semua jadi agak kacau kemarin." Aksa tersenyum ramah. "Kita bisa berangkat sekarang?"

"Ayo! Oh yaa lo naik apa?" tanya Wulan.

"Tenang, gue pinjem mobil temen."

Wulan memilih duduk di depan dengan Aksa untuk lebih waspada karena meski Chika sudah mewanti-wanti agar para ajudan itu tidak buka suara, tapi tetap saja mereka harus hati-hati. Siapa tahu bapak-bapak itu berkhianat. Meski tampangnya sih baik-baik.

"Aksa, lo kenapa sih milih pura-pura miskin?" tanya Wulan, kepo.

"Siapa yang pura-pura miskin?" tanya Aksa.

"Yaa ini?" tanya Wulan.

Aksa tertawa geli dan menggelengkan kepalanya. "Astaga, tampang gue gembel banget ya, Lan? Padahal gue nggak pernah pura-pura miskin loh. Cuma mau jadi orang biasa."

Plak. Dari belakang, kepala Wulan dipukul oleh Chika. Dasar, kalau bicara tidak punya rem. Wulan meringis kecil dan tertawa canggung. "Nggak gitu sih maksud gue, gimana yaa? maksudnya tuh, kenapa lo nggak jujur aja? Orang kere aja pada ngaku kaya. Eh lo yang kaya malah mau kere."

"Gitu yaa?" kekeh Aksa.

Chika menepuk keningnya sendiri. "Lan, mending kamu diem. Atau kamu laper? Aku ada biskuit."

"Eh enak aja, emang gue nenek-nenek?" Tolak Wulan, keki. "Bercanda, lagian itu kan hidup lo. Gue enggak punya hak buat nilai ini itu. Toh yang tau mana baik sama buruk itu lo sendiri."

Aksa terdiam dan kembali tersenyum dengan kepala mengangguk-angguk. "Thank you. Seneng bisa ngobrol sama lo lagi, Lan."

"Wah emang harus begitu, mumpum gue belum seterkenal Mario Teguh, lo harus banyak-banyak ngobrol sama gue, biar bijak," oceh Wulan. Ocehan yang berhasil membuka perbincangan antar ketiganya dengan sedikit melupakan ketakutan Chika kalau Raka sampai tahu.

Pintu pagar rumah Dita terbuka. Rumah besar itu tampak agak ramai karena memang malam ini keluarga besar Dita sedang berkumpul. Di dekat pintu masuk, si pemilik rumah sudah menunggu dengan sumringah.

"Holaaa gengs," sapa Dita.

Chika dan Wulan langsung memeluk sohibnya ini. "Wah, kamu wangi banget. Abis mandi bunga yaa?"

"Iya nih, lo harus lihat. Di bathup gue banyak bunga mawar. Jadi ngerasa ratu-ratu di kerajaan korea," kekeh Dita. Pandangannya beralih pada Aksa. "Hey, thank you udah mau dateng."

"Sama-sama." Aksa memberikan kado yang tadi dia sempat titipkan pada Chika. "Kado dari gue, semoga lo suka."

"Uuuu, pasti." Dita merangkul tangan Chika dan Wulan. "Ayo masuk! Kita ke taman belakang aja."

🌼🌼🌼

"Jadi kamu besok berangkat ke Bogor?" tanya Aksa pada Chika saat keduanya masih duduk di meja bulat dekat kolam renang.

"Emm? Iya, aku sama Wulan berangkat ke Bogor duluan, nemenin Dita," jawab Chika sambil melihat Dita dan Wulan yang asik bermain di lapangan.

Aksa berdeham pelan. "Nggak bareng sama calon suami kamu?"

"Kaka nanti datang sama Arga, satu hari sebelum acara. Lagian dia mana mungkin ninggalin kerjaannya lama-lama," kekeh Chika.

Aksa ikut tertawa, "yaa itulah salah satu alasan aku enggak mau kerja di perusahaan milik Ayahku."

"Kenapa?" tanya Chika.

"Aku takut, saking sibuknya kerja, saat aku keluar kantor, peradaban dunia udah berubah."

🌼🌼🌼

Keseluruhan persiapan acara memang sudah selesai. Sebelum hari pernikahan, Dita mengajak sahabat-sahabatnya untuk menikmati sisa-sisa masa lajangnya. Jalan-jalan bersama, belanja, nonton film, atau hanya sekedar tidur ramai-ramai dalam satu kamar dan ngobrol sampai tertidur.

Besok adalah hari yang paling ditunggu. Dia seharian sudah bersiap, perawatan ini itu yang membuat matanya berat karena belum istirahat. Pokoknya malam nanti dia harus tidur cepat.

"Hoammm." Wulan menguap lebar. "Dia yang mau nikah, gue yang ikutan lelah, letih, lesu, lumglai."

"Diem deh, protes terus." Dita membalas dengan mata yang semakin berat. Sayangnya saat ini kuku-kukunya sedang dihias.

Chika tertawa geli dan mengabaikan perdebatan itu. Dia sendiri sudah asik membaca majalan sambil duduk santai di sofa. Tidak jauh darinya, Fala pun asik membaca buku.

Ponsel Dita berdering pelan. Chika yang paling dekat dengan ponsel itu langsung melihatnya. "Arga, nih."

"Tolong angkat," pinta Dita.

Chika menerima panggilan itu. "Yaa Arga?"

"Loh, Chika? Mana Dita?" tanya Arga.

"Emm yaa ya, yang sebentar lagi sah. Rindu berat yaa? berapa hari belum ketemu," ledek Chika.

Arga tertawa menanggapi ledekan itu. "Hey, yang rindu berat itu Rakamu. Kamu tahu Chika? Dia uring-uringan sejak kemarin."

"Mana mungkin?" jawab Chika dengan tawa geli.

"Itu benar! Aku juga saksinya," jawab Dewa yang ternyata juga mendengarnya.

Rasanya sekarang wajah Chika memanas karena itu. Niat meledek sekarang justru dirinya yang menjadi bahan tertawaan sahabat-sahabatnya. Menyebalkan.

"Wah wah, kalau begini ceritanya sih, kayaknya lo sebentar lagi bakal nyusul gue," kata Dita setelah puas tertawa.

"Kalau itu sih aku juga setuju," ucap Fala ikut semangat.

Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pake banget sih."

Chika berdecak kesal dan menyerahkan ponsel itu pada Dita. Sudahlah, diam saja daripada lebih ditertawakan. Diambil majalah yang tadi dia tinggalkan untuk lanjut membacanya.

"Kenapa?" Sapa Dita pada Arga.

"Halo cantik, sedang apa?" Tanya Arga. Suara pria itu terdengar semangat seperti biasa.

"Merawat kuku-kuku cantikku. Kamu tahu? Seharian ini ada banyak hal yang harus dilakukan," keluh Dita.

Arga terkekeh pelan. "Maaf."

"Emm, untuk apa?"

"Kalau aku di sana, aku akan memijatmu," jawab Arga.

Dita mendengus pelan, kemudian tersenyum. Semakin dekat dengan hari pernikahan, sikap Arga semakin manis saja. Si player itu mulai mengurangi sikap jahil menyebalkannya. Atau setidaknya pria ini juga sudah tidak macam-macam dengan menggoda perempuan meski hanya iseng.

"Itu sih maumu," jawab Dita. "Malam nanti berangkat?"

"Yaa," jawab Arga. "Aku gugup, belum pernah aku merasa segugup ini. Ini lebih parah dibanding saat aku meminta kamu untuk jadi istriku di depan orangtuamu saat itu."

Dita menghela nafas panjang. Tentu saja, dirinya juga sama gugupnya. Entah lah, apa semua orang juga seperti itu sebelum hari pernikahan. "Tenang, Arga."

"Manisnya. Boleh aku pergi ke sana, sekarang?" bisik Arga.

"Silakan," balas Dita.

Arga tertawa dan berdeham pelan. "Terima kasih, sayang. Terima kasih sudah mau menjadi istriku."

"Yaa ya, kalau bukan aku siapa lagi yang bisa memgurus kelakuan menyebalkanmu," jawab Dita. "Percayalah, aku ini si sabar yang akan dengan sangat senang hati mendampratmu kalau kamu macam-macam."

"Oh kalau itu tenang saja, aku mana berani dengan sigalak ini," kekeh Arga.

"Kamu memang tidak boleh berani," balas Dita. "Oh iya, aku udah siapin semua masakan kesukaanmu. Sesuai pesanan, jadi jangan berangkat terlalu malam."

"Kalau aku belum sampai, jangan menungguku. Makanlah lebih dulu. Kamu tahu kan, jalanan pasti macet, ini weekend, sayang," ucap Arga.

"Oke. Take care, aku tunggu di sini."

"Emm, i love you." Sambungan itu sudah ditutup.

🌼🌼🌼

Raka mengenakan kemeja hitam yang sudah digulung hingga siku. Dirinya sedang bersiap untuk berangkat ke Bogor, malam ini. Di belakangnya sudah ada koper kecil yang disiapkan oleh bunda.

"Hati-hati yaa, besok mungkin Bunda sama yang lain datang setelah akad," pesan bunda.

"Yaa." Raka menghadap cermin sebentar sebelum mengambil dompet dan kunci mobilnya untuk langsung berangkat ke rumah sohibnya itu.

Dikecup kening bunda. "Aku berangkat."

"Yaa, kabari kalau sudah sampai di sana!" kata bunda lagi dan lagi.

Raka mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sudah dia duga, jalanan pasti padat. Mungkin lewat tengah malam, baru akan sampai ke lokasi. Atau bahkan lebih, mengingat puncak selalu menjadi destinasi paling ramai setiap weekend.

"Sudah siap?" tanya Raka setelah tiba di rumah Arga.

Mobil Raka ditinggal di rumah ini. Dirinya ikut di dalam mobil Arga. Supir telah siap di dalam mobil. Dewa dan Arga pun sudah menunggu di luar.

"Siap dong!" jawab Arga semangat. Pria ini mengenakan kemeja putih. Wajahnya benar-benar berbinar, saking senangnya akan bertemu dengan Dita.

Raka mendengus pelan. Dia sudah membuka pintu depan namun Arga menahannya. "Gue di depan deh. Lo berdua tidur aja di belakang."

"Oke," jawab Raka tanpa banyak bicara. Dia langsung membuka pintu belakang. Di sampingnya, Dewa sudah duduk manis sambil memejamkan mata.

"Bangunin kalau udah sampai," pesan Dewa.

Raka mendengus pelan dan menyandarkan punggungnya, mencari posisi nyaman. Matanya juga sudah mulai memberat karena pekerjaan kantor yang akhir-akhir ini padat. Tidur beberapa jam lumayan agar tidak terlalu pusing.

"Dasar! Baru mau jalan, udah pada siap siaga tidur!" keluh Arga yang memang saking semangatnya tidak bisa tidur.

Aku berangkat

Dikirim pesan itu pada calon istrinya yang cantik itu. Senyum Arga mengembang, masih tidak menyangka ada di titik ini. Kepalanya bersandar pada kaca, menikmati perjalanan malam dengan lampu-lampu kendaraan yang padat. Memasuki tol, kecepatan mobil bertambah.

"Tuan tidak tidur?" tanya supir yang sudah bekerja lama di keluarganya.

Arga tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Enggak Pak. Saya nemenin Bapak aja."

"Tuan boleh tidur, perjalanan masih panjang, belum lagi besok acaranya pasti sampai malam."

"Tenang aja, Pak. Saya memang enggak bisa tidur, terlalu semangat. Bapak waktu itu begini juga?" tanya Arga membuka obrolan.

"Yaa kurang lebih begitu, Tuan. Enggak karuan rasanya," jawab bapak itu.

Dari belakang, mobil jeep menyalip dengan kecepatan tinggi, namun anehnya, jeep itu mepet sekali ke arah mobil ini. Bapak itu tanggap untuk menyeimbangkan kemudi yang oleng.

"Hey kurang ajar! Apa dia mabuk?!" tanya Arga kesal sambil berpegangan.

Raka dan Dewa yang merasa laju mobil sedikit oleng langsung terbangun. Dengan mata berat, keduanya menatap sekitar.

"Ada apa?" tanya Raka dengan suara berat.

"Biasa, orang ngantuk mungkin," jawab Arga.

Tidak lama dari itu jeep di depan itu memelan. Mobil ini menyalip dengan tenang tanpa mempermasalahkan hal tadi. Namun, jeep itu kembali menaikan kecepatannya, menyalip beberapa kendaraan, dan menyusul mobil ini, berusaha menyalip dengan memepetkannya pada mobil ini.

Sang supir langsung membanting stir ke arah kiri untuk menghindar.

"Awas Pak!" seru Dewa melihat pembatas jalan.

Terlambat. Brakkk. Mobil sebelah kiri menabrak pembatas itu dengan kencang. Mobil itu terpental dan berputar arah 180 derajat. Asap mengepul pada mobil.

Mobil-mobil di belakang langsung berhenti menyaksikan kecelakaan mengerikan itu secara langsung. Beberapa orang langsung turun dari mobil untuk membantu evakuasi.

Dewa yang tersadar lebih dulu mengerang pelan karena kepalanya yang sakit. Saat membuka mata, dihadapannya ada kedua sahabatnya yang sudah tidak sadarkan diri. Matanya memanas.

"Tolong," lirih Dewa. "Tolong mereka, tolong mereka."

🌼🌼🌼

Raka tidak tahu apa yang terjadi setelah tabrakan itu. Semua gelap. Dan yang dia rasakan adalah suara ramai dari orang-orang. Entah siapa. Nyeri hebat pada tangan membuat matanya terbuka.

Cahaya dari ruangan serba putih itu menyilaukannya. Raka menyipitkan mata. Dia segera terduduk menatap sekitar.

"Kaa," panggil Dewa.

Raka menoleh, di sofa itu, Dewa yang mengalami luka ringan duduk dengan wajah mengeruh. Dia segera melepas infus yang terpasang untuk menghampiri sahabatnya ini. "Mana Arga?"

"Masih diobservasi," jawab Dewa. Kepalanya menunduk dalam.

Mendengarnya, Raka hanya bisa terduduk, lemas. Diacak rambutnya. Astaga, kenapa begini. Besok adalah hari bahagia anak itu. Punggung tangannya mengusap pipinya yang basah. "Kita tunggu di sana."

"Tapi lo juga harus dapat perawatan," kata Dewa.

"Gue baik-baik aja." Raka segera bangun dan keluar dari ruangan perawatan itu. Mereka menuju tempat dimana Arga diobservasi, dengan langkah tertatih, Raka berusaha menahan nyeri pada tangan dan kakinya.

"Boleh kami lihat sebentar?" tanya Raka.

Seorang perawat tersenyum tipis, dan menganggukkan kepala. "Silakan."

Di tempat tidur pasien, Arga terbaring dengan alat-alat menempel di tubuhnya. Kedua tangannya dipasang infus untuk memberikan transfusi darah. Wajah itu tampak bengkak dan lebam-lebam di beberapa bagian.

Wajah cerah beberapa jam lalu hilang, senyum riangnya terganti dengan bibir pucat yang mengatup rapat-rapat. Raka mengalihkan pandangannya, tidak tega melihat lama-lama sahabatnya ini.

Dewa mengusap kepala Arga, pelan. "Tinggal beberapa jam lagi, Dita udah nunggu lo, Ga."

Dari ujung sudut mata Arga, airmata itu menetes. Dewa tidak bisa menahannya lagi, dia ikut meneteskan airmata. Arga mendengar kata-katanya.

Mata Arga perlahan terbuka. Dengan susah payah, dia berusaha bicara. "Tolong Dita. Suara lirik itu membuat Raka dan Dewa mendekat. Arga tersenyum sedih dan memejamkan matanya, kembali airmata itu menetes. "Tolong bantu dia, bantu Ditaku untuk bangkit lagi."

"Temani dia, bantu dia melewati semuanya."

"Lo yang akan temenin dia," jawab Dewa dengan suara tegas. Dia menggelengkan kepala. "Lo yang akan temenin dia, Ga! Iya kan?"

"Tolong, gue titip dia." Arga mengatur nafasnya. "Titip dia, sampai ada orang baik yang bisa menjaga Ditaku."

Orangtua Arga datang dan langsung menemui putranya itu. "Arga sayang, astaga, kenapa begini?"

"Maa," panggil Arga lirih. "Maaf."

"Maaf apanya?! Dasar anak nakal! Kamu harus sembuh!" Omel ibunya.

Arga hanya bisa terkekeh getir. Sorot mata itu menggambarkan banyak hal, rasa sedih, penyesalan, lelah. Perlahan mata itu terpejam dengan senyum tipis. Omelan-omelan ibunya yang selalu menjadi penghias pagi. Perlahan omelan itu seperti menghilang begitu saja. Gelap dan terasa kosong.

Maaf, untuk segala janji yang belum sempat ditepati. Maaf untuk waktu-waktu berharga terlewat yang belum sempat dibayarkan. Maaf untuk kehidupan yang sudah direncana namun tak sempat terlaksana.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter 🥀🥀🥀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top